Menelusuri
Sejarah dan Makna Fundamentalisme*
Dr.
Haidar Ibrahim Ali ¹
Prolog
AKHIR-AKHIR
ini, Istilah fundamentalisme acap kali terdengar dan dipakai, namun
makna yang sesungguhnya masih belum jelas, terlalu umum dan rentan akan
perubahan. Meski tersirat dalam hati fundamentalisme bisa dimaknai;
keteguhan dan kekakuan. Kata
fundamentalisme banyak dipakai untuk makna-makna tertentu, tapi dalam
kondisi lain terkadang kehilangan kemampuan memberi batasan secara jelas
dari maksud yang dituju, kadang sampai jauh melenceng dari makna aslinya.
Kondisi semacam ini sering disebabkan oleh sesuatu yang masih bersifat
nisbi. Kita bisa menemukan dengan mudah hal-hal yang bersifat
fundamental dalam bentuk apapun di setiap masyarakat, dari pemikiran,
hingga sejarahnya.
Makalah ini tidak hanya membahas satu fundamentalisme saja,
tapi juga fundamentalisme-fundamentalisme yang lain. Tidak sedikit para
penulis telah membahas fundamentalisme dalam cakupan yang sangat luas
tidak hanya dalam lingkup agama—lebih-lebih pada golongan ekstrim dan
ortodoks. Namun mereka juga telah membahasnya dalam lingkup sosial dan
politik. Malah ada penulis yang memakai peristilahan ini keluar dari
lingkup yang telah dikenal, seperti, kita temukan
sekuler-fundamentalisme, teknokrat-fundamentalisme dan lainnya.
Pada sisi lain, makna fundamentalisme mengalami penyempitan,
terbatas pada agama dan kebudayaan dan lebih disempitkan lagi
dihubungkan dengan Islam. Maka dengan serta merta kata fundamentalisme—bagi
orang yang sudah terpengaruh oleh media massa Barat—akan langsung
diidentikkan dengan golongan Islam politik. Asumsi di atas erat
kaitannya dengan Revolusi Iran. Sehingga fundamentalisme disamakan
dengan Islam atau Islam politik.
Makalah ini juga berusaha menjelaskan perkembangan makna, kondisi
sejarah, dan sebab-sebab lahirnya Islam fundamentalis dan
fundamentalisme-fundamentalisme yang lain. Demikian juga sejauh mana
interaksi fundamentalisme dengan fakta dan sejarah. Permasalahan
ini merupakan satu upaya positif untuk mengembalikan makna yang
selalu berubah.
Sejarah
Makna
James
Barr yang merupakan rujukan utama dalam bidang fundamentalisme
mengatakan, kata ini bermula dari judul essay yang berjudul
"Fundamentals" yang muncul di Amerika sekitar tahun 1910-1915.
Istilah ini digunakan untuk mengkategorikan teologi ekslusif, yaitu
kepercayaan mutlak terhadap wahyu, ketuhanan Al-Masih, mukjizat Maryam
yang melahirkan ketika masih perawan, serta kepercayaan lain yang masih
diyakini oleh golongan fundamentalis Kristen sampai sekarang.
Namun, ada yang mengatakan penamaan tersebut tidak cocok untuk
kaum fundamentalis masa sekarang, karena pendapat-pendapat mereka
terlalu sempit dan kurang jelas. Biarpun alasan ini kurang bisa diterima,
karena fundamentalisme yang baru minimal masih masuk dalam kategori
fundamental—dalam makna yang klasik, di samping ajaran-ajarannya masih
di terima oleh kaum fundamentalis masa sekarang. Faktor kesejarahan
makna dari istilah ini tidak begitu penting untuk memahami istilah
tersebut pada masa sekarang². Sebagian pengamat berpendapat bahwa
fundamentalisme pada mulanya terbatas kepada penganut Protestan di
Amerika Serikat.
