Menelusuri Akar Muslim Fundamentalis

Analisa Kritis Paradigma Komplek¹

Zainul Ma‘arif ²

 

Prolog

DENGAN kecerdikan luar biasa, teroris internasional yang tak berprikemanusiaan itu sanggup menyerang WTC dan Pentagon pada tanggal 11 September 2001. Amerika pun kebakaran jenggot dan dunia gempar. Karena mereka tak menyangka; negara adikuasa yang demikian hebat dapat dipecundangi.

 

Pada hari itu juga, seorang nara sumber CNN langsung berkata, bahwa kemungkinan besar, Bin Laden dan kroninya lah dalang kejadian itu. Hingga George W. Bush yang sebelumnya tak berinisiatif menyerang Bin Laden, Thaliban, dan Jaringan Al-Qaeda, akhirnya tergerak oleh kekuatan isu pers. Lalu, pada tingkat politik-militer, Amerika membabi-buta, menyerang kelompok Bin Laden tanpa alasan rasional. Dan pada tingkat diskursus, wacana fundamentalisme Islam pun marak dibahas, bersanding dengan wacana terorisme.

 

Waktu itu, hubungan antara wacana terorisme dengan wacana fundamentalisme Islam memang rancu: sebatas prediksi dan asumsi. Karena Amerika tak punya bukti kongkret untuk mengkambing hitamkan kelompok Bin Laden. Bahkan rumor yang mengudara pun berbeda: “Yahudilah biang keladinya”. Sebab, konon nomor pesawat yang menabrak WTC menunjukkan sandi yang mengarah ke Yahudi. Dan seperti telah diatur, konon warga Yahudi yang bekerja di WTC banyak yang  mengambil cuti sebelum kejadian itu. Namun, kini tuduhan tanpa bukti itu cukup clear. 1rstwap.com pada awal september 2002 memberitakan bahwa dua anggota Jaringan Al-Qaeda mengaku bahwa merekalah yang merencanakan serangan tersebut.

 

Kalau kabar itu benar, maka hubungan terorisme dengan fundamentalisme Islam yang sebelumnya kabur, kini mulai tampak jelas. Kejelasan ini kemudian akan bertambah jernih, jika prediksi bahwa pelaku pengeboman Bali 12 Oktober 2002 adalah muslim fundamentalis itu juga benar.

 

Oleh karena itu, mengingat tetap bergejolaknya fenomena ini hingga kini, dan kemungkinan akan berestafet di masa mendatang, maka pembahasan akar-akar fenomena muslim fundamentalis mutlak diperlukan. Apa yang dimaksud dengan muslim fundamentalis? Apa pemikiran dan tindakan mereka? Mengapa fenomena muslim fundamentalis berikut pemikiran dan tindakannya timbul? Faktor apa sajakah yang melatarinya? Bagaimana sikap kita terhadap kemunculannya ? 

 

Demi hasil pembahasan komprehensif, penulis memandang perlu penerapan paradigma komplek (al-namûdzaj al-murakkab) sebagai pisau analisa-kritik. Yaitu, paradigma terbuka-luas-integral-plural yang mengarah kepada paradigma obyektif, dengan menganalisa dan menginterpretasi obyek/fenomena secara kritis, dari pelbagai aspek yang berinterrelasi (seperti aspek politik, sosial, ideologi-epistemologi, psikologi, peristilahan dll).³ Sebab, fenomena ini adalah fenomena manusia yang komplek dan mungkin timbul dari pelbagai dimensi, hingga perlu ditilik secara kritis dari pelbagai dimensi pula.

 

Di antara dimensi yang perlu ditilik dari fenomena muslim fundamentalis adalah dimensi peristilahannya. Apa yang dimaksud dengan istilah muslim fundamentalis?

 

Maksud Istilah ‘Muslim Fundamentalis’

Menurut M. ‘Abid Al-Jâbirî, istilah ‘muslim fundamentalis’ awalnya dicetuskan sebagai signifier bagi gerakan Salafiyyah Jamaluddin Al-Afghânî. Istilah ini, dicetuskan karena bahasa Eropa tak punya istilah padanan yang tepat untuk menterjemahkan istilah Salafiyyah. Hingga Anwar Abdul Malik pun memilih istilah itu sebagai representasi dari istilah Salafiyyah Al-Afghânî, dalam bukunya Mukhtarât min Al-Adab Al-Arabi Al-Mu‘âshir (1965: berbahasa Prancis), dengan tujuan memudahkan pemahaman dunia tentangnya dengan istilah yang sudah cukup akrab: fundamentalisme.?

