ISLAMIYYAH
Menyoroti Teologi Asy'ariyah
Telaah Kritis terhadap Teologi Asy’ariyyah
dan Pengaruhnya terhadap Perilaku Umat
Afifudin Haritsah*
Sebuah kritik terhadap suatu aliran pemikiran atau teologi tidak seharusnya
dipahami sebagai usaha pembongkaran total terhadap bangunan pemikiran tersebut,
seperti pada kasus kritikan Al Ghazali terhadap filsafat Ibnu Sina dan
Al Farabi. Namun dalam banyak hal dapat diartikan sebagai rekonstruksi
atau penyesuaian konsep pemikiran tertentu dengan realitas kontemporer.
Kritik terhadap teologi Asy’ariyah disini tidak dimaksudkan untuk menanggalkan
aspek-aspek positif dalam teologi Asy’ariyah dari praktek keberagamaan
umat Islam, seluruhnya atau sebagiannya. Namun yang dinginkan dalam wacana
ini adalah mencoba menguji kebenaran dan keabsahan konsepteologi ini sebagai
landasan berpikir dan beramal umat Islam di masa kini dan mendatang.
Yang dituntut dari sebuah konsep pemikiran teologis adalah kemampuan atau potensi konsep pemikiran tersebut dalam menawarkan solusi dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat dengan berlandaskan kepada fundamen-fundamen keakidahan yang komprehensif, tanpa harus disibukkan oleh persoalan-persoalan parsial dalam teologi tersebut. Dan jika kita kembali menengok kepada kondisi keaqidahan umat dewasa ini, dengan jelas dapat kita temukan satu problem penting yang timbul dari fenomena kemunduran umat Islam, yang pada gilirannya menyebabkan stagnasi pada perkembangan pemikiran Islam, dan secara perlahan-lahan memisahkannya dari kehidupan riil. Yaitu terjadinya pemisahan antara fundamen-fundamen teologi Islam (ushul al aqidah) dan upaya-upaya penerapan ajaran Islam dalam berbagai segi kehidupan.
Dalam term lain kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam sejarah umat Islam pada masa kemunduran peradaban Islam menciptakan jurang yang memisahkan antara aspek teologis dan aspek amaliyah umat. Sehingga sangat sukar ditemukan bentuk-bentuk dan sikap perilaku umat yang termotivasi langsung dari sebuah konsep teologi. Dan cenderung terlihat seakan-akan kebenaran-kebenaran teologi itu sendiri hanya merupakan persepsi-persepsi rasional yang tidak ada sangkut-pautnya dengan perilaku manusia. Maka beranjak dari problematika tersebut, sangat diperlukan adanya konsep teologis yang dapat mempengaruhi perilaku manusia muslim dan memotivasi setiap pribadi muslim untuk mengejar ketertinggalan serta mencapai kemajuan- kemajuan peradaban sebagaimana yang telah dicapai oleh umat-umat lain.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metodologi pemikiran yang dipergunakan dan dikembangkan oleh ulama-ulama mutakalimin dalam merumuskan konsep teologi Islam setelah abad V hijriyah merupakan metodologi “kuno” yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan dunia rasionalitas-intelektual dewasa ini. Sebab metodologi tersebut pada intinya bertolak dari “silogisme” atau logika formal (al mantiq al shuriy)” , yaitu model logika yang berkisar pada premis-premis formal dan tidak mementingkan sesuai atau tidaknya permis- permis tersebut dengan realita yang ada. Bahkan langsung menetapkan konklusi berupa kebenaran-kebenaran abstrak, meskipun jelas bertentangan dengan fakta ilmiah. Dan tentunya metodologi seperti ini sangat tidak mendukung kemajuan ilmu dan teknologi di dunia Islam.
Masuk kepada teologi Asyariyah, kita harus dapat menempatkan aliran teologi ini pada proporsi yang sebenarnya. Disadari atau tidak, umat Islam banyak terkecoh -atau setidak- tidaknya keliru- ketika mengklaim bahwa Asy’ariyah adalah Ahlussunnah wal jamaah, dan Ahlus sunnah wal jamaah adalah Asy’ariyah. Nurcholis Madjid mencoba merelevansikan tema ini dengan kenyataan bahwa sebagian besar kaum muslimin Indonesia, jika tidak seluruhnya, menganut paham Asy’ariyah di bidang akidah. Pertama, karena Islam di Indonesia beraliran Sunni, sehingga tidak menganut akidah Syi’ah atau Mu’tazilah. Kedua, karena Islam di Indonesia bermazhab Syafi’i, dan kaum Syafi’i kebanyakan menganut akidah Asy’ari. ini berbeda dari kaum Sunni bermazhab Hanafi yang kebanyakan menganut akidah Maturidi, dan kaum Sunni yang bermazhab Hambali tidak menganut Asy’ari ataupun Maturidi, melainkan mempunyai aliran tersendiri yang khas Hambali.
Sesungguhnya letak keunggulan sistem asy’ari atas lainnya adalah segi metodologinya yang dapat diringkas sebagai jalan tengah antara berbagai ektremitas. Maka ketika menggunakan metodologi manthiq atau logika Aristotelian, ia tidak menggunakannya sebagai kerangka pencapaian kebenaran, melainkan sekedar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan itu pun hanya dalam urutan sekunder. Sebab, bagi Asy’ari, yang primer aialah teks-teks suci itu sendiri, baik yang dari Kitab maupun yang dari Sunnah. Oleh karena itu kalaupun ia melakukan ta’wil, ia lakukan hanya sekedar sekunder pula, yaitu dalam keadaan tidak bisa lagi dilakukan penafsiran harfiah. Hasilnya ialah suatu jalan tengah antara metode harfi kaum Hambali dan metode ta’wili kaum Mu’tazilah. Ditengah-tengah berkecamuknya polemik dan kontroversi dalam dunia intelektual Islam saat itu, metode yang ditempuh Asy’ari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak. Itulah alasan utama penerimaaan paham Asy’ari secara universal, dan itu pula yang membuatnya begitu kukuh dan awet sampai sekarang.
Penulis mungkin tidak berlebihan jika mengatakan bahwa teologi Asy’ariyah merupakan antidote (ra’du fi’il) dari kemunculan teologi Mu’tazilah. Pada mulanya Mu’tazilah sebagai aliran rasionalistik dalam Islam dituduh telah melenceng dari jalur Islam, maka muncullah aliran Asy’ariyah sebagai reaksi-responsif terhadap tersebarnya paham Mu’tazilah. Jelasnya, doktrin-doktrin teologis dalam paham Asy’ariyah tidak lebih dari bentuk “pelarian” dari dominasi rasionalitas Mu’tazilah, dan pada akhirnya tampillah paham Asy’ariyah sebagai teologi kompensatif yang kurang menyentuh problematika kemanusiaan yang sebenarnya. Lebih lanjut lagi, ternyata teologi Asy’ariyah yang dianut oleh sebagian besar pengikut paham Aswaja cenderung bersifat Jabariyah dan mendasarkan diri pada konsep tauhid Rububiyah.
Teologi Jabariyah sendiri menekankan konsep takdir dan mengabaikan ikhtiar manusia yang mampu merubah nasibnya sendiri. Fenomena ini pada gilirannya menimbulkan sikap masa bodoh (pasif) dan menciptakan pribadi-pribadi fatalis. Olehnya itu, perlu ditekankan disini bahwa kita perlu memiliki atau paling tidak berupaya merumuskan konsep tauhid yang ‘lebih benar’ atau lebih relevan dengan perkembangan situasi yang kita hadapi. Yang tak kalah pentingnya adalah upaya pembersihan konsep teologi (tauhid) Islam dari pengaruh-pengaruh teologi Asy’ariyah yang mengandung elemen-elemen Jabariyah.
