Kursi Antik
Muhammad Ali
Perempuan yang datang menemuiku pada pagi-pagi itu langsung menyebut
namaku, lalu bertanya: "Bapak yang suka mengumpulkan barang-barang
antik?"
"Yoaah," sahutku sambil menguap panjang.
Lalu katanya pula, "Aku punya sebuah kursi antik."
Sebentar aku tertegun, tidak yakin apa yang dikatakannya, lebih-lebih jika
melihat keadaannya.
Kuperhatikan perempuan itu hampir setengah menyelidik, dari ujung rambut sampai ke kakinya. Perawakannya kurus kerempeng terbungkus dalam gaun usang yang kumal dan lusuh. Ia masih muda, barangkali belum lagi dua puluh tahun, tapi tampaknya serupa perempuan separoh baya. Wajahnya pasi kepucat-pucatan dan kedua matanya yang sayu seolah-olah tersembunyi dalam luangan di atas pipinya yang cekung, sedang pada pelipisnya jelas tampak beberapa garis derita yang tajam. Kakinya yang kotor berdebu itu mengapit sepasang sandal jepit.
"Aku bermaksud menjual kursi itu, barangkali Bapak mau...,"
katanya sedikit tersengal seraya mengais rambutnya yang kusut seolah-olah
tak pernah disisir.
"Betul antik?" tanyaku ragu-ragu, aku sudah sering dibikin kecele.
Mulanya bilang antik, tahu-tahu cuma tiruan.
"Di rumah, di rumahku, tidak jauh dari sini, sebentar jalan kaki sampai.
Mari kita berangkat sekarang," ajaknya.
Perempuan itu jalan duluan, aku menyusulnya di belakang, bukan main cepatnya
ia melangkah, aku mengikuti setengah berlari hingga nafasku mendesah-desah.
Kami berjalan menyusuri gang-gang kecil dan sempit yang di kanan kiri berdiri berdesakan gubuk-gubuk yang terbuat dari bekas peti-peti sabun atau makanan dalam kaleng yang disambungkan begitu saja, mirip bekupon-bekupon. Beberapa kali kami berpapasan dengan pemgendara-pengendara becak yang mendorong becaknya yang memaksa kami menempel rapat-rapat ke pinggir supaya tidak terlanggar.
Depan sebuah gubuk setengah doyong yang beratap kaleng-kaleng karatan
perempuan itu berhenti dan menoleh kepadaku, kemudian serunya;
"Di sini, Pak...Silahkan masuk! Maaf, beginilah," ujarnya berbasa-
basi.
Aku terpaksa membongkok ketika memasuki pintu gubuk yang rendah dan sempit
itu. Aku tidak ingat lagi dari bahan apa pintu itu dibuat.
Begitu berdiri dalam sebuah ruang yang sesungguhnya hanya sepetak tanah, bau apek yang amat menyengat menusuk hidungku. Perubahan sekonyong-konyong dari kecerahan pagi di luar beralih ke ruangan dalam gubuk yang suram dan muram itu membuatku hampir tak bisa melihat, sehingga pada mulanya tak sesuatu pun yang tampak. Tapi sekejap kemudian mataku mulai biasa dalam suasana kesuraman itu dan satu demi satu mulai bermunculan apa yang terdapat di dalam ruangan itu. Ada segerombolan anak-anak kecil duduk berderet di salah satu sudut ruangan itu. Dua di antaranya gadis-gadis kecil dalam gaun kumal penuh tambalan. Dan dua yang lain anak-anak lebih kecil laki-laki dalam keadaan bugil. Mereka berempat sedang asyik menyuwir-nyuwir beberapa lembar daun pisang, lalu suwiran-suwiran itu mereka nmasukkan ke dalam mulut mereka dan mengunyahnya serupa domba-domba kecil sedang memamah rumput. Suatu pemandangan yang bukan saja tidak enak, tapi sungguh menusuk perasaanku.
Selain itu tak ada perabotan rumah tangga yang tampak olehku. Di ruangan
itu tak ada meja, tak ada kursi atau balai-balai, pendeknya kosong melompong,
dan lantainya tanah yang lembab pula, karena tak ada sebuah lubangnya yang
memasukkan sinar dari luar. Aku jadi heran, gelisah dan mulai curiga jangan-jangan
perempuan itu mau menipu.