 

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafi. Professor filsafat Universitas Cairo ini mengatakan bahwa term ‘muslim fundamentalis’ adalah istilah  untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam, revivalisme Islam, dan gerakan/kelompok Islam kontemporer, yang sering digunakan peneliti Barat lalu sering digunakan oleh banyak pemikir.?

 

Kalau Al-Jâbirî dan Hanafi cenderung adem ayem  dengan pematokan istilah tadi, M. Said Al-Asymawi cenderung berusaha mencari akar peristilahannya. Sebelum sang mustasyar ini menggunakan istilah ‘muslim fundamentalis’, ia berusaha mengungkap makna awal dari istilah ‘fundamentalis’.

 

Dalam buku Al-Islâm Al-Siyasî (1987), Al-Asymawi berkata bahwa istilah fundamentalis awalnya berarti umat kristen yang berusaha kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Term itu kemudian berkembang. Lalu disematkan pada setiap aliran yang  keras dan rigid dalam menganut dan menjalankan ajaran formal agama, serta ekstrem dan radikal dalam berpikir dan bertindak. Hingga komunitas Islam yang berkarakter semacam itu kena imbas disebut fundamentalis, dan istilah fundamentalisme Islampun muncul.6

 

Seluruh paparan di atas tampaknya berkonvergensi pada sebuah kesimpulan bahwa istilah ‘muslim fundamentalis’ telah mengalami pematokan, pelebaran dan penyempitan. Istilah itu sempat dipatok untuk fenomena Salafiah Al-Afghânî. Kemudian dilebarkan untuk semua gerakan revivalisme Islam. Lalu disempitkan untuk gerakan muslim radikal/ekstrem/literal/garis-keras. Dan penyempitan inilah yang kini sering dijadikan sebagai relational meaning bagi kata ‘muslim fundamentalis’.

 

Jika yang dimaksud dengan muslim fundamentatis dewasa ini adalah komunitas muslim radikal/ekstrem/literal/garis-keras, maka, apa pemikiran dan tindakan mereka, hingga mendapatkan banyak julukan seram? Dan mengapa mereka berpikir dan bertindak semacam itu?

 

Pemikiran dan Tindakan Muslim Fundamentalis

Pikiran inti dari muslim fundamentalis adalah Hakimiyyat allâh. Yaitu, pengakuan atas otoritas Tuhan dan syariatNya semata di atas bumi, dan ketundukan manusia hanya kepadaNya.?

 

Landasan berpikir pikiran tadi berupa kalimat tauhid lâ ilâha illa allah. Yang berarti; tiada tuhan selain Allah, dan tiada otoritas dan syariat kecuali syariat dan otoritas Allah.? Sehingga, ia berimplikasi epistemologis pada penegasian semua yang bukan Allah dan bukan dari Allah, dan berimplikasi epistemologis pada pemberian label musyrik, kafir, fasik dan dlalim bagi siapa saja yang tak menegasi selain allah  dan syariatNya.

 

Hal ini terbukti pada perkataan muslim fundamentalis bahwa; siapapun yang enggan menegasikan sistem selain dari Allah, atau menolak dan memusuhi kedaulatan dan sistem Allah (hakimiyyat allâh dan syariat Allah), adalah musyrik jahiliyyah. Karena mereka telah mensekutukan Tuhan dengan mengakui otoritas selainNya dan menggunakan sistem selain sistemNya.9 Dan barang siapa yang enggan menerapkan syariat Islam adalah kafir, fasik, dan dzalim. Karena Tuhan telah berfirman ”...wa man lam yahkum bi mâ anzala Allah fa ulâika hum al-kâfirûn...al-dzâlimûn...al-fasiqun” (...barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir...dzalim...fasik).¹?

 

Ide yang hanya mengakui otoritas Tuhan dan syariatNya ini, tentu  saja tak mengakui demokrasi. Karena baginya, semua adalah dari Tuhan untuk manusia. Tak ada istilah, dari manusia (baca: rakyat) untuk manusia.

 

Hakimiyyat Allah juga tak mengakui kontrak sosial. Karena kesepakatan bersama masyarakat untuk kepentingan bersama dalam suatu komunitas manusia, baginya  tak diperlukan lagi. Semuanya sudah distempel oleh Tuhan dan syariatNya. 

