HIWAR


    Ahlussunnah dan Asy'ariyah Tak Bisa Dibedakan*

    Ketika umat Islam mulai ditantang untuk menampakkan kekuatannya, mereka dituntut agar mengadakan pendekatan yang logis antara sesama muslim. Madzhab-madzhab yang ada dalam tubuh Islam memiliki keterkaitan yang harus diperhatikan, bukan malah dipisahkan.

    “Ahlussunnah dan Asy’ariyah tak bisa dibedakan “, demikianlah ungkapan Dr. Musthafa Syak’ah. Ahlussunnah wal Jama’ah adalah tubuh umat Islam yang utuh, karena bersumber dari sunnah Rasulullah. Namun yang menarik lagi, bagaimana umat Islam mengembangkan sayap pendekatannya pada seluruh madzhab yang ada dalam Islam. Begitulah hasil wawancara Zuhairi Misrawi dengan Dr. Musthafa Syak’ah, penulis buku Islam bilâ Madzâhib di kediamannya Heliopolis. Berikut petikannya.

    Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai wadah yang memiliki jumhur terbesar di masyarakat muslim, semakin menarik perhatian banyak aliran. Bisa Anda jelaskan tentang Ahlus sunnah wal Jama’ah ?

    Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok umat Islam yang senantiasa melaksanakan sunnah Rasulullah Saw. dengan i’tidâl, tidak memperbaharui, menambah atau menghapusnya. Supaya obyek pembahasan lebih jelas, saya akan mengambil beberapa contoh. Seperti syi’ah Al-Itsnâ Asyriyah menambah dalam rukun iman, bahwa Ali bin Abi Thâlib diwasiatkan dengan kerasulan. Al-Wâshîy menurut mereka, laksana seorang nabi, namun tak diturunkan wahyu kepadanya. Bagi mereka tidak berhak untuk menambah rukun iman. Mereka juga mensucikan para Imam alItsnâ Asyriyah, sejak Imam Ali bin Abi Thâlib yang menjadi khalifah, anak-anak dan cucu-cucunya, hingga cucu nomer sebelas. Pendapat saya, akidah mereka benar, karena mereka percaya pada rukun Islam yang lima dan beriman pada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul dan Hari Akhirat. Tapi di antara mereka terjadi khilaf tentang imamah yang disucikan oleh mereka. Khilaf ini tidak menjauhkan antara mereka dan umat Islam yang lain. Oleh karena itu mereka kelompok umat Islam yang yang benar ( Shahîh ).

    Selain itu, Syi’ah Al-Zaydiyyah, karena mereka percaya pada imam Ali, Hasan dan Husein, Ali Zainal Abidîn ( cucu Sayyidina Ali ), kemudian anaknya Zayd ibn Zanal Abidîn. Mereka lebih dekat kepada Ahlussunah Wal Jama’ah, dan tidak melaksanakan mabda’ Imamah yaitu dengan memilih yang lebih utama. Selanjutnya, Al-Ibâdiyah, saya yakin kalau termasuk Ahlussunnah. Mereka adalah tubuh umat Islam.

    Namun di samping itu, ada kelompok yang ajaran-ajarannya jauh dari Islam. Seperti Alawiyyah di Syiria dan Al-Qadiyaniyyah di Indonesia. Mereka sebenarnya bukan Islam, bahkan keislamannya masih diragukan. Mereka memberikan nama pada anak-anaknya, seperti Musthafa, Ahmad, Muhammad, tapi akidah mereka jauh dari ajaran Islam. Dengan demikian tubuh Islam sangat besar, seperti Ahlussunnah dan syi’ah yang termaktub di atas.

    Apakah Ahlussunnah wal Jama’ah bisa disebut sebagai aliran?

    Saya tidak menganggapnya sebagai aliran, tapi justru dasar Islam. Selain Ahlussunah wal Jama’ah, barangkali dapat disebut aliran. Ahlussunnah wal Jama’ah mempunyai pengikut yang terbesar, karena dapat dikatagorikan sebagai Ahlu al-I’tidâl dan akrab dengan risalah dan syari’at Rasulullah Saw. Mereka berpegang pada dasar, bahwa ilmu Islam itu tidak dapat dimonopoli oleh seseorang, artinya manusia mengambilnya kemudian diberikan pada orang lain. Tapi kalau kita lihat pada syi’ah Al-Itsnâ Asyriyyah, mereka tidak mengambil hadis Rasulullah, kecuali dari salah satu ahlul bait saja. Mereka tidak mengambil hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Kutubu al-Arba’ah lainnya.

    Kalau Mu’tazilah ?

    Mu’tazilah adalah aliran pemikiran Islam, tapi datang terakhir. Karena dimulai dari Wâsil bin Atha’ yang hidup pada abad satu atau awal abad dua hijriah. Ahlussunnah wal Jama’ah lebih dahulu dari mereka. Kemudian Mu’tazilah masih dibagi dalam beberapa madzhab. Menurut saya, dalam Mu’tazilah terdapat ekstrimitas, karena mereka menggunakan akal dalam masalah- masalah keimanan yang wajib kita ambil sebagaimana mestinya. Artinya, tauhid, khilafah dan ibadah yang tidak boleh diotak-atik. Nah, mereka berusaha untuk intervensi di dalamnya. Karenanya, mu’tazilah tidak berumur panjang, bahkan tidak ada bekasnya. Tapi barangkali percikannya ada dalam syi’ah al-Zaydiyyah dan Ibadliyyah.

    Ketika disebut Asy’ariyah, kesimpulan yang akan diambil, bahwa dia Ahlussunnah wal Jama’ah. Apakah keduanya dapat dibedakan ?

