Mengkritisią
Teks-Teks Agama Perspektif
Nashr Hâmid Abu-Zayd Mas
Guntur Romli * DALAM
tradisi Islam, teks-teks agama menempati posisi sentral, dan memiliki
signifikansi khusus. Nashr Hâmid Abű-Zayd, mengatakan bahwa peradaban
Islam, sangat identik dengan teks, singkatnya, peradaban Islam, adalah
“Peradaban Teks”, seperti peradaban Yunani identik dengan peradaban
akal, dan peradaban Mesir Kuno, dikenal dengan peradaban “paska-kematian”.
Namun bukan berarti teks an sich, yang memproduksi peradaban, karena
teks dengan kesendiriannya tidak mampu melahirkan peradaban. Namun,
peradaban tersebut lahir, akibat dari pergumulan (dialektika) tiga
faktor; manusia (al-insân), realita (al-wâqi‘), dan teks (al-nash).˛
Postulat
Nashr Abű-Zayd di atas bisa juga berpulang pada realitas otoritas teks
(sulthah al-nash) dalam tradisi Islam, baik yang berhubungan dengan
masalah tradisi ritual (‘ibâdah mahdlah), dan tradisi keilmuan. Kita
tidak perlu mempertanyakan kembali otoritas teks dalam masalah ibadah
ritual, karena, ritualitas ibadah tanpa teks, ditolak, bid‘ah! Namun,
otoritas teks ini jauh merambah pada tradisi keilmuan. Suatu disiplin
ilmu, harus bertolak dan berakhir di teks agama, jika tidak, dianggap
menyimpang, tidak sah. Sehingga dalam tradisi keilmuan Islam terjangkiti
krisis objektifitas, dan kebenaran ilmiah. Melihat pelbagai permasalahan
cukup dilihat dari sudut subjektifitas teks agama, dan atas nama
kebenaran teologis.
Fenomena
ini mendorong Nashr Abű-Zayd mengkritisi studi-studi keislaman, yang—menurutnya—telah
kehilangan “kesadaran historis-ilmiah” (al-wa‘yu al-târîkhî
al-‘ilmî). Kajian model ini terjadi pada sekelompok varian pemikiran,
baik yang ekstrim maupun yang mengklaim dirinya moderat. Dalam bukunya
Naqd Al-Khithâb Al-Dînî, hilangnya “kesadaran” ini bersumber dari
lima sebab, pertama, penyatuan antara ajaran yang benar-benar ajaran
agama dengan ajaran hasil kreasi dan pemikiran manusia, kedua,
teologisasi fenomena alam, ketiga, berlindung di balik otoritas salaf
dan tradisi (turâts), keempat, absolutisme, dan fanatisme pendapat, dan
kelima, mengingkari dimensi historis.ł Sedangkan sebab lain menurut
Hassan Hanafi, hilangnya rasionalitas, dan dialog, metode perubahan
masyarakat dengan perubahan struktural, dan kekuasaan (up to down),
memaknai aplikasi syariat sebatas potong tangan (al-hudűd), menuntut
masyarakat menjalankan kewajibannya, sebelum memberi hak-hak mereka,
seperti lebih suka menangkapi pencuri dari pada mengurusi kesejahteraan
masyarakat.?
Metode
Ilmiah untuk Mengkaji Teks
Jika
teks agama tidak bisa dipisahkan dari sendi-sendi tradisi Islam, maka,
kebutuhan atas suatu metodologi sebagai alat memahami teks sangat urgen.
Metodologi ini akan membantu memahami teks secara objektif,
epistemologis dan dalam lingkup rasio manusia, bukan ‘rasio’ Tuhan
yang diyakini sebagai hulu teks (agama) tersebut. Metodologi tersebut
dalam tradisi Islam disebut tafsir (al-tafsîr) dan takwil (al-ta’wîl).?
Maka, pembahasan seputar teks, tidak bisa terlepas dari pembahasan
terhadap tafsir atau takwil. Keduanya tidak bisa dipisahkan, saling
berkaitan. Menurut Imam Ali bin Abi Thalib, teks tidak bisa berbicara,
dan memberi makna (arti) sendiri. Namun, ia membutuhkan manusia.