Bila dihubungkan dengan isu kebangkitan Islam yang sampai sekarang ini masih aktual dibicarakan, perlu dipertanyakan,”apakah mungkin terjadi suatu kebangkitan agama dan peradaban dengan berpijak pada pondasi teologi Asy’ariyah?” Sangat disayangkan, rupanya kebangkitan Islam yang kita upayakan bersama itu sedikit banyaknya masih bertelekan pada prinsip ideologi yang lemah, dan prinsip itu sendiri adalah prinsip teologi Asy’ariyah yang telah bersarang dan mencengkeram intelektualitas ke beragamaan umat Islam sejak abad V hijriyah hingga sekarang.
Meskipun gerakan-gerakan reformasi keagamaan telah banyak dicobakan, namun tetap saja gerakan-gerakan tersebut tidak luput dari pengaruh teologi Asy’ariyah dan masih terkesan gerakan reformasi yang bercorak Asy’arianisme (‘Asy‘ariyah al harakah). Nampak seakan-akan kebebasan berpikir dan berinisiatif tidak mampu bertahan lama jika tidak bersandarkan pada prinsip-prinsip teologi Mu’tazilah. Sebab pada kenyataannya, bagaimanapun pentingnya tugas dan tujuan yang diemban oleh gerakan-gerakan reformasi itu pada kerangka kebebasan berpikir dan kemerdekaaan berkehendak, kedua hal tersebut tetap dibayang-bayangi oleh dominasi paham Asy’ariyah. Dalam paham Asy’ariyah sendiri kadang meyakini adanya hal-hal yang tertentu yang tidak mampu dicapai oleh akal semata. Dan olehnya itu, dibutuhkan sarana atau sumber lain untuk mencapai hal tersebut, yaitu melalui “wasiat”. Dan wasiat ini -oleh Muhamad Abduh- dimaksudkan sebagai kenabian. Secara langsung dapat dipahami adanya kekuatan “lain” yang mengatasi dan menguasai kekuasaan manusia dan alam, dan bagaimanapun juga manusia harus menerima kelemahannya serta tunduk kepada kekuatan tersebut.
Fatalnya lagi, tatkala usaha Asy’arianisasi (penanaman dan penyebaran doktrin Asy’ariyah) tidak berhasil secara optimal dan pun tidak bertahan lama, tanpa disadari doktrin-doktrin teologi ini mulai menyusup dan mencampurkan diri (confusion) ke dalam aliran Sufisme (Tasawuf). Percampuran ini mengakibatkan sufisme menjelma menjadi aliran yang didominasi penuh oleh unsur-unsur Asy’arianisme (ini dapat dilihat pada beberapa ajaran sufisme seperti tawakal, ridla, taslim dan lain-lain). Selanjutnya, doktrin-doktrin dasar Asy’ariyah yang sedikit-banyaknya bercorak Jabariyah mulai beralih menjadi dasar-dasar ajaran aliran sufisme. Hal yang sama juga terjadi pada proses pembauran antara fiqh -dalam hal ini ialah mazhab Syafi’i- dan doktrin teologi Asy’ariyah. Maka tidak heran jika mayoritas ulama-ulama Asy’ariyah bermazhab Syafi’iy, dan mayoritas ulama Hanafiyah menganut teologi Mu’tazilah.
Berkaitan dengan itu pula, disebabkan adanya “kehampaan teoritis” yang dialami oleh aliran teologi ini, maka pada fase selanjutnya terjadilah pengisian-pengisian ideologis yang reduktif yang bertujuan mampertahankan kredibilitas paham Asy’ariyah, baik yang berkaitan dengan bidang tasawuf, fiqh maupun filsafat. Secara rinci dapat dilihat pada bidang tasawuf dimana doktrin Asy’ariyah menjadi “penguasa” dan penentu mutlak dalam setiap kebenaran (al haqiqah) yang hendak dicapai. Dalam bidang fiqh, sebagai akibat keterlibatan unsur teologi Asy’ariyah, kajian-kajian hukum tentang hubungan ‘illat-ma’lul (sebab-akibat) dan aplikasinya dalam proses istimbath tereduksi total hingga menjadi kajian-kajian hampa tanpa memperhatikan adanya hubungan internal erat di dalamnya. Demikian pula di bidang filsafat, utamanya filsafat ketuhanan, Asy’ariyah mereduksi teori-teori filsafat alam seperti teori jauhar (subtansi) dan ‘aradl (sifat non-esensial) untuk mengunggulkan logika-dialektisnya dalam membuktikan eksistensi Tuhan. Hal itu mengakibatkan diskursus teologis dalam ilmu tauhid malah makin jauh dari daya rasionalitas manusia.
Lebih jauh lagi, penalaran Asy’ariyah disebut ortodoks karena lebih setia kepada sumber- sumber Islam sendiri seperti Kitab Allah dan Sunnah Nabi daripada penalaran kaum Mu’tazilah dan para filosof. Meskipun mereka ini semuanya, dalam analisa terakhir, harus dipandang secara sebenarnya tetap dalam lingkaran Islam, namun dalam pengembangan argumen-argumen bagi paham yang mereka bangun, mereka sangat banyak menggunakan materi-materi filsafat Yunani. Pendekatan filosofis itu memberi ciri pokok pemikiran kaum Mu’tazilah dan para filosof muslim, semisal Ibnu Rusyd, sehingga mereka melakukan pendekatan ta’wil atau interpretasi metaforis terhadap teks-teks dalam Kitab dan Sunnahyang merek anggap mutasyabihaat, karena, misalnya, mengandung deskripsi tentang Tuhan yang antromorfis (Tuhan menyerupai manusia; punya tangan, mata, bertahta diatas singgasana atau ‘arasy dan sebagainya).
Secara sosiologis, teologi Asy’ariyah belum mampu menawarkan ideologi alternatif dalam upaya mengubah nasib umat dan menggerakkan roda sejarah peradaban Islam ke ambang kecerahan, sehingga mampu mensejajarkan dirinya dengan peradaban-peradaban yang lebih maju. Apakah perubahan-perubahan positif dan fundamental akan terjadi dan berlangsung sebagaimana mestinya sementara kita masih “mengkultuskan” teologi Asy’ariyah sebagai satu- satunya teologi yang paling absah? Bagaimana mungkin mengembangakan ilmu pengetahuan dan teknologi modern di saat kita meyakini tidak adanya korelasi yang jelas antara teori ilmu dan metode penerapan ilmu itu sendiri? Kita sering beranggapan bahwa bagaimanapun usaha manusia dalam berpikir dan menganalisa fenomena-fenomena alam, manusia tetap harus menanti dan menunggu “ilmu” yang datang dari “sumber lain”, berupa ilham, wangsit dan sebagainya. Sangat tidak logis bila kita membatasi kapabilitas akal manusia dan meletakkannya di bawah kekuasaan naql (teks-teks suci) dalam kontek masyarakat yang masih mengalami krisis intelektual dan kelumpuhan rasionalitas.
