Pembentukan Ushul Fiqh Modern versi Syi'ah
Engkos Kosasih
Dialog Syi'ah-Sunni adalah dialog bebuyutan yang akan selalu memberikan nuansa-nuansa baru bagi khazanah intelektual Islam. Pertentangan dua kubu yang menurut sementara fihak hanya merupakan politik adu domba dari Barat (baca: Amerika) itu terkadang membuat kita kurang dewasa.
Prolog
Muhamad Baqir Shadr dikenal sebagai cendekiawan terkemuka Syiah yang sangat produktif dalam mengarang buku. Berbagai bidang kajian seperti fisafat, ilmu kalam, fiqih, ushul fiqh, ekonomi, tafsir dan lain-lain, tidak per-nah luput dari bidik pisau analisanya.
Dalam bidang ushul fiqh, kitab yang disusunnya adalah berjudul "Du-ruus fi 選lm al-Ushul, Ma'aalim Jadidah". Dalam mukadimah buku tersebut Baqir Shadr mengungkapkan bahwa sebenarnya buku ini diperuntukan bagi kalangan pemula dalam upaya mendalami ushul fiqh secara komprehensif. Untuk itu sebagai bacaan tingkat dasar, maka yang dipresentsikan dalam bukunya itu hanya berkisar pada introduksi menuju ilmu ushul. Gaya bahasanya pun terkesan sederhana dan jauh berbeda dengan kitab-kitab lain yang beliau susun.
Maka dalam resensi sederhana ini, penulis berusaha menampilkan isi buku tersebut yang mudah-mudahan bisa menambah khazanah intelektual kita khususnya dalam bidang ushul fiqh.
Pengertian Ushul Fiqh
Sebelum menjelaskan definisi ushul fiqh terlebih dahulu harus membicarakan definisi fiqh itu sendiri. Fiqh adalah suatu ilmu tentang dalil yang berguna untuk menentukan tindakan praktikal atas pemahaman suatu teks. Atau dengan kata lain, suatu ilmu yang berkenaan dengan proses istinbath ahkam syari'yyah.
Sedangkan definisi ushul fiqh adalah suatu ilmu mengenai 'anashir musytarakah dalam proses istinbath hukum syara. Yang dimaksud dengan 'anashir musytarakah adalah "hujiyat al-dhuhur" (berpegang pada urf 'aam dalam memahami teks) dan "hujiyat al-khabar" (mentaati perintah Syari' untuk hanya mengikuti riwayat-riwayat tsiqat saja). Sedangkan ruang lingkup ushul fiqh adalah proses istinbath ahkam dengan menjadi-kan 'anashir musytarakah sebagai titik pembahasannya.
Menurut Baqir Shadr, ilmu ushul fiqh sama dengan ilmu mantiq, hanya saja berbeda obyek pembahasannya. Yaitu bahwa ushul fiqh adalah proses pola pikir yang berkisar pada masalah-masalah fiqh dalam menekuni 'anashir musytarakah dalam proses istinbath. Oleh karena itulah ilmu ushul fiqh ini disebut juga dengan "mantiqnya ilmu fiqh".
Ilmu ushul fiqh sangat urgen bagi umat Islam, karena seseorang yang menggeluti fiqh tanpa ushulnya tidak akan mampu menggunakan dan memanfaatkan nash-nash dalam proses istin-bath. Ini diibaratkan Shadr dengan seseorang yang diberi peralatan tukang kayu seperti gergaji dan kapak, tapi ia tidak menguasai ilmu pertukangan dan tidak pula bisa menggunakan kesemua alat tersebut. Hubungan ilmu ushul fiqh dengan fiqh adalah hubungan antara teori dan praktek.
Ilmu ushul fiqh adalah ilmu mengenai teori-teori umum dalam pemahaman teks, sedangkan ilmu fiqh adalah ilmu tentang aplikasi teori-teori umum tersebut. Sebagai ilustrasinya, pembahasan ushuly tentang 'anashir musytarakah itu bagaikan penguasaan seorang dokter mengenai teori umum kesehatan manusia.
