FUNUN
Rumahmu Terkunci
Didik L. Hariri
Apalah artinya seorang pemuda yang sering disebut Karmat, sebagai penterjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia pada sebuah penerbitan yang tidak terkenal adalah mata pencaharian sehariannya. Nama lengkapnya adalah Karmat Sudra Marga Mahesa, yang suka marah kalau dipanggil Sudra karena dianggapnya terlalu menyalahi komitmen kemerdekaan Amerika yang sering didengungkan seorang prajurit Perancis oleh Lafayetee: Liberte, Egalite, Fraternite, atau orang modern bilang, itu sangat menyalahi Hak Asasi Manusia, karena kasta sudah terhapuskan.
Apalah artinya sebuah nama, bila mendadak Dramawan Agung dari Jaman
Pertengahan, Skeaspiere, disangkal oleh umpatan Karmat, ketika salah seorang
kawan memanggilnya dengan Mahesa.
“Edan!” makinya, meski ia punya nama mahesa bukan berarti ia seperti kebo.
Ia pernah menusuk lambung Janer (tetangganya) dengan pisau dapur tatkala
meledek dirinya dengan nama Dr. Guyup Mahesa, alias Doktor kumpul kebo,
sehingga pledoi yang dikemukakan saat persidangan kepada sang Hakim sebanyak
tiga ratus halaman selalu berkisar penerjemahan kalimat: La tahtaqir Man
dunaka falikulli syai’in maziyah.
“Orang itu gila, masa aku dipanggil Doktor Guyup Mahesa, emangnya penghalusan kata bahasa Indonesia itu sudah tidak cukup puas menjajah etika, politik, ekonomi dan lain-lain..., itu penjajahan dan jelas tidak boleh oleh preambule. Itu lihat pelacur dijajah oleh penghalusan kata dengan Wanita Tuna Susila, sekarang dihaluskan lagi dengan Pramuselangkangan, wah..., wah..., aku kena getahnya...” protesnya dalam wawancara sama wartawan “Pos Kotak” saat ia berjalan diapit petugas menuju mobil tahanan.
Sedari kecil Karmat memang jadi bahan ledekan kawan-kawanya, hingga selama hidupnya jadi rendah diri dan bergelut dengan watak pendendam, tertutup, dan pendiam. Padahal orangnya cerdas dan selalu rangking satu dalam sekolah, pintar berbagai bahasa, seperti ‘percakapan burung-burung’ yang telah dinashkan dalam Al-Qur’an. Bahasa Arab adalah bahasa kebanggaannya karena ia yakin bahwa bahasa Arab adalah bahasa Sorga, selain demikian ia suka dihampiri para Turis dari Perancis untuk konsultasi berbagai pengetahuan wisata.Pergaulannya luas karena bahasa, bukan karena watak inferior yang dimilikinya.
Klaim masyarakat terkadang sadis, dan membentuk kepribadian, sehingga
ia tidak mau keluar rumah, kecuali apabila dinas ke kantor, ataupun ke
masjid. Orang-orang yang ingin memanfaatkan dirinya harus datang ke rumah,
itupun harus diketahui, siapa dulu orangnya, kalau orang sekampungnya,
siapa namanya. Ia sangat antipati dengan tetangganya yang bernama, Jagal,
Lahap, Sopiyan, Abdullah Ngubai yang namanya mirip musuh-musuh nabi.
“Oalah... Ya Gusti, kenapa orang-orang itu ada di dunia. Laknatullah, laknatullah...”
Karmat mengeluh di tengah-tengah malam tatkala rembulan redup penuhi hati.
Tangisnya meledak melihat pacoban hidup yang memenuhi agenda hariannya.
***
Tepat pada hari Ahad, Karmat bebas. Tanpa sanak saudara ia pulang sendirian.
Para tetangga menyambutnya dengan memalingkan muka. Hal itu sudah tidak
lagi masuk dalam perbendaharaan perasaan. Anggap saja suatu yang terbaik.
“Lho..., mas Karmat sudah pulang to...,” sapa bu Makita sinis,
“Kata bapak kalau orang pulang dari penjara namanya residivis ya...”