Asy’ariyah menurut argumentasi Pansalm James- merupakan teologi yang berusaha menjadikan dirinya sebagai aliran moderat dalam kancah pergumulan pemikiran Islam. Yaitu dengan menempatkan dirinya sebgai penengah antara aliran Mu’tazilah yang ekstrem rasionalistik dan aliran Salafiyah yang ekstrem-tekstualis. Namun dalam perkembangannya, teologi ini malah kehilangan nilai orisinalitasnya. Asy’ariyah mengeritik gaya pemikiran rasionalistik Mu’tazilah dalam menginterpretasikan teks-teks suci yang berkaitan dengan masalah tauhid, namun rupanya Asy’ariyah sendiri sulit melepaskan diri dari pengaruh Mu’tazilah, disamping pengaruh Jabariyah seperti yang telah disinggung diatas. Dalam kenyataannya, beberapa pengikut Asy’ariyah masih berpegang kepada beberapa pokok pemikiran Mu’tazilah, seperti dalam persoalan al qudrah (kemampuan manusia). Pengaruhnya terlihat jelas pada teori al Kasb, yaitu posisi manusia dalam melakukan perbuatannya. Demikian pula dapat kita temukan dalam teorinya tentang jauhar fard (subtansi tunggal). Bahwa segala sesuatu pada hakikatnya berasal dari subtansi tunggal yang tidak terhitung dan tidak dapat terbagi-bagi. Padahal sejarah pemikiran Islam membuktikan bahwa orang yang pertama kali memaparkan teori tersebut ialah Abu Huzail al ‘Ulaaf, seorang ulama terkemuka Mu’tazilah dari Bashrah.
Bagaimanapun, pemikiran Asy’ariyah masih banyak diwarnai oleh bebagai kerancuan dan kelemahan. Kemenangan Asy’ariyah hanya terletak pada keberpihakannya kepada masyarakat awam dan tak kalah pentingnya dukungan pemerintah -dalam hal ini Khalifah al Mutawakkil al Abbasiy- kepadanya. Hal ini terutama disebabkan sebagian besar produk-produk pemikiran teologisnya melegitimasi kekuasaan otoriter Khalifah dalam menjalankan pemerintahan.
Kritik atas Metodologi Pemikiran Asy’ariyah
Sebelum masuk ke pembahasan inti, perlu dicatat disini bahwa penulis membedakan antara metodologi Asy’ariyah (ulama-ulama pengikut imam Asy’ari) dan metodologi imam Asy’ari sendiri sebagai tokoh pelopor aliran Asy’ariyah. Metodologi imam Asy’ari secara ringkas ialah moderasi (jalan tengah) antara dua aliran ektrem; Mu’tazilah yang ekstrem rasionalistik dan Salafiyah (Hanbaliyah) yang ekstrem tekstualis. Adapun dalam perkembangan aliran ini, para pengikut Asy’ariyah malah menampilkan metodologi yang cenderung berbeda dalam posisinya sebagai defence, yaitu usaha mempertahankan teologi Asy’ariyah dari serangan para mulhid dan filosof zindiq. Menurut hemat penulis, persoalan-persoalan kekinian sekarang ini sangat berkaitan dengan model teologi yang telah dikembangkan oleh para pengikut Asy’ariyah, tidak dengan pokok pemikiran Imam Asy’ari.
Memang diakui, cukup sulit menentukan corak dan metode pemikiran yang ditampilkan Asy’ariyah dalam ijtihad mereka. Hal ini disebabkan ketidakjelasan sikap imam Asy’ari dalam membangun pemikiran teologinya. Dalam sejarah pemikiran Islam, Asy’ari terlihat melakukan loncatan-loncatan teologis yang cukup kontras, hingga beberapa orientalis menganggapnya sangat plin-plan dalam menentukan sikap. Perubahan-perubahan ideologis yang menyibukkan Asy’ari di akhir-akhir hidupnya cukup membingungkan para ahli dalam menganalisa dan mencari metode dasar pemikirannya.
Beberapa ahli sejarah dan orientalis menganggap perubahan-perubahan sikap dan pemikiran Asy’ari itu sebagai fenomena kebimbangan intelektual -ideologis. Dan beberapa usaha telah dilakukan pengikutnya untuk mencoba mempertemukan dan menyelaraskan pemikiran Asy’ari yang kontradiktif, namun kesan tersebut dalam metodologi Asy’ariyah masih belum bisa dihilangkan. Dan sisi kontradiktif ini pun berpengaruh pada pola pemikiran pengikut-pengikutnya.
Yang perlu dicatat adalah bahwa sejauh manapun sisi kebenaran atau keunggulan pemikiran Asy’ariyah, hal itu tetap tidak terlepas dari kerangka ijtihad yang sudah barang tentu bersifat relatif (nisbi). Islam secara gamblang menetapkan nilai relativitas hasil pendekatan ijtihad para ulama dalam memahami dan menafsirkan teks-teks agama yang sebagian besarnya masih global. Disamping itu, usaha-usaha ijtihad dalam memahami dan menginterpretasi serta mengaplikasikan nilai-nilai yang dikandung teks-teks agama tersebut dalam batasan realitas manusia masih akan berlangsung terus, seiring dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam tiap kurun zaman tertentu.
Dianalisa secara cermat, metodologi Asy’ariyah yang paling berpengaruh dalam alur argumen-argumen kalam Asy’ariyah adalah superioritas naql (sumber-sumber Islam) atas akal dan menjadikan akal sebagai alat justifikasi naql. Mungkin ada metodologi-metodologi lain yang digunakan Asy’ariyah, namun disebabkan keterbatasan pengetahuan dan kapasitas media yang disiapkan maka penulis cukup mengangkat satu metodologi saja.
Superioritas Naql dan Justifikasi Akal
Dalam banyak alur argumentasinya, Asy’ariyah menampilkan corak pemikiran tekstualistik. Artinya Asy’ariyah mengunggulkan posisi naql dan menjadikan naql sebagai satu-satunya dalil kebenaran mutlak. Pada umumnya ulama dan dan filosof muslim tetap mengakui keabsahan naql sebagai salah satu dalil agama. Ibnu Rusyd misalnya, filosof yang satu ini beranjak dari konsep bahwa akal sama sekali tidak bertentangan dengan naql dan naql tidak mengingkari kemampuan akal untuk mencapai hakikat.
Namun Asy’ariyah sendiri cenderung ekstrem dalam ketergantungannya kepada naql. Ironisnya, Asy’ariyah sering kali berpegang kepada zahir teks dan menolak segala upaya takwil. Kemudian pada gilirannya, mereka mengekploitir akal dan menempatkannya sebagai alat menjustifikasi (tabriir) terhadap kebenaran-kebenaran yang diyakininya dari zahir naql. Dari sini, dapat dikatakan bahwa Asy’ariyah telah melakukan despotisme akal (istibdaad ‘aqli). Dan ini berarti Asy’ariyah cenderung meremehkan fungsi dan kredibilitas akal yang telah diciptakan Tuhan sebagai sarana dan standar utama setiap kebenaran agama.
Salah satu contoh dapat dilihat pada diskursus sekitar kemungkinan terjadinya ru’yat (melihat Tuhan secara langsung). Asy’ariyah dengan keras mempertahankan tesisnya bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala manusia di akhirat. Mereka bersandarkan kepada ayat “ Wajah- wajah mereka (orang-orang mukmin ketika itu berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka memandang” Lalu Asy’ariyah kembali menggunakan logika rasinal-deduktifnya untuk memenangkan makna harfiah ayat tersebut hingga kadang-kadang terpaksa harus mengadopsi teori-teori filsafat Yunani (Aristotelian) .
Asy’ariyah dengan jelas menempatkan akal pada posisi yang keliru. Asy’ariyah lupa bahwa mereka telah menetapkan ke-qadim-an Tuhan dan adanya kemungkinan ketergantungan zat Tuhan kepada sifat-sifat hadis (baru). Maka sesuatu yang qadim pada azalinya, mustahil akan merubah dirinya pada bentuk yanghadits. sedangkan pengliahatan manusia —bagaimana pun kondisinya— tetap bersifat materil dan hadits,sebab zatnya berbeda dengan zat Tuhan.