Istilah ini digunakan untuk para penjaga Injil (evangelicals)
dalam golongan Protestan dan juga golongan Karzemy yang tumbuh pesat
sebagai satu sekte dalam agama Kristen. Banyak juga yang menganggap
bahwa fundamentalisme adalah segolongan masyarakat desa, atau sekelompok
masyarakat terpencil yang tinggal di kota kecil yang sebagian besar
penduduknya beragama Kristen Protestan. Kemudian gerakan fundamentalisme
menjadi gerakan militan agama yang menggunakan kekuatan politik, sebagai
alat untuk memerangi apa yang dianggap sebagai gerakan
liberalisme, yang mengancam stabilitas negara, keluarga, dan
Gereja. Ide-ide liar semacam ini mulai bersemi pada masa Russfelt.³
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa fundamentalisme adalah
fenomena baru, namun sebagian sejarahwan Protestan di Amerika berusaha
untuk tidak mengakui bahwa fundamentalisme di Amerika itu hasil dari
abad dua puluhan, yang pada masa itu terdapat perdebatan tentang teori
evolusi dan asal-usul manusia. Maka
Marsden berusaha untuk menarik akar sejarah fundamentalisme dari
mulai munculnya gerakan suci yang ada sebelum lahirnya istilah fundamentalisme
itu sendiri. Oleh karena itu bagi Marsden, fundamentalisme yang sekarang
merupakan penguat dari kecenderungan
pada kebudayaan bangsa Amerika dan agama-agama tradisional.?
Garaudy berpendapat lain, bahwa pemakaian fundamentalisme belum
ada dalam kamus besar Roper sampai tahun 1966. Tapi kamus kecil La Rose
tahun 1966 telah mendefinisikannya dengan sangat umum sekali, yaitu:
"sikap orang-orang yang menolak kondisionalisai akidah, sesuai
dengan situasi dan kondisi baru".? Bahkan menurutnya definisi dalam
bahasa Perancis telah dipakai oleh Kristen Katolik, di mana terjadi
pertentangan dengan para pembaharu semenjak masa Paus X, kemudian
setelah Muktamar Vatikan II tahun 1966.
Dari analisa kesejarahan ini, kita bisa menemukan benang merah
istilah fundamentalisme dalam tradisi agama Kristen dengan
bermacam-macam alirannya. Meski sebagian kalangan sungkan untuk
menamakan diri dengan kaum fundamentalis—seperti segelintir orang di
Inggris lebih suka dengan nama "para penjaga Injil". Namun
istilah “penjaga Injil” ini tidak populer, di samping definisi ini
bersebrangan dengan fundamentalisme. Istilah fundamentalisme kadang
cenderung berkonotasi negatif dan mengejek, tapi juga berfungsi untuk
memberi batasan terhadap satu kondisi tertentu sebagaimana gerakan
"evangelicals" (para penjaga Injil) erat hubungannya dengan
politik di dalam Gereja.6
Banyak orang alergi dengan sebutan fundamentalisme ini. berbeda
dengan para penganut Protestan yang dengan bangga memegang identitas
tersebut,dan memakainya untuk membedakan diri dengan mereka yang lebih
suka dengan sebutan “pembela akidah”. Namun bersamaan dengan
definisi yang cederung bermakna negatif ini, tentu tak seorangpun akan
menggunakannya. Inilah yang disebut oleh Walker dengan
kesewenang-wenangan bahasa.? Dari sini, kata fundamentalisme mempunyai
makna rancu dan berubah-rubah sesuai dengan pendapat dan sikap orang
yang menafsirkannya. Dan tentu maksud dan tujuannyapun akan berbeda
sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Maka terkadang istilah
fundamentalisme hanya mencakup golongan-golongan tertentu, seperti
golongan pembela kaum Yahudi di Israel, atau gerakan pembebasan Tamil di
Srilangka atau golongan Hindu melawan missionaris asing di India. Yang
lebih menarik jika belakangan ini fundamentalisme diidentikkan dengan
Islam.?
Kaum fundamentalis sendiri menolak penamaan ini, karena menurut
mereka tidak mewakili dari akidah yang mereka anut, namun hanya untuk
golongan dan sekte tertentu. Dalam agama Kristen misalnya, lebih suka
menyebut dirinya dengan "Kristen sejati" atau Kristen saja.
Karena setiap kritikan yang ditujukan kapadanya berarti hujatan atas
agama itu sendiri. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Islam fundamentalis
yang mencampur antara kritik terhadap golongan dan kritik agama secara
umum. Pandangan ini dengan sendirinya menjadi bagian inti dari proses
maraknya fundamentalisme.
Jika kita telusuri dasar-dasar fundamentalisme dalam Injil, Al
Quran, maupun nash-nash suci lainnya, tentu kita tidak akan menemukannya.
Semua itu hanya akan kita temui dalam pemahaman atas teks-teks agama.