“Al-Qur’ân, bayna daftay al-Mushhab lâ yanthiq, wa inamâ
yatakallamu bihi al-rijâl”. (Al-Quran dalam mushaf ini, tidak
berbicara, dan hanya dengan [perantara] manusia ia berbicara). Kalimat
Imam Ali tersebut ditujukan pada kaum Khawarij yang memahami otoritas
dalil pada teks an sich, bukan pada otoritas interpretasi. Seolah-olah,
Al-Quran berbicara sendiri dan memberi makna, padahal interpretasi
manusia lah yang memberi makna.
Maka,
manusia di hadapan teks, adalah ‘lidah’ sebagai artikulatur
sekaligus interpreter teks. Memposisikan manusia dalam subjek teks,
bukan tanpa masalah, malah sebaliknya. Karena tidak jarang, kita jatuh
pada “pembunuhan teks” dan “pelacuran hermeneutika” yang
merampas kesucian (autentisitas) teks. Ketika semua berhak bersetubuh
dengan teks, tidak ada yang bisa menjamin teks tersebut ditafsirkan
sebebas-bebasnya. Dalam posisi ini, teks akan ditelanjangi dari
autentitas, makna dan tujuannya. Penafsiran model ini biasanya dengan
modus; membatasi makna teks sesempit mungkin, sesuai dengan ideologi
kelompok dan demi kepentingan sepihak. Teks ditafsirkan jauh dari makna
asalnya, bahkan tidak jarang saling bertentangan dan berbenturan.
Bagaimana
menjaga kesucian (autentisitas) teks ini, agar tidak mudah
‘disetubuhi’ dan selaras dengan makna aslinya? Ini lah pertanyaan
yang sangat mendasar dalam tradisi interpretasi teks. Di samping
pertanyaan-pertanyaan lain tentang, struktur, identitas dan
karakteristik teks, apa itu teks? Bagaimana hubungan antara Allah
sebagai sumber, dengan teks itu sendiri dan dengan manusia sebagai
interpreter teks? Dalam tradisi kritik sastra, disebut hubungan antara
pengarang (al-mu’allif), dengan teks (al-nash), dan kritikus (al-nâqid).
Antara teks yang mewakili maksud (al-qashd) Allah sebagai makna yang
autentik, dengan teks dalam lingkup interpretasi manusia.
Nah,
pertanyaan di atas akan mustahil terjawab, kalau kita masih memahami
teks sebagai identitas di ‘luar’ manusia. Di luar rasio, budaya,
atau konteks manusia. Secara etimologis, menurut Al-Jurjânî, tafsir
adalah al-kasyf (penyingkapan), dan al-idhhâr (penjelasan). Maka,
proses penafsiran adalah proses perubahan dari yang samar menjadi jelas,
dari yang tertutup, terbuka di depan akal (rasio). Sehingga Runes dalam
Kamus Filsafatnya menulis bahwa tafsir adalah proses menjadikan
peristiwa atau kalimat masuk akal.6 Atau dalam bahasa yang sederhana
tafsir adalah proses rasionalisasi. Dan Al-Quran bisa ditafsirkan karena
ia memang berada dalam lingkup akal itu, bukan di luar. Teks agama juga
bukan ‘makhluk asing’ di luar konteks manusia, ia tidak bisa
dipisahkan dari sosio-historis dan sosio-kultural manusia. Maka,
diperlukan perubahan objek kajian teks, dari pemusatan pada Tuhan (teosentris),
menuju manusia (antroposentris).? Maka disiplin ilmu yang dipakai bukan
lagi ilmu-ilmu teologi, yang melahirkan pandangan normatif. Namun
ilmu-ilmu kemanusian (humaniora), dan studi-studi lingustik, karena teks
tersebut adalah teks bahasa.
Historitas
Teks
Kita
tidak bisa membahas teks-teks agama tersebut jika masih dikungkungi
mitos-mitos, bahwa teks Al-Quran, sudah ada, jauh sebelum Allah
menciptakan alam semesta, karena ia sifat dzat Allah yang qadîm, dan
ditulis di Lawh al-Mahfűd, yang huruf-hurufnya sebesar Gunung Qâf?
Pandangan seperti di atas akan mengindentikkan Allah dengan teks itu
sendiri. Dalam konsepsi Mu’tazilah, Al-Quran bersifat historis
meskipun ia berasal dari Allah yang ahistoris. Kita harus bisa
membedakan sifat dzat (shifât al-dzât) Allah yang qadîm, dengan sifat
perbuatan (shifat al-af‘âl) Allah yang hâdist. Al-Quran sebagai kalâm
Allah, adalah realisasi sifat perbuatan (shifât al-af‘âl) yang tidak
berbeda dengan shifât al-af‘âl Allah yang lain, seperti al-khalq,
dan al-îjâd, yang berhubungan dengan manusia dan alam yang menyejarah.
