v Syakhshiyyah v

 

Lebih Jauh Mengenal Faiz Syukron Makmun, Lc

Sosoknya yang tegap, ramah, murah senyum, dan berwibawa. Kira-kira demikian kesan setiap orang ketika mengenal tokoh kita kali ini. Di tengah kesibukan beliau menulis tesis tidak menghalangi untuk"nimbrung" di tengah acara NU Mesir. Ternyata loyalitas beliau terhadap NU didukung sejarah yang sangat panjang. Beliau aktivis NU dari "sebelum lahir', dan aktivis NU di tengah komunitas yang acap kali meminggirkan tradisi-tradisi NU (Saudi Arabia). Untuk mengenal lebih dekat, Afkâr mencoba menyapa beliau lewat wawancara santai ini.

 

Dibesarkan dalam kultur NU,
       ternyata membuat sosok kita satu ini menjadi kenangan bahkan kebanggaan tersendiri. Sejak kecil beliau sudah dididik dan ditempa oleh sang ayah menjadi kader NU dengan mengikuti berbagai kegiatan NU. Konon sewaktu beliau masih menempuh pendidikan di SD, beliau pernah menemani perjuangan sang ayah pada malam hari dari Jakarta ke Buntet Cirebon untuk mengikuti bahtsul masâ'il, tanpa harus melupakan kewajiban perkejaan rumah  sebagai seorang siswa SD pada saat acara berlangsung. Walaupun di tengah-tengah perdebatan seru para kiai-kiai NU kala itu. Sehingga tidak heran saat beliau menginjak dewasa, nilai-nilai yang pernah diajarkan sang ayah telah terpatri kuat dalam jiwanya, dan  beliaupun berusaha menerjemahkanya dengan menjadi seorang aktivis muda NU, tidak hanya dalam negeri, tetapi hingga beliau menempuh studi di luar negeri. Di kota Madinah, Saudi Arabia, hingga di negeri  kinanah saat ini.

Gus Faiz—panggilan akrab beliau—putra KH Syukron Makmun, seorang kiai yang berasal dari Madura, namun berdomisili di Jakarta. KH Syukron menemukan pasangan hidup di Jakarta sembari mengasuh sebuah pesantren. Walau berada di tengah kota pusat modernitas, Gus faiz tetap teguh memegang dan medalami nilai-nilai keislaman selama 6 tahun yang beliau peroleh dari Pesantren Dârul Rahmân, di bawah asuhan sang kiai sekaligus ayah beliau secara langsung. Hingga pada saat beliau meninggalkan pesantren sementara waktu untuk melanjutkan kuliah di Universitas Islam Madinah.

Mungkin sepenggal pepatah “buah jatuh, tak jauh dari pohonnya” bisa memberikan sekilas pandang perja-lanan studi beliau selama di Madinah. Pengalaman beliau memegang teguh prinsip agama dan kultur NU di tengah kota metropolitan, Jakarta, memberikan beliau ketegaran kembali untuk mempertahankan bahkan memper­juangkan nilai-nilai ke-NU-an di tengah tengah komunitas baru. Konon, Gus Faiz menempun jalan hidup yang sedikit berbeda di tengah masyarakat Wahabisme. Beliau menjadi aktivis NU hingga menjabat ketua KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama') Madinah, walaupun dengan segudang resiko yang  sangat berat.

Mengenai masalah akademisi, adagium seorang aktivis akan “gagal” pada studi ternyata tidak berlaku bagi sosok kita satu ini. Di tengah usaha beliau memperkenalkan tradisi NU dengan wajah baru dan indah di tengah satu komunitas yang berwajah beda, beliau berhasil  meraih gelar cum laude, satu gelar yang cukup sulit untuk diraih bagi seorang yang tidak punya komitmen dan kesungguhan. Lebih-lebih lagi bagi seseorang yang telah mendapat julukan "sang aktivis". Namun, meraih prestasi tersebut tidak membuat beliau menepuk dada. Beliau masih merasa perlu mengenal lebih dekat dengan ajaran agamanya. Dan akhirnya, Mesir yang menjadi negara pilihannya, dengan memasuki Universitas Kairo dan mengambil Fakultas Syariah Islamiyah Jurusan Ekonomi Islam. Di kota ini, lagi-lagi beliau masih menunjukkan sebagai kader NU yang baik dengan menerima amanat sebagai wakil Rais Syuriah PCI-NU Mesir. Meskipun pada saat itu beliau sedang dituntut untuk menulis tesis sebagai  kewajiban mahasiswa S2. 