Sayangnya pemahaman ini sering dianggap sebagai bagian dari agama. Di
sini, fundamentalisme sebenarnya berfungsi sebagai pelestari pemahaman
keagamaan yang berkembang dan dianut pada zaman dulu. Kini hanya sekedar
ta'wil dan pandangan belaka. Jejak
Makna Fundamentalisme
Ada
banyak ciri yang diidentikkan dengan fundamentalisme. Garaudy misalnya,
menyebutkan beberapa ciri kaum fundamentalis; menolak perubahan,
intoleransi, tertutup, kekakuan madzhab, keras, tunduk kepada turâts (tradisi),
kembali ke belakang, dan menentang pertumbuhan dan perkembangan.9
Secara definitif istilah fundamentalisme tidak ada bedanya antara
fundamentalisme dalam agama maupun dalam politik. Di sini
fundamentalisme merupakan keimanan yang kuat, tidak goyah, dan bisanya
menganut satu kepercayaan yang bersumber dari nash-nash suci.
Bagi orang yang percaya akan paham ini akan selalu mengarahkan
segala kegiatannya sesuai dengan pemahaman mereka. Model pergerakan
sangat mendominasi aktifitasnya. Mereka sadar betul bahwa pemahaman jika
tidak diamalkan akan tinggal teori belaka, yang tidak berpengaruh kepada
kehidupan masyarakat. Secara otomatis mereka senang terhadap kekerasan,
teror dan perang, karena berambisi untuk merubah orang lain, dan sulit
untuk toleran dengan lingkungan yang berlainan dengan pahamnya. Mereka
senang sekali memberikan arahan kepada para pembelot dan orang-orang
yang dianggap kafir.
Selain itu mereka percaya terhadap
kebenaran absolut dalam agama mereka, sehingga menggiring kepada
fanatisme dan penindasan terhadap golongan lain. Pada realitasnya
fundamentalisme lebih cenderung kepada kekerasan dari pada dialog
dan saling memahami. Diantara mereka juga ada yang senang untuk
‘uz;lah dan memencilkan
diri.¹?
Semua aliran fundamentalisme sepakat tentang faham di mana nash
yang menjadi rujukan memuat sekumpulan kebenaran-kebenaran abadi yang
berlaku di sepanjang zaman. Inilah garansi ke-ma'suman-nya, oleh karena
itu dianggap sebagai ideologi nash atau kitab sebagai petunjuk yang
menjawab segala problem. Sikap seperti ini malah menghilangkan
keistimewaan agama, karena sudah menganggap agama telah finish, meski
sebenarnya masih terbuka.
Akibatnya mereka malas dan ogah mengkaji akidah yang dianut, dan
tak berusaha untuk menyegarkan pemahaman terhadap keyakinan mereka. Bagi
mereka Tuhan selalu m,mendukung paham-paham yang mereka anut, setelah
memberi batasan-batasan apa yang sepatutnya menjadi akidah.
Di saat seperti ini mereka telah dengan sengaja mencabut akar
sejarah nash-nash agama, seperti dalil-dalil yang dipakai untuk
menguatkan ataupun menentang satu pemahaman tertentu. Dan inilah yang
dimaksud dengan ideologi kitab. ¹¹
Terkadang—dan ini yang banyak terjadi—inspirasi dari faham
ini, lebih banyak diilhami oleh legenda masa lalu dengan tujuan untuk
mengembalikan zaman keemasan yang telah terjadi pada zaman itu. Hal ini
akan membawa kepada sikap menjaga, bersikukuh, untuk masuk ke dalam
"kegelapan". Kaum fundamentalisme akan melakukan pencabutan
hakikat atau berusaha mencari kebenaran mutlak yang ada pada masa lalu.
Sebagian pemikir mengatakan:
"Bagi golongan ini, hakikat atau penemuan hakikat itulah yang
disucikan, bukan piranti atau pun cara-caranya.¹² Permasalahan
tersebut bisa kita lihat dalam tulisan-tulisan para pemimpin
fundamentalisme seperti Ayatullâh Khomeini, yang mengatakan
kemampuannya untuk menciptakan tatanan politik masyarakat dengan tetap
berpegang pada pemahaman agama tradisional. Bagi kaum fundamentalis
inilah yang di maksudkan dengan inti agama atau agama yang sejati, yang
mempunyai kemampuan membentuk satu kekuatan baru tanpa menghilangkan
inti agama atau larut dalam pengaruh luar.
