NISAIYYAH


    Kodrat Wanita vs Norma Adat dan Budaya
    Dr. Quraish Shihab*

    I. Pembukaan

    Ketika membaca judul di atas secara tidak langsung terbayang dalam benak kita, dominannya visi di kalangan masyarakat terhadap asumsi bahwa wanita merupakan komunitas sendiri dari komunitas sosial yang lain. Sejarah telah membuktikan bahwa sebelum turunnya Al-Quran, telah terbentuk peradaban-peradaban besar di dunia ini seperti peradaban Yunani, Romawi, India dan Cina. Dan telah berkembang pula komunitas religius seperti agama Yahudi, Nasrani, Buddha, Zoroaster di Persia dan lain-lain.

    Komunitas Yunani yang konon populer dengan perkembangan dunia filsafatnya, kurang atau bahkan sama sekali tidak memberi perhatian terhadap status dan kepentingan kaum Hawa. Mereka -terutama kalangan kaum elit- memperlakukan wanita hanya sebagai simbol penunggu istana. Sementara di kalangan lain terutama masyarakat proletar memperlakukannya sebagai komoditas dagangan dengan dominasi kaum lelaki di atas segala-galanya. Pada masa keemasannya kaum wanita diberi kebebasan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan nafsu kaum lelaki. Patung-patung telanjang yang banyak kita lihat merupakan saksi sejarah perlakuan yang menyakitkan terhadap kaum wanita. Demikian juga tak jauh berbeda halnya yang terjadi di Romawi. Bahkan mungkin bisa dikatakan lebih menyedihkan lagi.

    Dalam kehidupan sehari-hari mereka mengatakan bahwa kekuasaan seorang suami mutlak terhadap isteri-isterinya. Mereka boleh melakukan apa saja terhadap isteri-isteri mereka; menjualnya, membuangnya, menyiksa bahkan mungkin membunuhnya. Ada sedikit angin perubahan (wind of change) pada masa Kaisar Constantine terhadap kehidupan kaum wanita. Di mana telah terjadi beberapa perombakan sekaligus pembekuan terhadap beberapa point hukum yang terkesan diskriminatif. Ini terjadi setelah disadari adanya ketidak adilan hukum untuk pihak keluarga atau suami terhadap hak-hak individu wanita.

    Dalam peradaban Hindu dan Cina unsur ketidak manusiaaan. lebih kejam lagi. Bahkan konon dalam sebuah upacara kematian suaminya, seorang isteri lazim baginya membakar dirinya hidup-hidup bersama jenazah sang suaminya. Dan sebuah adagium mereka (Cina) mengatakan : “Dengarkanlah omongan perem-puan tapi janganlah kamu percayai”

    Demikian juga ajaran Yahudi menempatkan wanita pada posisi sejajar dengan budak (hamba sahaya). Mereka menghina dan mencaci wanita karena menurutnya wanitalah yang menyebabkan Adam dilempar ke dunia. Dalam ajaran Nasrani demikian pula, wanita diklaim sebagai utusan syaitan untuk menyesatkan kaum lelaki. Pada abad ke-5 S.M. pernah Dewan Gereja membicarakan sekitar status sosial wanita, bahkan satu saat kestatus wanitaannya pun dipertanyakan, masukkah mereka pada komunitas manusia ? .

    Dalam sejarah barat modern, kita kenal doktor medis wanita pertama, Dr.Elizabeth Bllackwil. Ketika ia menyelesaikan studinya di Universitas Geneva (1849) ia diboikot oleh teman-teman seperguruannya. Karena mereka beranggapan bahwa wanita sepertinya tidak layak memperoleh pendidikan seperti itu. Begitu pun halnya sewaktu dibangun sebuah Institut Medis Wanita di Philadhelpia (USA), proyek ini sempat tertunda karena mendapat ancaman boikot dari pihak setempat. Gambaran-gambaran di atas mencer-minkan betapa perlakuan tidak adil yang telah diterima kaum wanita dari dulu hingga masa modern.

    Fakta ini sedikit banyak telah mempengaruhi segelintir ulama dalam memahami dan mensikapi teks-teks Islam. Sehingga telah terjadi kekeliruan dalam mengklaim suatu pernyataan yang bersumberkan pada ajaran agama, yang sebenarnya pernyataan itu lebih merupakan pengaruh adat dan budaya. Ini dipertegas lagi dengan fakta, banyaknya penggunaan kalimat laki-laki ( masculine forms ) dalam kebanyakan teks-teks Islam. Fenomena ini juga telah banyak menimbulkan kekeliruan dalam memahami Islam terhadap kodrat wanita. Kata kodrat yang berasal dari bahasa Arab ( qudroh ) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) sifat yang asli: sifat bawaan. Dalam perspektif Islam, seluruh alam maya ini adalah ciptaan Allah dengan kodrat-Nya. Di dalam Al-Quran Allah berfirman: “ Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan Qadar “ (QS 54:49).