Sedangkan studi fiqh yang merupakan aplikasi dari teori-teori ushuly, sama dengan tindakan praktek dokter terhadap semua teori kesehatan yang ia pelajari. Dengan adanya hubungan yang erat antara fiqh dan usul fiqh, maka terdapat korelasi konsep ushuly dan konsep fiqhy. Semakin banyak dan berkembang sebuah peristiwa, maka penguasaan terhadap teori dan prakteknya pun mengikuti perkembangan tersebut. Baqir Shadr sekali lagi mengibaratkannya dengan dunia kedokteran.
Dengan bergantinya masa, penyakit-penyakit pun berkembang dan bertambah ragam jenisnya. Maka seorang dokter dituntut untuk memperluas teori dan praktek kedokterannya bila tetap ingin eksis di depan publik.
Kebolehan Melakukan Proses Istinbath
Bolehkan kita melakukan istinbath? Jawaban sederhana tentunya mengatakan: boleh! Karena proses istinbath tersebut sangat berguna untuk menentukan tindakan praktikal dari pemahaman terhadap nash-nash dengan pertimbang-an yang cukup terhadap situasi dan kondisi yang sedang berjalan. Terkadang proses istinbath juga disebut juga dengan ijtihad.
Pertanyaan yang muncul lagi adalah bolehkah kita berijtihad? Menurut Shadr, sebelum menjawab boleh tidaknya berijtihad perlu dibahas dulu mengenai definisi ijtihad yang berkembang dari masa ke masa. Ijtihad versi beberapa madzhab Sunni adalah diambil dari sebuah kaidah "Seorang faqih yang ingin beristinbath dari sebuah hukum syara tapi tidak mendapati nashnya baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah maka ia boleh berijtihad".
Ijtihad dalam konteks ini adalah hasil pemikiran personal yang menjadi salah satu sumber fiqh. Ijtihad dengan definisi seperti ini ditentang keras oleh para fuqaha Imam ahl bait. Banyak diantara imam-imam tersebut yang mengarang kitab untuk menyerang dan mencela kebolehan berijtihad. Sebagai contoh, Abdulah ibn Abdul Rahman Al-Zubairy menga-rang sebuah kitab yang berjudul "Al- Istifadah fi al-Tha'un 'ala al-Awail wa al-radd 'ala ashab al-ijtihad wa al-Qiyas".
Semua serangan tersebut berlangsung sampai abad ke-7 H. Hanya saja setelah itu, definisi ijtihad pun berkembang dan tidak lagi identik dengan pengertian ijtihad pada masa pra abad ke-7 H. Ijtihad kemudian didefinisikan dengan "suatu upaya seorang faqih untuk mengeluarkan sebuah hukum syara dengan berlandaskan pada dalil-dalil syara.
Ijtihad dalam pengertian ini hanya merupakan salah satu proses istibanth.
Dengan definisi ini pula ilmu ushul fiqh diperlukan kehadirannya karena
ia merupakan satu ilmu yang membahas 'anashir musytarakah dalam proses
istinbanth. Ijtihad dalam definisi seperti inilah yang menjadi kesepakatan
diantara semua ulama.
Wasilah-Wasilah Pokok untuk Itsbat dalam Ushul Fiqh
Dalam ilmu fisika, sarana untuk menyingkap dan membuktikan ilmu alam adalah melalui eksperimen. Sedangkan dalam ilmu ushul, hal itu bisa diperoleh melalui dua jalan yaitu: Al-Bayan al-syar'i dan Al-Idrak al-aqly. Yang termasuk al-bayan al-syar'i adalah kitabullah yaitu Al-qur'an yang makna dan lafalnya diturunkan dengan menggunakan uslub i'jaz dan diwahyukan kepada nabi Muhamad. Sunnah juga termasuk al-bayan al-syar'i. Yang dimaksud dengan Sunnah adalah semua penjelasan yang datang dari Rasulullah atau dari salah seorang imam yang ma'sum.
Penjelasan al-bayan al-syar'iy dari imam yang ma'sum itu terbagi tiga :
Akal juga bisa dijadikan sarana dalam proses istinbath. Dari segi sumber, pengetahuan akal itu terbagi tiga yaitu pengetahuan akal lewat indera dan eksperimen, pengetahuan akal lewat intuisi dan pengetahuan akal lewat observasi teoritis.