"Mana kursinya?' tanyaku kepada perempuan yang sejak tadi berdiri
bungkam di sampingku.
"Itu, Pak, yang di sudut itu," sahutnya seraya menunjuk ke suatu
sudut lain yang juga gelap. Samar-samar tampak sebuah kursi goyang berukuran
lumayan besar. Sekilas memang kelihatan serupa kursi antik, beberapa bagiannya
terlihat berukir meski tidak begitu jelas terlihat.
Tapi yang lebih menarik perhatianku, ialah di kursi antik itu duduk
seorang nenek-nenek tua renta sambil sekali-sekali menggoyang-goyangkan
kursinya, sehingga kepalanya yang menyanggah uban putih mengapas itu terangguk-angguk.
Begitu tua nenek itu, wajahnya yang kerut-merut itu menggumpal kecil serupa
karet busa yang diremas-remas.
"Siapa dia?" tanyaku.
"Nenekku," kata perempuan itu. Suaranya bimbang.
"Ia buta, tuli, lumpuh lagi."
"Dan anak-anak itu?"
"Mereka adalah anak-anakku. Empat orang semuanya."
"Mana suamimu, maksudku bapak mereka." Pertanyaan-pertanyaan
itu agaknya telah meresahkannya, ia tampak kikuk dan kemalu-maluan.
"Bapak mereka..."
Ia tak menyelesaikan kalimatnya dan seperti sengaja mengalihkan pembicaraan,
ia lalu cepat-cepat melangkah ke kursi neneknya dan berkata "Inilah
kursinya, betul-betul antik, kan? Kursi ini peninggalan nenek moyang kami.
Memang warnanya agak kusam. Tapi dengan sedikit pemeliharaan ia akan berubah
indah seperti semula. Maklum di sini kursi ini tidak terpelihara. Kabarnya
dulu kursi ini digunakan sebagai tempat duduk orang-orang berderajat tinggi."
Tapi semua yang dikatakan perempuan itu tak masuk di telingaku. Pikiran,
perasaan dan pandanganku terpancang pada nenek tua yuang duduk ayem sambil
bergoyang-goyang dengan kursinya.
"Bagaimana pendapat Bapak?" kembali perempuan itu bertanya, ketika
dilihatnya aku tetap diam. Ketika itu terpikir olehku, nasib nenek tua
itu, ke mana ia akan dicampakkan kalau kursi tua itu tidak lagi ada di
tempatnya. Bukankah ia buta, tuli dan lumpuh? Dan tampaknya ia senang duduk
di kursi itu.
"Tapi..." tiba permpuan itu cepat memotong. Tampaknya ia tahu
apa yang sedang terpikir olehku, maka ia berkata: "Nanti akan kubelikan
sehelai tikar tempat nenek itu berlena..."
Lalu, tambahnya sambil mengeluh, "Kursi antik ini adalah milik
kami yang terakhir. Semua telah habis terjual, digadaikan atau dirombeng
untuk makan. Terus terang kami butuh uang. Terserah kepada Bapak, berapa
mau membelinya.” Aku seakan-akan kehilangan akal, tak tahu apa yang harus
kukatakan. Pikiranku cepat berubah-ubah terombang-ambing antara memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan keluarga yang malang itu dengan sentuhan rasa
kemanusiaan, terutama pada nenek tua itu. Alangkah sedihnya nenek tua itu
kalau dipisahkan dari kursi kesayangannya itu.
"Tolong Pak, belilah kursi ini!" desak perempuan itu hampir terisak.
Pandangan matanya yang berair kini mengarah kepada anak-anaknya yang duduk
bergerombol di sudut ruangan itu, yang masih terus memamah-mamah daun pisang.
"Begini saja, Neng." akhirnya kuputuskan setelah lama terdiam.
"Aku tak sampai hati memaksa nenekmu meninggalkan kursinya."
"Jadi Bapak tak mau membelinya?" sela perempuan itu penuh kecewa.
"Yah," jawabku tegas.
"Tapi ini ada sedikit uang, ambillah! Barangkali dapat sedikit menolong."
Lalu aku cepat-cepat meninggalkan ruangan yang menyesakkan itu. Di pintu,
sebentar aku membalik dan berkata kepada perempuan yang berdiri keheranan.
"Neng, jangan jual kursi itu, kasihan nenekmu..."