SUNNAH-SYI’AH DI INDONESIA
    PERSPEKTIF ILMU HADIST
    Oleh: Abdul Hayyie al-Kattani


    Pendahuluan

    Pada dekade terakhir ini, diskursus pemikiran syi’ah kembali meramaikan kancah pergulatan pemikiran di Indonesia. Dalam banyak hal, ia merupakan bias logis angin perubahan (the wind of changes) yang ditiupkan oleh keberhasilan Revolusi Islam Iran (RII) yang digerakan oleh sekte Islam Syi’ah. Tentang pengaruh revolusi tersebut, Dr. Richard N. Frye, ahli masalah Iran di Universitas Harvard, berkomentar: “ Hubungan revolusi Islam (Syi’ah) di Iran dengan dunia ketiga, yakni bangsa-bangsa yang tidak memiliki kekayaan dan kekuatan di dunia, adalah sama seperti hubungan antara revolusi Perancis dengan bangsa-bangsa Eropa Barat.... Revolusi Islam di Iran bukan hanya titik-balik dalam sejarah Iran saja. Revolusi itu juga merupakan satu titik-balik bagi rakyat di seluruh negara- negara Islam, bahkan bagi massa rakyat di dunia ketiga”1.

    Pada sisi lain, kekecewaan para intelektual dan politikus Islam pasca Masyumi, tampaknya menemukan obat penawarnya pada Revolusi Islam Iran (RII) tersebut. Politik Indonesia yang merupakan zero sum games, satu pertaruhan yang kalau kalah akan kehilangan segala-galanya2, mendorong para politikus dan pemikir Islam untuk mencari kiblat proyeksi politik mereka. Di negara-negara Arab, mereka tidak menemukan itu, kecuali sedikit pada Ikhwanul Muslimin yang mengalami nasib tak begitu jauh dengan mereka. Revolusi Iran, dengan pemikir- pemikir yang mendukung di belakangnya, seperti Dr. Ali Syari’ati, Sayyid M.H.Thabathaba’i, Ayatullah Khomeini dan Ayatullah Muthahhari, memberikan alternatif bagi mereka3. Maka tidak mengherankan jika kita dapati sebagian intelektual Indonesia dengan begitu fasih mengutip Ali Syari’ati, Muthahhari atau pemikir-pemikir Syi’ah lainnya. Jalaluddin Rahmat, dengan jelas menamakan yayasan yang didirikannya: Yayasan Muthahhari, nama tokoh Syi’ah itu. Amien Rais juga pernah menerima gelar Syi’ah juga, karena ia sering memuji Revolusi Islam Iran (RII), dan terutama sering mengutip Ali Syari’ati. Bahkan, menurut Jalaluddin Rahmat, sebuah buku kecil pernah ditulis tentang “kesyi’ahan” Amien Rais itu4.

    Tradisi keilmuan yang subur di kalangan syi’ah juga menambah daya tarik bagi banyak intelektual Indonesia. Kajian filsafat, misalnya, seperti banyak dikatakan orang, tidak pernah terputus di kalangan Syi’ah. Sehingga, ketika pemikiran mereka bersentuhan dengan kalangan intelektual Indonesia, merekapun tercengang. Tentang karya Murthada Muthahhari “Sejarah dan Masyarakat”, Damam Rahardjo berkomentar: Sulit membayangkan, seorang dengan pakaian jubah, seperti para kyai dan ulama di Indonesia, menulis buku seperti itu, penuh dengan ulasan-ulasan yang spekulatif, menunjukkan olah pikir yang intens”5. Tentang khazanah keilmuan Syi’ah, lebih lanjut Dawam Rahardjo berkomentar: "Ketika berkunjung ke Iran bersama Dr. Taufik Abdullah, kami tercengang melihat khazanah kepustakaan Islam di Universitas Teheran dan perpustakaan Ayatullah Marashi Najafi di Qum”6.

    Kajian tentang Syi’ah di Indonesia, telah dilakukan oleh sejumlah ahli dan pengamat sejarah, seperti Hamka7, Baroroh Baried8, M. Yunus Jamil9 dan A. Hasymi10. Dua yang terakhir bahkan berargumen bahwa Syi’ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di Nusantara. Keduanya mengatakan bahwa kekuatan politik Sunni dan Syi’ah terlibat dalam pergumulan dan pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan di Nusantara sejak awal-awal masa penyebaran Islam di kawasan ini. Menurut mereka, kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah Kerajaan Peureulak (Perlak) yang, konon, didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajaan ini adalah para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan Gujarat yang mula-mula datang untuk mengislamkan penduduk setempat. Belakangan mereka mengangkat seorang Sayyid Mawlana ‘Abd al-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syi’ah, sebagai sultan Perlak11.