Dan penglihatan manusia yang hadist tidak akan mampu mencapai zat apapun kecuali jik azat itu hadis. dangan kata lain, zat hadits hanya dapat dihubungkan denagn zat yang hadis juga. Pada poin ini nampak jelas adanya kontradiksi dalam bahasan-bahasan logika dialektis Asy’ariyah.
Ibnu Rusd sendiri mengakui adanya kecenderungan dan kesalahan fatal dalam teologi Asy’ariyah,khususnya masalah ru’yat ini. Beliau mengatakan dalam bukunya Manahij al-adillah bahwa penglihatan tidak berbeda dari panca indera yang lain. Dengan kata lain,semua alat-alat inderawi (al-hawas) tidak akan mampu mencapai dan mengetahui hakekat sesuatu yang memiliki sifat zat tertentu, kecuali dengan perantaraan pengetahuan atau pencapaiannya terhadap aspek-aspek inderawi (factual sense) yang dikandung oleh zat tersebut. Dan teori ini, menurut Ibnu Rusyd, adalah tesis yang menggelikan bagi orang yang mengetahui jelas pengingkaran agama terhadap adanya unsur jasmaniah dalam zat Tuhan (tanzih). Selanjutnya, teori ru’yat Asy’Ariyah dapat menyesatkan aqidah ummat ketika rasionalitas mereka masih didominasi oleh pengaruh-pengaruh pemikiran imajinatif.
Masalah hubungan akal dan naql pada dasarnya adalah salah satu tema pokok dan penting dalam ilmu ke-ushuluddin-an.Sekte-sekte Islam pada awalnya telah mempermasalahkan bentuk korelasi dan fungsionalisasi akal-naql dalam kajian-kajian keagamaan mereka. Dalam artian, masalah akal-naql ialah tema dan sebab utama perselisihan pendapat dalam sejarah pemikiran Islam, baik dari segi obyektivitas, metodologi maupun segi kemampuannya dalam memahami kebenaran (hakikat).
Para pemikir Islam berbeda pendapat sekitar “apakah akal merupakan dasar dan ukuran kebenaran yang dipahami dari naql, ataukah sebaliknya naql adalah penentu mutlak dan dasar pijakan kebenaran akal? Ibnu Taimiyah menolak metodelogi Mu’tazilah yang mensejajarkan akal dengan naql, dan jika akal bertentangan dengan naql maka kebenaran mutlak berada pada akal setelah mentakwil naql. Ia sendiri berpendapat bahwa kesharihan akal dapat mencapai kebenaran yang juga ditunjukkan oleh naql, dan jika keduanya bertentangan maka segalanya diserahkan pada naql, dengan dalih bahwa hanya Tuhanlah yang maha tahu akan maknanya. Dan masih contoh perdebatan danperselisihan pendapat sekitar posisi akal dan naql ini.
Secara teori ilmu, akal manusia pada hakekatnya sangat tidak terlepas dari kebenaran- kebenaran inderawi, dalam penggunaan metodi analisis dan empiris dan akal sendiri dalam hal ini adalah modal dan pondasi utama untuk memahami teks-teks agama, sekaligus mengetahui kebenaran yang dikandungnya. Tanpa adanya peranan akal, mustahil bagi manusia untuk meyakini kebenaran tekstual tersebut.
Naql, dalam terminologi umumnya, sebagai sumber-sumber agama yang tertulis dan mutawatir sangat berkaitan dengan aspek asbabul nuzul, nasikh-mansukh, makna hakikat - majazi dan lain-lain. Kondisi ini tentunya tidak menghasilkan kebenaran yang diyakini. Sebab keyakinan terhadap kebenaran teks-teks agama hanya dapat dapat diperoleh setelah mempertimbangkan aspek-aspek tersebut diatas. Selisih pendapat antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah pun berangkat dari perbedaan tinjauan mereka terhadap nash dan hubungan akal- naql.
Pada dasarnya, dalil naqli tidak dapat diyakini dengan hanya mengukur dan menilai keabsahan sanad dan matannya, namun sangat perlu adanya keterlibatan indera dan rasio manusia sesuai dengan kaidah-kaidah empiris metodelogis. Kebenaran naql juga tidak dapat dibuktikan dengan dalih “firman Allah” dan “sabda Rasul” semata. Tapi akal harus tetap terlibat dalam menyeleksi, menganalisis dan menyimpulkan makna yang tersimbolisasi dalam bentuk tekstual.
Demikian pula kita tidak dapat menetapkan kebenaran makna teks naql dengan mengandalkan aspek kemukjizatan naql tersebut, kecuali dalam batasan bahwa teks agama tersebut benar berasal dari Tuhan atau dari Nabi.dangan kata lain, dalam mengkaji dan memahami naql tidak cukup hanya membenarkan hanya menggunakan kritik eskternal (al naqd al khariji), tapi kritik internal (al naqd al dakhili) juga memiliki urgensi yang tak dapat dingkari. Yang dimaksud dengan kritik internal adalah usaha untuk memahami dan menafsirkan makna yang terkandung dalam teks-teks naql, serta mengusahakan persesuaian naql dan akal dalam bentuk eksperimen individual dan kolektif.
Dalil naqli pada dasarnya juga merupakan dalil inderawi atau aqli, sebab wahyu sebagai salah satu dari tiga fundamen dasar dalam pembentukan ajaran Islam (tasyri’) - wahyu, akal dan realitas manusia-hanya dapat dipahami melalui analisis akal dan mengarah langsung ke realitas manusia sebagai obyek serta sebab utama diturunkannya wahyu. Olehnya itu, akal tidak menutup diri dari kebenaran wahyu dan sebaliknya wahyu bukanlah teks formal-tertutup, tapi mengarah dan berkaitan langsung dengan realita. Selanjutnya, realita tidak dipahami sebagai ‘benda bisu’, melainkan ia memiliki potensi untuk menerima pesan wahyu, sebagaimana wahyu menerima persesuaian dengannya.
Dalil naqli berdasar atas penyerahan mutlak kepada otoritas wahyu dan mengesampingkan peranan akal. Konsekuensinya, dalil ini hanya diyakini oleh orang yang dasarnya ‘beriman’, tanpa adanya tuntutan terhadap orang-orang non-beriman untuk menerimanya. Sebab mereka sama sekali tidak mempercayai otoritas dan obyektivitas wahyu.
Kalau demikian, bagaimana kita berdakwah dan bermujadalah di hadapan kaum non- muslim dengan hanya bermodalkan dalil naqli? Padahal wahyu diturunkan untuk memproteksi akidah Islam dari serangan para mulhidin. Secara jelas, peranan dan otoritas akal tidak dapat diragukan lagi dalam upaya pengejawantahan nilai-nilai wahyu. Lagi pula, pendapat yang berpegang kepada adanya otoritas akal atas naql -dalam artian menempatkan akal sebagai unsur primer dan naql sebagai unsur sekunder- tidak berarti adanya pertentangan antara keduanya, bahkan hal tersebut mengisyaratkan adanya persesuaian antara keduanya. Sebab tidak satupun dalil dalam Kitab suci yang bertentangan dengan metodologi rasionalistik akal manusia. Persesuaian dapat dicapai dengan pendekatan interpretasi dari segi hakikat makna atau interpretasi metamorfosis melalui makna-makna majazi.
Tatkala seseorang mencoba menafsirkan teks-teks agama dengan bersandarkan kepada dalil naqli, maka dapat dikatakan bahwa ia sedang berusaha dan mempertahankan “hak Tuhan” dan mengabaikan haknya sebagai manusia. Padahal, pada kenyataannya, kepentingan manusia bukanlah mempertahankan hak Tuhan, namun segala usahanya harus diupayakan untuk mempertahankan dan melestarikan hak kemanusiaannya. Hak manusia adalah berpikir dan berusaha memahami teks-teks agama dengan akalnya yang merupakan bagian pokok dari identitas kemanusiaan.