Kami kira ada satu cara yang kira-kira bisa mendefinisikan
fundamentalisme, bukan saja sebagai satu pemikiran tersendiri, namun
sebagai mediator sebuah ideologi yang tertutup, mulai dari yang dogmatis
dan ekstrim, atau yang fundamental, sampai pada liberal sekalipun. Tapi
yang perlu diperhatikan di sini adalah hubungan antarindividu yang
menganutnya. Yaitu, pembentukan jaringan golongan (grid group) yang
memiliki ikatan kelompok yang kuat dan sangat berpengaruh, di mana
pendapat mereka menyatu. Dalam kondisi ini kaum fundamentalis mampu
memanifestasikan tugas dalam mengontrol perilaku individu dan menjaga
nilai serta aturan-aturan golongannya, seperti hijab bagi wanita dan
potong tangan bagi pencuri.¹³
Fundamentalisme
vis a vis Masyarakat Beberapa
defini di atas tentu melahirkan banyak pertanyaan sekitar hubungan
fundamentalisme dengan masyarakat dan sejauhmana ia bisa eksis? Apakah
faham ini bisa membumi dan diterima
masyarakat? Acap kali para pemikir lebih cenderung
memfokuskan kepada sisi metafisik dan kurang mengindahkan sisi
lain ketika masyarakat menghadapi kenyataan sulit. Ada satu hal yang
unik dalam fundamentalisme—bila ungkapan ini benar—adalah
kemampuannya bersikap mendua dalam menghadapi problem. Dengan jelas
mereka menyatakan penolakan terhadap satu hal, namun bersamaan dengan
itu mereka juga mampu hidup bersama dan berkompromi. Seperti terhadap
perkembangan Ilmu dan tehnologi, atau sistem negara— fenomena yang
tidak bisa dihindari. Namun ketika berhubungan dengan akidah, mereka
berusaha untuk menta'wilkannya. Sebagaimana juga Islam fundamentalis
dalam menghadapi hal-hal sulit, mereka berusaha mengahadapinya dengan
apa yang mereka namakan dengan "fiqh darurat", atau "fiqh
maslahat", sebagai piranti untuk menunda kekuasaan nash
bila terbentur pada kondisi darurat dan demi maslahat.
James Barr mengemukakan bentuk lain dari fundamentalisme yaitu
berupa golongan yang mengasingkan diri dari masyarakat, karena konflik
yang terus menerus dengan masyarakat lain, ini yang dinamakan dengan
ideologi pengasingan diri, yang keluar demi hidup baru dalam pengasingan.
Bagi Islam fundamentalis, hal ini disebut dengan "hijrah", dan
berpendapat bahwa dogma adalah standar bagi masuknya seseorang kepada
golongan ini dan penguat sebagai "mukmin sejati". Sifat yang
kedua adalah watak penentang, yang mana melihat seseorang dari segi
perlawanannya. Hal inilah yang menjadikan golongan fundamentalis itu
sebagai minoritas, yang selalu merasa akan adanya bahaya yang mengancam
akidah mereka.
Barr menambahkan, meski golongan ini sangat ketat sekali terhadap
musuh-musuhnya dan mengancam orang yang tidak sependapat dengannya,
mereka tetap menggunakan akidah sebagai senjata untuk menyerang orang
lain,¹? banyak juga para fundamentalisme yang menggunakan dalil Al
Quran, seperti ayat 139 urat Ali Imran, atau ayat 35 Surat Muhammad,
bahkan walaupun sudah berkuasa, kaum fundamentalisme masih tetap
bersifat mengancam. Di sini seperti biasa mereka akan berusaha
memberangus kritik dan perbedaan, dalam segi ini.
Sedangkan Garaudy melihat dari sisi lain, ia melihat dari segi
dogma dan kekakuan madzhabnya itu sebagai konsekuensi terhadap kelaziman
pemeriksaan—dinisbatkan terhadap penguasa pemeriksa—karena setiap
orang yang menolak adanya suatu hakekat, maka secara mutlak dianggap
sakit dan harus dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa atau dianggap
murtad yang layak dipenjara atau dibunuh.¹?
Banyak para pembahas yang menolak bila fundamentalisme
digambarkan sebagai golongan pinggiran yang kolot yang terasing dari
lingkungannya, hidup dan bergantung dengan masa lalu, tidak realistis
dalam menghadapi kehidupan yang selalu berubah, banyak dalil yang
menunjukkan bahwa kaum fundamentalisme mampu berinteraksi secara dinamis
dengan lingkungan masyarakat dan kebudayaan modern, namun beragam
tingkat interaksinya, terlebih tidak ada satu kawasan pun yang bisa
terlepas dari pengaruh luar, dalam hal ini bidang politik bisa di
jadikan contoh.