    Agus Sunyoto, staf Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII), Surabaya, seperti dilaporkan Majalah Prospek (10 Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan, bahwa Syaikh ‘Abd al-Ra’uf Al-Sinkli, salah seorang ‘ulama’ besar Nusantara asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan penggubah sastra Syi’ah, bahkan hanya seorang saja dari Walisongo di Jawa yang tidak Syi’ah. Juga Nahdlatul ‘Ulama (NU) —setidaknya secara kultural— juga adalah Syi’ah.

    Walapun, baik M. Yunus Jamil, A. Hasymi dan Sunyoto, seperti dikatakan Dr. Azyumardi Azra, memberikan argumennya tanpa referensi yang reliable dan memadai juga tanpa analisis dan logika yang bisa diterima12, namun deskripsi mereka setidaknya menunjukkan satu hal: Bahwa Syi’ah, semenjak lama telah bersentuhan —setidaknya secara kultural— dengan masyarakat Indonesia (Nusantara). Dalam masyarakat NU, pengaruh Syi’ah yang cukup kuat di dalammya, secara jelas diakui oleh Dr. Said Agil Siraj, Wakil Katib Syuriah PBNU. Atau dalam kata-katanya: “Harus diakui, pengaruh Syi’ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca Barzanji atau Diba’i yang menjadi ciri khas masyarakat NU misalnya, jelas berasal dari tradisi Syi’ah"13.

    Maka, ketika diskursus Syi’ah kembali ramai di Indonesia, bisa saja itu sekadar hembusan angin kecil dari badai yang sedang mengganas. Sedang terjadi pemuatan nilai-nilai ideologis Syi’ah atas warisan kultural bangsa Indonesia (termasuk NU, tentu) yang berbau Syi’ah?. Mungkin saja.

    Saat ini, menurut keterangan Ahmad Barakbah —salah seorang alumni Qum, Iran—, seperti ditulis redaksi Jurnal Ulumul Qur’an, di Indonesia terdapat kurang- lebih 40 yayasan Syi’ah yang tersebar di sejumlah kota besar seperti Malang, Jember, Pontianak, Jakarta, Bangil, samarinda, Banjarmasin, dan sebagainya14. Jumlah masyarakat Syi’ah Indonesia sekarang ini, menurut Ustadz Ahmad, yang benar-benar mengikuti ajaran Syi’ah secara totalitas, baik pemikiran maupun syari’at sekitar 20 ribu orang15. Simpatisannya sudah barang tentu lebih banyak lagi.

    Tentunya, kajian tentang Syi’ah memang dibutuhkan. Tidak saja untuk kepentingan akademisi dan menguak lebih jauh tentang sekte tersebut, namun ia juga mempunyai kepentingan ganda: Untuk menentukan sikap!.

    Dalam artikel ini, penulis akan membatasi diri pada visi hadist dalam wacana keilmuan Syi’ah. Walaupun demikian, sebagai pengantar untuk mendekatkan pemahaman konsep hadist tersebut, penulis merasa perlu mengkaji definisi, akar historis dan sekte-sekte dalam Syi’ah. Sambil tak lupa memberikan kontribusi pemikiran bagi hubungan Sunnah-Syi’ah di masa mendatang, terutama bagi masyarakat Indonesia.

    Definisi, Akar Historis dan Sekte-sekte Dalam Syi’ah

    Terma “syi’ah”, secara etimologi berarti partisan, pengikut dan pendukung. Di dalam al Qur’an, akar kata Syi’ah: Syai’ atau Syuyu’ dan derivasinya (penulis juga memasukkan kata jadian yang dihasilkan oleh proses isytiqaq akbar a la Ibn Ginni16) terulang sebanyak 12 kali17. Namun dari 12 penggunaan kata tersebut, hanya ada satu kata yang digunakan dalam konteks kebaikan, yaitu: QS. Ash- Shaffat: 83, yang menceritakan keluarga nabi Ibrahim AS. yang datang dengan hati yang bersih. Sedangkan 11 kata lainnya digunakan antara lain untuk mengungkapkan kelompok yang durhaka kepada Allah (QS.19:69), dalam permusuhan dan perkelahian (QS. 28:15), perpecahan (QS. 6:65), pemecah belah agama (QS.6:159, 30:32), kelompok Fir’aun (QS.28: 4), kelompok yang dihancurkan (QS.54:51), penyebar keburukan (QS.24:19) dsb.