Gelegar! Emosi Karmat tiba-tiba pecah, tapi ia hanya bisa menampakkan dengan
merah padam mukanya dan senyum kecut sambil lalu. Badannya terhuyung-huyung
menahan amarah. Dengan cepat-cepat ia hampiri pintu rumah kontrakannya,
lekas ia buka untuk mencari botol- botol yang tidak terpakai lagi sebagai
kompensasi dari kemarahan yang terpendam.
“Prang!” suara botol kosong membentur tembok belakang rumah.
Dengan nafas ngos-ngosan ia lempar lagi botol-botol yang lain, sampai reda
dan lemas. Ia bersandar di dinding sambil melihat tumpukan botol-botol
yang ia persiapkan untuk mencairkan emosi-emosi.
Keesokan hari ia mencoba ke kantor penerbitan tempat dulu ia bekerja,
menghadap direktur dan melaporkan bahwa ia akan kembali bekerja seperti
biasa. Dengan hati-hati Karmat mulai merangkai kalimat agar Direktur yang
selalu pasang angker itu bisa tersenyum dan lebih-lebih mau menerima kembali.
“Kau Karmat, Kapan Kau bebas” Ujar Pak Sitompul sambil menempuk bahunya.
“Kemaren Pak”
“Kau mau kerja lagi di sini?”
“E..e..., Iya Pak”
“Bagus, sekarang juga kau bersihkan tempatmu yang dulu. Tengok itu, kotor
sekali sampai bau apek”
Tanpa sadar Karmat tiba-tiba memeluk Pak Sitompul dan menangis terharu,
“Aduh, bagaimana caranya saya bilang terimakasih sama bapak, bagaimana
pak...”
“Sudahlah kau Karmat, serahkan saja kapada yang Kuasa, nasib itu ada di
tanganNya, yang penting kau kerja di sini."
“Terimakasih pak, saya insya Allah, akan bekerja sebaik-baiknya”
“Iya..., ya..., aku percaya, selama ini kau memang kerja baik, tanpa kau
bilang aku yakin kau kerja baik-baik”
***
Sekarang Karmat sudah resmi dinas di Penerbitan itu, setiap harinya bertumpuk-tumpuk makalah-makalah Bahasa Arab, ia terjemahkan, koran-koran, bahkan Lailat Az Zifaf, buku kegemaran Kiai Rozikin Ozi Aje, tak luput dari garapannya. Ia tak peduli lagi dengan julukan baru yang diberikan masyarakat dengan Resi Karmat singkatan dari Residivis. Ia sudah tuli dengan cemoohan, karena ia sudah bahagia dengan kesibukannya, selain itu hobi memecah botol sudah mulai berkurang.
Status penterjemah sudah cukup baginya, walau masyarakat lebih suka
memanggilnya dengan Sang Resi. Siklus kegiatan antara rumah, kantor dan
masjid cukup baginya untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup. Istirahat,
kerja dan berdoa adalah kehidupan yang paling vital. Mau apa lagi, ceramah
tidak bisa, ngajari ngaji bahasa Inggris sistim gandulan kayak ngaji kitab
‘Uqudulijain kala masih jadi santrinya mbah kiai Kasilan, tidak diterima
masyarakat. Apa lagi? mendingan baca cerpen, sambil korek-korek kuping
dengan bulu angsa di rumah, menerjemah di Kantor dan memperbanyak doa di
masjid. Satu-satunya sahabat yang ada di kampungnya, adalah Marten, tukang
Azan dan juru kunci Masjid Al Barkah, sebuah masjid yang terletak di tengah-tengah
padatnya kampung Karmat. Masjid yang cukup besar, biasanya penuh setiap
kali sholat Jum’at, namun sangat longgar setiap Isya’, Subuh, Dzuhur dan
‘Ashar, kalau sholat Magrib mendingan, ada dua shaf jama’ah. Pada dasarnya
suara Karmat merdu, jika mengumandangkan azan, tapi Marten biasanya sewot
kalau Karmat suatu kali minta untuk azan.
