Maslahat, Antara Syari'ah dan Filsafat
    Ahmad Nadhif Mudjib dan Afifuddin Harisah

    Sementara pihak menganggap bahwa perbandingan antara syari’at sebagai qanun samawi dan filsafat sebagai qanun wadh’iy adalah perbandingan yang tidak seimbang, sebab jarak antara “langit” dan “bumi” sedemikian jauhnya. Lantas, bagaimana maslahat dilihat dari pandangan syari’at dan filsafat ? Dengan berduet makalah ini mencoba menganalisa hal tersebut.

    Menempatkan maslahat sebagai sebuah kajian, ternyata merupakan persoalan yang lumayan dilematis. Di satu sisi, sebagaimana ditemui dalam banyak literatur turats, maslahat sudah terbentuk sebagai tatanan teori yang baku. Sehingga karenanya, kajian terhadap maslahat otomatis lebih cenderung kepada kajian teoritis yang kaku dan tidak menarik.

    Dr. Musthafa Al-Khan dalam disertasi doktoralnya mensinyalir kecenderungan seperti itu. Sementara di sisi lain, maslahat dalam pengertian yang luas merupakan lahan subur bagi upaya pemberian muatan hukum syariat kepada qadhiyah-qadhiyah kontemporer yang memang belum tersentuh sama sekali oleh dalil-dalil yang sharih.

    Persoalan dilematis seperti dimaksud, ternyata tidak hanya sampai di situ. Di satu pihak, kita menemukan bahwa maslahat sebenarnya adalah al-qadr al-musytarak atau amr kully yang akan selalu ada dalam setiap hukum yang dihasilkan melalui istinbath yang benar lagi lurus. Lalu, dengan beristinbath, maslahat akan dengan sendirinya tertuang dalam rentetan simbiosis dalil-dalil kully dengan hukum-hukum juz’iy. Karenanya, menyisihkan waktu untuk bertakhasshshus pada apa yang disebut maslahat adalah upaya yang percuma. Tetapi di lain pihak, di-akui atau tidak, maslahat masih dipahami secara parsial oleh banyak kalangan.

    Misunderstanding yang cukup parah dapat kita saksikan ketika orang tidak bisa membedakan antara muthlaqu maa yusammaa bi al-maslahah dengan maslahat mursalah. Tulisan yang terlalu singkat ini tidak mungkin menjelaskan secara rinci tentang misunderstanding itu karena memang tulisan ini tidak berpretensi ke arah tersebut secara detail.

    Lebih jauh, dengan nada yang sama, Dr. Jamil Ibn Mubarak dalam Nazhariyat al-Dharuurat menyinggung perihal kesalahpahaman tersebut, sembari menambahkan bahwa paling tidak, ada dua kelompok dalam menyikapi maslahat. Pertama, kelompok yang memang tidak memahami hakekat maslahat. Kedua, kelompok yang sengaja ingin mengaburkan makna dan hakekat maslahat.

    Tentang kelompok terakhir ini, Al-Buthy secara panjang lebar mengupasnya dalam pengantar cetakan pertama buku Dhawaabith al-Maslahah. Melihat hal itu semua, adalah layak jika tulisan ini mencoba menganalisa -meski secara dangkal- maslahat menurut syariah untuk kemudian dikomparasikan dengan teori-teori filsafat, demi menyikapi upaya naif kelompok yang disinyalir Al-Buthy dan Ibn Mubarak itu.

    Tetapi, DR. Sa'ad Al-Syinawi mengemukakan bahwa sebagian pakar hukum konvensional menolak upaya komparasi antara syariat sebagai qanun samawi dan filsafat dengan segala kaitannya sebagai qanun wadh'iy, mengingat bahwa hal itu bukan merupakan sebuah perbandingan yang seimbang. Qanun samawi berasal dari langit sana, sementara qanun wadh'iy hanya ada di bumi kita ini. Hanya saja, secara singkat Al-Syinawi menjawab bahwa justru dengan upaya komparasi tersebut, akan semakin ditemukan nilai-nilai agung Syariat Islam sebagai suatu tata aturan yang memiliki sifat syumul dan shalih di segala ruang dan waktu.