Berangkat dari konsepsi diatas, dapat ditegaskan bahwa teks-teks agama pada awalnya adalah dzanni, hingga teks-teks agama tersebut dapat dipahami dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia, serta persesuaiannya dengan realita dalam batasan situasi dan kondisi tertentu. Dan pada saat yang sama teks-teks agama tersebut beralih dari dzanni ke yaqini. Secara garis besar, akal dan realita adalah dasar ukuran kebenaran naql. Dan akal tidak dapat dijadikan alat justifikasi naql, sebab kekeliruan tersebut akan berakibat terjadinya despotisme akal manusia oleh kebenaran yang belum diyakini.
Kritik atas Tema Pokok Teologi Asy’ariyah
Perlu ditekankan kembali, bahwa kritik an sich bukanlah tujuan dari tulisan ini. Namun yang diinginkan ialah menguji (re-axamination) nilai-nilai ilmiah dan obyektifitas suatu konsep teologis dan mengungkapkan sejauh mana pengaruhnya terhadap perilaku manusia. Diharapkan dari kajian ini tumbuhnya sikap positif dan rasional dalam menerima atau menolak sebuah konsep teologi tertentu.
A. Wujud dan Sifat Tuhan
Para ulama ilmu Kalam, baik Asy’ariyah maupum Mu’tazilah, dan para
filosof, dalam pembahasan penting ini menyepakati urgensi akal dalam menetapkan
keberadaan Tuhan serta menumbuhkan keyakinan kepada-Nya. Berbeda dengan
ahl al Dzahir, para Mutakalimin menyerahkan segala kemampuan logika mereka
dalam menetapkan kebenaran tuhan sebagaimana yang diinginkan dzahir teks
agama. Dari sini, jelas nampak adanya keterlibatan manusia -atau setidaknya
aspek kemanusiaan- dalam berbagai kajian ketuhanan (Teologi)
Asy’ariyah, dengan gaya ortodoksnya, mencoba menempatkan dirinya sebagai penengah (moderasi) diantara dua aliran; yaitu Salafiyah dan Mu’tazilah.Namun, kajian teologis Asy’ariyah -dengan didukung oleh silogisme Aristotelian atau logika formal-deduktif ditambah dengan mengadopsi secara distorsif teori-teori filsafat natural (tabhi’at)- malah pada akhirnya tidak menampilkan kajian teologis yang empiris-metodologis. Bahayanya lagi, argumen-argumen Asy’ariyah dapat saja mengalami eskalasi sehingga mencapai tingkat ‘ilhad’ (pengingkaran akan wujud Tuhan) dan tajsim (antropomorfisme).
Dapat kita temukan dalam alur pemikiran Asy’ariyah adanya kesan ‘keterpaksaan’ dalam menggunakan teori-teori filsafat alam (natural philosophy)seperti teori al huduts (kebaharuan alam), al Imkan (probabilitas) dan Jauhar fard (subtansi tunggal). Teori al huduts menetapkan premis-premis logis bahwa alam itu hadis (baru;tidak qadim) karena alam itu selalu berubah. Semua yang hadis pasti berasal dari muhdis (pembaru;pelaku al hudus) dan muhdis tersebut harus qadim, sebab kalau tidak , maka akan terjadi daur atau tasalsul (kausalitas tanpa akhir). Sedang dalam doktrin teologinya, daur dan tasalsul itu mustahil. Selanjutnya, Asy’ariyah langsung menetapkan bahwa yang qadim itu adalah Tuhan.
Sedangkan teori al imkan mengatakan, alam itu bersifat mumkin, yaitu mungkin terjadi mungkin tidak. Segala sesuatu yang mungkin membutuhkan ‘illat murajjih yang menyebabkan adanya sesuatu itu dan ‘illat tersebut harus berakhir pada zat yang wajib al wujub (wajib ada). Sebab kalau tidak, akan terjadi tasalsul, dan tasalsul itu mustahil. Maka langsung ditetapkan bahwa wajib al wujub itu adalah Tuhan.
Lain lagi dengan teori Jauhar al fard Asy’ariyah menetapkan bahwa segala sesuatu itu terdiri dari bagian-bagian atau ajzaa’, dan bagian-bagian ini akan sampai kepada bagian yang terkecil (substansi akhir) yang tidak dapat terbagi bagi lagi, karena selanjutnya dinamakan Jauhar al fard (substansi tunggal). Karena semua jauhar tidak terlepas dari ‘aradl (sifat yang hadits), maka konklusinya semua jauhar adalah hadits. Anehnya, beranjak dari premis-premis fisikal di atas, Asyariyah mengadakan lompatan kepada kesimpulan metafisikal. Dalam artian, Asy’ariyah berusaha menemukan dalil dari hal-hal yang natural untuk membuktikan sesuatu yang natural. Metodologi ini jelas bertentangan dengan metodi empirisme ilmiah.
Meskipun logika idealektik yang berusaha dibangun oleh Asy’ariyah masih mengadung nilai- nilai empirik, tapi argumen-argumennya tetap saja membingungkan. Bagaimana mungkin Asy’ariyah membuktikan bahwa alam itu hadits, sementara gerakan dan siklus yang merupakan sifat tetap alam telah berlangsung tanpa permulaan. Pada hakikatnya alam adalah qadim, dalam pengertian bahwa Tuhan menciptakan alam tanpa permulaan dan tanpa bahan dasar, dan jarak antara keberadaan Tuhan dan keberadaan alam tidak mungkin diukur dengan waktu. Dengan kata lain, tidak ada rentang waktu antara Tuhan dengan alam walau sedetik pun. Dan posisi Tuhan tidak lain adalah ‘illat atau sebab keberadaan alam. Tanpa Tuhan alam tidak akan pernah ada.
Asy’ariyah dalam logikanya mengambil kaidah “kunci” yaitu kemustahilan daur dan tasalsul. Apa alasan Asy’ariyah menetapkan kaidah seperti itu? Pada hakikatnya, daur dan tasalsul itu hal yang wajar dan merupakan tabiat alam. Tuhan telah menciptakan siklus dan hubungan kausalitas (sebab akibat) sehingga manusia sanggup mengolah dan memproses daur ulang alam ini dengan ilmu pengetahuannya. Teori kemustahilan ini hanya berakibat terhambatnya ilmu pengetahuan dan menjadikan manusia pasif dalam hidupnya.
Hubungan hadits-muhdits oleh Asy’ariyah diidentikan dangan hubungan mashnu’ dan shani’nya (pembuat dan yang dibuat). Katanya alam ini adalah buatan Tuhan,sebagaimana kursi adalah buatan tukang. Konsekuensi dari keyakinan tersebut membawa akal manusia sehingga mengibaratkan Tuhan sebagai person (al Syakhsy) dan pada gilirannya menimbulkan penafsiran materil terhadap hal-hal ghaib. Seiring dengan itu pula, penafsiran fenomena alam dengan kaidah hadits-muhdits sama halnya merampas esensi alam tersendiri. Dengan memahami hadits sebagai “sesuatu yang pada awalnya tidak ada kemudian diadakan” menjadikan ketidakadaan sebagai standar keberadaan. Ini menyebabkan alam kehilangan esensinya dan memaksakan ketergantungannya kepada “sesuatu yang lain” di luar dirinya. Akhirnya, realita dan subtansi alam ini akan hilang dan yang tinggal bertahan dalam wujud nyata adalah alam metafisik yang pada hakikatnya tidak nyata. Secara sosio-psikologis, pengaruhnya pun berlanjut pada manusia, dimana menusia adalah unsur dan bagian utama di alam ini. Dengan hilangnya esensi alam, maka manusia pun kehilangan esensinya dan manjadi wujud hampa tanpa arti.