“Ah..., nggak usahlah Mat..., aku takut Ustadz Mazdu’ marah-marah sama
aku, aku takut dipecat” kata Marten, “Beliau bilang kalau beliau nggak
kuat nggaji dua muazin”
“Kau jangan prasangka begitu Mar..., aku ini ikhlas wal Afiat lho, aku
cuma pingin azan saja, nggak butuh duit”
“ Bukan begitu Mat, aku percaya kamu nggak butuh uang tapi...”
“ Ah..., nggak jadi..., aku nggak jadi kok, takut aku jadi riya’, sudahlah
aku sholat sunat dulu..., nanti kau saja yang azan”
“ Sorry ya..., Mat, bukan aku nggak boleh, cuman itu...tu, ustaz yang pernah
belajar di Mesir, bisanya cuman marahin melulu, habis itu kerjanya promosi
ziarah kubur kanjeng Husein, atau ziarah ke tempatnya Imam Syafi’i, di
setiap pengajian mingguan, emangnya kuat ziarah sampai Mesir”
“Ah...kamu itu nggunjing orang nggak boleh, lagian apa salahnya sih ngajak
orang dalam kebaikan. Kamu itu ..., lihat orang senang nggak boleh, makanya
kalau sekolah yang bener biar bisa bikin travel, nggak kayak kamu. Sudah
azan dulu sana!”
Marten memang lugu, walaupun pernah jadi bintang film, yang pernah shooting sebagai figuran, Marten cukup bangga. Wajahnya seperti Roy Marten namun jika dilihat lekat-lekat wajahnya lebih condong mirip Presiden Nilson Mandella. Ia suka sekali dijuluki dengan Marten Mandella, karena Nilson Mandella itu orang hebat pernah dipenjara kayak Karmat. Makanya ia kagum juga sama Karmat dan pingin sekali Marten merasakan dipenjara, tapi ia takut sama Polisi. Kemarin ia mencoba maling ayam di peternakan milik orang cina, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika diintip dari belakang ternyata ada Pak Guncil yang jadi ABRI, ia sempat bingung, peternakan ayam ini milik Kopral Guncil atau milik Cik Wan. Akhirnya ia balik dengan tangan hampa.
Pada hari-hari menjelang PEMILU, memang banyak sekali penyelenggaraan
demonstrasi, para buruh yang terkekang pada turun jalan, biasanya para
mahasiswa yang suka sekali ngutak-atik kesenjangan, sangat rajin unjuk
rasa. Kesempatan ini takkan lepas dari perhatian Marten, ia memang melihat
kesenjangan tapi tidak bisa membuktikan. Ia mencari peluang untuk ikut
unjuk rasa, setiap kali melihat selebaran ia ambil, kalau-kalau ada kabar
tentang unjuk rasa.
“Kapan ya... ada demonstrasi...” batin Marten, sambil mencoba jaz dan dasi,
dan kepalanya diikat kain yang bertuliskan “Hidupkan Demokrasi”. Ia pandangi
cermin lama-lama.
“Ah... sudah pantas...”
“Karmat..., Demokrasi itu apa sih, kok mahasiswa itu suka teriak: ‘Demokrasi!,
Demokrasi, sambil mengepal-ngepalkan tanngannya?” Tanya Marten seusai shalat
Isya’.
“Menurut cerita yang sering aku pelajari di kampus, Demokrasi itu banyak
macamnya, ada demokrasi leberal, demokrasi Terpimpin, demokrasi pancasila,
demokrasi Islam, pokoknya banyak. Ya.. berhubung aku jarang masuk kuliah,
aku nggak tahu, setahuku dosen yang paling baik adalah Pak Sitompul, direkturku
itu.
Mendadak Karmat seperti dapat ilham, “Oh..., begini kalau nggak salah
kata Sitompul demokrasi itu negara terserah rakyat, tapi kalau demokrasi
menurut kenyataannya itu negara terserah penguasa,... katanya....itu yang
dia lihat lho Mar bukan aku, betul ini”
“Hus...jangan keras-keras, nanti kamu ditangkap lho, ini menjelang PEMILU,
biar aku saja yang bilang nanti, pas kalau ada demonstrasi”
“Ah... terserah... aku nggak mau ikut-ikut, yang penting aku selamet, aku
nggak mau neko-neko, kayak nggak tahu aku saja, orang-orang sudah kadung
membenciku”
“Termasuk aku?”