    Secara terminologis, Syi’ah adalah kaum muslimin yang menganggap penggantian Nabi Saw. merupakan hak istimewa keluarga Nabi (dalam hal ini ‘Ali Kw. dan keturunannya), dan mereka yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mengikuti mazhab Ahlul Bait18. Dr. Muhammad ‘Imarah menegaskan bahwa sekadar merasa cinta kepada ahli bait saja tidak cukup untuk menggolongkan seseorang sebagai Syi’ah. Seseorang baru bisa dikatakan Syi’ah, menurutnya lagi, jika ia telah mengimani bahwa Ali Kw. (23 S.H—40H/600M—661M) telah ditunjukkan sebagai pengganti Rasulullah Saw. dengan nash dan washiat19.

    Tentang awal kemunculan Syi’ah dalam pentas dunia Islam, para penulis dan sejarawan terbagi dalam dua varian20: Varian pertama: Berpendapat bahwa tasyayyu’/Syi’ah adalah mazhab pertama yang tumbuh dalam Islam, dan telah muncul pada masa Rasulullah Saw., dan nama syi’ah adalah nama yang pertama yang timbul dalam Islam. Sahabat-sahabat yang digolongkan Syi’ah adalah Abu Zar Al Ghifari Ra, Salaman al Farisi RA dan Miqdad bin Aswad, ‘Ammar bin Yasir Ra. Pendapat seperti ini tampak pada MH.Thabathaba’i21, Muhammad Jawwad al Mughniyah22, MH. Al Kasyif Al Ghitha23, dan ulama-ulama Syi’ah lainnya. MH. Kasyif Al Githa malah mengatakan bahwa adalah Rasulullah Saw. sendiri yang telah menanamkan akar Syi’ah24. Varian kedua: Berpendapat bahwa Syi’ah baru timbul pada masa Ali Kw., malah sebagian mereka mengatakan bahwa bahwa jika yang dimaksud adalah Syi’ah dalam pengertian terminologis, maka ia baru timbul paska kepemimpinan ‘Ali Kw. dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pendapat ini tampak pada penulis-penulis non-Syi’ah. Terutama Mu’tazilah, mereka mengatakan Syi’ah yang dikenal sekarang ini baru timbul pada masa Imam ja’far Shadiq (80-148H/599M-765M)25.

    Melihat data-data yang ada, kedua pendapat di atas bisa digabungkan menjadi satu kesimpulan: Bahwa jika yang dimaksud dengan terma Syi’ah adalah sekadar fenomena keinginan sebagian orang untuk mengangkat ‘Ali Kw. sebagai khalifah, maka betul ia adalah mazhab pertama yang dikenal dalam sejarah Islam dan telah tumbuh pada masa akhir hidup Rasulullah Saw. dan awal kekhilafahan Abu Bakar Ra. Namun, jika yang dimaksud dengan terma Syi’ah adalah sebuah mazhab besar dengan segala teori, pendapat dan perjalanan historisnya, maka ia baru timbul pada penghujung masa ‘Ustman Ra. dan awal masa ‘Ali Kw.26

    Dalam masa hidup Ali Kw., menurut Abu Nasywan al Himyary27, Syi’ah yang mendukung ‘Ali Kw. dalam perang Jamal dan Shiffin bisa diklasifikasikan dalam tiga varian kecenderungan. Pertama: Adalah kecenderungan mayoritas Syi’ah saat itu, adalah kelompok yang mengakui kekhalifahan Abu Bakar Ra., ‘Umar Ra. Mereka juga mengakui kekhalifahan ‘Utsman hingga pada masa di mana ‘Utsman Ra. telah melakukan perubahan dan melakukan hal-hal yang mereka anggap telah menyimpang.
    Kedua: Kelompok yang lebih kecil dari kelompok pertama, mereka berpendapat bahwa runtutan kekhalifahan setelah Rasulullah Saw. adalah Abu Bakar Ra., ‘Umar Ra dan ‘Ali Kw. Dan mereka tidak mengakui kekhalifahan ‘Utsman Ra. Oleh karena itu, menurut al Jahidz, pada masa awal Islam, yang dinamakan Syi’i adalah orang-orang yang mendahulukan ‘Ali Kw. atas ‘Utsman Ra. Sehingga, menurutnya lagi, saat itu dikenal ada Syi’i dan ‘Utsmani. Yang pertama adalah orang yang mendahulukan ‘Ali Kw. atas ‘Utsman, sedang yang kedua adalah orang yang mendahulukan ‘Utsman atas ‘Ali Kw.
    Ketiga: Kelompok yang paling kecil, adalah mereka yang menganggap bahwa orang yang paling utama memangku kekhalifahan setelah Rasulullah Saw. adalah ‘Ali Kw.

