Al-Thufy dan Maslahat
Mukhlash Hasyim, Lc.
Al-Thufy Najamuddin Ibn Abbas Al-Thufy Al-Hanbaly adalah nama populer dari seorang yang bernama Sulaiman ibn Abdul Qowy ibn Abdul Karim ibn Sa’ad ibn Al-Thufy, lahir di Thuf City, Baghdad pada tahun 657 H. dan wafat pada tahun 716 H.
Kontroversi terhadap pemikiran Al-Thufy tentang Maslahat adalah sebuah kontroversi yang panjang dan melelahkan. Mantan Menteri Agama RI, Prof. Munawir Sadzali MA pernah terlibat dalam diskursus tersebut dan beliau harus rela mendapat cacian dan makian dari kanan-kiri. Tetapi penulis makalah ini dengan kepala dingin mengajak kita untuk menganalisa kembali pemikiran Al-Thufy itu seutuh-utuhnya.
Mukadimah
Najmuddin Al-Thufy adalah sosok ulama abad VII yang haus ilmu. Beliau
melakukan study tour dan tinggal sementara waktu di berbagai negara tetangga,
seperti Syam (Syria), Mesir, Al-Haramain, dan Palestina. Beliau duduk dalam
majlis kajian ilmiah beberapa ulama terkenal kala itu, diantaranya adalah
Al-Zain Ali ibn Muhammad Al-Sharshary, Muhammad ibn Hasan Al-Mawshily untuk
bidang Islamic science dan Arabic grammar, sedang ilmu-ilmu eksakta didapatkannya
dari ulama-ulama kota beliau sendiri, Baghdad.
Pada mulanya, Al-Thufy mengikuti aliran Ahlussunnah Waljamaah, madzhab Ham-bali, tapi ia tidak konsisten dengan madzhabnya, baik di bidang aqidah maupun furu' (fiqh). Kemudian ia condong kepada pemikiran Syiah. Di sana, dia juga banyak di-tentang aliran itu sendiri. Akhirnya, Al-Thufy bukan hanya ditentang oleh Ah-lussunnah, tapi juga oleh orang Syiah sendiri. Syeh Abdul Husain Syarafuddin, salah satu ulama Syiah, acap-kali menentang pendapat-pendapat Al-Thufy, khususnya pendapat yang mendahulukan maslahah dari nash dan ijma' yang dikemukakannya. Lebih jauh, Abdul Husein menolak jika Al-Thufy dimasukkan kedalam golongan ulama Syiah. Beliau -Abdul Husein - menggolongkan Al-Thufy ke-pada kelompok Ghulath, aliran Syiah yang telah keluar dari jalur yang semestinya.
Adalah Kitab Syarh Al-Thufy li Arba’iin al-Nawawiyah, sebuah buku yang telah mengundang pole- mik berkepanjangan di ka-langan ulama, khususnya para ushuliyyun. Tepatnya dalam syarah hadits ketigapuluh ddua “laa dharara wa laa dhiraar”. Dalam syarah hadits ter-sebut, beliau mengeluarkan statemen yang sangat kontro-versial dengan apa yang telah baku dan sangat dipegang oleh para ulama baik pada masa itu ataupun masa-masa sebelum-nya, yaitu tentang maslahat yang pada situasi dan kondisi tertentu dapat didahulukan dari pada nash (Al-Qur’an dan Hadits) maupun ijma’. Di bawah ini kami akan mencoba mensarikan pen-dapatnya lewat sebuah ter-jemah ringkas dan padat, me-ngingat bahasa ushul yang terlalu sulit untuk dituangkan dalam halaman yang terbatas ini.
Beberapa Pemikiran Al-Thufy*
Hadits Nabi saw. La dharara walaa dhiraar yang berarti penafian hal-hal yang merugikan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, berarti juga penetapan hal-hal yang menguntungkan. Sebab jika dharar ditiadakan, maka pada saat yang sama maslahat ditetapkan, karena dharar dan maslahat adalah dua hal yang berlawanan dan tidak mempunyai penengah. Nash dan ijma' adalah dua dalil syar'i yang kedudukannya terkuat di antara dalil-dalil syar'i yang berjumlah sembilan belas**).
Nash dan ijma' bisa jadi memang sesuai dengan maslahat, tapi bisa juga keduanya bertolak belakang dengan maslahat. Apabila kemungkinan pertama yang terjadi, maka jelas tidak ada masalah. Tetapi bila kemungkinan kedua yang terjadi, maka di sini maslahat harus didahulukan atas nash dan ijma', dalam arti maslahat dijadikan sebagai mukhashsish (pembatas) atas nash dan ijma' sebagaimana Sunnah dijadikan sebagai pentafsir Al-Qur’an, dan bukan berarti pembatalan atau penghapusan nash dan ijma' itu sendiri.