“Ah...entahlah...,” Karmat menunduk sendu.
“Lho..., kamu jangan begitu, aku nggak pernah benci sama siapa-siapa, apalagi
sama kamu, aku malah sebaliknya, kagum sama kamu, kamu itu pemberani sampai-sampai
mau dipenjara, aku pingin lho kayak kamu”
“Eh! kenapa sih sekarang kamu suka tanya demonstrasi”
“Enggak...ah..., aku...aku... aku pingin kayak Mandella”
“O...oo...” Karmat mengambil sandal dan bergegas pulang ke rumah.
********
“Hidupkan Demokrasi!, Hidup-kan Demokrasi!,” teriak Marten di tengah-tengah
lautan para pengunjuk rasa, yel-yel keadilan seperti koor perjuangan, keadilan
seperti lautan yang luas dan sukar untuk diterjemahkan.
“Bersihkan korupsi, bersihkan kolusi, hilangkan nepotisme” teriak Marten
menirukan orang- orang yang lagi kalap. Lalu ia ikut naik mimbar dan mengambil
corong.
“Nyanyi...!,nyanyi...!, suarakan kebenaran...!” teriak massa. Marten tersadar
bahwa ia sekarang di gelombang massa, ia nggak tahu apa yang harus diperbuat
di saat corong di genggamannya.
“Nyanyi...!, serukan keadilan”
Keringat Marten bercucuran, apa yang harus diperbuat.
“Eh..., cepat nyanyi atau baca puisi!” bisik seseorang ada disampingnya.
Tanpa sadar Marten menyanyikan lagu kesukaannya pada waktu TK:
“Bebek, bebekku, mari kemari, ikutlah aku ke kebun bibi....”
“Hu.....huu..., lari....lari ... ada polisi...lari..., bubar..., ada tentara....,
pakai panser,” seru massa.
Semuanya lari tunggang-langgang diantara mereka ada yang selamat, sebagian mereka ada yang apes, sebab kena pentungan petugas, dan digiring ke Posko Kewaspadaan Nasional. Sesampai di Posko mereka mulai diperiksa satu-satu, ada yang dipukuli, ada yang disuruh ngaku, ada yang teriak menangis, ada yang lantang, ada yang diseret di penjara.
Tubuh Marten menggigil ketakutan. Matanya melirik-lirik ingin tahu bentuk
penjara, tapi...keringat dingin menguasai rasa ketakutannya. Marten, antara
mau cari pengalaman dan juga mau pingsan.
“Hei, siapa namamu?”
“M...m...mm...Marten Pak”
“Kuliah di mana...?”
“S..ss..ss..Saya tukang azan, itu pak... di..ddddi Mesjid Al Barkah...pak...,
Pengajiannya.... Ustadz Mazdu’, pak...., benar pak...sssumpah pak, saya
nggak salah, saya cuman disuruh nyanyi...., saya nggak tahu...., jangan
dipukul pak...ssssakit...”
“Lho! kamu anak buahnya Mas Mazdu’?, kenapa kamu ikut-ikutan demonstrasi,
sana pulang sana, memalukan, jangan bilang-bilang kalau kamu saya pulangkan,
dan jangan sekali-kali diulangi lagi ikut-ikutan demonstrasi, biar orang
gendeng saja yang teriak-teriak” kata seorang anggota ABRI yang ternyata
saudaranya ustadz Mazdu’.
“Lho kok pulang..., sssaya pingin dipenjara Pak”
“Kamu itu ada-ada saja, sana pulang, sudah saat waktu ‘Ashar, nanti telat
azannya”
“I..iya..., tapi...nanti...balik lagi nggak pak?”
“Oo...nih sedikit buat ongkos naik bis kota, sana pulang nggak usah balik
lagi” “M..mmm...makasih Pak”
***
Sudah seperti biasanya, Karmat beranjak ke mesjid. Dengan memakai peci
dan sarung, ia mulai mendendangkan zikir, seirama dengan langkahnya.
