v Risâlah Khâshshah v

 

Islam: Agama Keadilan

Agus Dwi Handoko*

 

Berangkat dari sebuah hadist yang
      tertera di dalamnya, Nabi Muhammad menjelaskan esensi iman Islam dan ihsan ketika kala itu Jibril pembawa wahyu Tuhan datang kepadanya dengan pertanyaan di hadapan para sahabat beliau. Sebuah gambaran yang begitu simple jelas tentang Islam sebagai last-religion dapat kita tangkap dengan kejernihan akal budi kita. Bagaimana tidak? Islam tidak mengenal penebusan dosa ataupun teori teologi trinitas dan lain sebagainya.Komponen pokok yang dibawa Islam hanya apa yang termuat dalam hadist tersebut yang mencakup tiga dimensi asasi yaitu aqîdah (theologi) syarî’ah (ibadah) akhlâq (pekerti).

 

Dan Islam bukanlah sebuah agama yang hanya berbicara di wilayah-wilayah privat, bahkan bisa dikatakan Islam adalah paling sosialis di antara agama lain atau pemikiran social-liberal seperti Karl Mark ataupun lainnya. Perhatian Islam pada ruang social interaction sangatlah gamblang. Dari semua itu, tiga main-dimension (akidah, syariah, dan akhlaq ) terbagi menjadi dua segment menurut kategori hubungan vertical dan horizontal yaitu ruang privat (vertical/pribadi) dan ruang publik (horizontal /social). Ruang privat adalah wilayah pribadi yang terjalin dengan hubungan top-down antara Tuhan dengan manusia sedangkan wilayah sosial adalah jalinan publik secara horizontal yang menghubungkan satu dengan yang lain

 

Iman atau tidak lebih dari akidah dalam perspektif ruang pribadi adalah bentuk dari ketauhidan kita terhadap Tuhan dengan semua nilai privat relation yang berarti tidak ada campur tangan dari publik terhadap keyakinan personal. Hal ini berarti kebebasan berideologi terhadap semua orang sangatlah luas dalam kerangka individu. Lain halnya dengan akidah sosial (atau iman/akidah dalam perspektif ruang publik) di mana hal yang paling krusial adalah letak dari subtansi relation dengan tolak ukur public redency demi terciptanya suatu keadilan sosial yang merata. Jadi wilayah sosial dari akidah adalah keadilan yang harus terimplementasi di tatanan sosial kemasyarakatan yang merupakan main ideology sebagaimana yang dikete-ngahkan oleh ajaran-ajaran Islam yang baku (social theology). Ada statement yang cukup menggelitik pemikiran kita yang sering kita dengar di setiap seminar yang bertema dinamika intelektual dan keilmuan Islam yaitu "keadilan dulu baru potong tangan" dan mungkin tidak asing lagi di telinga kita akan pentingnya arti keadilan sebelum doktrinitas aspek syar`i.

 

Yang kedua adalah dimensi syariah dengan dua arah pembagian sesuai dengan jaringan relasi yang terbangun dalam ibadah. Pertama syariah pribadi (privat area/top-down) adalah ibadah yang dikategorikan mahdhah yang menunjukkan relasi yang dibangun secara vertical antara Tuhan dengan hamba-Nya.Wilayah personal ini merupakan wujud dari bagian syariah yang independen dengan segala konsekwensi tercapainya semua aspek ibadah oleh suatu kesadaran yang nyata oleh setiap mukallaf tanpa ada suatu tekanan external baik publik atau pihak manapun yang menggugat kemer-dekaan sikap pribadi. Contoh konkrit adalah sholat, puasa, dzikir dan lain se-bagainya. Maka sholat yang merupakan ibadah mahdhah yang hanya mempu-nyai korelasi top-down merupakan area privat dan hak setiap individu dalam perwujudan praktisnya yang bersifat internal. Dan tidak ada usaha-usaha publik dalam rangka eliminasi ruang gerak individu atau ekspansi wilayah kekuasaan akan sebuah eksistensi fardhiyah. Lain halnya dengan syariah sosial (syariah ijtimâ`iah) wilayah ini memungkinkan adanya konstribusi dari luar atau publik untuk realisasi semua hal yang berkarakter hubungan publik atau dengan kata lain adalah wujud ibadah tersebut berkenaan dengan maslahat banyak. Contohnya adalah zakat atau sedekah. Model ibadah ini dibangun oleh relasi horizontal antara personal dengan publik atau yang berkisar sekitar kemaslahatan banyak. Usaha-usaha eksternal memungkinkan untuk merambah area ini demi tercapainya aspek tersebut.

 

Bagian terakhir adalah nilai ihsan yang merupakan kategori akhlak mencakup dua macam yaitu akhlak pribadi (akhlak fardhiyah) dan akhlak sosial (ijtimâ`iah). Akhlak pribadi adalah semua pekerti individu yang tidak ada hubungannya dengan publik seperti halnya suluk fardhi tawâdhu` salafi sosok yang alim atau sosok yang sebaliknya merupakan area personal dalam menentukan figure pribadi untuk diri sendiri tanpa merugikan orang lain. Adapun pekerti sosial dengan batasan-batasan norma sosial dan tatakrama publik yang berhubungan erat dengan etika berjamaah adalah suatu keharusan beretika dengan masyarakat banyak. Sebenarnya akal sehat kita bisa meraba dan menilai bahwasanya tindakan mencuri atau merugikan hak-hak orang lain adalah suatu tindakan yang amoral ataupun KKN adalah suatu kebiadaban terhadap kemanusiaan dan keadilan social tanpa harus dengan datangnya sebuah nash atau teks yang meng-haramkannya. Mungkin inilah kele-mahan orang yang selalu menge-depankan teks atau nash daripada berfikir menelaah secara logis dan masuk akal dalam menghadapi sebuah problem baru yang mengakibatkan cakar-mencakar hokum dan norma berangkat dari keterbatasan teks atau nash itu sendiri.

 

Sebuah kesimpulan yang mungkin bisa ditarik dari semua itu adalah bahwasanya Islam adalah agama yang simple socialis berazaskan keadilan sosial tanpa diskriminasi intelektualitas ataupun medan lain sebagaimana ia sebagai rahmatan li al`âlamîn dengan tanpa meninggalkan wilayah ajarannya baik pribadi ataupun publik. Dan tidaklah benar statemen yang menyatakan bahwa untuk menuju keadilan sosial atau demi terealisasinya aspek sosial harus berangkat dari tatanan pribadi yang solid (atau al-fardhiyah al-shâlihah) dahulu. Bahkan mungkin siapapun merdeka dalam area privatnya dan bebas dalam memanage urusannya dengan Tuhan tanpa ada dominasi publik atau keterkungkungan sikap tersebut berakibat pada rusaknya tatanan sosial yang berlaku (public redency). Akan tetapi berbeda dengan sosial area karena dibagian ini merupakan bentuk hubungan setara antara individu dalam komunitas sosial.

 

*Aktivis MisCu dan Pemred “Bias” Nel-Da 20002