KITAB FIL WAZN


    Studi Islam Kontemporer tentang Negara dan Masyarakat
    Muammar Bakri*

    Judul: Dirasat Islamiyah Muasharat fi el Daulat wal Mujtama’
    Pengarang: Dr. Ir. Mohammed Syahrur
    Penerbit: Al Ahly Damsyiq (cet.Pertama 1994)
    Tebal: 375

    Tuhan berfirman dalam Kitab-Nya yang artinya : ”Adapun buih itu, akan hilang sebagaimana sesuatu yang tidak ada harganya; sedangkan yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia akan tetap di bumi. ( QS.13: 17 )

    Seorang modernis yang hidup dengan cacian di zamannya, bukan berarti hasil dan jerih upaya berpikirnya tidak valid dan berbobot. Tetapi boleh jadi karyanya lebih qualified dan bisa diandalkan. Jamaluddin Al-Afghani, Mohammed Abduh dan Mohammed Rasyid Ridha merupakan bukti sejarah dari kasus-kasus di atas. Mereka yang telah banyak melontarkan ide pencerahan (enlightnment) pergerakan pemikiran keislaman serta problematika sosial lainnya, namun pengakuan terhadap dirinya sebagai “mujaddid” terlihat dekade akhir ini. Ini logis sekali dikarenakan kapasitas intelektualitas orang sezaman-nya belum sampai pada tingkatan ide pencerahan. Begitu juga iklim kondusif belum sepenuhnya mendukung terealisasinya ide-ide baru itu.

    Dari realita diatas dan hubungannya dengan ayat Tuhan tadi, Syahrur memiliki asumsi bahwa buah dari sebuah pembaharun tidak akan langsung bisa menyentuh pada tataran sosial dalam radius yang lebih luas. Akan tetapi mulai terasa dan berakses tinggi pada periode berikutnya.

    Pada mukadimah bukunya, ia menulis sebuah pembahasan tentang “qadla dan qadar”. Menurutnya, pemahaman “qadla” yang dipresentasikan ulama-ulama terda-hulu telah membawa umat islam pada sebuah kondisi pasif dalam menyikapi ketentuan garis hidupnya, dan cenderung fatalis. Dia menambahkan bahwa definisi kedua istilah tersebut pada awal kemunculannya sering kali di jadikan legitimasi politik oleh rejim-rejim tertentu. Melihat keberadaan “qadl dan qadr” merupakan salah satu varian terpenting dalam esensial akidah Islam. Maka dengan jalan inilah Ummawiyyun menelorkan adagium bahwa “ sejak zaman azali Allah sudah menentukan untuk bani Umaiyah untuk menguasai dan memerintah di kawasan arab”. Dan “qadar” pada gilirannya merupakan media untuk merealisasikan ilmu Allah tersebut dalam sebuah kenyataan.

    Dari deskripsi di atas, Syahrur dengan gaya kritisnya membantah penafsiran ayat pada QS. 17:23. Menurutnya, pada ayat tersebut Allah menggunakan kata “qadla” dalam perintah agar tidak menyembah selain-Nya. Kalau seandainya pada ayat ini “qadla” diartikan sebagai ketentuan sebagaimana dipahami oleh sekelompok tertentu, maka ini bertentangan dengan realita dan fenomena yang ada, karena banyak manusia yang tidak menyembah Allah.

    Kemudian di ayat lain “qadla” bisa berarti ketentuan (QS 2:117), tapi di akhir ayat tersebut ditutup dengan kata “kun fayakun” . Dari sini Syahrur menyimpulkan bahwa “qadla” bisa berarti ketentuan, ketika kata ini dihubungkan dengan kata kun fayakun.

    Adapun tentang “qadar” sekelom-pok tertentu mendefinisikannya seba-gai usaha untuk merealisasikan ilmu Allah dalam bentuk nyata. Namun arti ini masih jauh dari makna firman Allah dalam surat Al Waqi’ah ayat 60 yang artinya “Kami telah menentukan diantara kamu kematian dan tiada Kami sekali-kali, tidak dapat dikalah kan” (memakai kata qadr ;red.).

    Pemahaman “qadla dan qadar” seperti diungkap di atas adalah salah satu bentuk distorsi penafsiran yang banyak merasuki akidah umat islam. Padahal jika melihat sejarah pada masa Khulafaturrasyidin, penafsiran mereka tentang “ qadl dan qadr” jauh berbeda dengan penafsiran yang dipahami oleh sebagian besar umat Islam sekarang. Pada sebuah kejadian khalifah Umar Ra. pernah memerintahkan sekelompok kaum untuk meninggalkan kotanya di karenakan saat itu sedang berjangkit wabah penyakit menular. Salah seorang di antara mereka bertanya kepada khalifah Umar, “Mengapa kita harus lari dari ketentuan Allah” ? Umar dengan nada tegas menjawab “Memang kita lari dari ketentuan Allah untuk menuju ketentuan-Nya yang lain.” Tentunya dengan keyakinan bahwa Allah mentak-dirkan sehat sebagaimana dtakdirkannya pula sakit, tapi perpindahan dari salah satunya adalah ketentuan manusia.