    Para ulama menginterpretasikan qodar sebagai kadar kemampuan dan karakter yang dianugerahkan oleh Allah kepada setiap makhluk-Nya. Laki-laki dan wanita mempunyai kodrat yang respektif hasil influensasi perbedaan jenis kelamin mereka.

    Makalah ini tak akan menampilkan pembicaraan sekitar kodrat manusia. Namun yang pasti perempuan dan laki-laki adalah makhluk Tuhan yang sama. sebagimana Mahmud Syaltut, mantan Syeikh al-Azhar pernah berkata :

      “ Karakter wanita dan laki-laki bisa dikatakan sama, karena Allah telah menganugerahkan wanita sebagaimana Allah menganugerah kan laki-laki. Allah mengaruniakan potensi dan kemampuan yang disesuaikan dengan tanggung jawab, tugas dan aktivitas masing-masing”.

    Hukum syariat telah meletakkan dua makhluk ini dalam satu kerangka kerja (frame work). Kaum laki-laki bisa melaksanakan praktek jual-beli, mengawini seseorang, menuntut serta menjadi saksi, begitu juga halnya kaum wanita. Al-Quran dalam memvisualisasikan asal-usul wanita seperti dalam surah an-Nisa’ ayat 1 : 9, mengatakan

      “ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya, Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

    Kebanyakan para mufasirin menafsirkan kalimah nafs sebagai Adam dan zaujaha sebagai isterinya, Hawa. Opini ini telah menimbulkan kesan negatif terhadap kaum wanita dengan seakan-akan wanita adalah bagian dari laki-laki. Tanpa keberadaannya wanita tak akan terwujud. Bahkan tidak sedikit orang yang berasumsi bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam. Dan kebanyakan kitab-kitab turats menafsirkannya seperti demikian. Pendapat-pendapat ini mungkin didasari pada hadist nabi : “ Berilah nasihat kepada wanita karena mereka tercipta dari tulang yang bengkok”.

    Sebagian ulama menafsirkan hadits ini secara metaforis. Menurutnya bahwa maksud hadist tersebut adalah peringatan kepada kaum laki-laki agar bersikap wajar terhadap kaum wanita. Karena wanita memiliki perbedaan dalam beberapa aspek seperti karakter, kebiasaan dan tendensi kecenderungan. Seandainya saja laki-laki tidak dapat memahami perbedaan ini mungkin ia akan bersikap tidak wajar terhadap kaum wanita.

    Untuk menghindari asumsi selama ini yang mengatakan bahwa laki-laki memiliki superioritas lebih dibanding wanita, maka sesungguhnya fakta dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam hanya dikhususkan kepada Hawa (istri Adam) saja. Perbandingan yang tidak seimbang antara keduanya semestinya tidak terjadi, karena hakikatnya semua tercipta dari hasil proses akulturasi biologis suami dan isteri yang kemudian terwujud dalam sosok insan. Jadi, tidak ada kelebihan laki-laki dari wanita karena Allah pernah berfirman dalam al-Quran : “Sebagian kamu adalah turunan sebagian yang lain.................” (QS 4:195).


    III. Perbedaan Eksistensi Laki-laki dan Perempuan

    Perbedaan antara laki-laki dan wanita memang tidak dapat disangkal. Fakta secara biologis membuktikan bahwa kedua makhluk tersebut. Firman Allah Ta’ala dalam al-Quran surah an-Nisa :

      “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniai Allah terhadap kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, (karena) bagi lelaki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan”.

    Ayat ini memberikan gambaran bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara laki-laki dan wanita kecuali dalam bebarapa spesifikasi tertentu. Namun spesifikasi ini tidak diungkap dengan jelas dalam ayat. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan dan sains memliki peranan penting untuk membuka tabir perbedaan tersebut.

    Alexis Carrel, pemenang Hadiah Nobel Kedokteran, dalam bukunya “Men The Unknown” menjelaskan tentang beberapa perbedaan unsur biologis di antara laki-laki dan wanita dari beberapa kelenjar-kelenjar tertentu dan sel-sel darah. Dan tidak bisa disangkal juga adanya perbedaan intensitas emosi dan mental diantara keduanya. Beberapa psikolog juga menyatakan hal yang sama tentang hal itu. Meskipun penulis gagal menemukan alasan-alasan dari sudut pandang agama dengan terpaksa harus menerima beberapa hal tadi untuk mengakui adanya perbedaan landasan dan kewajiban antara laki-laki dan wanita.