Aktifitas politik bukan hanya dilakukan oleh kaum Islam
fundamentalis, namun juga dilakukan oleh kaum-kaum fundamentalis lain,
meski dalam Islam lebih banyak berpengaruh dan menyibukkan dunia,
dikarenakan aktifitas politik yang dilakukan oleh kaum fundamentalis itu
tergantung pada kondisi yang dihadapi.16 Di dunia Islam, aktifitas
politik itu sebagai reaksi atas imperialisme yang sangat keras, adapun
dalam lingkungan Protestan, fundamentalisme Amerika itu sebagai reaksi
melawan gerakan kaum liberal yang menguasai dunia Kristen paska Darwin
di bawah cahaya ilmiyah dan sejarah nash yang tercabik-cabik. Sehingga
mereka senantiasa menghubungkan evolusi dengan sosialisme, dan
kelanjutan dari perang dingin dengan komunis. Bagi mereka fenomena di
atas dianggap ancaman dari kaum kiri dan pembangkangan terhadap Kristen.
Di Amerika Selatan, muncul golongan “para penjaga” yang
menghadapi dekandensi moral, keluarga, dan hak-hak wanita, demikian juga
kekuatan golongan "akhlak mayoritas" sebagai kekuatan penjaga
kelompok kanan, di mana hal ini merupakan akibat dari kekawatiran
terhadap perubahan.¹? Tatanan fundamentalisme berkembang sampai
keluar Amerika menjamah Amerika Latin, di situ terdapat
perseteruan sengit di dalam Gereja Katolik akibat dari gerakan
pembebasan. Dalam Kristen, aktifitas tersebut sebagai reaksi melawan
gerakan aliran liberal. Fundamentalisme
vis a vis Ilmu dan Pembaharuan
Dari
segi politik, semua bentuk fundamentalisme bisa dikatakan baru karena
mereka berusaha untuk mewujudkan kembali sistem ideal di masa kini, atau
mencari negara model baru di dalam sejarah. Hal ini sesuai dengan
fundamentalisme Islam yang merupakan gerakan politik dan
pemikiran-pemikiran baru yang berusaha mendirikan negara Islam, yang
diilhami oleh masyarakat Madinah dan masa Khulafaurrasyidin, sebagai
manifestasi dari usaha pengkorelasian masa lalu dan sekarang.¹?
Usaha Fundamentalisme dalam mendirikan atau merubah negara dan
masyarakat tidak mungkin menolak hal-hal baru secara keseluruhan, dari
sini muncul pemikiran tidak pertentangan anatara kondisionalisasi akidah
dengan realita. Seperti hubungan akidah dengan ilmu dan pengetahuan.
Pada sisi lain, bersamaan dengan perkembangan ilmu dan
pengetahuan semestinya fundamentalisme akan surut dan rugi, hal ini
secara teori sangat logis sekali, namun lain dalam kenyataan, banyak
sekali dalam masyarakat sekuler, fundamentalisme berkembang pesat,
dikarenakan perasaan adanya bahaya yang mengancam. Fundamentalisme tidak
hanya tersebar bagi kalangan non pelajar saja, banyak yang mengatakan
bahwa hal ini juga menghinggapi para ahli fisika dengan kadar lebih
banyak dari pada ahli biologi, dan ahli biologi lebih banyak dari pada
orang yang belajar ilmu-ilmu sosial masyarakat.19 Banyak dikatakan
fundamentalisme tumbuh subur di lingkungan pedalaman tradisional, sedang
faham liberal tumbuh subur dilingkungan perindustrian kota, namun hal
ini tidak bisa dijadikan pegangan, karena banyak pemimpin
fundamentalisme berasal dari satu masyarakat di mana para penganut
liberal berasal, karena pengaruh yang sebenarnya bukan hanya berasal
dari tempat asal, tapi juga dari pengaruh macam-macam pemikiran.