 

Dan ia juga tidak mengakui pluralitas. Karena yang diakui hanya syariat Allah saja (baca: syariat Islam Muhammadisme). Tak perduli dengan penganut agama lain yang punya syariat sendiri.

 

‘File’ demokrasi, pluralitas dan kontrak sosial seluruhnya tak ada dalam ‘hard disk’ hakimiyyat allah. Sebaliknya, teokrasi dan teosentris memenuhi seluruh ‘capacity’nya. Pendapat ini dibuktikan dengan  implikasi epistemologis-praktis hakimiyyat allah yang cenderung membela Tuhan dan agama dari pada membela manusia. 

 

Berorientasi melangit dari pada membumi. Sebenarnya tendensi mengangkasa ini wajar terjadi mengingat titik tolaknya adalah kalimat tauhid la ilaha illa allah. Namun sayangnya, kalimat tauhid yang konon digunakan untuk mengagungkan Tuhan dan syariatNya saja itu, terkadang tak lagi proporsional. Yang dibesarkan tak lagi Allah dan syariatNya semata, melainkan diri sendiri dan pendapatnya.

 

Hal ini bisa kita lihat pada pengakuan mereka bahwa merekalah umat terbaik, umat Islamiyyah; selainnya buruk,  jahiliyyah. Pendapat mereka adalah pendapat terbenar dan harus ditaati karena berpegang pada syariat Tuhan, sedang pendapat lainnya  adalah salah. Padahal pengakuan itu belum tentu sesuai dengan realitas,  secara tidak langsung telah menempatkan diri pada posisi Tuhan, telah meredusir egalitarisme manusia, dan telah melupakan bahwa kebenaran mutlak dari Tuhan yang berada di ‘tangan’ manusia pada hakekatnya tak lagi mutlak: bercampur dengan kebenaran relatif manusia.

 

Klaim kebesaran dan kebenaran diri tadi cepat atau lambat akan menimbulkan gejala fasis. Kemudian menghasilkan cara pandang dikotomis. Lalu mendorong diri untuk memberi label-label buruk terhadap golongan yang tak sejalan. Seperti memberi label musyrik, kafir, dzalim, munafik dan jahiliyyah kepada seteru atau orang yang tak setuju dengan ide hakimiyyatullah dan penerapan syariat, dengan tanpa kesadaran penuh bahwa labelisasi itu berakar dari interpretasi literal yang tak bersandar pada asbab al-nuzul yang sebenarnya.¹¹

 

Kalau implikasi epistemologisnya sudah cukup menghawatirkan. Implikasi praktisnya lebih mengenaskan. Sinergi faham teokrasi, paradigma teosentris, yang  telah menimbulkan gejala fasis-dikotomis itu, kemudian menggulirkan tindakan semena-mena dan anarkis.

 

Dalam sejarah Islam klasik, kita dapat menyaksikan kekejian Khawarij menghalalkan darah Khalifah Ali. Dalam sejarah Mesir, kita dapat melihat keganasan muslim fundamentalis membunuh Presiden Anwar Sadat dan Farag Faudah. Dan dalam sejarah Indonesia, bumi pertiwi ini sempat dipicingkan matanya oleh radikalitas DI/TII; membuat makar di tengah masyarakat dan memberontak karena ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).

 

Tak dipungkiri, kekerasan pemikiran dan tindakan tersebut sungguh meremas otak dan hati. Apa faktor penyebab yang melatari kemunculannya?

 

Faktor Penyebab Pemikiran dan Tindakan Muslim Fundamentalis

Di atas, fenomena muslim fundamentalis telah kita dekati dari sisi ideologisnya. Sebab mereka mengaku bahwa faktor keimanan atau ideologi agamalah epistemologi dan motor penggerak pikiran dan tindakan mereka.

 

Dari pendekatan tersebut teraih sebuah kesimpulan bahwa tindakan radikal muslim fundamentalis timbul dari pikiran radikal. Dan pikiran radikal mereka muncul dari suatu landasan berpikir yang didekati dengan metode berpikir ekstrim.

 

Tapi, apakah benar, faktor ideologis keagamaan saja yang melatari fenomena ini? Dan apakah cukup, fenomena ini didekati dari sisi ideologisnya saja?