    Dalam akhir pembukaannya, Syahrur mengetengahkan beberapa penyele-wengan yang dibawa oleh kelompok ulama yang memiliki misi tertentu seperti pada masalah pemikiran, ekonomi, sosial politik. Dan disingkapnya hal tersebut dari kajiannya pada ayat yang mengisahkan tentang Fira’un, Haman, dan Qarun. Sebagaimana pula penyimpangan-pe- nyimpangan terhadap beberapa ilmu penting seperti ulumul Qur’an, fikih, Hadis dll. Menurutnya pula, bahwa “nasakh” tidak terdapat dalam satu agama, tapi itu terjadi antara satu sama lainya dengan tafsiran yang ilmiah dan logis pada QS. 2:106.

    Di tengah-tengah pembahasannya, Syahrur mengangkat masalah keadilan Tuhan dan keadilan manusia yang bersumber dari kisah Musa dan hamba saleh, dikatakan bahwa + 3.000,00 tahun silam peristiwa antara Musa dan hamba saleh, seringkali membawa manusia salah paham terhadap keadilan Tuhan. Bahkan sebahagian oknum tertentu dengan sengaja menafsirkan cerita tersebut bertentangan dengan tujuan semula kisah tersebut.

    Peristiwa hamba saleh membunuh anak kecil, melobangi perahu dan membetulkan dinding, kesemuanya itu untuk ukuran keadilan manusia sulit diterima. Dengan membunuh anak kecil ia beralasan, bahwa anak itu bila dibesarkan nantinya akan mengancam keimanan kedua orang tuanya . Hal ini menurut tanggapan manusia biasa, sangatlah tidak tidak masuk akal. Sebagai contoh, Jika si Fulan membunuh si Polan, dengan alasan yang jelas bahwa nantinya lima tahun kemudian Polan akan menganiayanya. Maka tentunya tidak ada satu pun hakim yang membenarkan tindakan Fulan. Bahkan Fulan akan dihukum sebagai pelaku kriminialitas, sekalipun apa yang dikatakannya itu mungkin saja terjadi.

    Maka pada hakekatnya, dari peristiwa yang terjadi antara Musa dan hamba shaleh, ada dua dimensi keadilan. Pertama, keadilan manusia yang dicerminkan oleh Musa as. Kedua, keadilan Tuhan yang terwakili oleh hamba saleh yang tentunya hal tersebut tidak dapat dilakukan dan ditelusuri oleh hamba atau manusia lain. Karena keterbatasan manusia dalam menilai keadilan Tuhan. Dengan demkian, tampilnya sosok Musa adalah cerminan tingkah laku dan berfikir manusia di muka bumi ini, dan kemudian dari ukuran tersebut dibuatlah satu hukum dan ketentuan yang mengatur manusia dalam bermuamalat.

    Dari judul buku yang dipilih oleh Dr. Ir. Mohammed Syahrur, yaitu seputar kajian keislaman tentang negara dan dan masyarakat, ditampilkan di dalamnya beberapa masalah penting pada hal-hal yang menyangkut masalah tersebut. Dalam pemaparannya ia banyak mengguna kan pendekatan tafsir tematik, seperti masalah keluarga, umat, suku dan bangsa. Bahkan dengan gaya khas tersendiri dalam mengkaji al-Qur’an, ia dapat menyikapi tentang kebebasan, revolusi, negara dan bentuk-bentuk eksploitasi serta perjuangan dan jihad.

    Sebagian kecil dari hal-hal yang menarik, yang ditampilkan dalam bukunya diantaranya fenomena munculnya keluarga. Dikatakan bahwa jarak interval antara Adam dan Nuh, kehidupan manusia mirip kehidupan binatang. Hubungan keluarga termasuk hubungan seksual masih seperti binatang secara umum, segala bentuk perzinahan yang kita kenal sekarang ini, belum ada syariat khusus yang membahasnya. Sebab syariat baru muncul nanti pada zaman nabi Nuh, yaitu hukum tidak diperbolehkannya syirik dan perintah berbuat baik terhadap orang tua yang sebelumnya hanyalah bersifat teguran-teguran yang datang dari malaikat. Berangkat dari ayat QS.2:213, Syahrur berpendapat bahwa manusia telah ada dan dikenal sebelum diturunkannya nabi ke alam bumi ini, hingga pada akhirnya dikatakan bahwa Adam bukanlah bapak pertamai manusia dan bukan pula nabi pertama yang diturunkan, tapi Adam hanyalah istilah model dan bentuk manusia untuk membedakan dengan hewan lainnya.

    Pada akhir pembahasannya, ia menjelaskan tentang esensi negara (baca;daulah).Menurutnya, adalah tempat dan sarana dalam mengungkapkan kenyataan hidup suatu bangsa dengan adanya stabilitas ekonomi, sosial poltik. Kemudian dari pada itu, negara Islam di satu sisi, adalah negara sekuler, sebab perundang-undangan yang ada dalam Islam tidak bersumber dari rijaluddin, selain itu juga kebebasan berpendapat mendapat tempat tersendiri dalam Islam. Di sisi lain, negara Islam juga adalah negara liberal, sebab Islam mengakui urf, adat istiadat dan taklid selama dalam batas-batas yang telah ditentukan.

    *Buku ini dibedah oleh saudara Muammar Bakri mahasiswa tingkat akhir Fakultas Studi Islam Dan Bahasa Arab Universitas Al Azhar. Selain menjadi redaktur Nuansa ia juga aktif di Ar-Raqiem SC.


    JURNAL KAJIAN KEISLAMAN NUANSA
    Diterbitkan oleh:
    Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Kairo - Mesir
    Web: http://www.muslims.net/KMNU, Email: kmnu@muslims.net