    Seputar Hakekat Maslahat

    Terlalu banyak definisi maslahat, baik secara etimologi maupun terminologi, yang dikemukakan para ulama. Dalam hal ini Al-Buthy mengambil pendapat Ibn Manzhur dalam Lisan Al-Arab yang menegaskan bahwa maslahat dan manfaat adalah dua kata yang sama (muraadif). Segala sesuatu yang ada kandungan manfaatnya baik itu lewat pencarian suatu manfaat atau penghindaran suatu bahaya/kerusakan adalah layak jika disebut sebagai maslahat (Jalb al-manfaah wa daf' al-madharah).

    Sedangkan secara terminologi, maslahat berarti "Suatu manfaat yang ditujukan Allah kepada hambaNya lewat upaya pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda mereka dengan urutan yang sudah ditetapkan". Definisi ini paling tidak mewakili banyak definisi yang dikemukakan dalam berbagai literatur turats, meski banyak pula definisi yang berlainan secara redaksional tetapi tidak secara substansial.

    Suatu hal yang menarik bahwa dalam perkembangan selanjutnya, ada sementara kalangan yang melihat ku-rang perlunya pendefinisian maslahat. Fenomena ini tidaklah paradoksal, di samping mengingat bahwa maslahat adalah amr kully yang akan senantiasa ditemukan dalam majmu'at al-ahkam al-mustanbathah, eksistensi maslahat dalam pengertiannya yang luas merupakan amr laa khi-laafa fiihi.

    Maslahat adalah ghayah fithriyah ( natural purpose) yang tidak seorang pun mengingkarinya. Ia seakan lebih terang dari pada sinar matahari di siang hari. Karenanya, dalam Islam, asas maslahat adalah laksana poros atau sumbu (mihwar) dari segala hal yang disyariatkan. Begitu juga halnya dengan paham hedonisme yang justru menempatkan maslahat sebagai hadaf al ahdaf (main purpose). Dus, bisa ditegaskan kembali bahwa maslahat memang merupakan hal yang sudah disepakati oleh berbagai kalangan.

    1. Kesepakatan tersebut kemudian berkembang dan menuju kepada kesepakatan-kesepakatan berikut:
    2. Bahwa segala bentuk in-strumen (wasilah) yang dapat menghasilkan manfaat juga berhak disebut sebagai manfaat itu sendiri.
    3. Bahwa asas manfaat dengan segala bentuk in-strumennya itu harus me-rupakan sesuatu yang ter-bebas dari asas kerugi-an/kerusakan yang setingkat atau lebih tinggi dari asas manfaat itu.
    4. Bahwa bentuk hubungan antara instrumen-instrumen tersebut dengan asas manfaat harus merupakan bentuk hu-bungan yang positif (ya-qiniy) dan asumtif (zhanny).
    5. Bahwa segala hal yang tidak sesuai dengan hal-hal di atas bukan merupakan cakupan asas manfaat tersebut, meskipun dalam beberapa sisi dapat ditemukan unsur-unsur instrumental dari asas manfaat itu sendiri, dengan catatan, selama unsur-unsur yang ditemukan itu tidak dapat membebaskan diri dari asas kerugian beserta instrumen-instrumennya.

    Empat poin yang dikemukakan oleh Al-Buthy itu layak digaris bawahi secara tebal, mengingat bahwa kebanyakan misunderstanding yang ditemui dalam mengkonsep maslahat secara komprehensif (baca: menurut Islam), justru hanya diakibatkan oleh kedangkalan pemahaman (al- tafahhum al-suthhy) atas empat poin tersebut.

    Ketika kita dihadapkan kepada dua sisi maslahat dan mafsadat yang ada pada suatu persoalan hukum, pentarjihan salah satu di antara keduanya (maslahat dan mafsadat) di samping harus memperhatikan standar-standar syari’ah, juga harus mencermati skala taqdim dan tarjih yang kita pahami dari keempat poin di atas.