    Dari tiga kecenderungan di atas, bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa mayoritas pendukung Syi’ah tidak melebihkan ‘Ali atas semua sahabat Rasulullah Saw, namun mereka hanya melebihkannya atas ‘Utsman. Bahkan, pelebihan mereka atas ‘Utsman bukanlah sebuah konsensus pemikiran yang diamini oleh semua pendukung Syi’ah, namun mayoritas mereka melebihkannya atas ‘Utsman Ra. stelah ‘Utsman Ra. melakukan tindakan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mereka anggap telah melanggar sunnah Rasulullah Saw. dan dua khalifah sebelumnya28.

    Dan tentu saja apa yang sedang berlangsung pada masa tersebut adalah sebuah proses tarik menarik antar masing-masing kekuatan politik dengan masing-masing pendukungnya. Sesuatu yang logis terjadi dalam sebuah sistem masyarakat di manapun berada.

    Perang Jamal dan Shiffin yang berakhir dengan arbitrase, yang kemudian mendorong timbulnya Khawarij dan Murji’ah, ditambah dengan pembantaian Karbala, mendorong mereka untuk mencari akar ideologis mereka sendiri. Sejarah memang telah mencatat betapa perlakuan dan nasib yang menimpa mereka amat malang. Paska perang shiffin yang merenggut kekuasaan politik mereka, diteruskan dengan pembantaian Karbala dan terbunuhnya Husein Ra.

    Sejarah memang tampak tidak berpihak pada mereka, setelah tragedi-tragedi yang menyedihkan tersebut, mereka masih terus dihantui pengejaran serta pembantaian secara massal terhadap Ahli Bait Rasulullah Saw. dan pendukungnya. Dalam buku Khilafah dan Kerajaan yang ditulis oleh Abu 'l A’la al Maududi, kita akan merasakan kesedihan yang dalam (atau malah menangis) ketika membaca penuturan penulis tentang perlakuan-perlakuan kejam yang telah menimpa keturunan Rasulullah Saw. Dengan cukup jelas ia menguraikan kejadian demi kejadian yang menimpa Ahlu Bait Rasulullah Saw.

    Dalam masa-masa tersebut terjadi kristalisasi klasifikasi in group dan out group dalam Syi’ah. Penentuan 'siapa kita' dan 'siapa orang luar kita' makin mengental, terutama proses pembentukan konsep ideologis dan metode mempertahankan diri. Contoh menarik bagi yang terakhir adalah dibentuknya konsep taqiyyah sebagai upaya untuk mempertahankan diri, kepercayaan, harta- benda dan harga diri. Syeikh Al Anshari mendefinisikan taqiyyah sebagai berikut: Menjaga diri dari perlakuan buruk orang lain dengan menyetujui perkataan dan perbuatannya yang bertentangan dengan kebenaran29. Sehingga terjadi kemudian transformasi kekuatan politik menjadi sebuah sistem ideologi (teologi) dalam Syi’ah.

    Pada masa ‘Ali Kw., pendukung (syi’ah) beliau tidak menggunakan nash- nash al Qur’an dan Hadist untuk menjustifikasikan keberhakan ‘Ali Kw. dan keturunannya sebagai pemegang kekhalifahan. Hal itu ditunjukkan oleh sikap ‘Ali Kw. yang membai’at Abu Bakar RA, ‘Umar RA, dan ‘Utsman Ra. Namun dalam proses transformasi Syi’ah dari sebuah kekuatan politik menjadi sebuah ideologi (teologi), kita dapati kemudian semua kecenderungan politis dan teologis Syi’ah telah mempunyai “mantel” baik dari al Qur’an maupun Hadist.