Secara psikologis, argumen tentang huduts-nya alam cukup membahayakan esistensi manusia tatkala kita menerima hipotesa imajinatif tersebut, yaitu bahwa alam itu diadakan dari tidak ada oleh sang muhdits, hal itu mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya lemah dan tidak mampu melakukan perubahan dan pembaruan dalam kehidupannya di alam ini. Sebab secara logis, segala bentuk perubahan, besar maupun kecil, semuanya disandarkan pada kekuatan dan kemampuan sang muhdits, yaitu zat selain manusia. Memang betul, manusia tidak menciptakan dirinya juga tidak mampu menciptakan alam walau seekor nyamuk pun. Tapi, apakah itu dimaksudkan agar manusia melemahkan dirinya dan menggantungkan dirinya pada sesuatu kakuatan lain di luar dirinya dan di luar alam ini. Sebenarnya, argumen argumen distorsif tersebut berangkat dari landasan keimanan subyektif semata tidak dari tinjauan obyektif ilmiah .
Sesuatu argumen lagi yang tidak kalah membingungkan, yaitu deskripsi Asy’ariyah tentang pembagian sesuatu pada bagian-bagian tertentu dan berakhir pada jauhar fard. Perlu dipertanyakan “bagaimana Asy’ariyah menetapkan dan membuktikan adanya sesuatu yang disebutnya jauhar fard? Apakah jauhar fard tersebut pada kenyataannya memang ada, atau hanya hipotesa imajinatif (al wahm) semata yang ditujukan untuk mengunggulkan eksistensi sang muhdits?
Pada hakikatnya ilmu pengetahuan membuktikan bahwa alam itu tidak dapat dibagi-bagi kepada jauhar sebagaimana anggapan Asy’ariyah. Alam itu tidak dapat dibagi dan diurai dalam bentuk unsur-unsur dan penguraian ini dapat berlangsung terus menerus tanpa berhenti. Kondisi ini sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan ilmiah. Jelasnya argumen Asy’ariyah tentang adanya jauhar fard tidak lebih dari hipotesa imajinatif akal yang tidak faktual.Perlu diketahui, bahwa makna wujud itu sendiri ada tiga; pertama, wujud sesuatu itu dapat dipahami bila sesuatu itu dapat diketahui. Jadi, standar wujud sesuatu adalah adanya kemungkian pengetahuan terhadapnya.
Jika Tuhan itu berwujud maka Tuhan itu dapat diketahui. Namun pengetahuan itu sendiri belum dapat dipastikan keberadaannya pada zat Tuhan apakah dalam bentuk sifat atau bukan. Kedua, wujud dalam pengertian “sesuatu” yang bersifat material atau jasmaniyah. Wujud sesuatu itu adalah materinya, sebab ia adalah sesuatu. Jika Tuhan itu sesuatu maka sifatnya tidak berbeda dengan materi-materi yang lain. Sebab tak sesuatu pun sesuatu pun yang tidak bermakna materi. Anehnya, mayoritas Asy’ariyah memahami wujud Tuhan sebagai “sesuatu” atau men-sesuatu-kan Tuhan, baik ia bermakna materi atau bermakna sesuatu yang berbeda dari sesuatu yang lain Jika Tuhan dipahami sebagai sesuatu yang material maka hal itu sama jika dikatakan bahwa Tuhan itu adalah person yang mempunyai tubuh sebagaimana halnya manusia. Dan jika dipahami sesuatu yang bukan sesuatu, maka pemahaman tersebut jelas kontradiktif. Sebab tidak ada manusia yang bukan manusia, dengan kata lain semua manusia adalah manusia.
Ketiga, wujud bermakna sifat sesuatu (al hal). Jelasnya, pengertian ini tidakmungkin diterapkan pada zat Tuhan. Sebab tidak dapat dipahami keberadaan sesuatu sifat, kecuali jika sifat tersebut berada dan bergantung kepada substansi tertentu. Hitam adalah sifat, namun hitam itu sendiri tidak berwujud kecuali jika ia menempati subtansi tertentu tinta misalnya, hingga kita mengatakan tinta itu hitam.
Lantas, bagaimana membuktikan wujud Tuhan yang sebenarnya? Persoalan wujud Tuhan merupakan persoalan di luar alam fisik, bahkan diluar alam metafisik yang diyakini keberadaannya oleh para filosof, sementara pengetahuan manusia sangat terbatas dan tidak mampu menjangkau lebih jauh dari kedua alam tersebut. Oleh sebab itu, manusia tidak akan mampu membuktikan wujud Tuhan secara obyektif, kecuali jika manusia itu mampu mengungkap hakikat zat Tuhan yang sebenarnya. Selama zat Tuhan masih ‘misterius’ maka pembuktian keberadaan-Nya pun mustahil akan mencapai hasil yang obyektif.
Manusia hanya mampu merasakan adanya Tuhan melalui cara tuhan memperkenalkan diri- Nya melalui teks-teks suci, atau setidaknya melalui analisa diri dan alam sekitar (al khalq), yang lebih tepatnya disebut pendekatan teori keteraturan dan kebersesuaian alam (nadzariyat al ‘inayah) seperti yang pernah diungkapkan oleh Ibnu Rusyd. Dan ia sendiri dengan tegas bahwa segala upaya rasional- dialektis untuk mengungkap hakikat Tuhan adalah bid’ah. Sebab agama hanya memerintahkan untuk memikirkan alam, bukan untuk menyibukkan diri memikirkan zat-Nya.
Jelasnya, manusia tidak diwajibkan mencari hakikat wujud Tuhan. Dan pada dasarnya wujud yang hakiki hanyalah wujud manusia. Hanya wujud manusialah yang dapat kita rasakan secara nyata sekaligus dapat kita perjuangkan. Manusia kadang menganiaya dan dianiaya disebabkan tidak adanya kesadaran akan wujud dan hikmah keberadaannya di muka bumi ini. Menyibukkan diri memikirkan wujud Tuhan hanya membuat kita terlupa akan wujud manusianya sendiri.
Beranjak kepada sifat-sifat Tuhan, kita pun dapat menemukan adanya deskripsi antropomorfisme (mem-tubuh-kan Tuhan) dalam argumen-argumen teologi. Mengingat pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan yang sangat dominan dalam teologi Asy’ariyah, maka tidak berlebihan jika beberapa pihak dari penganut Asy’ariyah menjuluki diri mereka sebagai golongan al Shifatiyah. Tujuan dari penamaan ini pada sebenarnya sekedar alat untuk menundukkan argumentasi lawan lawannya dan selanjutnya mempertahankan kredibilitas dan otoritas zat Tuhan. Diskursus tentang sifat-sifat Tuhan - yang oleh Ibnu Rusyd dianggap bid’ah- tersebut mulai muncul kepermukaan sejak abad V hijriyah.
Kontradiksi fatal dapat kita temukan tatkala Asy’ariyah mengatakan dalam beberapa argumennya bahwa sifat Tuhan itu adalah “sifat zaaidah (tambahan)pada zat Tuhan”. Maksudnya bahwa sifat-sifat itu sendiri bukan zat, tapi juga ‘tidak lain’ dari zat, dengan kata lain ia adalah zat. Dari term ini nampak kerancuan dalam argumen Asy’ariyah. Memang sangat membingungkan tatkala akal manusia dipaksa mengakui adanya dua hal yang bertentangan (tanaaqud) dipertemukan dalam satu subtansi. Bagaiman a membayangkan sesuatu itu panjang dan pendek dalam waktu yang bersamaan ? Bagaimana membayangkan seseorang itu tidur dan terjaga pada saat yang bersamaan? Hal itu bisa dipahami dan diterima jika kita menggunakan penilaian subyektif dan relatif. Dan sangat keliru bila kita meyakini keberadaan Tuhan dalam kerangka relativitas, bahwa Tuhan adalah sesuatu yang relatif.