Barangkali ada yang me-ngatakan bahwa penetapan maslahat yang diambil dari hadits La dharara walaa dhiraar tidak sekuat ijma' se-hingga tidak mungkin dija-dikan sebagai pen-takhsis ijma' ka-rena ijma' merupakan dalil pasti (qath'i), sedangkan hadits di atas bukan dalil qath'i sehingga maslahat yang bersumber pada hadits tersebut akan lebih tidak qath'i. Tetapi sebenarnya penetapan mas-lahat itu lebih kuat dari pada ijma'. Dan dengan demikian, maslahat adalah salah satu dalil syar'i yang bisa digu-nakan sebagai mukhashshis. Maslahat, secara etimologi, diambil dari kata shalah yang berarti keadaan sempurna bagi sesuatu sehingga bisa ber-fungsi sebagaimana mestinya. Seperti pena yang sempurna bisa digunakan sebagai alat menulis, dan pedang yang sempurna dapat berfungsi sebagai alat memotong.
Secara 'Urf, maslahat berarti suatu sebab yang mendatangkan kemanfaatan, seperti berdagang yang mendatangkan keuntung-an. Sedangkan dalam termino-logi syara', maslahat adalah sebab yang bisa mengantarkan kepada tujuan-tujuan syara' (baca: agama) baik berupa ibadat maupun adat istiadat. Kemudian maslahat terbagi menjadi dua: Pertama, maslahat yang dikehendaki oleh Syaari (Allah SWT.) karena sebagai hak-Nya, sebagaimana ibadah. Kedua, maslahat yang dikehendaki Allah bukan karena sebagai hak-Nya, seperti da-lam bidang mua'malat.
Dalil-Dalil tentang Pentingnya Kedudukan Maslahat
Setidaknya ada dua macam dalil, umum dan khusus, yang menunjukkan betapa agama sangat memperhatikan maslahat umat manusia: Pertama: Dalil Umum (yang menunjukkan maslahat secara tidak langsung). Di antaranya adalah:
Dari uraian di atas dapat disimpulkan betapa Al-Qur’an sangat menjunjung tinggi kemaslahatan manusia. Bila kita mempelajari nash-nash yang lain tentu akan ditemukan dalil-dalil semacam ayat di atas. Seandainya dikatakan, "Bukankah nash dan ijma' itu sendiri merupakan maslahat, di mana keduanya merupakan petunjuk untuk mengetahui hukum-hukum syara'?". Tentu sebenarnya kita sependapat dengan pernyataan tersebut, akan tetapi khusus dalam bidang-bidang ibadat, karena ibadat adalah murni sebagai hak Allah dan tidak bisa diketahui cara-cara pelaksanaannya kecuali melalui nash dan ijma'. Berbeda halnya dengan bidang-bidang mu'a-malat, di mana dalam hal ini maslahat merupakan tujuan syara' yang paling utama.
Adapun mereka yang mengatakan tidak adanya illat dalam tindakan atau hukum Allah tersebut berpendapat bahwa setiap perbuatan yang menuju kepada suatu illat tidak bisa dikatakan sempurna sebelum illat itu terwujud. Dalam arti, kalau hukum Allah menuju kepada suatu illat-maslahat misalnya- sedangkan maslahat itu belum terpenuhi, maka berarti hukum Allah belum sempurna. Dan ketidaksempurnaan perbuatan Allah adalah mustahil. Tetapi dalil yang terakhir ini bisa dijawab bahwa per-buatan yang bertujuan kepada satu illat memang belum bisa sempurna sebelum illatnya terwujud. Hanya saja hal itu cuma bisa dinisbatkan kepada perbuatan manusia. Berbeda dengan perbuatan Allah.
Yang jelas, bila dikaji secara mendalam, bisa dipastikan bahwa perbuatan-perbuatan Allah itu mempunyai beberapa alasan yang bertujuan untuk kemas-lahatan dan kesempurnaan umat manusia, bukan kemaslahatan diri-Nya karena Allah tidak membutuhkan yang lain.
Tetapi Ahlussunnah menolak argumen ini karena hanya berlandaskan kepada kemampuan akal untuk me-ngetahui baik dan buruknya sesuatu, dan landasan ini juga telah ditolak oleh mayoritas ulama. Yang benar adalah bahwa perhatian Allah terhadap kemashlahatan manusia merupakan kewajiban dari Allah dan bukan kewajiban 'terhadap' Allah, seperti firman-Nya yang artinya:”Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan dan kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan se-gera...”(QS: An-Nisa 17). Yang berarti bahwa diterimanya taubat seorang hamba adalah wajib dari Allah dan bukan wajib terhadap Allah, atau juga tentang rahmah dalam firman-Nya yang artinya: “..... Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang” (QS: Al-An’am 54).
Kedua Dalil Khusus (yang menunjukkan maslahat secara langsung).
