RA'YU


    Domestikkah Wanita Islam?

    Ibarat sebuah buku, wanita Islam tidak cukup dikenali hanya melalui judul dan kulitnya, sebab tidak jarang judul buku tidak sinkron dengan isinya. Pepatah Rusia mengatakan, "Kalaupun wanita itu dibuat dari kaca, tetap mereka tidak tembus dipandang."

    Berarti bukan main terselubungnya dia, sehingga sulit nian ditebak. Bahkan Prof. Dr. Fuad Hasan pernah mengibaratkan wanita sebagai misterium farcinoriem, misteri yang menawan. Karenanya pembicaraan seputar wanita selalu hangat, menarik dan aktual, tak henti-hentinya menjadi agenda dari zaman ke zaman hingga sekarang.

    Berbicara tentang problema wanita di era teknologi dan industri sekarang, bukan lagi membahas masalah manusia atau bukan, namun bagaimana memposisikan wanita pada kedudukannya yang wajar, bagaimana mengemban aneka tugas sebagai istri, ibu dan anggota masyarakat dalam wadah-wadah kewanitaan, sehingga tugas utama tidak terabaikan. Dalam berbagai komunitas masyarakat, pembagian peran antara laki-laki dan wanita biasa kita kenal. Laki-laki bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah (peran publik), dan wanita bertugas merampungkan pekerjaan-pekerjaan dalam rumah (peran domestik) di samping harus melahirkan anak (fungsi produksi).

    Pada zaman sekarang (baca: industria-lisasi), sebagian anggota keluarga telah terserap untuk bekerja di luar rumah (di pabrik dan perusahaan-perusahaan jasa) dengan imbalan upah secara permanen. Dari sinilah bermula pemisahan secara menyolok antara kerja rumah tangga (domestik) yang non komersial dan kerja di luar rumah yang komersial dan dikategorikan produktif. Jelas bahwa baik pekerjaan domestik maupun produktif bagi satu keluarga harus dikerjakan. Namun yang menjadi permasalahan adalah bahwa pembagian kerja dilakukan berdasarkan kriteria jenis kelamin, di mana pekerjaan domestik diidentikkan sebagai pekerjaan wanita, sedang pekerjaan produktif yang mendapat imbalan upah sebagai pekerjaan pria. Maka tak heran, mayoritas timbulnya gerakan emansipasi terjadi pada negara-negara industri, yang muncul sebagai reaksi terhadap perubahan sistem produksi masyarakat yang dicanangkan oleh pembangunan industri, yang kemudian tersebar ke seantero dunia.

    Untuk mengantisipasi kecenderungan wanita Islam dalam konteks kehidupan modern, kini dan dalam proyeksi masa depan, serta agar tidak terkecoh oleh perubahan kondisi dan slogan-slogan kosong yang ada, Islam telah mengatur dalam khazanah tentang kewanitaan, bahwa pada prinsipnya tugas dan kewajiban wanita memiliki banyak kesamaan dengan pria. Hal itu termaktub dalam QS. 11:61, QS. 16:97 dan QS. 3:195. Namun dalam hal-hal tertentu terdapat tugas spesifik yang bersifat fitrah, yang hanya dapat dilakukan oleh wanita sesuai karakteristik dan kodrat kewanitaannya.

    Persamaan yang dibawa oleh Islam adalah kemitraan yang sejajar antara pria dan wanita dengan memperhatikan kekhususan masing-masing. Rasulullah saw. menyatakan bahwa wanita adalah mitra yang sejajar bagi pria (syaqiq al-rijal). Sebagaimana ayat lain yang mengetengahkan para mu’min dan mu’minah dalam satu nafas. Kata-kata “mengajak kepada yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar” dalam ayat ini, yang dihubungkan sama rata antara pria maupun wanita adalah ungkapan resmi Islam untuk menyimpulkan seluruh tugas etis para pemeluknya di muka bumi ini. Dengan kata lain, “nasib” seluruh misi Islam yang sebagian dijabarkan ayat ini dengan kata-kata mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mematuhi Allah serta rasul-Nya, dibebankan ke pundak seluruh umat-Nya, baik pria maupun wanita.(QS. 9:71).