 

Sebagaimana yang telah diutarakan di prolog, fenomena ini akan didekati dari pelbagai aspek. Sehingga pendekatan dari segi ideologi belum dianggap final. Hal itu akan dilanjutkan dengan upaya mencari faktor-faktor penyebab lain dari aspek pendekatan  yang berbeda.  Di antaranya adalah aspek sosial.

 

Dalam tinjauan sosiologis, contoh kasus pikiran dan tindakan radikal gerakan muslim fundamentalis bisa disimpulkan muncul karena penekanan-penindasan.  Hal ini dapat dilihat dari maraknya gerakan muslim fundamentalis Indonesia pasca reformasi, dan munculnya Jamaah Jihad di Mesir. 

 

Di zaman Suharto berkuasa, gerakan muslim fundamentalis bisa dianggap sepi. Sebab, rezim ini menganut asas tunggal dan menerapkan undang-undang subversi.  Sehingga suara-suara yang ‘melenceng’ dari Pancasila ditebas. Dan tindakan-tindakan yang menggoyang stabilitas nasional dihempas.

 

Namun setelah roda reformasi bergulir, gerakan muslim fundamentalis mulai ramai.  Mereka yang tadinya tak bebas di zaman Suharto, mulai berani unjuk gigi secara serempak. Dengan mendirikan partai politik, LSM, majlis ta’lim, dll, dan menjual ide ke wilayah publik.

 

Demikian halnya dengan keadaan sosial politik yang dialami muslim fundamentalis Mesir sebelum Jamaat Jihad didirikan. Pada bulan September 1981 pemerintahan Anwar Sadat menetapkan undang-undang subversi ‘al-fitnah atthaifiyyah’. Lalu aktivis Ikhwan Muslimin yang dianggap oposan dipenjara. Dan dalam penjara mereka mendirikan Jamaah Jihad. Kemudian pada tanggal 6 Oktober 1981, kelompok yang berpegangan pada buku radikal “alfaridzah al-ghaibah” karya  Muhammad Abdussalam itu, membunuh Presiden Anwar Sadat.¹² 

 

Dari dua contoh kasus itu, maka cukup tepat untuk mengatakan bahwa gerakan muslim fundamentalis, secara sosiologis, timbul karena tertindas atau tertekan.

 

Masih dalam tinjauan sosiologis pula, fenomena muslim fundamentalis ini bisa juga disimpulkan sering muncul dalam keadaan sosial-politik yang tidak stabil. Contoh kongkretnya dapat dilihat pada kasus munculnya Khawarij dan gerakan muslim fundamentalis Indonesia.

 

Pada zaman khalifah Ali, perang saudara sedang berkecamuk hebat antara kelompok Ali dan Muawiyyah. Kedua belah fihak bersengketa pendapat tentang  masalah pembunuhan Utsman dan masalah khilafah. Kelompok Ali bersikeras mengangkat khalifah terlebih dahulu lalu menyelesaikan masalah pembunuhan. Sedangkan kelompok Muawiyyah menuntut penyelesaian masalah pembunuhan terlebih dahulu sebelum khalifah dipilih.

 

Karena masing-masing telah menjadi air dengan minyak, maka rekonsiliasi-perdamaian tak berarti lagi. Sesama muslim itu saling bunuh. Lalu damai dengan sistem tahkim.

 

Dalam keadaan runyam semacam ini Khawarij yang awalnya masuk dalam golongan Ali keluar darinya dan muncul secara independen ke permukaan sejarah klasik Islam. Dengan latar belakang kekecewaan mendalam atas roman ganas dua kelompok yang berseteru dan slogan “La hukma illa allah”, mereka berpendapat bahwa Ali dan Muawiyyah kafir dan halal darahnya. Kemudian Ali mereka bunuh, sedangkan Muawiyyah masih tetap hidup karena pengawalan ketat.¹³  

 

Adapun kemunculan gerakan muslim fundamentalis Indonesia, selain karena penekanan, sebagaimana yang diutarakan di depan,  adalah karena ketidak stabilan sosial-politik, sebagaimana yang dialami oleh Khawarij pada awal kemunculannya.

 

Pada akhir pemerintahan Suharto, Indonesia mengalami krisis multi dimensi yang cukup akut. Bidang ekonomi, sosial, politik dan etika semuanya parah. Sehingga masyarakat resah dan kepercayaan kepada pemerintah dan sistemnya menghilang.