    Memang benar bahwa ”setiap makhluk yang diciptakan, punya fungsi yang telah ditentukan”, (based on the function to be borne, the instruments are created). Tuhan menciptakan perbedaan ini disesuaikan dengan fungsi yang disandangnya. Atas dasar ini maka ajaran agama bisa menerima pernyataan tersebut. Seandainya benar bahwa terdapat perbedaan mental dan emosi di antara laki-laki dan wanita, apakah berarti kemampuan intelektual keduanya juga berbeda ? Nach, sekali lagi hal itu tidak dinyatakan jelas dalam al-Quran. Tetapi sebagian ulama cenderung memilih pernyataan Allah (Q:S:2:281) yang menjelaskan bahwa kesaksian seorang laki-laki sama dengan kesaksian dua orang wanita. Dalam arti kata wanita bisa mengingatkan yang satu lagi.

    Menurut penulis, hal ini bukanlah merupakan sebuah argumen rasional yang memperkuat pernyataan bahwa laki-laki memiliki kapasitas intelektual lebih tinggi dibanding wanita. Hal tersebut harus dihubungkan dengan al-Quran yang menyatakan bahwa laki-laki dan wanita punya fungsi dan tanggung jawab masing-masing. Ini merupakan tantangan berat bagi para ulama karena dalam konteks ini, Islam memberikan tanggungjawab mengatur kepada kaum lelaki, bukan kepada wanita. Jadi wanita tidak banyak memberi perhatian dan berperan dalam berbagai aktivitas, masalah-masalah bisnis, jual-beli, sewa-menyewa seperti laki-laki. Lebih jauh dari itu, wanita juga dituntut untuk lebih memusatkan perhatiannya terhadap urusan rumah tangga dan anak-anak.

    Atas dasar ini sangatlah wajar kalau daya berfikir wanita tidak setaraf kaum lelaki. Ini berarti daya fikir kaum laki-laki terhadap hal yang bukan pada bidangnya, akan lebih rendah jika dibandingkan dengan kemampuan fikir wanita pada bidangnya. Al-Quran menjunjung tinggi para Ulil Albab yang senantiasa mengingat Allah dan merenungi ciptaan-Nya baik yang ada di langit maupun di bumi. Dengan mengingat dan merenungi ciptaan-Nya akan dapat tersingkap rahasia-rahasia alam semesta. Para Ulil Albab ini bukan hanya terbatas kaum laki-laki, tapi juga mereka para kaum wanita. Hal ini ditegaskan al-Quran dalam surah al-Imran yang berbunyi :

      “ Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan orang yang beramal shaleh diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan…”

    Ayat ini membuktikan bahwa wanita pun memiliki potensi yang sejajar dengan laki-laki. Wanita bisa berfikir, belajar dan menghayati ayat-ayat Allah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wanita berhak untuk mempelajari apa saja, berdasarkan kapasitas dan keinginannya. Dalam bidang-bidang tertentu, kadang wanita bisa lebih mampu dari kaum laki-laki, sehingga otomatis harus belajar dari mereka. Salah seorang guru Imam Syafi’i’ adalah wanita, bernama ‘Assyeikhah Syuhrah Fakhrunnisa’. Al-Muqarry dalam bukunya Nafkhu at-Thib, pernah menulis biodata Ibnu Al-Mutharraf (seorang pakar bahasa), yang pernah mengajar seorang wanita tentang sebuah pembahasan yang sulit dipahami dalam ilmu Lughah Arabiyyah. Setelah melewati fase tertentu ternyata kemampuan wanita tersebut melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam ilmu syair. Akhirnya wanita tersebut dikenal sebagai Al-Arudhiyyat karena kepiawaiannya dalam ilmu arudh.

    Fakta ini merupakan catatan sejarah yang bisa dijadikan pertimbangan, mengapa mesti ada statemen tertentu yang membatasi kaum wanita untuk belajar dan menuntut ilmu. Mungkin salah satu dari beberapa alasannya seperti termaktub dalam surah al-Ahzab ayat 33 “Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu ...” Bolehkah Ayat ini sering dipahami salah untuk melarang kaum wanita keluar dari rumah atau melibatkan diri dalam berbagai aktivitas sosial. Al-Qurthuby (671.H), seorang ulama tafsir pernah mengatakan bahwa ayat ini memerintahkan wanita untuk tinggal di rumah. Walaupun secara literatur (konteks asbabul wurud-nya) perintah ini hanya diprioritaskan untuk para isteri Nabi SAW, namun ayat ini juga mengandung perintah untuk semua wanita muslimah. Al-Maududy, seorang pemikir Islam kontemporer Pakistan juga mengatakan hal serupa. Dalam bukunya Al- Hijab, beliau menyatakan bahwa tempat kaum wanita adalah rumah; mereka tidak dibebani dari kewajiban mencari nafkah dengan harapan bisa menunaikan tanggungjawabnya sebagai ibu rumah tangga. Seandainya terpaksa harus keluar untuk sebuah kebutuhan, maka diperkenankan baginya melakukan itu dengan syarat senantiasa dapat memelihara kesucian dan sopan santun sebagai seorang wanita.