    Demikian juga dalam hadits di bawah ini, dengan perincian tugas sebagai berikut, “Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah pe-mimpin dan setiap pemimpin akan dituntut pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Yang mengurusi kepentingan umat adalah pemimpin dan akan dituntut pertanggungjawabannya. Pria adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan dituntut pertanggungjawabannya. Begitu pula wanita adalah penang-gung jawab bagi rumah tangga suaminya dan anak suaminya, dan akan dituntut pertang-gungjawabannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Tafsir Al-Maraghi mendukung rincian tu-gas tersebut yang bertitik tolak dari persamaan hak antara suami dan istri, dengan kesiapan saling memberi dan saling melengkapi. Pekerjaan apapun yang dikerjakan oleh istri untuk suaminya, hendaknya disambut dengan imbalan yang seimbang. Keduanya mempunyai hak dan kewajiban, sehingga tidaklah adil dan tidak membawa manfaat apapun bila salah satu pihak ingin mendominasi yang lain, karena keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga hanya dapat terwujud jika keduanya saling menghormati dan saling memenuhi kewajiban masing-masing. Dengan demikian perwujudan dan gambaran tersebut merupakan perpaduan luwes dan selaras antara kemajuan yang ingin dicapai de-ngan kepribadian wanita. Yang pada giliran-nya akan menempatkan diri wanita sebagai istri pendamping suami, sebagai ibu pendidik putra-putri bangsa serta sebagai anggota masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam pembangunan.

    Sebagaimana keterangan di atas, bahwa alokasi peran antara laki-laki dan perempuan harus sesuai dengan bobotnya masing-masing. Akan tetapi karena berbagai faktor, baik karena desakan ekonomi, persentuhan dengan budaya lain, atau karena desakan kebutuhan terhadap tenaga kerja wanita atau lainnya, wanita dituntut untuk berperan dalam kegiatan sosial dan ekonomi yang secara populer disebut sebagai “peran ganda”.

    Perdebatan tentang isu peran ganda didasari oleh dilema yang ada. Tuntutan untuk bekerja di luar rumah di satu sisi, dan tuntutan untuk tetap melakukan kegiatan domestik. Dilema tersebut akhirnya melahirkan “beban ganda” bagi wanita, karena di saat wanita keluar rumah untuk berperan lain di luar peran domestiknya, pekerjaan di rumah menjadi terbengkalai, anak-anak kurang pengawasan sementara masyarakat tetap meng-anggap bahwa itu tugas wanita. Hal ini tentu tidak adil. Maka menurut asumsi penulis, pada dasarnya tugas wanita adalah di samping domestiknya, juga tarbiah al awlad (pendidikan anak), karena wanita adalah bagaikan pabrik.

    Ada ungkapan 'Al-nisaa mashna’ al- rijal'. Jadi pabrik-pabrik yang bonafide akan memproduksi hasil-hasil yang berkualitas tinggi juga. Karena kita banyak menjumpai generasi sekarang yang mayoritas mengalami stagnasi, krisis identitas, bermental kropos yang sebagian besar merupakan akibat dari ta’tsiir al biiah (pengaruh lingkungan) kurang diperhatikan orang tua.

    Nah, di sinilah fungsi ibu, yang sangat mendominasi tarbiah dan biiah generasi- generasi bangsa, sebagai penerus perjuangan dan cita-cita bangsa. Justru dengan ilmu, seorang ibu akan dapat mendesain interior anaknya, di mana memang diperlukan kreatifitas yang tidak sederhana untuk bisa memainkan peranan rumah tangga. Dan untuk bisa kreatif seorang ukhti harus haqqul yaqin bahwa di rumah, ilmu tidak per-nah menjadi sia-sia. Bahkan di samping itu seorang muslimah masih bisa berbuat lebih dari itu, mungkin di luar rumah selama ia tak melanggar syari’at atau sunatullah, selama ia tak melalaikan tugas utamaya,... ! tugas utama. Dan itu tergantung suami. Wallahu A’lam.