    Lebih lanjut, skala taqdim dan tarjih tersebut pada gilirannya menuntut ketelitian yang purna atas segala manath al-ahkam (illat hukum) lewat masalik al-illat (metode penelitian dan penerapan suatu 'illat hukum) yang ditawarkan secara leng-kap dan menyeluruh dalam literatur-literatur turast. Ketelitian yang dangkal terhadap persoalan ini hanya akan menghasilkan taqdim dan tarjih terhadap mafsadat (dan mengalahkan) atas maslahat. Dan ini fatal. "Maslahat" yang kemudian dihasilkan hanya akan merupakan maslahat yang mauhumah dan mutakhayyilah (nisbi), kalau tidak bisa dikatakan sebagai maslahat yang justru sebenarnya merupakan mafsadat.

    Pada akhirnya, analisa terhadap hakikat maslahah secara proporsional memang tidak cukup hanya dengan tulisan singkat dan dangkal ini. Maslahat -yang sekali lagi- sebagai amr kully yang selalu "mudah" ditemukan dalam setiap hukum syariat, ternyata menuntut kemampuan memahami metode ushul fiqh yang mendalam dan tidak setengah-setengah.

    Adalah tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa justru dengan penempatan maslahat secara proporsional, akan tergambar adanya nilai lebih seorang ushuly dalam memandang persoalan hukum melalui metode-metode ushul fiqh yang kita kenal.


    Maslahat dan Pandangan Para Filosof

    Syari'at Islam telah menegaskan keberadaan konsep maslahat sebagai salah satu instrumen hukum. Maslahat selain erat kaitannya dengan maqashid al-syari'at (the aims of Islamic law), juga memiliki hubungan timbal balik dengan hakekat eksistensi dan tujuan hidup manusia, dan bentuk interaksi manusia itu memiliki hubungan timbal balik dengan aspek-aspek sosial di sekitarnya.

    Otomatis dengan berdasarkan hal itu, konsep maslahat tidak mungkin dilepaskan dari usaha-usaha para filosof dalam membahas tema-tema filsafat, khususnya filsafat kemanusiaan. Kaitannya dengan diskursus maslahat dalam tema-tema filsafat, kiranya perlu dipertanyakan, "bagaimana konsep maslahat dalam aliran-aliran pemikiran filsafat yang pernah ditemukan". Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut, barangkali ada baiknya kita pahami terlebih dahulu aliran-aliran filsafat yang pernah membahas masalah penerapan teori maslahat dalam kehidupan manusia.

    Untuk itu para filosof, baik klasik maupun kontemporer, telah menguras akalnya untuk menggali nilai- nilai yang sepatutnya dilaksanakan dan dipatuhi oleh manusia, dan itu ditujukan kepada terciptanya suatu bentuk interaksi kemanusiaan yang sempurna dan abadi. Akan tetapi ternyata hasil-hasil pemikiran mereka lebih nampak merupakan suatu penawaran ketimbang suatu solusi. Lebih dari itu sebagaimana dimaklumi bahwa filsafat secara umum tidak meletakkan maslahat dalam garis-garis besar pembahasannya. Dalam artian, maslahat dalam konteks sebuah konsep yang utuh dan mapan hanyalah ada di antara pembahasan-pembahasan yang sifatnya parsial dalam filsafat itu sendiri. Dan mungkin saja dapat digolongkan sebagai bagian dari pembahasan filsafat kemanusiaan. Dengan demikian, cukup sulit menemukan referensi-referensi filsafat yang langsung menyentuh tema pembahasan itu.


    A. Maslahat dan Filsafat Akhlak (Moral Philosophy)

    Sebagaimana kita pahami bahwa ukuran nilai yang dijadikan standar oleh para filosof di bidang akhlak ternyata hanya terbatas pada nilai keduniaan saja. Berkenaan dengan itu pula mereka menganggap kehidupan dunia dengan segala konsekuensinya, baik kesenangan maupun kesulitan, tidak lain adalah hasil ciptaan dan rekayasa manusia. Manusialah yang menentukan dan memilih antara dua alternatif baik dan buruk.

    Dengan sendirinya ukuran baik dan buruk tergantung kepada apa yang diapresiasikan manusia sebagai suatu institusi formal, atau berlandaskan kepada hasil eksperimen dan analisa atau bahkan perasaan inderawi subyektivitas manusia. Dan bisa dinilai bahwa pandangan tersebut merupakan bagian dari paham materialisme yang memberikan hak sepenuhnya kepada kekuatan inderawi untuk menilai baik dan buruknya sesuatu.