Meski Kristen fundamentalis menghalangi perkembangan dan ilmu
dalam jangka waktu yang lama, namun toleransi antara ilmu dan non ilmu
berkembang di masyarakat Barat modern, di mana semestinya antara ilmu
dan fundamentalisme saling bertentangan, minimal dalam satu individu
atau satu kebudayaan, namun pada kenyataannya banyak sekali orang yang
aktifitasnya erat sekali dengan keilmuan tidak begitu memperhatikan ilmu
sebagai pembentuk jalan kehidupan atau sebagi pandangan hidup, mereka
menggunakan ilmunya sekedar spesialisasi. Dari sini mulai tampak
pemisahan antara teori dan praktek, ilmu sekedar pekerjaan atau
pengetahuan, tidak berubah menjadi pembentuk kepribadian.²?
Dalam satu segi, fundamentalisme kadang berdiri berlawanan dengan
agama masyarakat, karena melarang nujum, sihir, khurafat, dan lainnya.
Mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran dan akidah-akidah ortodoks
yang tertutup dan intoleran. Kaum Islam fundamentalis dikenal senjatanya
yaitu, "bid'ah", menjadikan faham fundamentalis jauh dari
agama masyarakat.
Fundamentalisme dan agama masyarakat kadang berada dalam posisi
berlawanan, dan hal ini tentunya membawa konsekuensi runtuhnya kedua hal
tersebut, namun para pengamat sering dibuat kagum karena kedua hal
tersebut masih tetap berlangsung hidup. Dalam kondisi ini banyak yang
menganggap lebih disebabkan oleh pengaruh luar, dan sebagian menganggap
perkembangan fundamentalisme itu akibat dari kurang memperhatikannya
kaum liberal terhadap kegiatan masyarakat.²¹
Bisa juga fundamentalisme bertentangan dengan pembaharuan, karena
fundamentalisme berfaham pada kekuasaan nash yang mutlak, sedangkan
pembaharuan nisbi, berubah-rubah, dan penuh pertanyaan-pertanyaan tanpa
henti. Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal tentang Islam
Fundamentalis: "Mereka membaca Al-Quran dengan penglihatan mati,
tidak mampu berijtihad dan tidak kritis".²²
Adakah
Fundamentalisme dalam Islam?
Sebagian
pembahas melihat bahwasanya fundamentalisme adalah inti dari agama-agama
Semit (Yahudi, Kristen dan Islam), maka secara langsung agama-agama
inilah yang melahirkan fundamentalisme. Tapper menganggap bahwa
Protestan fundamentalis tersembunyi dalam agama-agama Semit, terbukti
dengan adanya dogma sentral, yaitu kepercayaan terhadap kemaksuman kitab
suci, yang merupakan lambang utama keberlangsungan ideologi dan untuk
menjaga kritik yang menentang kepercayaan kemaksuman tersebut.²³
Di samping sifat-sifat yang telah disebutkan di atas, seperti
mengasingkan diri, penentangan, dan perasaan adanya bahaya,
fundamentalisme merupakan doktrin kekuasaan suci, atau ideologi kitab
dan nash, dan pemikiran Islam mencakup ideologi ini khususnya dalam
interaksinya dengan Al Quran sebagai wahyu Tuhan dan penyempurna bagi
agama-agama yang lain.
Lampton berpendapat, bahwasanya dalam Islam terdapat inti pokok
fundamentalisme, sedang dalam Kristen dan Yahudi bukan fundamentalisme
secara sempurna, namun terdapat potensi yang kuat bagi munculnya
fundamentalisme, dan itu telah
terjadi, dan menganggap kalimat-kalimat yang terdapat dalam kitab suci,
baik Taurat, Injil maupun Al-Quran, meski datangnya dari Tuhan masih
membutuhkan penerjemah, pengurai, penta'wil yang hadir secara manusiawi.
Dari sini akan kita temukan macam-macam fundamentalisme yang setiap
satunya mengklaim kebenaran, untuk itu ditemukan hubungan antara
fundamentalisme dan perseteruan sekte dan madzhab, sampai dikatakan hal
tersebut disebabkan karena Islam pada intinya adalah fundamentalisme,
oleh karena itu perpecahan dan perselisihan berlangsung dalam jangka
waktu yang lama, dan tidak luput dari unsur agama.²? Pendapat ini ada
benarnya, meski kelemahan penguasa ikut andil dalam perpecahan dan
perselisihan tersebut.
Para orentalis menganggap Islam fundamentalis sebagaimana
fundamentalisme secara umum. Watt mengemukakan ciri-ciri bagi orang
Islam seperti: teguh, tidak mudah goyah, hilangnya pikiran perkembangan,
dan wataknya tidak berubah, Islam cukup mengambil sample dari masa-masa
pertama. ²?