Bila dianalisa secara teliti, rupanya Asy’ariyah menggunakan pendekatan analogis dalam upaya menetapkan eksistensi dan sifat-sifat Tuhan, yaitu analogi realitas atas ghaib (qiyas al syaahid ‘ala al ghaib). Tatkala menetapkan sifat hidup (al hayat) atas zat Tuhan, Asy’ariyah berusaha mendekatkan makna kehidupan manusia sebagai fenomena nyata kepada pemahaman terhadap zat Tuhan sebagai sesuatu yang gaib. Demikian pula sifat sifat yang lain, tidak lain merupakan bentuk hubungan analogis antara refleksi sosial-kemanusiaan dengan zat Tuhan yang maha gaib.
Logikanya, Tuhan itu Maha berkehendak (iradah), maka jelas bahwa Tuhan itu maha kuasa (qudrah). Jika Tuhan berkuasa, maka tentunya Tuhan itu hidup. Sebab sifat hidup merupakan syarat mutlak adanya kekuasaan. Sifat hidup Tuhan secara logis menetapkan sifat penglihatan dan pendengaran pada zat-Nya. Dan demikian seterusnya. Kemutlakan sifat-sifat Tuhan dan ketundukan serta pengakuan manusia atas kemutlakan tersebut menghendaki keabadian zat Tuhan (al baqa’). Sebab kefanaan berarti kenisbian (relativitas) dan ini mustahil bagi Tuhan. Ketika keberadaan sifat-sifat maknawiyah pada diri manusia merupakan tanda kesempurnaan dirinya, maka pada tahap berikutnya, manusia menisbatkan sifat-sifat kesempurnaan tersebut pada zat Tuhan, dengan alasan bahwa yang namanya Tuhan harus lebih sempurna dari manusia.
Logika yang sama dapat kita temukan dalam sejarah kebudayaan Yunani ketika mereka mengkultuskan Dewa Zeus sebagai pemilik kekuasaan mutlak di alam ini. Dengan demikian, Asy’ariyah secara tidak langsung telah mempersonifikasikan Tuhan sebagai zat yang memiliki sifat dan karakteristik sebagaimana yang dimiliki manusia. Dan sifat-sifat tersebut tidak lain adalah ekspresi-imajinatif manusia dalam usahanya untuk mengenal tuhannya. Kelirunya, manusia secara spontan mengekspresikan perasaan ke-tuhanan-nya dengan menjadikan sifat- sifat dirinya sebagai ukuran atau standar nilai. Dan ketika metode analogis tersebut dikuatirkan dapat menjerumuskan pemahaman manusia awam kepada mempersonifikasikan Tuhan, Asy’ariyah kembali mencari dalih dialektis bahwa sifat itu adalah zaaidah (sekunder; tidak substansial), tidak berada di dalam zat, tapi juga tidak terpisah dari zat. Olehnya itu sebagian teolog Islam menganggap bahwa argumen Asy’ariyah sangat membingungkan dan dapat menyesatkan akidah umat.
Sebenarnya Tuhan telah memperkenalkan diri-Nya dan melalui teks-teks agama dalam kitab- Nya. Namun, meski demikian Tuhan tidak memperkenalkan diri-Nya dalam bentuk terperinci. Ini dapat dipahami sebagai isyarat bahwa Tuhan tidak memaksakan hamba-Nya untuk mencari hakikat zat-Nya. Namun, yang diinginkan adalah agar manusia dapat mengaplikasikan sifat-sifat Tuhan tersebut pada perilakunya sehari-hari. Tuhan itu maha penyayang, maka manusia seharusnya pun senantiasa menyayangi sesamanya. Jika Tuhan itu maha mencintai, maka manusia diharapkan senantiasa mencintai saudaranya dan alam sekitarnya. Dengan demikian, terciptalah sosok manusia yang sempurna (al insan Kaamil) proses aplikasi sifat-sifat Tuhan.
Ibnu Rusyd, tatkala berbicara tentang sifat-sifat Tuhan, secara skeptis berpendapat bahwa manusia tidak akan mampu menemukan hakikat hubungan zat Tuhan dan sifat-Nya. Sebab pengetahuan tentang sifat harus didahului oleh pengetahuan tentang zat. Ketika zat tak dapat diketahui hakikatnya, maka tentunya hakikatnya sifat pun mustahil untuk diketahui. Sama halnya untuk mengetahui bahwa kaki gajah itu besar, maka perlu diketahui lebih dulu apa itu gajah dan bagaimana bentuk kakinya.
B. Keadilan Manusia dan Perilaku Manusia
Diantara tema-tema sentral teologi Asy’ariyah, topik keadilan Tuhan
(al ‘Adl)- dalam hal ini adalah standar nilai kebaikan dan keburukan- menempati
deretan yang paling penting. Topik ini, disamping merupakan pembahasan
yang cukup luas dan sangat berkaitan dengan segi-segi fundamental dalam
bangunan ideologi Islam, juga sangat mempengaruhi corak perilaku umat penganutnya.
Pada awal kemunculannya, konsep ini hanya merupakan respons terhadap teologi
Mu’tazilah yang ekstrem-rasionalistik. Dan pada perkembangan selanjutnya,
konsep keadilan Asy’ariyah ini tidak dapat terhindar dari pengaruh-pengaruh
Jabariyah (Fatalisme).
Asy’ariyah mencoba menampilkan pemikirannya tentang keadilan dengan beranjak dari konsep kemutlakan iradah (keinginan) Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah menciptakan kebaikan (al khair) dan keburukan (al syarr) serta sekaligus ‘menghendaki’ keberadaan keduanya sebagai dualisme nilai yang diperpegangi manusia. Kemudian, dari sisi lain mereka menegaskan bahwa kebaikan dan keburukan itu merupakan sesuatu yang relatif- dalam artian, tidak ada sesuatu yang pada hakikatnya baik dan buruk- dan selanjutnya mengembalikan kedua nilai tersebut kepada kemutlakan syara’ sebagai standar utama. Segala yang diakui dan dilegitimasi oleh syara’ sebagai kebaikan, maka hal itu pastilah baik. Dan demikian pula sebaliknya, bahwa keburukan hanyalah yang diakui oleh syara’ sebagai keburukan. Namun kalau demikian halnya, bagaimana mungkin Asy’ariyah mengakui adanya nilai baik dan buruk dari satu sisi dan mengingkari keberadaannya dari sisi lain?
Sesungguhnya, argumentasi Asy’ariyah yang demikian itu hanya ditujukan untuk menolak pendapat Mu’tazilah (ahl al ‘adl) yang menempatkan akal sebagai satu-satunya standar nilai baik dan buruk. Dengan sangat responsif, mereka menegaskan bahwa syara lah satu-satunya sumber nilai yang berwenang menentukan segalanya, dan dengan sendirinya menafikan fungsi akal dalam menilai suatu perbuatan. Dengan kata lain, sebelum syara’ diturunkan, akal manusia tidak mampu mengetahui bahwa kejujuran adalah baik dan bohong itu adalah buruk. Bahwa seandainya Tuhan memerintahkan manusia untuk berbohong atau setidaknya melegitimasi kebohongan tersebut, maka tentunya hukum pun akan berubah, sesuatu yang awalnya buruk berubah nilai menjadi baik. Atau seandainya Tuhan melarang manusia untuk berlaku jujur maka kejujuran akan berubah menjadi perbuatan tercela.