    Fathonah Daud

    Feminisme Sampah

    Saat ini sedang berkembang berbagai analisa tentang perempuan yang pada akhirnya akan bermuara pada isu feminisme. Sebuah isu yang semu, bahkan jauh dari nilai esensial dan telah kehilangan jati diri yang sebenarnya.

    Isu feminisme ini semakin mencuat setelah gongnya ditabuhkan dalam konferensi wanita ke-4 di Beijing. Seluruh dunia seakan serentak menyanyikan sebuah lagu yang berjudul feminisme, tidak ketinggalan pula di Indonesia. Isu tentang feminisme kembali mendapatkan porsi dalam agenda pemikiran.

    Fenomena ini cukup menggembirakan, karena membuktikan bahwa wanita semakin sadar akan hak-haknya dan menunjukkan kepada dunia bahwa wanita pun mampu menampilkan sosoknya sebagai manusia dengan segala potensi yang ada pada dirinya. Sistem patriarki yang selama ini berkembang dalam masyarakat telah banyak mendiskriminasikan wanita, serta menyebabkan subyektifitas pandangan terhadap wanita sehingga menjadikannya hanya bersifat subordinatif dalam sebuah tatanan sosial.

    Namun melangkah lebih jauh lagi, ternyata feminisme yang saat ini sedang ramai-ramai digongkan telah kehilangan nilai essensialnya, sehingga feminisme tidak lagi mempunyai jati dirinya, bahkan menyebabkan makna feminisme itu sendiri menjadi semu. Keadilan yang dituntut bukan berarti menempatkan wanita sejajar dengan pria dalam berbagai hal, baik secara kodrat maupun lahir, akan tetapi yang dituntut adalah kebebasan wanita untuk memilih teman hidupnya tanpa memperdulikan jenis kelaminnya dan tanpa dibatasi jumlahnya, dan juga keabsahan seorang istri untuk menceraikan suaminya kapan pun diinginkan. Jika feminisme yang mereka dambakan mempunyai arti demikian, maka itu bukanlah feminisme yang hakiki, tapi feminisme sampah!

    Kalau kita telusuri konsep Islam dalam memandang wanita serta hak-haknya, akan terlihat betapa jelas dan gam-blangnya Al-Qur’an memuat hak-hak wanita secara utuh. Dan kalau kita mau jujur, Rasulullahlah tokoh pertama yang membangkitkan kesadaran wanita akan hak-haknya, menaikkan derajat wanita menjadi makhluk yang patut diperhitungkan keberadaannya, bukan lagi makhluk comberan yang tidak mempunyai kebebasan menyuarakan aspirasinya.

    Pria dan wanita merupakan sosok yang saling me-lengkapi, dan merupakan mitra sejajar dalam rumah tangga serta seluruh kehidupan sosial. Rasulullah pun mengakui bahwa wanita adalah syaqiq bagi pria, salah satunya tidak bisa hidup tanpa yang lainnya. Sang Khaliq telah menciptakan perbedaan antara wanita dan pria secara fitrah untuk dapat menunjang tugas masing-masing.

    Kaum lelaki dianugerahi keperkasaan jasmani agar menjadi pelindung bagi istri dan anak-anaknya. Kaum wanita diberikan hati yang lembut dan perasaan yang halus agar dapat menjadi pendidik bagi anak-anaknya dan teman berbagi rasa bagi suaminya. Maka menuntut keadilan dan kebebasan yang keluar dari rel Ilahi adalah slogan kosong yang patut dipetieskan!

    Fitriah Wardie

    Nona & Noni

    Ada banyak “kaca mata” untuk memandang wanita. Dengan demikian profil wanita pun bervariasi. Profil wanita muslimah adalah profil idaman yang berdiri di depan, memimpin sederetan profil lainnya.

    Hassan Al-Banna dalam bukunya Al-Mar’ah al-Muslimah mensinyalir bahwa wanita merupakan bagian dari masyarakat maupun bangsa, bahkan ia adalah pemegang tongkat estafet sebagai pendidik yang tampil pertama kali dalam proses kaderisasi umat. Wanita adalah pintu gerbang lahirnya keturunan, hingga maju mundurnya suatu peradaban manusia sangat ditentukan serta diwarnai oleh hasil didikan kaum ibu terhadap putra-putrinya. Islam pun melindungi hak wanita, hadir membawa cahaya dan petunjuk bagi manusia, mengatur mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan, serta mengatur kehidupan mereka dengan peraturan yang super praktis dan undang-undang yang berdasarkan wahyu.