Sedangkan dari tingkatan pengetahuan akal itu terbagi dua yaitu sempurna dan tidak sempurna. Pengetahuan akal yang sempurna adalah sebuah pengetahuan yang tidak mengandung kemungkinan salah, sedangkan pengetahuan kurang sempurna adalah pengetahuan yang mengandung kemungkinan salah.
Dalam sejarah pemikiran fiqh, ada dua golongan dalam menyikapi itsbat dalam ushul fiqh. Golongan pertama cenderung menjadikan semua idrak aqly -termasuk idrak naqish- sebagai wasilah istbat. Sedangkan golongan kedua cenderung hanya menjadikan al-bayan al-syar'i sebagai satu-satunya sarana itsbat.
Jalan tengah yang diambil para fuqaha ahl al-bait adalah bahwa di samping bayan syar'i sebagai wasilah itsbat, pengetahuan akal yang sempurna boleh dipergunakan untuk itsbat. Para fuqaha ahlul bait ini sibuk menghadapi "perang pemikiran" dengan kedua golongan diatas.
Bantahan terhadap Golongan Pertama (Ahl al- Ra'yi)
Sejak pertengahan abad ke-2 telah muncul madzhab fiqh yang meluas dengan nama madzhab ahl al-ra'yi. Tokoh utama madzhab ini adalah Abu Hanifah (w. 150 H). Manhaj yang dipegang ahl al-ra'yi adalah berangkat dari suatu konsep yang mengatakan :"Penjelasan syar'i yang terdapat dalam Kitab dan Sunnah adalah hanya mencakup persoalan-persoalan terbatas".
Konsep ini beredar meluas di kalangan Sunni. Menurut para fuqaha ahlul bait, pandangan madzhab ini sangat berbahaya bagi kesucian dan kemurnian serta kesyumulan syariat Islam. Sebab konsep tentang ketidaksyumulan syariat bisa meng-akibatkan munculnya tuduhan tidak sucinya Al-Qur'an dan Al-Sunnah itu sendiri dengan menuduh kurang atau tidak komprehensif. "Orientasi Rasionalitas yang Ekstrim" demikian Shadr menyebutnya jelas membahayakan.
Implikasi dari madzhab ahl al-ra'yi ini adalah timbulnya hukum yang be-ragam pada suatu kasus yang diperoleh dari hasil ijtihad setiap ulama sesuai dengan perbedaan intuisi dan cara berfikir serta kondisi tempat para ulama tersebut. Apakah semua pendapat ulama madzhab ahl al-ra'yi itu benar bila setiap ulama mengungkapkannya dari ijtihad personal-nya?
Menurut Baqir Shadr, sebagian kalangan Sunni pun menolak madzhab ahl al-ra'yi ini seperti madzhab Zhahiriyah yang didirikan oleh Daud ibn Ali bin Khalaf Al-Asfahany pada abad ke-3 H. Zhahiriyah justru menggemborkan pengamalan zhahir teks Kitab dan Sunnah serta tidak memberi tempat bagi akal untuk dijadikan sumber hukum. Bila dari kalangan Sunni sendiri membantah ahl al-ra'yi, apalagi dari kalangan Syi'ah Imamiyyah. Sebab menurut mereka, madzhab ahl al-ra'yi ini jelas-jelas membahayakan kesucian syariat Islam termasuk kesucian dan kesyumulan Al-Qur'an dan Al-Sunnah.
Bantahan terhadap Golongan Pengingkar Peranan Akal
Golongan ekstrim ini adalah golongan yang menyerukan untuk hanya berpegang pada al-bayan al-syar'i saja. Yang termasuk dalam golongan ini adalah ahkbariyun dan muhadditsuun. Alasan yang dikemukakan golongan ini adalah bahwa akal itu mudah terkena sifat salah. Oleh karena itu, akal tidak layak dijadikan wasilah itsbat. Golongan ini pertama kali muncul pada awal abad ke 11 H. dengan pimpinan Mirza Muhammad Amin Al-Astirabady (wafat 1023 H.).