Untuk membuktian kebenaran pendapatnya, Asy’ariyah beralasan bahwa akal manusia sangat relatif dalam menilai sesuatu dan sangat dipengaruhi oleh unsur subyektivitas serta kepentingan pribadi. Maka tanpa keterlibatan otoritas syara’, nilai kebaikan dan keburukan akan sangat relatif. Secara global Asy’ariyah mengakui relativitas akal manusia pada perbedaan- perbedaan yang ada dalam berbagai adat dan aturan konvensional antar komunitas tertentu. Di samping itu, kenisbian nilai moral merupakan dasar utama adanya perbedaan yang menyolok dalam berbagai ajaran agama.
Sekilas nampak kebenaran argumentasi diatas. Tapi sebaliknya argumen tersebut cukup keliru, sebab pendapat yang mengatakan tentang kenisbian nilai moral tidak mutlak benar. Para ahli telah mengakui adanya prinsip-prinsip moral dasar yang selamanya sejalan dengan ketetapan-ketetapan syariat dan hukum konvensional. Prinsip-prinsip dasar ini tidak mengalami perubahan sepanjang kehidupan manusia. Dan manusia hanya berbeda dan berselisih sekitar hal-hal yang parsial dan tidak prinsipil. Nilai dasar akan berubah jika dipengaruhi atau dituntut oleh kondisi tertentu, yang pada hakikatnya bersifat temporal.
Kewenangan syara’ dan pengosongan nilai yang dilakukan Asy’ariyah pada setiap perbuatan manusia dapat menyebabkan kekacauan dan pertikaian antar individu yang memperjuangkan kepentingan tertentu. Pihak- pihak penguasa tentu saja dapat mempolitisir dan melegitimasi ketetapan syara’ untuk kepentingan-kepentingan pribadinya atau kepentingan golongan tertentu. Dan di sisi lain, pihak yang lebih lemah terpaksa harus mengakui ‘kebenaran’ yang diperbuat oleh pihak penguasa.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, teologi Asy;ariyah adalah teologi moderasi atau penengah antar dua ekstermitas. Dalam konteks ini, Asy’ariyah menampilkan teori Kasb sebagai ‘pelarian’ dari kekuatiran mereka dari otoritas akal manusia dari satu sisi dan sifat fatalisme dari sisi lain. Dan dalam teori ini pula kita dapat menemukan kerancuan dalam teologi Asy’ariyah. Konsep kasb mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta segalanya -dalam hal ini perbuatan manusia- dan manusia merupakan pelaksana perbuatan-perbuatan yang telah diciptakan Tuhan. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa manusia memiliki kemampuan khusus untuk melaksanakan perbuatannya (kasb). Namun adanya kemampuan ini tidak berarti adanya kebebasan mutlak pada diri manusia untuk berbuat sesuai kehendaknya. Sebab kemampuan tersebut tidak lain merupakan ciptaan Tuhan juga yang bersifat mutlak. Akhirnya, manusia tidak mampu melakukan perbuatan kecuali apa yang telah diciptakan dan ditetapkan oleh Tuhan. Sehingga kalimat kasb nampaknya tidak memberikan arti apa-apa dan kemampuan manusia yang berusaha dijelaskan oleh Asy’ariyah sama sekali tidak memiliki pengaruh apapun dalam posisi manusia sebagai pemilik dan penanggung jawab perbuatannya.
Sesungguhnya keterlibatan Tuhan dalam menentukan perbuatan manusia sangat bertentangan dengan prinsip keadilan-Nya sendiri.Dan keterlibatan manusia bersama Tuhan dalam menciptakan perbuatan juga bertentangan prinsip tauhid yang men-esa-kan Tuhan. Lebih jauh lagi, kedua model keterlibatan tersebut merupakan ‘warna lain’ dari perbuatan syirik. Tatkala sikap fatalisme Jabariyah dipandang ‘lebih aman’, maka asy’ariyah mengadopsi dan mencampurkan elemen-elemennya ke dalam teologinya. Kesemuanya itu pada dasarnya merupakan usaha perampasan kebebasan manusia dan penyandaran mutlak kepada kekuasaan Tuhan.
Sikap ini sendiri tanpa disadari mempengaruhi perilaku manusia dalam kehidupan sosialnya. Yaitu ketika manusia mengalami berbagai macam penindasan dan ketidakadilan, mereka cenderung bersikap pasrah dengan dalih bahwa semua tindakan yang merugikan dirinya itu pada hakikatnya adalah ketetapan Tuhan yang tak terelakkan, dan manusia sebaiknya menunggu sampai Tuhan menciptakan sesuatu yang dapat melepaskan dirinya dari ketidakadilan. Pada akhirnya konsep kasb beralih fungsi menjadi ‘kunci kemenangan’ bagi pihak yang lebih berkuasa yang sewenang-wenang, dan menjadi ‘kedok pelarian’ bagi pihak yang lebih lemah.
Perbuatan dan kemampuan manusia merupakan sesuatu yang riil dan nyata. Maksudnya, secara langsung kita dapat kita rasakan dan buktikan bahwa perbuatan manusia itu pada kenyataannya berasal dari kemampuan manusia itu sendiri. Namun, sangat mengherankan jika kita sendiri mengingkari kenyataan tersebut dan menyandarkan segala perbuatan kita kepada ‘kekuatan lain’, serta berusaha menanggalkan hak kebebasan manusia. Kemampuan manusia harus dipahami dalam konteks perubahan dan pemberlakuan segala sesuatu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Tuhan. Manusia tidak mampu menciptakan dirinya dan juga alam ini, namun mampu menggunakan, mengubah dan mengolah segala sesuatu yang disediakan Tuhan di alam ini. Dan ini sudah barang tentu tidak perlu terlalu banyak melibatkan ‘campur tangan ‘ Tuhan secara langsung.
Manusia memang memiliki banyak kelemahan. Namun kelemahan itu tidak berarti menanggalkan sama sekali seluruh batas kemampuan yang dimilikinya sebagai manusia. Batasan kemampuan itu sendiri bersifat relatif dan berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Demikian pula berbeda antara satu generasi dengan generasi selanjutnya ataupun sesudahnya. Pada dasarnya manusia telah diberikan hak kebebasan dan amanat untuk mengolah alam ini sebagai khalifah Tuhan. Maka jika demikian halnya, mengapa Tuhan masih harus dilibatkan dalam proses ke-khalifah-an manusia?
Dari pemahaman terhadap teks-teks agama, nampak jelas bahwa Tuhan telah menciptakan alam seluruhnya dan melengkapinya dengan aturan sunnah-Nya, yaitu aturan atau hubungan sebab-akibat (kausalitas). Jadi pada hakikatnya alam merupakan wadah pertemuan dan pemisahan antara sebab dan akibat. Maka tugas manusia untuk berupaya sejauh mungkin mengungkap seluruh ‘sebab’ yang ada di alam sekitarnya dan pada gilirannya diolah dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemaslahatan manusia.
Demikian ulasan yang sederhana ini, yang pada intinya mengajak seluruh pembaca untuk tetap tanggap dan kritis terhadap seluruh bentuk ijtihad dan ideologi yang diwariskan oleh sejarah pemikiran Islam, pada khususnya masalah yang berkaitan dengan akidah (teologi).
Daftar Acuan
*)Afifudin Haritsah adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah filsafat, Universitas Al-Azhar, selain aktif menjadi redaktur Nuansa ia juga aktif di Ar- Raqiem SC.