Dalil-dalil di bawah ini yang diambil dari Al-Qur’an, Sunnah, ijma' dan penalaran hanyalah sebagai contoh. Sebab sulit untuk menyebutkan dalil-dalil mashlahat secara keseluruhan:
Adapun maslahat "secara khusus", artinya maslahat bagi orang-orang yang beriman di mana Allah telah menunjukkan jalan yang benar bagi mereka agar dapat memperoleh surga di hari kemudian. Maslahat yang diklaim sebagai khusus ini sebenarnya dapat dikatakan umum, dalam arti Allah telah mengajak manusia secara umum untuk beriman kepada-Nya dan dengan iman ini mereka akan memperoleh maslahat yang besar, hanya saja sebagian dari mereka tidak mau memenuhi ajakan-Nya. Yang jelas, pang- gilan untuk beriman adalah maslahat umum dan pem-berian hidayah adalah mas-lahat khusus.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa jika maslahat manusia dari sejak diciptakan sampai kehidupan di dunia dan akhiratnya sangat diperhatikan oleh Allah maka sangat mustahil kalau hukum-hukum syara' tidak mengindahkan kemaslahatan. Jadi apabila ada nash dan ijma' yang bertentangan dengan maslahat, maka disini maslahat harus digunakan sebagai pentakhsis nash dan ijma'.
Dasar Pengutamaan Maslahat atas Nash dan Ijma'
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa penempatan maslahat di atas nash dan ijma' adalah bertujuan untuk mencapai kemaslahatan yang keberadaannya telah dijamin oleh Allah sebagai karunia bagi makhluk-Nya. Di samping itu juga bertujuan untuk menyeragamkan hukum pada suatu masalah yang pada akhirnya menjaga kesatuan umat. Hal semacam ini jelas diharuskan atau setidaknya dibolehkan.
Uraian di atas secara sekilas memang bisa dipahami bahwa akan terjadi pembatalan nash dengan qiyas yang tidak berdasar seperti qiyasnya iblis yang amburadul tanpa dalil. Tetapi sebenarnya pemahaman seperti itu kurang benar, karena sebenarnya hal di atas tidak lebih dari sekedar upaya mendahulukan dalil yang lebih kuat. Dalam hal ini ulama telah sepakat tentang keharusan mendahulukan dalil yang raajih (unggul) sebagai-mana keharusan menempat-kan ijma’ di atas nash dalam beberapa persoalan, dan mendahulukan nash (baca: suatu lafadz yang hanya mempunyai satu makna) di atas zhahir (baca: lafadz yang mempunyai banyak makna).
Adapun qiyas iblis: saya lebih baik dari Adam karena saya diciptakan dari api sedangkan Adam dari tanah memang tidak mempunyai dasar yang sah, karena tidak ada dalil yang menyatakan bahwa api lebih baik dari tanah. Kemudian apabila ada yang mengatakan bahwa syara’ lebih tahu tentang kemaslahatan manusia dan pada semua dalil (yang berjumlah sembilan belas) di dalamnya terkandung kemaslahatan atau dijadikan sebagai tanda adanya kemaslahatan sehingga kalau dalil-dalil tersebut tidak digu-nakan, berarti suatu pembang-kangan terhadap syara’, maka jawabannya adalah bahwa memang benar jika syara’ lebih tahu tentang maslahat, tapi pengutamaan maslahat atas nash dan ijma’ tersebut, tidak berarti merupakan upaya meninggalkan dalil-dalil sya-ra’, melainkan sekedar ber-pindah atau memilih dalil yang lebih kuat berdasarkan hadits laa dharara wa laa dhiraar.
Di samping itu kita diberi kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang bermaslahat secara adat. Jadi jika ada hal-hal yang jelas maslahatnya maka tidak boleh kita tinggalkan dan memilih hal lain yang belum jelas maslahatnya. Seandainya dikatakan bahwa perbedaan pendapat dalam masalah-masalah hukum adalah rahmat bagi umat manusia sehingga apa gunanya diupayakan penyeragaman hukum bagi suatu masalah? Maka jawabannya adalah bahwa pendapat di atas bukan merupakan nash sehingga harus dipatuhi, melainkan mana yang lebih maslahat, kesamaan hukum atau keaneka-ragamannya. Kalau kesamaan hukum yang lebih maslahat maka itulah yang ditetapkan.
Jika kita lihat sekilas, pemikiran Al-Thufy tentang maslahat memang sangat rasional. Batas antara logika sehat dan logika tidak sehat dari beberapa pemikiran Al-Thufy itu teramat tipis. Sangat sulit menemukan batas itu tanpa bantuan referensi yang memang valid. Seyogyanya kita selalu kritis dan tidak tergesa-gesa menerima. Tak ada gading yang tak retak. Tak ada manusia yang sempurna. Tetapi jika gading itu terlalu retak, maka bagaimana sikap kita?. Wallahu a'lam.
*) Pemikiran Al-Thufy ini di terjemahkan dari Kitab Risalah fi Ri’ayah al-Maslahah li Al-Thufy, tahqiq Dr. Ahmad Abdur Rahim Al-Sayih. Tebitan Al-Daar al-Mishriyyah al-Lubnaniyah, cetakan pertama, 1993.
**) Dalil syara yang berjumlah sembilan belas tersebut secara urut adalah: Al-Qur’an, Sunnah, ijma umat, ijma ahl al-Madinah, qiyas, ucapan sahabat, maslahat mursalah, istishab, al-baraa’ah al-ashliah, adat-kebiasaan, induksi (istiqra), sad al-dzaraai’, istidlal, istihsan, al-akhzu bi al-akhof, al-ishmah, ijma ahl al-Kufah, ijma al-’utrah (menurut Syiah), ijma khalifah yang empat.