    Barangkali pembahasan para filosof tentang moral dan perkembangannya serta pengungkapan rahasia- rahasia terselubung dalam pembahasan moral itu sendiri yang berupa sumber-sumber kebaikan, dasar-dasar pemahaman "kewajiban" (duty) dan bentuk-bentuk kemuliaan, merupakan pembahasan yang cukup rumit. Hal ini pada dasarnya beranjak dari realitas bahwa manusia tidak akan pernah sepakat dalam menentukan nilai dan standar kebaikan atau kejahatan. Demikian pula halnya dengan pembahasan tentang kemuliaan dan kewajiban.

    Dalam memandang problematika diskursus sekitar standar kemuliaan dalam kehidupan, manusia cenderung terpengaruh dengan pola dan aliran yang dianutnya. Immanuel Kant, seorang pemikir dalam bidang filsafat, telah memahami kemuliaan itu sebagai kekuatan moralitas yang mempengaruhi dan menggerakkan manusia dalam melaksanakan kewajibannya.

    Kemuliaan itu sendiri bukanlah merupakan norma-norma kewajiban sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang. Tapi kemuliaan itu secara langsung memerintahkan manusia untuk berperilaku baik dengan menggunakan sistem "pemaksaan moral" yang selaras dengan kebebasan batin manusia. Dan bentuk pemaksaan itu biasanya diukur dengan seberapa besar kadar kendala yang mempengaruhi ke cenderungan dan gerak hati manusia. Sebagai konsekuensi logisnya., manusia harus berusaha sebisa mungkin memerangi kejahatan.

    Berbeda dengan Aristoteles, Kant menilai bahwa kemuliaan itu sangat beragam dan bermacam- macam seperti halnya kejahatan, seiring dengan beragamnya obyek pembahasan filsafat moral. Kant menentang teori moderatnya Aristoteles yang mengatakan bahwa kemuliaan itu adalah nilai moderat dalam memandang sesuatu. Dengan kata lain tidak berlebihan dalam menilai baik buruknya sesuatu.

    Jelasnya, Kant menolak pandangan yang menilai segala sesuatu yang berkaitan dengan moral dan norma-normanya dari sudut metafisik, yaitu sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan ketuhanan, dan sebaliknya, Kant berpendapat bahwa moral itu harus diukur dengan rasio dan hasil tajribah (empiris).

    Sesuatu itu dikatakan bermanfaat bila pada kenyataannya memberikan daya guna kepada fihak lain atau pada zatnya sendiri. Seorang manusia akan memberikan daya guna kepada fihak lain bila nilai kemaslahatan itu termanifestasikan dan dirasakan olehnya, dan bukan sekedar niat atau rencana belaka.

    Selanjutnya Kant menganggap keliru pemahaman bahwa dengan melaksanakan kewajiban akan mengantar kepada pencapaian kebahagiaan dan kemaslahatan. Sebab pelaksanaan suatu perbuatan atas dasar keinginan untuk berbuat baik, tidak lain adalah pengkhianatan moral. Kebaikan itu -menurut Kant- kadang bersifat material dan non material.

    Kebaikan material dalam hal ini kemaslahatan duniawi tidak akan tercapai kecuali dengan bersandarkan kepada kelezatan sebagai pondasi utamanya. Demikian pula kemampuan mengimplementasi kan nilai-nilai maslahat tersebut ke dalam bentuk nyata merupakan faktor utama pencapaian kebaikan.

    Hal inilah yang membuat kita bisa menilai bahwa meskipun dalam pandangan filsafat Kant terkandung adanya unsur idealis me, tetapi Kant tetap saja menempatkan paham materi-alisme sebagai tolok ukur kemaslahatan.