“Mat..., tolong kamu saja yang azan, saya pulang dulu” sapa Marten di tengah
jalan sambil terengah-engah.
“Dari mana kamu Mar...,”
“Nih kuncinya”
“Lha iya..., masjid kok ya... dikunci..., orang mau ke rumah Tuhan kok
dikunci, seharusnya dibuka duapuluh empat jam, aku itu sedih..., coba bayangkan
kalau orang mau sholat malam, masa... dikunci..., sini... kuncinya nggak
usah dikancing pintu masjid itu..., biar aku buka...” “Ya..., terserah...,
asal jangan ketahuan Ustadz Mazdu’...,”
“ Boleh..., boleh...., tapi...” Marten berlalu.
Sembari bertanya-tanya dalam hati, Karmat masuk ke Mesjid, ia kumandangkan
azan dengan suara merdu, menggantikan kebiasaan Marten. Ia nggak tahu kenapa
Marten tiba-tiba berubah, dulu ngotot megang kuncinya sekarang malah dikasihkan.
“Ah..., biarlah..., itu urusan orang lain” batin Karmat, sambil meneruskan
wirid shalawat nariyahnya.
Kini Karmat jadi lebih leluasa ke Mesjid, berlama-lama i’tikaf sambil
mendengung kecil wirid-wirid yang sering ia baca dari buku-buku doa mustajab.
Bila malam-malam tanpa harus mencari Marten, ia bisa buka pintu sendiri,
bahkan ia nggak mau lagi mengunci pintu mesjid itu.
“Masa masjid kok dikunci, wah..., bener-bener pergeseran nilai, gimana
nanti bila ada yang pingin sholat, atau i’tikaf, atau istirahat atau kegiatan
yang lain susah...., mengamalkan hadits nabi ‘Rojulun muta’aliqun bil
Masjid’ susah..., jadi orang modern susah. Masjid dibangun besar-besar,
yang shalat cuman dua tiga orang, emangnya masjid itu kayak gereja yang
hanya dikunjungi setiap seminggu sekali, dasar... kristenisasi budaya...”
omel Karmat dalam hati sambil memandangi masjid sejenak lalu ia tinggalkan
untuk istirahat di rumah menunggu subuh.
Matahari pagi menyengat, membuat Karmat gelagapan. Dilihat jam sudah
menunjukkan jam enam seperempat.
“Ya...Allah! kenapa aku bangun terlambat”, sesegera mungkin ia mengambil
wudlu, tak lupa meraih peci dan menggelar sajadah. Ia menunaikan shalat
Subuh di rumah. Seribu penyesalan ia tangisi dengan doa, seribu kekecewaan
ia tumpahkan dengan air mata.
“Ya...Allah! kenapa aku laksana terbius seperti ini hingga aku tak tahu
lagi ganjaran apa yang akan kuperoleh... Oh....Tuhan..., my God..., Ya...
Allah...ampuni hambaMu, aku bagai Abu Nawas yang sama sekali tak kuat dengan
api siksaan, dan kelemahanku inilah yang menjadikan tak patut masuk ke
gerbang istana firdausMu, Oh Tuhan..., benar... dengan tulus aku mohon
ampunan, dosa-dosaku penaka hamburan debu yang terbang hinggapi nafsu...Tuhan...meledak
tangisku...membuat kebodohanku muncul..., tiada lagi yang mampu melindungi
alam semesta kecuali diriMu".
“Karmat!!!”
“Ya Allah..., kekasihku..., kurajuk diriMu untuk penuhi ampunanku”
“Resi Karmat!!!” “Ya... Rabbi...dengan keadilanMu, terimalah taubatku”
“Hai...!!! Karmat keluar kau...”
“Ya...Rahman...Ya Rahim..., KasihMu tak terhingga, tujuh samudra...takkan
bisa menandingi limpahan sayangMu, hambaMu mohon maaf...”
“Prak...” suara pintu didobrak dan orang-orang mulai masuk ke rumah.