    Tentang al Qur’an, penghampiran teologis Syi’ah dalam al Qur’an tampak dalam klaim yang sering didengungkan bahwa kaum Syi’ah mempercayai adanya pengurangan dan penambahan al Qur’an30. Walaupun pendapat ini, saat ini, ditolak oleh banyak ulama-ulama Syi’ah31, namun pada dataran realitas, klaim itu bisa mendapatkan justifikasinya, karena ia memang tertulis dalam kitab-kitab yang mu’tamad dalam Syi’ah32. Salah satu bentuk pengurangan al Qur’an, menurut Syi’ah adalah penghapusan nama ‘Ali Kw. dalam al Qur’an. Misalnya adalah dalam QS.Al Ahzab:71, menurut riwayat al Kulayni dalam kitabnya al Kafi33 seharusnya tertulis: “ æãä íØÚ Çááå æÑÓæáå (Ýì æáÇíÉ Úáí æÇáÇÆãÉ ÈÚÏå) ÝÞÏ ÝÇÒ ÝæÒÇ ÚÙíãÇ

    Bentuk lain penghampiran teologis syi’ah pada al Qur’an adalah dengan menafsirkan dan mentakwilkan al Qur’an sesuai dengan konsep-konsep mazhab tersebut. Hal ini, misalnya, dalam tafsir Al Mizan karya M.H. Thabathaba’i, kita dapati: ketika sampai pada QS. Al Imran:163, firman Allah Swt.: åã ÏÑÌÇÊ ÚäÏ ÑÈåã beliau menafsirkan:” Dari Ash Shadiq: Orang-orang yang mengikuti keridla’an Allah Swt. adalah para imam. Mereka, demi Allah!, adalah derajat-derajat di sisi Allah bagi orang mu’minin. Dengan loyalitas dan kecintaan mereka kepada kami, Allah Swt. akan melipat gandakan ganjaran pahala mereka, mengangkat derajat mereka. Sedangkan orang yang mendapatkan kemurkaan Allah Swt. adalah orang yang mengingkari hak ‘Ali dan hak imam-imam dari Ahli Bait, oleh karena itu mereka mendapat murka Allah Swt”34.

    Dalam tataran Hadist, penghampiran teologis terhadap konsep-konsep Syi’ah makin mengental. Di sini, kita memang dituntut untuk lebih banyak mengeluarkan perhatian dan energi. Karena konsep-konsep ilmu hadist Syi’ah berlainan atau malah, dalam beberapa segi, bersebrangan. Oleh karena itu, pada sub-judul yang akan datang, penulis akan memberikan stressing point pada kajian hadist dalam wacana keilmuan Syi’ah.

    Secara sambil lalu, perlu ditekankan bahwa sekte Syi’ah bukanlah tunggal, namun ia terdiri dari beberapa sekte-sekte kecil di dalamnya35. Secara global, sekte-sekte dalam mazhab Syi’ah dapat diklasifikasikan menjadi tiga varian36:
    Pertama: Kelompok Ghulâat/ekstrim. Menurut Abu ‘l Hasan al Asy’ari, mereka adalah kelompok yang telah menyebal dari kelaziman konsep Syi’ah37. Sehingga mereka meyakini hal-hal yang membawa kepada kekafiran. Mereka, antara lain menuhankan ‘Ali Kw., menuhankan salah seorang pemimpin mereka, mendakwakan diri sebagai nabi dan lain sebagainya. Dalam kategori kelompok ekstrim ini, menurut Abu ‘l Hasan al Asy’ari, terdapat sebanyak 15 sekte. Yaitu, al Bayaniyyah, al Janahiyyah, al Harbiyyah, al Mughiriyyah, al Manshuriyyah, al Khithabiyyah, al Ma’mariyyah,al Buzaighiyyah, al ‘Umairiyyah, al Mufadl-dlaliyyah, asy-Syari’iyyah, an Numairiyyah, as-Sabaiyyah dan tiga sekte lainnya yang menuhankan Nabi, ‘Ali dan keturunannya38.
    Kedua: Imamiyyah. Mereka dinamakan pula sebagai rafidlah-penolak, karena mereka menolak kepemimpinan Abu Bakar dan ‘Umar. Dalam kelompok ini terdapat 24 sekte. Mereka sepakat bahwa Nabi Saw. telah menggariskan bahwa ‘Ali Kw.-lah pemangku kekhalifahan setelah beliau, dengan menyebut namanya secara jelas dan telah mendeklarasikannya kepada umat. Mereka juga berpendapat bahwa mayoritas sahabat Rasulullah Saw. telah sesat karena tidak mengikuti ‘Ali Kw. setelah wafatnya Rasulullah Saw. Mereka juga berpendapat bahwa Imamah hanya dapat diterima jika telah digariskan nash, dan Imamah tersebut merupakan hak khusus keturunan Rasulullah Saw39. Ke-24 sekte tersebut adalah: al Qath’iyyah, al Kaisaniyyah, al Karbiyyah, ar-Rawandiyyah, ar-Razamiyyah dan Abu Muslimiyyah, al Harbiyyah, al Bayaniyyah, al Mugiriyyah, al Husainiyyah, al Muhammadiyyah, an Nasawiyyah, al Qaramithah, al Mubarakiyyah, as Samithiyyah, al ‘Ammariyyah (al Futh-hiyah), az-Zarariyyah, al Waqifah, al Musaiyyah, dan beberapa sekte lainnya yang masing-masing mempunyai doktrin yang berbeda40.
    Ketiga: Kelompok Zaidiyyah. Dalam kelompok ini terdapat 6 sekte41, yaitu: al Jarudiyyah, as Sulaimaniyyah, al Batriyyah, an Nu’aimiyyah, al Ya’qubiyyah dan satu firqah yang berlepas diri dari Abi Bakar Ra, dan ‘Umar Ra42.