    Tidak. Asy’ariyah adalah Ahlussunnah, tidak bisa dipungkiri lagi. Seluruh pemikiran keagamaannya adalah pemikiran sunni artinya bersumber dari sunnah.

    Kalau melihat sejarah hidup Asy’arî, dia pernah menjadi murid al-Jaba’iy (tokoh Mu’tazilah) selama kurang lebih 30 tahun. Menurut Anda?

    Ya...perkataan itu benar. Tapi saya dengan mudah berkata, bahwa banyak dari pengikut mu’tazilah yang hengkang dan tidak dikejutkan oleh pemikiran mu’tazilah. Maka akhirnya mereka kembali pada Ahlussunnah wal Jama’ah. Di antaranya Abul Hasan al-Asy’ari. Asy’ariyah tidak dapat dibedakan dengan Alussunnah wal jama’ah.

    Ada ungkapan yang menyatakan, bahwa paham Asy’ariyah adalah penyebab kemunduran umat Islam, karena dari mu’tazilah ia berubah pada paham salaf ?

    Yang menyebabkan kemunduran umat Islam itu, bukan paham Asy’ariyah. Umat Islam mundur karena kondisi tertentu, yaitu ketika negara-negara Eropa berusahan menyatu untuk menyerang Islam. Kenapa mereka menyerang Islam ? Padahal orang-orang Islam tidak pernah memusuhi mereka. Kalau saya lihat tidak ada campur tangan madzhab Islam di dalamnya. Ada perkembangan baru, seperti yang dikatakan Jack Break, bahwa yang menyebabkan kemunduran umat Islam adalah Qur’an. Oleh karena sudah saatnya Qur’an dirubah dan dikembangkan. Ini perkataan yang tidak bisa diterima.

    Nashr Hâmid Abu Zayd dalam “Mafhüm al-Nass” menyatakan, bahwa pemahaman Ahlussunnah terhadap Qur’an adalah pemahaman statis. Komentar Anda ?

    Tentang Nashr Hâmid Abu Zayd sudah diketahui oleh khalayak ramai, sehingga mahkamah mengajukan pada Azhar agar ia memperbaiki gagasan-gagasannya. Dan akhirnya diputuskan murtad. Ada beberapa hal yang akan saya ungkapkan tentang Nashr Hâmid Abu Zayd, Pertama, dia tidak paham Islam dan bukan termasuh salah seorang ulama Islam. Kedua, dia mengatakan bahwa Islam adalah agama puritan dan radikal. Ini tidak benar. Ketiga, dia mengatakan, bahwa Qur’an ditulis oleh nabi Muhammad. Lebih lanjut lagi, Qur’an adalah produk kebudayaan. Islam hanya diturunkan untuk orang Arab saja. Jadi secara umum, ia salah seorang marxis dan marxis itu ateis.

    Apakah buku Anda “Islâm bilâ Madzâhib” merupakan sebuah upaya untuk memahami ahlussunah yang sebenarnya ?

    Buku ini telah mengupas Alussunnah Wal Jama’ah sebagai sebuah madzhab yang sudah dikenal oleh seluruh umat Islam. Buku ini sengaja ditulis untuk memahami madzhab-madzhab Islam, baik yang ekuibrium maupun ekstrim. Ada beberapa hal yang sudah yang melatarbelakangi, Pertama, ada beberapa madzhab yang keluar dari kawasan Islam. Tetapi karena mereka menisbahkan dirinya kepada Islam, maka wajib bagi saya untuk menerangkan hal itu. alâ kulli hal, mereka kelompok minoritas. Yang terpenting, bagaimana umat Islam menerima dengan lapang dada terhadap madzhab yang menjadi pilihannya. Kedua, sebagai pendekatan ( taqrîb ) terhadap madzhab. Karena sebagian orang mengira, bahwa di antara madzhab tidak ada jalan untuk saling berinteraksi, ini tidak benar. Mungkin sekali kita berinteraksi dengan syi’ah al-Itsna Asyriyah, karena antara keduanya terdapat persamaan, percaya pada Islam dan ajaran-ajarannya, mengesakan Allah. Jadi pendekatan antara madzhab bukan bertujuan untuk saling memisahkan, namun justru saling menyatukan dan mendekatnkan.

    Tapi Kenapa Anda menulis, bahwa mazhab-mazhab itu melemahkan Islam ?

    Karena dalam menyatukan kekuatan, madzhab yang ada kadangkala masih menimbulkan pertikain dan permusuhan. Di samping itu, karena perbedaan antara sesama muslim, jelas-jelas akan melemahkan umat Islam. Oleh karena itu, para orientalis senantiasa menyalakan api fitnah di antara umat Islam, mereka mencari titik kelemahan umat Islam, bukan kelemahan Islam. Karena Islam titik memiliki titik kelemahan. Tapi kalau umat Islam menyatu, niscaya tidak akan terjadi peristiwa seperti di Bosnia, Somalia dan Palestina. Ini pengaruh dari umat Islam yang bercerai-berai.

    *Wawancara ini dialih bahasakan oleh saudara Zuhaeri Misrawi. Ia adalah mahasiswa tingkat II fakultas Ushuluddin, Univ. Al Azhar. Selain aktif menjadi redaktur Nuansa ia juga aktif di Terobosan, dan “Taysir” SC.


    JURNAL KAJIAN KEISLAMAN NUANSA
    Diterbitkan oleh:
    Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Kairo - Mesir
    Web: http://www.muslims.net/KMNU, Email: kmnu@muslims.net