Shifât al-af‘âl ini akan menjadi realitas sejarah (al-tahaqquq al-târikhî),
jika berubah menjadi perbuatan (al-fi‘il).?
Kita
bisa mengkomparasikan masalah historitas teks ini dengan historitas Isa
(Jesus), melalui dua proses. Pertama, proses “turun” (al-nuzűl),
dan kedua proses “kelahiran” (al-milâd). Prosesi “turun” dan
“lahirnya” teks (Al-Quran) dan Isa bersumber dari satu struktur,
bukan dua struktur, sama, tidak berbeda. Al-Quran adalah kalam Allah,
Isa adalah rasűl Allah, dan kalimah Allah (Al-Nisâ’ [4]: 171 dan Al
Imrân [2]: 3), Al-Quran adalah sabda Allah yang ditujukan pada
Muhammad, sedangkan Isa adalah ‘kalimat’ dan ‘ruh’ Allah yang
diletakkan pada Maryam (Al-Nisâ’ [4]: 171), dan perantara di antara
keduanya, juga satu, yaitu malaikat Jibril, yang menjelma menjadi
manusia di depan Maryam (Maryam: 17) dan demikian juga di depan
Muhammad.9 Dari komparasi ini dapat disimpulkan bahwa pendapat yang
menafikan unsur ketuhanan pada Isa, namun meyakini unsur ketuhanan pada
teks (Al-Quran) adalah pendapat yang ambigu, kontradiktif, dan ambivalen.
Ketika
Al-Quran dipahami sebagai firman Allah, yang menjadi fenomena historis.
Terdetik sangat kuat di sebagian kelompok untuk menolak pemahaman
“historitas” ini. Karena—menurut mereka—bertentangan dengan
“universalitas” dan “ahistoritas” teks. Historitas teks berarti
memandang teks sebagai arketip-arketip (al-hafariyât), yang hanya bisa
dikaji oleh sejarahwan, dan arkeolog saja. Teks akan menjadi benda mati,
bisu dan kehilangan relevansinya dengan masa kini. Kegamangan seperti
ini, akan sirna dengan mudah, kalau kita menyadari beberapa banyak karya
sastra buah tangan ‘manusia biasa’ yang masih mememiliki relevansi
dengan masa kini. Meskipun karya tersebut lahir ribuan tahun yang silam.
Karya tersebut hadir kembali, melintasi ruang dan waktu yang merentang
panjang. Mengapa historitas karya tersebut tidak ‘membunuh’
relevansi dan universalitas teks tersebut? Jika teks-teks ‘biasa’
tersebut memiliki signifikansi makna sedemikian rupa, apalagi dengan
teks-teks agama yang diyakini bersumber dari Yang Maha Luar Biasa?
Menurut
Gadamer, sejarah masa lalu bukan identitas yang terpisah dengan
“kesadaran” dan “pengalaman” kekinian. Demikian juga sebaliknya,
masa kini, terikat kuat dengan pengaruh tradisi masa lalu. Maka,
keberadaan (being) manusia memiliki dua sisi, masa lalu, dan masa
sekarang. Ketika kita memulai kehidupan masa kini dan mencoba memahami
masa lalu, maka kita tidak terlepas dari pengaruh tradisi-tradisi dan
sejarah. Manusia hidup dalam lingkup kesejarahan (historically). Dan
kesejarahan ini, adalah ligkup yang tidak nampak, seperti air, sebagai
lingkup kehidupan bagi ikan, tanpa, ia merasakan. Maka, hubungan kita (masa
kini) dengan masa lalu (sejarah) senantiasa bergumul dan berdialog (al-jidal
wa al-hiwâr), bukan diam dan pasif (al-inshât al-silbî).ą?
Jika
dikaji dari sudut studi sejarah, masa sekarang merupakan kesinambungan
dari masa lalu, meskipun dengan konsekwensi perubahan-perubahan. Masa
sekarang adalah proses kesinambungan (continuity) dan perubahan
(change). Dan hubungan masa lalu dengan masa kini memiliki hubungan
“paralisme” sejarah.ąą Dari pemahaman di atas kita bisa
menyimpulkan bahwa teks-teks yang ‘historis’ secara khusus memiliki
dua dimensi, orisinilitas (al-ashâlah) dan modernitas (al-mu‘âsharah).