    B. Maslahat dan Polemik Filosofis Kebaikan-Keburukan

    Pada dasarnya maslahat dalam bentuk manifestasinya sangat beragam dan menampakkan perbedaan yang menonjol antara satu sama lain. Perbedaan itu seiring dengan keberagaman adat kebiasaan, wawasan, pola pikir, sikap hidup dan daya intelektualitas manusia. Bahkan juga ditentukan oleh adanya pluralisme dalam menentukan karakteristik komunitas dan motifasi hidup mereka. Di samping itu telah kita pahami sejauh mana perbedaan persepsi seseorang dalam menetapkan ukuran kebaikan dan keburukan perilaku diri sendiri atau orang lain, kendatipun telah terbentuk suatu pseudo-ijma' (me-nyerupai ijma') bahwa maslahat adalah standar utama dalam menentukan baik-buruknya sesuatu.

    Dalam hal ini Jeremy Bentham -seorang ahli filsafat kenamaan dalam aliran Utiliarianisme (madzhab al- manfaat)- telah mengakui adanya perbedaan pemahaman tersebut sebagai salah satu tema sentral yang sering diperdebatkan oleh para ahli filsafat.

    Menurutnya, tekanan dan kecaman yang pernah dilontarkan terhadap teori manfaat -pada tahap berikutnya- telah mulai mereda. Kemudian juga telah terbentuk asumsi umum bahwa maslahat telah berubah menjadi ikatan yang menghubungkan moral (etika) dengan politik. Meskipun kesamaan pendapat secara fenomenologis telah terbentuk di kalangan awam, namun secara substansial manusia tetap berbeda pandangan dalam memahami sekaligus menentukan ukuran dan karakter maslahat secara tepat. Inilah yang tadi disebut dengan pseudo ijma' itu. Karenanya tesis dan sintesis para filosof tentang maslahat menjadi selalu berbeda dan bahkan tidak mustahil saling bertolak belakang.

    John Stewart Mill, dalam keterlibatannya dalam diskursus sekitar maslahat, ikut mendukung pendapat pendahulunya, Bentham. Mill menegaskan pentingnya memberikan perhatian kepada polemik yang pernah menghangat dalam perdebatan para filosof dulu hingga sekarang. Dalam mukadimah bukunya Aliran Utiliarianisme Umum, Mill menuliskan, "Sesungguhnya kebaikan yang paling tinggi -sebagai nilai etika dasar- telah menyebabkan perdebatan panjang sejak masa Socrates muda hingga Phitagoras tua. Polemik itu mendorong berdirinya sekolah-sekolah dan terakumulasinya pemikiran-pemikiran tanpa menghasilkan kesamaan pandangan.

    Kesepakatan para ahli filsafat dalam menentukan konklusi tentang batasan teori hipotetif bisa dikatakan mustahil, terlebih jika teori tersebut dimanifestaiskan ke dunia empiris, seperti penerapan aspek etika dan konstitusi dalam kehidupan seseorang. Sebab bagaimanapun juga manusia akan selamanya melakukan perbuatan berdasarkan motivasi tujuan hidup yang telah ditetapkan.

    Berbarengan dengan itu, sebagian filosof mencoba menetapkan ukuran kemaslahatan dengan 'urf (adat kebiasaan) yang berlaku di dalam sistem kemasyarakatan. Namun 'urf terkadang timbul dari pengaruh otoritas penguasa atau mungkin dari mitos-mitos yang direkayasa secara tidak proporsional sehingga sangat jelas melanggar norma-norma moral dan kemanusiaan.

    Kebiasaan mengubur hidup-hidup anak perempuan di kalangan bangsa Arab Jahiliyah dan kebiasaan bangsa Romawi yang menceburkan anaknya ke dalam belanga yang berisi anggur, sekedar untuk mengetahui nasib baik-buruknya anak tersebut, adalah sebagian contoh.

    Berbeda halnya dengan Bentham dan Mill, mereka menegaskan pentingnya memperhatikan ekses atau hasil perbuatan dalam menilai baik atau buruknya perilaku manusia. Perilaku dinilai baik jika perbuatan itu menghasilkan efek positif, baik bagi diri pelakunya maupun bagi pihak lain. Demikian pula sebaliknya, adanya efek negatif menyebabkan perbuatan itu dinilai buruk walaupun pada kenyataannya pelaku perbuatan tersebut berniat baik.