Sebagai seorang mahasiswa yang memiliki naluri kepedulian sosial, nasib bangsa Indonesia ternyata tidak luput menjadi perhatiaan serius beliau. Sejalan dengan fakultas yang beliau tekuni, fenomena penerapan syariat Islam yang kembali mencuat dan menjadi isu nasional telah memicu beliau untuk memiliki pandangan bagi negeri tercinta ini. Dengan menilik sebentar sejarah pergumulan para kiai NU dengan pemerintah, beliau melihat bahwa isu agama dan negara sebenarnya telah menjadi perhatian utama sekaligus faktor penentu peran dan posisi yang akan diambil oleh para ulama terdahulu dalam "berhadapan" dengan pemerintah. Harmonis dan tidaknya antara dua elemen tersebut sering kita dapatkan dalam catatan sejarah, tergantung bagaimana agama itu diperlakukan oleh negara.

Dan fenomena penerapan syariat Islam yang telah terangkum dalam piagam Jakarta—menurut beliau—rumusan-rumusan yang ada dalam piagam itu sebenarnya merupakan hasil pemikiran dari ulama NU juga, yakni KH Wahid Hasyim. Namun perlu kita perhatikan konteks sosial politik pada waktu itu. Bangsa Indonesia saat itu memang membu­tuhkan suatu dasar pijakan demi kelanjutan dan kesinambungan sebagai bangsa yang harus merdeka dan berbeda dengan dasar-dasar aturan Belanda yang sebelumnya dipakai.

Mereka memandang bahwa piagam Jakarta merupakan jawaban paling tepat pada tuntutan masa itu. Terlebih lagi dikarenakan piagam tersebut memang pantas dan tepat untuk di terapkan pada saat itu. Sehingga kita tidak akan heran degan bukti sejarah yang datang setelahnya, bahwa ulama-ulama NU, yang diwakili oleh KH. Ahmad Siddiq, bisa menerima dan memahami pancasila sebagai ideologi sebuah negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Dengan catatan bahwa konteks sosial dan politik  pada saat itu memang mengharuskan NU sebagai ormas Islam terbesar untuk menerima pancasila sebagai ideologi negara. Sehingga KH Sahal Mahfud pun memberikan sebuah konsep "Islam akidah agamaku, dan pancasila ideologi negaraku" sebagai penafsiran, dalam rangka mejelaskan kepada masyarakat luas.

Adapun tanggapan beliau terhadap pernyataan tidak setuju untuk diber­lakukanya syariat Islam oleh pemimpin dua ormas terbesar di Indonesia NU dan Muhammadiyah, yang diwakili oleh H. Hasyim Muzadi dan Syafii Maarif. Beliau memahami keputusan tersebut bukanlah keputusan mutlak. Kita harus mampu dan jeli melihat konteks pada saat pernyataan itu dikeluarkan. Beliau berpendapat bahwa keputusan itu keluar karena kesadaran akan realita dan wacana yang sedang berkembang bukan hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia, yang dipicu oleh pernyataan dan propaganda negara-negara Barat umumnya dan Amerika khususnya. Bahwa Islam pada masa kini telah menjelma sebagai agama kekerasan, dengan dalih kasus-kasus terorisme yang terjadi di belahan bumi ini merupakan tindakan teror dan ancaman kepada umat nonmuslim. Terlebih lagi asumsi itu didukug tragedi 11 September kelabu, walaupun sampai detik ini kita belum menemukan bukti kongkrit bahwa Islamlah di belakang semua ini. Dengan realita ini semua, maka tidak tepat rasanya bila kita usung secara terang-terangan akan pemberlakuan syariat Islam di hadapan publik. Sehingga bila kita paksakan juga pada saat ini dengan formalisasi dan legalisasi hukum Islam, maka pandangan negatif masyarakat dunia pada Islam pun akan tertuju pada bangsa ini.

Menghadapi realita yang terjadi, maka kita sebagai warga NU dituntut lebih mengoptimalkan peran NU sebagai organisasi masyarakat, supaya lebih mampu lagi memberi arti yang positif pada masyarakat dalam rangka menuju masyarakat madani (civil society) yang adil dan sejahtera dengan bentuk pendekatan-pende­katan secara kultural. Kita sebagai generasi NU masih memiliki tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan yang telah diamanatkan dan digaiskan oleh ulama-ulama pendahulu kita. (AGA. Rahman)