 

Hal ini dirasakan pula oleh golongan muslim fundamentalis. Maka, setelah genderang reformasi ditabuh dan kebebasan berkelompok terbuka lebar, mereka keluar dari persembunyian. Mendirikan kubu-kubu, lalu berteriak mengkampanyekan penerapan syariat sebagai solusi krisis. 

 

Jadi, kemunculan kelompok muslim fundamentalis tak hanya timbul karena faktor ideologis saja, seperti yang disebutkan muslim fundamentalis. Faktor realitas sosial juga punya andil besar dalam ‘mengorbitkannya’. Bahkan ia mungkin mendahului faktor ideologis. Hingga tak heran Mahmud Ismail mengatakan; “krisis radikalisme awalnya adalah krisis realitas yang disusul oleh krisis pemikiran.”14? Atau dengan kata lain; timbulnya gerakan muslim fundamentalis adalah karena  merespon keadaan realitas.

 

Namun, benarkah fenomena ini hanya merespon realitas  saja tanpa ambisi politik di belakangnya? Untuk membahas hal itu, fenomena muslim fundamentalis perlu didekati dengan tinjauan politik.

 

Dalam tinjauan politik, fenomena muslim fundamentalis sering disebut dengan Islam politik. Yaitu suatu gerakan sempalan umat Islam yang menggunakan agama sebagai kendaraan politik untuk menggapai suara publik dan kekuasaan, lalu  berusaha mengganti sistem yang ada dengan sistem Islam versi mereka. Seperti partai-partai politik Islam di Indonesia dan Ikwan Muslimin di Mesir.

 

Bagi Farag Ali Faudah, fenomena ini adalah suatu problem politik negara. Karena dengan kemunculannya; negara masuk dalam dialog keagamaan, partai politik yang sejatinya tak berbasis agama—demi peraihan suara—ikut-ikutan mempolitisir agama, dan konstelasi politik elite negara dijejali dengan orang-orang awam politik.15? Dengan istilah lain, fenomena ini telah mengotori sakralitas dan religiusitas agama, dan telah merancang sistem yang nonproporsional. Karena Islam yang sejatinya Tuhan inginkan untuk dijadikan agama yang umum dan universal, telah disempitkan oleh sekelompok muslim ke dalam lobang politik yang terbatas.16

 

Tapi meski fenomena ini menjadi problem politik negara, penulis pikir ia wajar saja muncul atas nama kebebasan berkelompok dan berekspresi. Sebab, bila fenomena ini ditekan apalagi ditindas, akibatnya mungkin lebih fatal bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu fenomena yang mengandung ambisi politik tersendiri ini perlu diberi ruang gerak bebas, asal tidak memaksakan kehendak apalagi mengancam keamanan dan kenyamanan.

 

Bersama tinjauan politik ini, fenomena muslim fundamentalisme terlihat profan. Ide dan tindakannya juga demikian: tak lagi atas nama Tuhan, agama dan umat, melainkan atas nama komoditas politik. Sebab, faktor penimbulnya bukan lagi ideologi agama, melainkan respon terhadap realitas sosial-politik yang dibarengi dengan ambisi kekuasaan.      

 

Bila kenyataannya bersifat duniawi dan memproyeksi realitas luar, adakah motivasi dari dalam, atau faktor kejiwaan lain—selain faktor ideologis keagamaan—yang melatari kemunculannya?  Kali ini, psikologi perlu dijadikan optik. Menurut analisa psikologi, manusia punya kecenderungan untuk membanding-bandingkan. Membandingkan diri sendiri dengan orang lain, masa lalu dengan masa kini, dan lain serupanya.

 

Begitu juga dengan umat Islam secara umum dan golongan muslim fundamentalis secara khusus. Mereka kerap membandingkan kemunduran diri dengan kemajuan golongan lain dan/atau dengan kejayaan generasi lampau. Sebagaimana yang tampak marak di tengah konstelasi wacana Timur Tengah semisal bahasan tentang tradisi dan modernitas (M.Abid Al-Jabiri), tradisi dan pembaruan (Hassan Hanafi), otentitas dan kekinian (Yusuf Qardlawi) dan lain sebagainya.

 

Di tengah-tengah upaya perbandingan ini, umat Islam berusaha maju. Dengan  mengulang kejayaan masa lalu, atau meniru golongan lain, atau membuang satu di antara keduanya, atau membuang keduanya dan berkreasi sendiri.