    Pada kenyataannya, semua bentuk aliran yang membahas masalah di atas tidak pernah terlepas dari kritikan dan kecaman. Sebab tak bisa disangkal lagi, manusia tidak akan sepakat dalam menilai baik buruknya sesuatu. "Sesuatu" itu kadang baik bagi sebagian fihak namun buruk bagi fihak lain. Dan, suatu perbuatan terkadang tinggi nilai moralnya bagi sebagian individu, namun tidak demikian halnya bagi individu lain.

    Fenomena ini, sebagaimana kita maklumi bersama, timbul akibat tidak ditemukannya tolok ukur yang disepakati oleh semua fihak, yaitu para ahli filsafat etika. Yang ada hanyalah ukuran-ukuran subyektif yang dipegang oleh masing-masing individu plus ekspresi perasaan dan karakteristik yang berbeda.

    Dalam beberapa pokok pikirannya, Bentham telah berusaha meletakkan pijakan dalam membatasi makna manfaat dan kelezatan. Hanya saja sangat disayangkan, Bentham meletakkan aspek materi sebagai dasar tolok ukur kemaslahatan dalam interaksi manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

    Dengan faham materi alismenya, Bentham berusaha mempengaruhi serta mengalahkan teori dan sistem lain. Untuk merealisasikan usahanya itu sudah barang tentu ia membutuhkan upaya keras dan berat sehingga teorinya itu tidak dapat diimplementasikan secara menyeluruh di dalam kehidupan nyata, mengingat bahwa ukuran kemaslahatan yang dibuat manusia, sejenius apapun dia, sifatnya akan sangat nisbi dan temporal belaka.

    Satu kesimpulan kecil bisa diambil, bahwa para ahli filsafat Barat dan filosof manapun yang searah dengan pemikiran Barat, pada dasarnya menjadikan egoisme individual (al-ananiyah al- fardiyah) dan ambisi subyektif yang berkedok kesejahteraan umum sebagai pijakan teori mereka dalam memandang maslahat. Kesimpulan bernada skeptis ini nyatanya telah terbukti dari banyaknya perbedaan pandangan mereka dalam beberapa tesis yang diajukan (wa qalbuhum syattaa).


    Maslahat dan Pandangan Syari’at

    Dari beberapa pembahasan sebelumnya, sebenarnya telah disinggung maslahat menurut syari'at Islam. Tetapi pada sub ini akan lebih ditekankan beberapa karakteristik maslahat dalam kacamata syari'at, tetap dalam upaya mengkomparasikannya dengan pandangan filsafat, sehingga pada gilirannya akan dihasilkan maslahat yang hakiki. Karenanya, pembahasan maslahat menurut syari'at dalam sub ini tentu diupayakan sebagai pembahasan yang tidak semata-mata tahsil al hasil.

    Beberapa karakteristik itu, oleh para ulama istiqra dibahas berdasarkan dari pengalaman dalam melakukan upaya istinbath. Dengan kata lain, seperti halnya maslahat yang senantiasa ditemukan dalam majmu'at al-ahkam al- mustanbathah, demikian juga halnya dengan karakteristik maslahat itu sendiri. Sebab hubungan antara karakteristik dengan substansi yang memiliki karakteristik tersebut, kiranya layak disebut sebagai hubungan simbiosis.

    Dalam hal ini, DR. Said Ramdhan Al-Buthy, seorang ahli ushul fiqh kenamaan dari Syria yang berhasil merangkum beberapa standar maslahat secara komprehensif dan hampir tanpa cela, mengemukakan beberapa karakteristik maslahat menurut Syari'at Islam itu ke dalam tiga hal.

    1. Standar masa yang digunakan adalah kehidupan dunia dan akherat. Karakteristik sedemikian ini mestinya bukan merupakan hal yang rumit sehingga membutuhkan pembahasan yang panjang lebar. Akan tetapi tidak terlalu salah jika kemudian ditegaskan hal-hal berikut ini:
    2. Bahwa segala perbuatan manusia tentu mempunyai konsekuensi masa depan, yang oleh beberapa ulama ushul fiqh ditegaskan dalam kaidah Ashl i'tibar al-maal. Dengan kata lain, segala amal perbuatan itu akan selalu berakibat kepada apa yang ada di "hari esok". Konsekuensi futuristik itu adakalanya berakselerasi pendek (yaitu kehidupan dunia) dan adakalanya berakselerasi panjang (yaitu kehidupan akherat).