    ”Bolehkah wanita bekerja ?”, sebuah pertanyaan yang pernah dijawab oleh Muhammad Quthub, seorang pemikir Islam Mesir, dalam bukunya Ma’rakat Attaqaalid ia mengatakan : “ Bahwa tidak ada ketentuan yang melarang wanita untuk bekerja, karena Islam tidak melarang demikian, tetapi juga tidak menganjurkannya.” Dalam bukunya yang lain, Syubhat Haula al-Islam, Quthub menerangkan dengan jelas : “ Wanita pada zaman Rasulullah bekerja, ketika kondisi mereka mengharuskan berbuat demikian. Kenyataan tidak dapat dipungkiri - iya atau tidak - wanita berhak untuk bekerja. Karena dalam Islam wanita tidak dianjurkan keluar dari rumah kecuali untuk tugas-tugas tertentu, seperti tuntutan sosial atau untuk memenuhi kebutuhan dasar wanita.

    Contohnya wanita terpaksa harus bekerja karena tidak ada seorang pun yang menanggung dan memberinya nafkah. Atau ada yang menafkahi tetapi tidak bisa mencukupi kebutuhan. Sayyid Quthub dalam bukunya Fi Dzilal Al-Quran menerangkan maksud kalimat Waqarna dalam Waqarna fi buyutikunna adalah duduk dan tinggal di rumah. Tapi beliau menyambungnya, ini tidak bermaksud melarang mereka keluar dari rumah. Ayat ini sekedar mengingatkan bahwa rumah adalah tugas utama wanita.

    Visi para pemikir Islam di atas bisa dikembangkan lagi dengan melihat kembali fenomena peranan wanita yang hidup di masa Rasulullah, sahabat dan tabi’in. Pada masa itu kaum wanita banyak memainkan beberapa peranan stategis dalam beberapa bidang pekerjaan. Nama-nama seperti Ummu Salamah isteri nabi, Syafiyyah, Laila al-Ghiffariyyah, Ummu Siham al-Assamiyyah dan lain-lain adalah barisan wanita yang ikut andil dalam peperangan pada masa itu. Perawi hadist, Imam Al-Bukhari telah menghimpun berbagai aktivitas dan peranan wanita pada masa nabi dalam sebuah pembahasannya “Bab al gajwa al marah fil bahr” dan dalam judul “Women’s involvement in taking Care of casualities” dan lain-lain. Al-Syifa, seorang pakar wanita telah diangkat oleh Khalifah Umar r.a. untuk mengurusi sebuah pasar di Madinah. Tentunya tidak semua profesi yang ada sekarang, ada juga pada masa Rasulullah. Namun sebagian ulama tetap konsisten mengatakan bahwa : Islam melegitimasi eksistensi wanita untuk ikut aktif dalam aktifitas-aktifitas tertentu tentu selagi pekerjaan itu masih dalam batas-batas kewajaran dan bisa memelihara serta membentengi dari pengaruh-pengaruh negatif yang bisa berakibat fatal bagi kehidupan rumah tangga.


    Penutup

    Perbedaan kultur, background, dan kondisi sosiologis masa lalu adalah varian yang sangat dominan dan mempengaruhi cara berfikir, dalam mensikapi nash-nash Al-Quran dan Hadist. Seandainya saja ulama-ulama itu hidup dalam generasi abad ke-20, tentu mereka akan melihat betapa problematika kompleknya kehidupan dan maraknya kemajuan sains dan teknologi yang dihadapi sekarang. Hal ini akan mempengaruhi cara memahami dan menafsirkan teks-teks Ilahi sebagaimana banyak dilakukan para modernis sekarang. Begitu pun, seandainya kita hidup di zaman mereka, tidak mustahil kita akan mengikuti kerangka berfikir mereka.

    *Makalah diterjemahkan dari makalah seminar ISLAM AND THE ADVANCEMENT OF WOMEN tanggal 21-24 April 1994 di Jakarta oleh Raudlatul Firdaus. Ia adalah aktivis Wihdah


    JURNAL KAJIAN KEISLAMAN NUANSA
    Diterbitkan oleh:
    Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Kairo - Mesir
    Web: http://www.muslims.net/KMNU, Email: kmnu@muslims.net