Badanku yang Lumpuh

    Mata terbelalak mata raksasa
    Ibu gembel telanjang
    Duduk dingin bersedekap
    Memandang kosong anak terbujur tidur

      Berselimut kain kumal
      Mata terbelalak mata Dasamuka
      Badan hangus kepingan kepala-kepala
      Berserakan jari-jari manusia

    Tertimbun beton serpihan batu-batu
    Telinga terpasang lebar radar berputar
    Nenek-nenek tua berisak tangis
    Anak-anak kecil mata kedalam
    Menjerit bocorkan ozon....engkau dimana

      Orang buncit tinggi bermuka Dursasana
      Tertawa menggertak membelah bumi
      Mereka runtuh terperosok kedalam
      Napas sesak muntahkan mortir
      Desingan peluru

    Ludah-ludah bersemburan dibawah
    Tiang tegak berselimut awan hitam
    Mata buta memandang
    Bara api membara menembus pori-pori
    Darah bergolak ombak samudra

      Menggelegar petir menyambar
      Aku tergeletak di tengah padang
      Kuru Setra Menjerit bangunkan cakrawala
      Burung-burung berkicau
      Katak-katak bernyanyi
      Manusia entah dimana
      Tuhan hidupkan aku sebelum mati ....

    Amin H.......

    Relung-relung

    Saat berdiam sendiri seperti pengembara
    yang terlambat mengejar kapal
    yang berlabuh saat berada di luar garis kemestian
    tak tahu ujung tak tahu pangkal
    yang terbayang hanya bilur
    yang bersemayam diam tak mau pergi
    yang membuat sekujur tubuh terkelupas

      Kenangan adalah mata rantai kehidupan
      yang terkadang terbuat dari emas dan besi tua luka
      yang pernah tergores takkan pernah terhapus luka
      yang tercipta takkan bisa dihancurkan sebab dia adalah maya
      yang menyatu dengan degub jantung berbaur dengan udara
      yang terhirup

    Biarlah dia pergi bersama roda hari
    melewati lorong-lorong waktu memenuhi rongga

      Jarum putar jarum jam kebelakang
      biarlah dia berjalan bersama mentari pagi
      menikmati embun membasahi taman
      mengiringi lembayung sutra di ufuk
      menyaksikan angsa putih bercanda ditepian danau biru

    Biarlah waktu berjalan
    menghitung setiap sinar yang datang
    karena setiap yang datang pasti akan pergi
    dan setiap yang pergi pasti kan dinanti

      Bila mentari mulai melepaskan rengkuhannya
      berganti keremangan rembulan
      mencium bumi yang diselimuti kabut biru
      saatnya tuk kembali dalam taman hijau
      tuk menghangatkan badan
      berselimut abjad masa lampau
      bercengkerama dengan sesuatu yang bisu
      berbicara dengan ruh-ruh masa silam
      tuk mengusir kekosongan sampai tercipta hening yang telanjang
      hingga yang terdengar hanya desah nafas kerinduan menyebut-Nya


    A. $yukur

    Ingin Kulukis

    Ingin kulukis bulan bundar itu
    Di langit yang bersih
    Bulan adalah pemurnian bagi gelap
    Pemenuhan hasrat yang terpendam
    Bulan merentangkan jemarinya ke sungai
    Dan cahaya mengalir sepanjang sungai
    Dengan jemariku yang gemetar
    Kusiduk air

      Aku berwudu dengan cahaya
      Aku melukis wajahku dengan cahaya
      Kemudian sembahyang dan menangis
      Tersungkur dan menangis
      Cahaya mengalir sekujur tubuhku
      Mengaliri kesunyian dan kehampaan dunia
      Sampai subuh tiba, sampai pagi mengusir bulan itu.


    Acep Zam-Zam Noor


    JURNAL KAJIAN KEISLAMAN NUANSA
    Diterbitkan oleh:
    Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Kairo - Mesir
    Web: http://www.kmnu.org, Email: kmnu@softhome.net