      Masa depan yang bercirikan keimanan adalah suatu masa depan yang memiliki satuan masa (al wahdah al zamaniyah) yang jauh ke depan, kepada kehidupan setelah mati, sehingga segala orientasi duniawi hanyalah sekedar sesuatu yang sangat tidak berarti baik secara kuantitas maupun kualitas.

      Dari sini Allah kemudian menciptakan suatu hubungan kausatif antara kehidupan dunia dan akherat, demi membantu manusia untuk menemukan kemaslahatan yang hakiki dan Islami, meskipun dengan bantuan Allah itu manusia sering masih tidak mampu menemukan hakekat maslahat tersebut.

      Adalah tidak mengherankan jika ada pertanyaan, "Mengapa Allah tetap membekali manusia dengan hawa nafsu yang notabene merupakan penghalang bagi pencapaian maslahat yang hakiki?". Al-Buthy mencoba men-jawab, "Bahwa manusia tidak akan berhak mendapat apa yang disebut pahala, jika ia tidak pernah bersusah payah dengan pergolakan yang terjadi antara akal sehat dan hawa nafsu.

      Dan inilah yang disebut dengan kerangka penghambaaan (al-ta'ab-budy). Sebab dengan kerangka penghambaan, akan ditemukan sifat ketuhanan yang dimiliki oleh Allah". Lebih lanjut, jawaban Al-Buthy tersebut bisa dipahami bahwa seluruh syari'at Islam pada dasarnya mempunyai kerangka penghambaan itu, meskipun dalam prakteknya memiliki nilai manfaat yang kembali kepada manusia.

      Al-Qarrafi dalam Al-Furuq menegaskan bahwa tidak akan ditemukan suatu hak manusia kecuali di sana ada hak Allah juga. Karena itu, secara hakiki sebenarnya tidak bisa dibenarkan adanya pembagian syari'at kepada dua bagian, yaitu syari'at yang memuat hak Allah dan yang memuat hak manusia.

    3. Standar nilai kemaslahatan tidak hanya diukur dengan material value (al-qimah al-maddiyah), tetapi sekaligus juga dengan immaterial value. Karakteristik inilah yang paling tidak bisa diterima oleh kalangan ahli moral philosophis. Firman Allah dalam Al Rum : 30 dan Al Mu'minun : 71 serta sebuah hadits qudsy riwayat Imam Muslim, terlalu cukup untuk menegaskan keberadaan karakteristik kedua ini.
    4. Memang benar bahwa upaya untuk mewujudkan immaterial utility (al-manfaat al-ruhaniah) itu tidak segampang upaya untuk mencapai material utility. Bahkan dalam beberapa persoalan hampir mendekati kemustahilan, karena dalam diri manusia masih terdapat hawa nafsu. Dan hawa nafsu itu ammaaratun bi al suu'. Tetapi kenyataan seperti itu tidak menafikan adanya keniscayaan untuk mencapai kemaslahatan ruhaniah. Dalam kaidah mantiq dapat diketahui bahwa antara keberadaan hawa nafsu dan upaya pencapaian kemaslahatan rohani tidak terdapat hubungan luzumiah.

    5. Karakteristik terakhir adalah bahwa kemaslahatan agama adalah merupakan dasar yang paling asasi dan titik tolak dari segala bentuk kemaslahatan. Karenanya jika kemaslahatan agama menuntut pengorbanan dari bentuk kemaslahatan yang lain, maka pengorbanan itu hukumnya wajib. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh Maa laa yatimmu al-waajib illa bihi fahuwa wajib dan juga kaidah "Tahammul akhaffi al-dharaarain".