Gellner melihat Islam fundamentalis itu mempunyai sifat
kesederhanaan, penuh dengan kekuatan, militansi yang kadang-kadang keras,
dan gerakan menjaga masyarakat, mayoritas kehidupannya miskin, mampu
mengkondisikan masyarakat dengan kebudayaan kuno yang terkandung dalam
akidahnya, serta menunjukkan sebab-sebab kesengsaraannya itu disebabkan
oleh penyimpangan dari jalan yang benar, dan solusi dari semua ini
adalah kembali kepada etika dan kekuatan identitas. 26
Sebagian lagi berpendapat, bahwasanya fundamentalisme adalah
ideologi yang kuat pada dunia ketiga yang bergerak untuk mencapai
kemerdekaaan dari para penjajah,²? namun pada saat sekarang ini
terkadang sekedar menjaga identitas kebudayaan dari arus globalisasi.
Para pembaharu Islam mengemukakan penafsiran yang berbeda tentang
fundamentalisme dan integrisme Islam, dalam upaya menempatkannya dalam
bentuknya yang asli, dan ketidakcocokannya dengan akidah Islam, bahkan
sampai cara penyebarannya, Arkoun mengatakan: umat Islam pada saat ini
terdapat bermacam-macam sentral, bukan hanya satu, ada yang membawa nama
fundamentalisme, Khumeinisme, integrisme dan lain-lain. Demikian karena
pergerakan Islam telah berbentuk obsesi-obsesi yang tidak lagi seperti
agama, namun seperti ambisi dari ideologi besar dalam upaya menggerakkan
impian masyarakat dan menyalakannya.²? Dan kemudian berusaha mencari
akar kebudayaan, psikologi, dan bahasa bagi fundamentalisme yang ada
dalam masyarakat kitab.29
Abdul Jabbar berpendapat; gerakan Islam fundamentalis adalah
salah satu fenomena penentangan akan kondisi irrasional bagi masyarakat
sekarang, dan mempunyai watak politik ideologi. Pergerakan
fundamentalisme dalam dunia Arab selalu berusaha untuk mengembalikan
kecenderungan sosial masa lalu dalam bentuknya yang baru, di mana
pergerakan politik lebih dominan dari pada ilmiyah.³? Dalam lingkup
Islam politik dan pergerakan sendiri di situ ada penolakan dengan
penamaan ini, namun kadarnya berlainan, namun ada juga yang menerima
secara tersirat.
Syeikh Syamsuddin mengatakan: "dalam Islam tidak ada
fundamentalisme, penamaan ini akibat dari pengaruh peristilahan, bahasa
dan pemikiran Barat, barangkali terdapat Kristen fundamentalis dan
Kristen non fundamentalis, dalam Islam tidak ada fundamental dan
nonfundamental, yang ada muslim multazim (yang menjalankan agamanya
dengan baik) dan muslim tidak multazim. Ada orang yang sholat lima waktu
dan ada juga yang teledor. Dan apa yang dinamakan dengan gerakan
fundamental kita menamakannya pergerakan orang-orang Islam yaitu
orang-orang yang berkecimpung di dunia politik.³¹
Syeikh Turoby sependapat dengan hal ini dan menambahkan,
bahwasanya di dunia Islam, fenomena
ini ada yang serupa dengan kebangkitan di Eropa, semacam gerakan
pembaharuan kebudayaan menyeluruh, yang berupaya untuk mengadakan
perbaikan terhadap masyarakat secara efektif melawan kekakuan dan dogma
masyarakat tradisional yang terbelakang, tapi istilah ini sering
menyesatkan.³²
Epilog
Semua
hal di atas menunjukkan dilema fundamentalisme dalam berinteraksi dengan
fakta dan sejarah, mustahil kembali ke asal sebagaimana semula.
Mengulang ke model peradaban, masyarakat, atau kebudayaan masa lalu akan
mengingatkan kita kepada anekdot terkenal "kamu tidak akan turun
dalam satu sungai dua kali", dan inilah kondisi yang sebenarnya,
karena sungai itu berubah dan kita juga berubah, bahkan sampai pemikiran
perbaikan ataupun pembaharuan akan menemui kesulitan untuk mencapai
kesepakatan. Kenapa kita harus memperbaiki sesuatu yang tidak mampu lagi
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan baru? Apa salahnya kalau kita
gunakan hal-hal baru untuk sesuatu yang baru juga? Klaim pembaharuan dan
kembali ke asal (identitas), hanya sekadar pembenaran pribadi, dan
merupakan perbuatan yang tidak didasari logika.