Menurut fuqaha Imamiyah, dalam golongan pengingkar peranan akal tersebut sebenarnya terdapat paradoks. Ini terlihat ketika golongan ini mencampakkan peranan akal dalam itsbat di satu pihak, namun di pihak lain pendukung golongan ini berpegang pada akal untuk membuktikan kebenaran akidahnya, mengingat bahwa istbat tersebut tidak mungkin melalui bayan syar'i, melainkan melalui akal.
Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
Cikal bakal pemikiran dan konsep ushul fiqh ini telah muncul pertama kali pada zaman fuqaha ahl al-bait. Diriwayatkan bahwa Imam Al-Shadiq telah disodori pertanyaan-pertanyaan seputar 'anashir musytarak dan menjawabnya dengan tuntas. Juga diperkuat dengan catatan sejarah lainnya yang mengungkapkan bahwa beberapa imam ahl al-bait telah menyusun risalah kecil tentang beberapa masalah ushul fiqh seperti Imam Hisyam ibn Hakim.
Yang pertama kali menyusun ilmu ushul fiqh dalam formatnya yang komprehensif adalah syaikh Muhamad ibn Muhamad ibn Nu'man wafat 413 H. dan dilanjutkan oleh muridnya Al-Sayid Al-Murtadha wafat 436 H. dengan kitabnya yang berjudul al-Dzari'ah.
Perkembangan ushul fiqh lebih cemerlang ketika munculnya Syaih Al-Tausy yang mengarang kitab fiqh dengan judul Al-Mabsuth dan kitab ushul fiqh dengan judul Al-'Iddah. Syeikh Al-Tausy mampu mengembangkan dunia ushul dengan lebih segar dan lebih mampu menjawab tantangan jaman untuk pada saat itu. Beliaupun tidak segan melancarkan kritik konstruktif pada para pendahulunya bila dirasa perlu. Sampai abad ke-5 H., bila di kalangan Sunni perkembangan ushul fiqh melorot, tapi di kalangan syi'ah tetap stabil.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal:
Sampai akhir abad ke-10 H., perkembangan ushul di kalangan Syi'ah tetap cemerlang. Muncul pada abad tersebut Al-Hasan ibn Zainuddin (w. 1011 H) dengan kitab ushulnya yang berjudul Al-Ma'alim. Baru pada abad ke-11 H, dunia ushul Fiqh Syi'ah digoyang dengan munculnya kaum akhbariyyun dan muhadditsuun dengan pimpinan Mirza Muhamad Amin Al-Istirabady. Namun bentrokan kubu tersebut dengan Syi'ah dapat dimenangkan oleh kubu Syi'ah. Bahkan muncul setelah itu sebuah aliran baru dalam ushul fiqh di Karbala dengan pimpinan Muhamad Baqir Al-Bahbany wafat 1206 H.
Sebab-sebab Menyebarnya Pemikiran Ushuly
Pembahasan-pembahasan tathbiq dalam fiqh Seorang faqih ketika melakukan riset fiqhnya, tentu menghadapi banyak persoalan dalam istinbath. Dalam kondisi inilah ilmu ushul fiqh memberikan solusinya sehingga solusi-solusi dan teori-teori tersebut menjadi 'anashir musytarak dalam proses istinbath.
Demikian resensi ala kadarnya dari buku yang berbobot ini. Resensator melihat bahwa ushul fiqh yang diketengahkan oleh Shadr, jelas masih mempunyai muatan-muatan Syi'ah yang perlu dijadikan kajian kita secara serius. Namun kita juga bisa melihat kedewasan intelektual Shadr yang mengkritik kalangan Sunni dalam masalah ushul dengan kritikan yang halus, tidak emosional seperti tampak pada beberapa karangan Syiah lainnya. Hal ini patut menjadi contoh bagi semua pengikut Syi'ah dan Sunni agar tidak terjebak pada suasana fanatis-me buta yang pada akhirnya akan menyebabkan pada stagnasi dialog sehat antara kedua golongan tersebut. Wallahu a'lam.