    Dari karakteristik ini perlu ditegaskan beberapa hal di bawah ini:

    1. Merupakan suatu keharusan jika seluruh bentuk kemaslahatan mesti diletakkan pada naungan esensi agama. Dengan artian bahwa tidaklah benar jika penetapan suatu hukum hanya didasarkan pada kemaslahatan yang berlawanan dengan Al- Qur'an, Al-Hadits, qiyas shahih dan ijma', kecuali dalam semua permasalahan yang tertuang dalam kaidah "Taghayyur al-ahkaam bi taghayyur al-zamaan".
    2. Kaidah terakhir inipun perlu dipahami sebagai hanya "perubahan instrumental" terhadap suatu hukum. Sebab pada hakekatnya, tidak ada sebuah hukumpun yang berubah kecuali dengan nasakh (bagi mereka yang mengakui adanya nasakh) dan nasakh telah selesai setelah Nabi Muhammad wafat. Dengan kata lain bahwa perubahan instrumental itu tidak akan bisa merubah hukum yang sudah baku yaitu ihqaq al-haq dan jalb al-maslahat al-haqiiqiyah.

    3. Segala bentuk kemaslahatan dan kerusakan yang diimplikasikan oleh amal perbuatan manusia, pada hakekatnya, adalah merupakan imbas (baik positif maupun negatif) dari hukum-hukum agama. Persoalan selanjutnya memang kembali kepada sejauh mana kemampuan manusia menempatkan kerangka penghambaan secara proporsional.
    4. Segala bentuk keahlian manusia, standar akal dan pengalaman-pengalaman hidup tidak pantas dijadikan sebagai satu-satunya titik tolak untuk mengukur maslahat tanpa bantuan agama. Penutup Studi komperatif seperti di atas sangat urgen untuk meletakkan garis-garis yang tegas dalam memahami maslahat yang hakiki dan Islami, sehingga beberapa mispersepsi yang disebabkan kaburnya garis-garis itu tidak akan pernah terjadi.
    5. Urgensi peletakan garis-garis tegas itu kiranya sesuai dengan kaidah "Al hukm 'alaa al syai' far' 'an tashawwu-rihi". Mengapa? karena sebelum kita mengkaji hukum-hukum maslahat baik itu syarat-syaratnya ataupun kriteria dan standarnya, kita tidak bisa tidak harus mampu menvisualisaikan substansi maslahat itu sendiri. Jika tidak, maka pembahasan tentang maslahat itu tidak akan tepat dan terarah, mengingat bahwa titik permasalahan (visualisasi terhadap substansi maslahat) yang sedang dibicarakan itu tidak juga jelas arahnya.

    Sumber Bacaan:

    • Al-Akhlaq ‘Inda Imanuel Kant, terjemahan Abd. al-Rahman Badawy, Wakalat al-mathbu’at, Kuwait.
    • Jeremy Bentham, Ushul al-Syaraai’, terjemahan Ahmad Fathy Zaghlul, Penerbit Bulaq.
    • John Stewart Mill, Madzhab al- Manfa’ah al-’Aammah, terjemahan Taufiq Thawil, Dar al-Nahdhah,Cairo.
    • Adil Al-’Awwa, Al-Madzahib al-Akhlaqiyah, ‘Ardh Wa Naqd, Suriah University Press.
    • Imam Al Syathibi, Raudhat al- Nadhir Wa Jannat al-Munadhir, Juz I, tanpa penerbit.
    • Dr. M. Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Dhawabith al-Mashlahah, cetakan ke-6, Muassasah Risalah, Beirut tahun 1992.
    • Dr. Musthafa Al Khin, Atsar al-Ikhtilaf Fi al-Qawaa’id al- Ushuliyah, cetakan ke-5, Muassasah Risalah, Beirut,
    • Dr. Husein Hamid Hassan, Nazhariyat al-Mashlahah, Al- Mutanabbi, Cairo tahun 1981.
    • Dr. Jamil Ibn Mubarak, Nazhariyat al-Dharurat, Al- Wafaa Cairo tahun 1988.
    • Dr. Sa’ad Al-Syinawy, Madaa al- Hajat Li al-Akhdzi Bi Nazhariyat al-Mashlahah, tanpa penerbit


    JURNAL KAJIAN KEISLAMAN NUANSA
    Diterbitkan oleh:
    Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Kairo - Mesir
    Web: http://www.kmnu.org, Email: kmnu@softhome.net