 

Dalam memilih empat opsi ini, golongan muslim fundamentalis lebih suka memilih pengulangan kejayaan masa lalu dan membuang produk golongan lain. Hingga kemunculan mereka sering disebut dengan golongan revivalis Islam. Yang berusaha mengembalikan ajaran Nabi Muhammad secara literal dan kejayaan umat Islam klasik secara non-historis ke masa kekinian dan kedisinian, serta berusaha untuk membuang hal-hal dari luar tradisi Islam (baca: puritan).

 

Dari situ, kemunculan fenomena muslim fundamentalis dapat dikatakan sebagai manifestasi dari dorongan psikologis yang membandingkan diri lalu ingin maju. Perwujudannya merupakan respon dari perasaan mun­dur yang dialami kaum muslimin.¹? Oleh karenanya, faktor psikologis merupakan faktor lain yang cukup berperan dalam memunculkan fenomena muslim fundamentalis di samping beberapa faktor lain yang telah disebut di depan. 

 

Konklusi itu berikut konklusi pembahasan faktor-faktor lain penimbul fenomena muslim fundamentalis, mengantarkan kita pada kesimpulkan bahwa faktor penimbulnya tidak hanya satu. Akarnya beragam dan bercabang, sehingga fenomena yang ditimbulkannyapun dapat di lihat dari pelbagai sisi.

 

Yang  masih menjadi tanda tanya, bagaimana sikap kita terhadap kemunculan  fenomena yang akarnya beragam dan bercabang ini?

 

Sikap terhadap Muslim Fundamentalis

Di manapun dan kapanpun gerakan muslim fundamentalis muncul sebagai suatu kelompok, seyogyanya kita hargai dengan lapang dada. Karena berkelompok dengan orang-orang sealiran adalah hak asasi manusia.

 

Dan apapun ideologi yang mereka anut dan sebarkan, seyogyanya kita biarkan hidup bebas pula. Sebab, menganut ideologi apapun, atau tidak menganut ideologi apapun, dalam koridor kebebasan berpikir dan berekspresi, sejatinya hak asasi manusia juga. Sebagaimana setiap manusia berhak untuk beragama ataupun tidak beragama; bertuhan ataupun tidak bertuhan.

 

Namun bila hak kebebasan itu telah mereka salah gunakan dalam kehidupan sosial-politik, maka pelanggaran itu perlu ditindak. Semisal memaksa individu dan kelompok lain untuk menerapkan keyakinan dan konsep muslim fundamentalis, tanpa kontrak sosial dan negosiasi yang jelas. Sebab, hal itu telah menjurus pada pelanggaran hak asasi manusia dan telah menodai nilai penting kontrak sosial dan konstitusi.

 

Dengan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa sikap yang seyogyanya kita terapkan untuk menghadapi timbulnya fenomena muslim fundamentalis berikut pemikiran dan tindakannya adalah  sikap terbuka dan kritis, dengan kesiapan penuh untuk menindaknya secara tegas—dengan tangan negara—bila melanggar hak-hak asasi manusia, keluar dari konstitusi dan kontrak sosial, atau meresahkan kenyamanan dan keamanan masyarakat.

 

Beriringan dengan sikap kita dan kesempatan mereka itu, maka orang-orang yang berpikiran liberal-inklusif bertugas untuk menghadirkan pemikiran alternatif yang mencerahkan, agar terjadi keseimbangan. Adapun kebenaran dan kemaslahatan pemikiran alternatif itu akan diuji dan diraih dengan seleksi ‘alam’.

 

Epilog

Meski tak sempurna, makalah sederhana ini telah berusaha untuk menjawab  beberapa pertanyaan mendasar. Di antaranya ia telah menjawab pertanyaan seputar maksud dari istilah muslim fundamentalis. Dengan mendekati fenomena tersebut dari sisi istilah bahasa, sebagaimana metode semantik mendekati suatu fenomena. Lalu mengurai basical meaning dan relational meaning dari istilah muslim fundamentalis.  

 

Ia juga telah menjawab pertanyaan sekitar pemikiran dan tindakan muslim fundamentalis. Dengan menganalisa pikiran inti muslim fundamentalis berikut landasan berpikir dan implikasi epistemologis dan praktisnya, secara kritis. Lalu memberi  kesimpulan bahwa pikiran dan tindakan radikal muslim fundamentalis itu berakar pada ideologi yang mereka yakini.