    Berangkat dari pembicaraan di atas, saya semakin menyadari betapa urgennya eksistensi wanita dalam pentas dunia ini, sehingga rasanya terlalu egois dan sinis kalau masih ada sekelompok orang (apa lagi yang notabene pelajar Islam) masih memandang sebelah mata terhadap wanita dan menjadikannya hanya sebagai obyek ‘penambah hangat’ suasana diskusi plus gosip belaka. Padahal jelas sekali telah disinggung dalam sebuah hadits Nabi bahwa wanita merupakan mitra sejajar kaum laki-laki, dan sudah pasti peran serta ataupun kerja nyata kedua belah pihak sangat menentukan suksesnya sebuah karya.

    Rif’at Hasan dalam sebuah tulisannya ten-tang “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam Sejajar di Hadapan Allah” berkomentar bahwa praktek anti emansipasi di kalangan umat Islam adalah akibat pengaruh doktrin al-Kitab (Bible) di samping juga hadits yang validitasnya masih diragukan.

    Memang, mengangkat tema emansipasi bukanlah sebuah sajian baru ataupun hidangan yang membangkitkan selera, namun kita juga tidak bisa menafikan masih mengendapnya sikap patriarki dalam memandang wanita.

    Lebih gamblang lagi mari kita tengok tiga asumsi teologis yang mendasari anggapan bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan. Tiga asumsi tersebut adalah: Pertama, bahwa manusia pertama yang diciptakan oleh Allah adalah laki-laki, bukan perempuan. Kedua, bahwa wanita adalah penyebab terusirnya Adam dari surga. Ketiga, bahwa wanita diciptakan bukan hanya dari tulang rusuk kiri laki-laki tetapi juga untuk laki-laki, sehingga eksistensi wanita hanya sebagai sekunder yang tidak punya arti funda- mental.

    Tiga asumsi tersebut mengajak saya untuk membuka kembali ayat pertama dari surah Al-Nisa yang menyinggung masalah penciptaan manusia pertama. Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Wahai manusia, takutlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari satu jiwa dan dari padanya Allah menjadikan pa-sangannya...”. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata pasangannya itu tidak mesti tertuju kepada perempuan. Lalu bagaimana kaitannya dengan muncul-nya gerakan feminisme yang dihembuskan oleh barat dengan topangan angin materi-alisme dan liberalisme?

    Dan belum lama ini kita saksikan betapa dahsyatnya reaksi kaum wanita yang dikumandangkan lewat konferensi Beijing, meneriakkan ketidaksetujuan mereka terhadap sistem patriarki yang telah berlang-sung lama. Kelompok masyarakat anti agama tersebut berusaha menciptakan pranata sosial baru dengan tameng persamaan, keadilan dan kebebasan kaum wanita. Sesuaikah kesemua itu dengan hukum Allah SWT. yang tidak bisa disangkal kebenarannya? Dan patutkah mendapatkan justifikasi?

    Sebuah obsesi untuk meraih kesempurnaan memang mengisyaratkan binarnya cahaya masa depan. Tapi ingat, jangan tertipu oleh permainan dunia. Sebab rasanya terlalu ironis kalau ada sekelompok manusia yang rela menelanjangi dirinya hanya untuk merebut secuil kepuasan duniawi. Akhirnya marilah kita menyimak kembali pesan Sayyidina Ali ra. yang juga pernah disampaikan oleh seorang ibu kepada putra-putrinya nona- noni ‘geboy’ ketika hendak meninggalkan tanah air mereka, Kenalilah kebenaran sebelum menentukan siapa orang yang benar'. wallahu a'lam.

    Tuty Alawiyah


    JURNAL KAJIAN KEISLAMAN NUANSA
    Diterbitkan oleh:
    Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Kairo - Mesir
    Web: http://www.kmnu.org, Email: kmnu@softhome.net