Namun
kehadiran teks kembali membawa makna yang progresif. Teks selalu terbuka
untuk diberi makna. Berjalan, berubah, berkesinambungan dalam suasana
travelling teks. Karena hubungan antara teks dengan makna bukan hubungan
statis, dan pasti. Menurut Heideger, dan Gadamer teks bahasa tidak
memiliki dilâlah, karena bahasa tidak mesti menunjuk sesuatu.ą˛ Maka,
teks-teks, tidak mesti menunjuk sesuatu, dan makna tertentu.
Teks
(kata) tidak secara otomatis menunjukkan makna (arti), dalam pemikiran
Islam klasik, nama (al-ism) tidak identik dengan yang dinamakan (al-musammâ).
Demikian juga antara kata (al-lafdz) dengan arti (al-ma‘nâ). Dalam
bahasa Ferdinand de Saussure (1857-1912), tanda dalam bahasa memiliki
dua entitas sisi (dyad). Sisi pertama disebut penanda (signifier: al-dâl),
dan sisi kedua disebut petanda (signified: al-madlűl). Penanda mewakili
aspek material sedangkan petanda mewakili aspek mental. Dan proses
komunikasi melalui bahasa dalam pandangan Saussure adalah proses
pemindahan “isi kepala”.ął Sedangkan hubungan penanda dengan
petanda adalah hubungan konvensional dan kesepakatan (konyensi). Bahasa
adalah sekumpulan sistem simbol (tanda) yang mengungkapkan ide, dan
fikiran. Penanda tidak menunjukkan aspek material dari petanda, namun,
penanda menunjuk pada aspek ide, dan aspek psikologis. Singkatnya bagi
Saussure, bahasa adalah “teori ide” (ideational theory).ą?
Memahami
teks-teks A-Quran, tidak jauh beda memahami teks-teks lain, sebagai—dalam
bahasa De Saussere—sebagai sistem simbol (tanda). Secara sederhana,
Al-Quran berisi pelbagai tanda (al-âyah). Nah, jika simbol-simbol
bahasa tidak menunjuk secara langsung pada realitas objektif-eksternal
(al-wâqi‘ al-khârijî al-mawdlű‘î). Namun, simbol bahasa
tersebut menunjuk pada pandangan, pemahaman, dan fikiran dalam komunitas
tertentu, maka, bahasa tersebut dalam lingkup “budaya”.ą? Teks,
konteks, dan Budaya
Kita tidak akan mampu memahami teks, dan bahasa tertentu, tanpa mempelajari budaya yang melarbelakanginya, sebagai struktur teks tersebut. Menurut Nashr Abu-Zayd, teks (Al-Quran) ketika bersinggungan dengan budaya, melalui dua proses. Proses pertama, hakikat teks Al-Quran, sebagai produk budaya (muntaj tsaqâfî), yang terbentuk dalam realita dan budaya selama kurang lebih dua puluh tahun. Proses ini disebut fase pembentukan dan penyempurnaan.16 Proses kedua, ketika teks mampu mereproduksi budaya. Karena teks—meskipun sebagai produk budaya—tidak bersifat statis, dan pasif. Dalam bahasa Nashr Abu-Zayd, teks adalah produk (muntaj) tapi mampu mereproduksi (qâdir ‘alâ al-intâj).ą?
Teks
Al-Quran menamai dirinya sebagai risalah. Sedangkan risalah adalah
hubungan komunikasi antara pengirim dan penerima melalui perantara kode,
dan tanda. Dan pengirim teks Al-Quran tidak bisa dikaji dengan
menggunakan metodologi ilmiah. Namun pengirim tersebut telah memilih
bahasa penerima sebagai perantara pesannya. Dalam hal ini, Al-Quran
adalah ilahî mashdaran wa basyarî lughatan (bersumber dari Tuhan, tapi
menggunakan bahasa manusia). Jika kita telah ‘menyisihkan’ Tuhan
sebagai objek kajian, maka, kita akan menempatkan budaya dan bahasa
sebagai entry-point kajian ini. Menurut Nashr Abu-Zayd, satu-satnya
metode dalam mengkaji teks adalah metode lingustik.ą? Karena, teks-teks
tersebut adalah teks bahasa. Sedangkan kajian terhadap budaya, karena
teks tersebut tidak hampa konteks, tapi, terkait erat dan mempengaruhi
struktur bahasa tersebut.