 

Tapi tulisan ini kurang setuju seratus persen dengan kesimpulan itu. Ia kemudian berusaha merambah faktor-faktor lain yang kemungkinan besar menimbulkan fenomena muslim fundamentalis. Ia dekati fenomena ini dari aspek sosial, politik dan psikologi. Hingga ia dapat menyimpulkan bahwa akar penyebab fenomena ini sejatinya beragam dan bercabang. Lalu ia berusaha untuk menawarkan sikap yang berlandaskan pada konsep kebebasan manusia, hak asasi manusia, dan kekuataan konstitusi dan kontrak sosial untuk menghadapi kemunculan fenomena tadi. 

 

Dalam segala kesedarhanaannya, makalah ini sebenarnya tak bertujuan muluk-muluk. Ia hanya ingin mengajak siapapun untuk terbuka dan kritis dalam melihat, bersikap dan menghadapi suatu fenomena.

 

Catatan kaki:

1 Makalah Jurnal Nuansa yang dipresentasikan di diskusi eklusif LAKPESDAM NU Mesir pada tanggal 24 Oktober 2002.

2 Mahasiswa S1 Jur. Teologi-Filsafat, Fak.Ushuluddin, Univ.Al-Azhar, Cairo, Mesir. Ketua LAKPESDAM NU Mesir 2002-2004. Dan Koordinator Network of Islamic and Social Studies (NICoS) 2002-2003.

3 Lih., Abdul Wahâb Al-Masîri, Al-Insân wa Al-Hadlârah, (Cairo: Dâr Hilâl, 2002) h.3 & 329-381.

4 M.‘Âbid Al-Jâbirî, Dlarûrah Al-Bahts ‘an Niqath Al-Iltiqâ li Muwâjahah Al-Mashîr Al-Musytarak, dalam Hassan Hanafi & M. ‘Âbid Al-Jâbirî, Hiwar AL-Masyriq wa Al-Maghrib, (Beirut: Muassasah Al-Arabiyyah, 1990), h.32-34.

5 Hassan Hanafi, Al-Ushûliyyah wa Al-‘Ashr, dalam Hassan Hanafi & M. ‘Âbid Al-Jâbirî, Hiwar AL-Masyriq wa Al-Maghrib, h. 23.

6 M.Said Al-‘Asymâwî, Al-Islâm Al-Siyâsî, (Cairo: Sina li Nasyr,1987) h.129.

7 Sayyid Quthub, Ma‘âlim fî Al-Tharîq, (Cairo: Dâr Syurûq, 1992), h.10-11dan 67.

8 Ibid., h.29.

9 Ibid., h.10.

10 QS,V:44,45 dan 47

11 Karena QS,V:44,45 dan 47 seluruhnya turun menyikapi tindakan tasahhul Yahudi dan mengkhithobi mereka semata. Hingga tak bisa dijadikan dalil untuk mengkafirkan umat Muhammad. (lih., Al-Naisaburi, Asbab Al-Nuzul [Egypt: Musthofa Al-Bâbiy Al-Halbiy. Co. Press, 1968) h.112-113, CF., Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi; Al-Jami’ li Ahkâm Al-Qur’an Vol.5, [Dâr Sya‘b, n.d] h.2187). 

12 Tentang Jamaah Jihad dan pembunuhan Sadat lih., Hassan Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Vol.6, (Cairo: Maktabah Madbouli, 1989) h.26-31.

13 Tentang Khawarij dan pembunuhan Ali, lih., Al-Syahrusatânî, Al-Milal wa al-Nihal, Vol.I, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah 1997) h.131-137.

14 Mahmud Ismail, Al-Islâm Al-Siyasî baina Al-Ushuliyyin wa Al-‘Ilmaniyyin, (Kuwait; Muassasah Al-Syirâ’ Al-Arabî, 1993) h.97.

15 Farag Ali Faudah, Al-Tatharruf Al-Siyâsiy Al-Dîniy fi Mishr, (Tha Sin li Dirasât wa Nasyr, 1994) h.8-9.

15 M.Said Al-Asymawi, Al-Islâm Al-Siyâsî. Op.cit., h.7.

16 Kata Hassan Hanafi, menginterpretasi munculnya buku  Abu Hassan Al-Nadwa Mâdzâ Khasira Al-‘Âlam bi Inkhithât Al-Muslimîn (Hassan Hanafi, Al-Din wa Al-Tsaurah Vol.6, Op.cit., h.14).