“Ya...Hayyu.. Ya Qayum..., kurayu asmaMu, agar bisa tentramkan hatiku,
diriku hancur kala aku lengah dengan janji-Mu. Masjid itu kayak gereja
yang hanya dikunjungi setiap seminggu sekali, dasar ...kristenisasi budaya....."
“Ini malingnya...., ayo kita pukulin..."
Pura-pura berdoa lagi “Ya...Allah telah datang bala-ganjaranMu”
“Bug...!!!, bug...!!!, plak....!!!”
“Alhamdulillah, ternyata Kau dengar suara hambaMu, karena aku lebih takut
dengan siksa JahimMu”
“Ayo..., Resi...!, Ayo...Sudra!, ngaku..., mana tape recorder..., mana
pengeras suara..., kau sembunyikan di mana kotak amal. Jangan pura-pura
diam..., ayo.., hei maling..., mana...” teriak orang-orang sambil menggebuki
Karmat.
“Seret...dia...bawa ke kantor Polisi....”
“Pukuli dulu..., sampai setengah mampus”
“Iya...pukuli baru serahkan ke Polisi”
“Ya...Allah....” desis Karmat.
“Dia tetap diam..., nggak mau ngaku, kasih bogem dulu...”
“Ya...Allah...Allah..., Ahad..., Ahad...., Ahad....” Karmat mendesis sambil
membayangkan Bilal disiksa oleh Umayah, kesadarannya telah hilang, darah
segar mengalir membanjiri seluruh tubuhnya, namun ia seperti terhibur dengan
senandung dzikir itu, sampai tidak tahu di mana ia berada....
***
“Karmat..., maafkan Aku...”, seru Marten sembil melelehkan air mata,
“aku menyesal..., dan nggak menyangka sampai dipukuli sekejam itu..., aku
kira jalan itu yang dapat mengantar aku ke penjara..., tapi aku takut dipukuli....,
hingga aku bilang yang nyolong adalah kamu, lalu mereka melabrak rumahmu,
mereka pukuli kamu, dan barang-barang seisi rumahmu”
“Yang salah aku Marten..., aku telat shalat Subuh...” elak Karmat dari
balik jeruji.
“Uh..uk..., bukan..., itu salahku... kenapa aku penakut..., walau ingin
rasanya aku seperti Mandella yang pernah merasakan penjara..., seperti
kamu Karmat..., kata orang, penjara itu untuk mukmin dan sorga bagi orang
kafir”dalih Marten tambah sesunggukan.
“Hus..., emangnya orang yang beriman suka dipenjara..., bagaimana bisa
maju, Marten, bagaimana bisa keja, bagaimana bisa haji...?”
“Tapi orang hebat belajarnya di penjara!”
“Itu Soekarno, Hatta, Mandella..., dipenjara bukan karena nyolong pengeras
mesjid..”
“Oh..., maafkan aku Karmat...aku nggak tahu, aku mau ngaku biar dipenjara...,
disana aku bisa belajar, dan kamu bisa pulang..., aku ingin pinter seperti
Mandella. Ya...Marten Mandella...Karmat..., maafkan aku... Karmat”
“Yah..., pingin sekolah gratis..., nyari penjara..., eh..kadang-kadang
penjara bisa menelurkan alumnus yang besar dan hebat...” Karmat sejenak
menengok kantor Polisi, tak sadar ia geleng-gelengkan kepala melihat gigihnya
usaha dan luhurnya cita-cita Marten. Ia tinggalkan penjara setelah tak
terbukti kesalahannya, Ia tinggalkan Marten yang kini meringkuk di penjara
sesuai dengan pengakuanya.
“Semoga kau cepat pandai dan berani, Marten...!”
***
Malam-malam Karmat mulai bertandang ke Masjid, dingin menyelimuti tubuhnya, sepi..., tak ada orang..., dan Masjid itu terkunci..., tak ada lagi yang ia cari..., Marten yang dulunya setia membukakan pintu kini tak tampak lagi. Ya! masjid itu terkunci, di malam-malam sunyi..... Masjid itu tak akan berfungsi......