Dengan
mempergunakan bahasa manusia dan turun untuk kondisi tertentu, Al-Quran
tidak bisa menghindar dari “keterbatasan-keterbatasan”. Al-Quran
tidak akan bisa lepas dari “ideologi” dan mainstream Arab Jahiliyah.
Salah satu contoh dari “keterbatasan” Al-Quran, lafdz Tuhan (Allah,
Huwa) yang mempergunakan gender maskulin (mudzakkar), padahal Tuhan
jelas-jelas “nentral gender”. Penamaan ini dimaksudkan membedakan
antara tuhan Arab Jahiliyah yang bergender feminim, seperti Latta,
‘Uzza, dan Matah.19 Dan Tuhan sendiri merasa “risih” dengan gender
feminim, karena Orang Arab menganggap Tuhan memiliki anak perempuan (malaikat),
sedangkan mereka sendiri risih ketika memperoleh anak perempuan.˛?
Maka, penisbatan gender femimin pada Tuhan oleh Masyarakat Arab,
merupakan bentuk penghinaan.
Menurut
Farid Esack, corak sosiohistoris dan linguistik Al-Quran tercermin dalam
isi, gaya, tujuan dan bahasanya. Kontekstualitas juga nyata dalam
perbedaan antara ayat-ayat Makkah, dan Madinah, asbâb al-nuzűl, dan
naskh wa mansűkh. Mukjizat Al-Quran terletak pada “kemurnian Arabnya”,
“keelokan bahasanya”, dan “gaya retorikanya” yang unik. Dalam
soal relasi antara proses pewahyuan bahasa dan isi di satu sisi dan
komunitas yang menerimanya di sisi lain, Al-Quran tidaklah unik; wahyu
senantiasa merupakan tanggapan atas masyarakat tertentu.˛ą
Meskipun
tidak jauh berbeda dari pendapat Farid Essac di atas, Nashr Hâmid Abu-Zayd
memiliki bukti-bukti lain tentang keterkaitan yang sangat erat antara
teks dan budaya. Dalam kajian proses periode pertama—teks sebagai
produk budaya—dalam bukunya, Mafhűm Al-Nash, Nasr Abu-Zayd memaparkan
keterkaitan tersebut dengan panjang lembar dalam lima subbab. Yaitu,
subbab pertama, tentang definisi wahyu, kedua, kajian terhadap penerima
pertama (Muhammad), ketiga, tentang periode teks (al-makkî wa al-madanî),
keempat, tentang sebab-sebab turunya ayat (asbâb al-nuzűl), dan kelima,
tentang al-naskh wa al-mansűkh.˛˛
Dalam
proses komunikasi antara Allah dan Muhammad melalui perantara Jibril,
tidak jauh beda dengan pemahaman budaya setempat terhadap fenomena wahyu.
Menerima wahyu dan kabar dari langit, bukan peristiwa yang asing bagi
bangsa Arab. Bahkan, mereka sudah memiliki tradisi berkomunikasi dengan
makhluk langit, yaitu dengan bangsa Jin. Tradisi ini sangat akrab dengan
dukun-dukun yang ingin mengetahi kabar masa depan. Demikian juga dengan
para sastrawan yang berkomunikasi dengan Jin, untuk mencari ide-ide
penuliasan karya sastra (puisi) mereka. Namun budaya tidak selamanya
mensubordinasi teks. Karena teks juga memiliki andil yang besar terhadap
perubahan budaya setempat. Hal ini dibuktikan dengan budaya
tulis-menulis yang bersumber dari anjuran teks, memberi implikasi yang
sangat besar terhadap tradisi bangsa Arab.
Sedangkan
Muhammad sebagai penerima pertama (al-mustaqbil al-awwal) bagian dari
realita dan masyarakat. Beliau adalah anak dan produk masyarakatnya.
Muhammad bukan manusia ‘luar biasa’, yang terasing dari
masyarakatnya. Dia adalah manusia ‘biasa’, lahir di Makkah, tumbuh
di Bani Sa‘ad, mengembala kambing, ikut perang, dan menjadi pedagang.