Pada dasarnya fundamentalisme adalah pembahasan tentang keamanan,
ketenangan, dan kepuasan jiwa. Karena hal tersebut merupakan
piranti-piranti yang murah dan tidak membutuhkan banyak tuntutan, tanpa
petualangan dan benturan serta langsung menukik ke dunia nyata. Wallahu
A'lam Bi Al Shawab. *
Diterjemahkan dan disarikan oleh: Nurhadi, Mahasiswa Fakultas Sastra
Arab, Universitas Al Azhar Kairo. Catatan
Kaki: 1
DR. Haidar
Ibrahim Ali. Guru Besar Ilmu Sosial dan Direktur Pusat Pendidikan Sudan.
Judul asli makalah ini, Al Ushûliyyah; Al Târîkh Wa Al Ma’na 2
James Barr:
Fundamentalism. London : SCM Press, 1977, phal 1-3 3
Lionel Caplan
(ed): Studies In Fundamentalism. London : Mac Millan Press, 1987, hal. 1
4
Marsden, G. :
Fundamentalism And American Culture; The Shaping Of Twenthiet Century
Evangelicalism, 1890 – 1925. New York: Oxfort University Press, 1980,
hal. 244 5
Roger Garaudy
: Al Ushûliyyah Al Mu'âshirah;
Asbabuha Wa Madhahiruha. Ta'rib Khalil Ahmad Khalil. Paris, Dar Alfain,
1992, hal. 13 6
Barr, op.
cit., hal. 2 7
Walker, A.,
Fundamentalism And Modernity: The Rentoration Movement In Britain, in
caplan, hal. 195 8
Caplan, L.,
op. cit., hal. l 9
Garaudy, op.
cit., hal. 13 10
Burrel, R.M.
(ed.) Islamic Fundamentalism . No. 1/ 1989, hal. 5 11
Lambton,
A.K.S., The Clash Of Civilizations: Authority, Legitimacy And
Perfectibility, in caplan, hal. 33 12
Burrel, R.M.,
op. cit, hal. 5 13
Ricard and
Nanany Tapper: "Thank God We're Seculer!" Aspects Of
Fundamentalism In A Turkish Town, in caplan, hal. 51 14
Barr, op.
cit., hal. 318, 341 15
Garaudy, op.
cit., hal. 36. 16
Caplan, hal.
5-6 17
Ibid, hal. 6 18
Sami Zubaida,
The Quest For The Isamic Fundamentalism. In Egypt And Iran, in caplan,
hal. 25-27 19
Barr, op.
cit., hal. 90 20
Ibid, hal. 91
21
Robert
Wuthnow, Sociology Of Religion, in : Neil Semelser (ed.). Handbook Of
Sociology. London. Sag Publication, 1988, hal. 483 22
Auro Garaudy,
op. cit., hal. 97, An Kitabi
Iqbal, "Mu'awedah Bina' Al Fikri Al-Islam Al-Dini,
Dar Mizunuf, Paris 1955 23
Tapper and
Tapper, op. cit., hal. 55 24
Lampton,
op. cit., hal. 34 25
W. Montgomery
Watt: Islamic Fundamentalism And Modernity, London: Routledge, 1992, hal.
72 26
Ernest
Gellner : Postmodernism, Reason And Religion. London: Routledge, 1992,
hal. 72 27
Tapper, op.
cit., hal. 58 28
Muhammad
Arkoun : Aina Huwa Al Fikr Al Islami Al Muashir?
London, Dar Assaq, 1993, hal. 126 29
Ibid, hal.
126 30
Falih Abdul
Jabar, Ma'âlim Al Aqlâniyah Wa Al Khurâfat Fi Al Fikri Al Siyâsi Al
Arâby. London, Dar Assaqy, 1992, hal. 80 31
Syekh
Muhammad Mahdi Syamsuddin, Majalah Al Wathân Al Arâby, 27 Desember
1991. 32
Syeikh Hasan
Turoby: Syahâdah Amâm Majlis Al Nuwâb Al Amrîki,
Mei 1992, dari majalah Syu'ûn Syarqi Al Awsath, Issue: 10, Juli
1992, hal. 49 |