Ketika seseorang Arab Badui yang menemuinya dengan menggigil ketakutan,
beliau berkata, aku hanya anak seorang perempuan yang makan dendeng (daging
kering) di Makkah. Di Makkah beliau mendapat gelar “Al-Amîn” (orang
yang dapat dipercaya), apakah gelar tersebut berhak dianugrahkan pada
seseorang yang tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat?
Dalam
pencarian kebenaran dalam agama Ibrahim yang lurus (al-hanafiyyah),
usaha Muhammad tidak jauh beda dengan pencarian beberapa orang Arab yang
lain. Yaitu, Waraqah bin Nawfal, Abd Allah bin Jahasy, Utsman bin Al-Huwayrist,
dan Zayd bin Amru bin Nafil. Mereka peduli dengan suasana spiritual dan
sosial masyarakat Makkah yang semakin lama semakin memprihatinkan. Jika
dalam akhir pencarian kebenaran tersebut mereka memilih agama Kristen—kecuali
Zayd bin Amru bin Nafil—maka, Muhammad menerima agama ‘baru’,
sebagai kelanjutan dari agama Ibrahim. Membaca
Konteks
Jika
di atas tulisan ini dibahas keterkaitan teks dengan budaya. Maka, kita
akan mencoba membahas sisi lain dari teks sebagai sistem simbol (tanda)
yang menunjuk pada bahasa. Seperti yang dipaparkan di atas, metode
linguistik adalah satu-satunya metode yang bisa dijamin validitasnya
untuk mengkaji teks. Keberadaan metode linguistik sangat esensial dan
menjadi keharusan tersendiri. Tidak cukup dijadikan ilmu
‘pendamping’ saja. Pembahasan terhadap teks sebagai sistem bahasa
tidak cukup pada pembahasan ilmu grammar, untuk memahami struktur
kalimat. Mengkaji teks tidak cukup hanya menentukan struktur kalimat ini,
benar atau salah. Namun diperlukan kajian yang lebih khusus dan mendalam
untuk mencari dan mengikat makna dalam teks tersebut. Pembahasan
terhadap makna, dalam disiplin ilmu bahasa, disebut ilmu semantik.˛ł
Dalam
proses pencarian makna, kita dihadapkan pada problem konteks dari teks.
Karena konteks, memiliki pengaruh yang besar terhadap makna teks. Nashr
Abu-Zayd, menyebut lima macam konteks, sebagai gerbang kajian terhadap
makna teks. Yaitu, pertama, “konteks sosio-kultural”, kedua,
“konteks eksternal” (konteks pembicaraan), ketiga “konteks
internal” (hubungan antarbagian teks), ketiga, “konteks linguistik”
(struktur dan hubungan antarkalimat), dan kelima, “konteks bacaan” (penakwilan).˛?
Pertama,
“konteks sosio-kultural” Membahas teks tidak terlepas dari kajian
terhadap sosio-kultural sebagai struktur teks. Yang dimaksud konteks
sosio-kultural adalah aspek-aspek pengetahuan yang memungkinkan
berkomunikasi secara linguistik. Namun komunikasi antara pengirim (subjek)
dan penerima (objek) tidak cukup mengetahui struktur bahasa yang dipakai
keduanya. Tapi, keduanya harus berada dalam ‘kebersamaan’ lingkup
budaya dan sosial, agar bisa memahami dan berkomunikasi.˛?
Kedua,
“konteks eksternal” Al-Quran, melalui dua proses, pertama, proses
sejarah terbentuknya Al-Quran, (siyâq asbâb al-nuzűl) dan, kedua
perubahan lawan (objek) bicara (siyâq al-takhâthub). Proses pertama
telah disinggung di atas, tentang proses turun dan terbentuknya teks
selama kurang lebih dua puluh tahun. Konteks ini nyata dalam pembahasan
asbâb al-nuzűl, dan al-makkî wa al-madânî.26 Sedangkan
siyâq al-thakhâthub berhubungan dengan variasi lawan (objek) bicara.
Konteks ini menghubungkan komunikasi pesan antara pembicara (pengirim)
dengan pendengar (penerima). Hubungan ini akan menentukan variasi teks,
dan menjadi batasan referensi penafsiran.˛? Membahas aspek ‘lawan
bicara’ memiliki urgensi tersendiri dari pada aspek ‘pembicara’.
Karena jika kita membahas aspek pembicara saja, maka, pesan tersebut
akan dipahami sebagai proses komunikasi dari “aku” ke “aku” dan
akan menjadi “pemahaman subjektif”. Namun jika dititikberatkan pada
aspek ‘penerima’, maka, akan nampak fungsi teks, sebagai proses,
pemahaman, penjelasan, dan informasi.
Keempat, “konteks internal” teks berhubungan dengan dua aspek,
pertama, pengumpulan teks Al-Quran dalam satu mushaf sehingga menjadi
satu konteks. Kedua, konteks retorika teks menghadap objek. Metode
pengumpulan teks-teks Al-Quran dalam satu mushaf sangat unik.
Keterkaitan teks-teks ini menjadi kesatuan konteks yang berlawanan
turunnya teks (konteks eksternal). Aspek ini yang membedakan konteks Al-Quran
dengan konteks karya sastra lain, misalnya “sajak-sajak tergantung”
(al-mu‘allaqât) di zaman Jahiliyah. Nashr Abu-Zayd tidak mau membuka
polemik, apakah pengumpulan ini hasil ijtihad generasi pertama, atau
ketetapan dari Allah. Namun metode membaca “konteks internal” teks
telah menjadi pembahasan ulama klasik dengan, ‘Ilm al-Munâsabât
Bayna al-Ayât wa al-Suwar.˛? Unsur kedua dari
konteks internal teks adalah konteks retorika (siyâq al-khithâb).
Teks Al-Quran menggunakan banyak metode dalam ungkapannya. Seperti
ayat-ayat yang berkonteks janji dan ancaman, pertikaian, peringatan, dan
lain-lain. Demikian juga teks-teks tersebut menggunakan konteks
ideologis, dan legalisasi hukum. Sehingga ulama Ushul Fiqh bisa
mengambil konklusi hukum dari variasi teks tersbut, seperti wajib,
sunnah, mubah, haram, halal, dan makruh.
Keempat
adalah “konteks linguistik” teks yang memahami teks dari makna-makna
grammar bahasa. Seperti ilmu Nahw, Sharaf, dan Balaghah. Dengan konteks
linguistik ini kita bisa menganalisis teks-teks tersebut sekaligus
mengkategorisasikan. Seperti al-taqdîm, al-ta’khîr, al-hadzf, al-idlmâr
al-fashl, al-washl, al-kinâyah, al-isti‘ârah, al-majâz, dan
lain-lain.29
Kelima,
“konteks interpretasi” teks. Konteks yang terakhir ini tidak
terpisah dengan konteks-konteks yang terdahulu. Proses memahami teks
seperti proses memecahkan kode, maka, proses tersebut harus berasal dari
pembacaan konteks internal teks, bukan dari konteks artifisial eksternal.
Proses interpretasi teks, memiliki dua problem. Pertama, pluralitas
interpreter, kedua, subjektifitas interpreter. Pluralitas interpreter
merupakan realitas interpretasi teks dilakukan oleh banyak penafsir. Dan
masing-masing penafsir tersebut membawa pengaruh disiplin ilmu yang
digeluti, struktur sosial yang melarbelakangi, keragaman misi, dan
lain-lain30. Pembahasan tentang aspek-aspek penafsir ini
merupakan bidang khusus hermenuetika. Wallâhu
A‘lam bi Al-Shawâb. *Mahasiswa
Fakultas Ushuludin Jur. Akidah-Filsafat, Universitas Al-Azhar Kairo.
Aktif di NICOS (Network of Islamic and Social Studies). Catatan
Kaki: 1
Menurut Abd.
Mun‘im Al-Hifnî, kata kritik sudah mengalami perubahan arti, dari
penilaian yang identik terhadap hal-hal yang negatif saja, menuju penilaian
yang positif, dan berimbang (Abd Mun‘im Al-Hifnî, Al-Mu‘jam Al-Falsafî)
2
Nashr Hâmid
Abű-Zayd, Mafhűm Al-Nash; Dirâsah Fî ‘Ulűm al-Qur’ân, Beirut:
Al-Markaza Al-Tsaqâfî Al-‘Arabî, cet. 4, th. 1998, h. 9 3
Nashr Hâmid
Abű-Zayd, Naqd Al-Khitâb Al-Dînî, Cairo: Madbűlî, cet. 3, th.
1995, h. 67-68 4
Hasan Hanafî,
Al-Ushűliyah Al-Islâmiyah, dalam “Al-Dîn wa Al-Tsawrah Fî Mishr
1953-1981, Cairo: Madbűlî, vol. VI, cet. 1, th. 1989, h. 204-207
5
Dalam
mayoritas karyanya, Nashr Hamid lebih banyak menggunakan istilah
takwil dari pada istilah tafsir. Istilah tafsir ini lebih populer di
kalangan ulama Ahl Sunnah wal Jama’ah., dan mereka menisbatkan istilah
takwil pada pemahaman kelompok yang mereka nilai ‘menyimpang’,
seperti tradisi takwil Mu’tazilah, Khawarij, filsafat, dan tasawuf.
Padahal—menurut Nashr Hâmid—Al-Quran sendiri lebih banyak memakai
istilah takwil dari pada tafsir. Kalimat tafsîr, dalam Al Quran hanya
satu kali, sedangkan ta’wîl, lebih dari sepuluh kali. Dan penggunaan
istilah tafsir baru populer sejak abad IV H. (IX M.) setelah
sebelumnya pengunaan istilah takwil lebih populer. Penisbatatan yang
negatif pada istilah takwil ini oleh Ulama Sunni disebabkan benturan
politik dan ideologi. (Nashr Hamid Abu-Zayd, Al-Khithâb wa Al-Ta’wîl,
Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqâfî Al-‘Arabî, cet. I, th. 2000, h.
174-176) 6
‘Azm‘ Műsâ
Islâm, Mafhűm Al-Tafsîr Fî Al-‘Ilm (Min Zâwiyah Manthiqiyah),
Kuwait: Fakultas Adab Univ. Kuwait, th. 1983, 11-12 7
Naqd Al-Khitâb
Al-Dînî, op.cit., h. 200 8
Nashr Hâmid
Abű-Zayd, Al-Nash, Al-Sulthah, Al-Haqîqah: Al-Fikr Al-Dînî Bayna Irâdah
Al-Ma‘rifah, Wa Irâdah Al-Haymanah, Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqâfî
Al-‘Arabî, cet. 2, th. 1997, h. 68-74 9
Naqd Al-Khithâb
Al-Dînî, op.cit., h. 204-205 10
Nashr Hâmid
Abű-Zayd, Isykâliyât Al-Qirâ’ah Wa Aliyyât Al-Ta’wîl, Beirut:
Al-Markaz Al-Tsaqâfî Al-‘Arabî, cet. 5, th. 1999, h. 42 11
Kuntowijoyo,
Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, cet. 1, th. 1994, h.
Xii 12
Isykâliyât
Al-Qirâ’ah Wa Aliyyât Al-Ta’wîl, op.cit., h. 42
13
Paul Cobley,
dan Litza Jans, Mengenal Semiotika, Bandung: Mizan, cet. I, th. 2002, h.
10-12 14
‘Azmî Islâm,
Mafhűm Al-Ma‘nâ: Dirâsah Tahlîliyah, Kuwait: Fakultas Adab,
Universitas Kuwait, th. 1986, h. 18
15
Al-Nash, Al-Sulthah,
Al-Haqîqah, op.cit., h. 80 16
Nashr Hâmid
Abu-Zayd, Mafhűm Al-Nash: Dirâsaf Fî ‘Ulum Al-Qur’ân, Beirut:
Al-Markaz Al-Tsaqâfî Al-‘Arabî, cet. 4, th. 1998, h. 24 17
Al-Nash, Al-Sulthah,
Al-Haqîqah, op.cit., h. 87 18
Mafhűm
Al-Nash, op.cit., h. 25-27 19
QS Al-Najm
(53): 19-20 20
QS Al-Nahl
(16): 57-59 21
Farid Essack,
Membebaskan Yang Tertindas, Bandung: Penerbit Mizan, 2000, cet. 1, hal.
85-86 22
Mafhűm
Al-Nash, op.cit., h. 31-134 23
Mafhűm Al-Ma‘nâ:
Dirâsah Tahlîliyah, op.cit., h. 17 24
Al-Nash, Al-Sulthah,
Al-Haqîqah, op.cit., h. 96 25
Ibid., 97-98 26
Ibid.,
102-103 27
Ibid., 101 28
Ibid.,
104-105 29
Ibid., 108 30
Ibid.,
110-112. |