    M.H. Al Kasyif al Githa, dalam kitab Ashlu ‘sy-Syi’ah wa Ushuluha, bahkan mengatakan bahwa jika term Syi’ah diperluas bagi semua sekte yang mengaku sebagai Syi’ah, maka barang kali akan ada seratus, atau lebih sekte dalam Syi’ah. Namun, menurutnya lagi, saat ini, terma Syi’ah hanya khusus bagi Imamiyyah sebagai sekte terbesar setelah Ahlussunnah wal Jama’ah43.

    Tentang sekte-sekte di dalam Syi’ah tersebut, sengaja penulis singgung di sini, untuk menunjukkan bahwa betapa untuk menentukan sikap terhadap Syi’ah, kita akan mengalami kesulitan. Karena masing-masing sekte tersebut mempunyai doktrin yang berbeda, maka sikap dan penilaian terhadap masing-masing tersebutpun akan berbeda pula. Maka dengan pengkhususan nama Syi’ah bagi Imamiah oleh M.H. Kasyif al Githo, penentuan sikap terhadap Syi’ah akan lebih mudah dilakukan. Dan, penulis makalah inipun merasakan keringanan pula, karena kajian hadist yang dilakukan akan terbatas pada Imamiyyah.

    Namun, patut dicatat pula, bahwa pengkhususan yang dilakukan M.H. Al Kasyif Githo tersebut amat arbitrer, karena secara implisit ia telah mencampakkan semua sekte-sekte lain yang bernaung di bawah bendera Syi’ah selain Imamiah, seperti Zaidiyyah dan sebagainya. Sikap monopolis tersebut, tentu akan ditentang oleh tokoh-tokoh Syi’ah non-Imamiyah.

    Konsep Hadist dalam Wacana Keilmuan Syi’ah.

    Diskursus hadist dalam wacana keilmuan Syi’ah telah mempunyai akar yang panjang dan dilakukan dengan intens. Oleh karena itu, menurut sebagian orang, Syi’ah berhak pula untuk menyandang gelar Ahlu ‘s Sunnah wa ‘s Syi’ah—namun bukan wa ‘l Jama’ah.

    Dr. Muhammad At Tijani as Samawie —seorang Sunni yang kemudian membelot ke Syi’ah44, ketika melakukan kajian komparatif antara Sunnah dan Syi’ah dalam sebuah buku, memberikan judul bukunya tersebut : As-Syi’ah Hum Ahlu ‘s Sunnah45. Namun demikian, dalam beberapa hal, metodologi hadist Syi’ah amat berlainan dengan metodologi Ahlu ‘s-Sunnah. Kajian tentang metodologi hadist dalam Syi’ah Imamiyyah, telah dijadikan objek sebuah risalah doktoral di fakultas Ushuluddin Universitas al Azhar. Beberapa saat yang lalu, risalah tersebut telah diuji dan dinyatakan lulus. Risalah tersebut berjudul “Ushul-u ‘r Riwayah ‘Inda ‘sy-Syi’ah al Itsna ‘Asyariyyah”.

    a. Term Hadist.

    Hadist/Sunnah, secara terminologis, menurut ahlu ‘l hadist - Ahlu ‘s Sunnah wa ‘l Jama’ah, adalah: Seluruh hal yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, baik perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik maupun akhlak dan sirah beliau46 . Sedangkan dalam wacana keilmuan Syi’ah, perkataan imam-imam mereka (yang ma’shum, menurut mereka) juga berstatus seperti hadist dan diterima seperti al Qur’an47. Hal itu karena, menurut M.H. Al Kasyif al Githo, Imam atau Imamah adalah kedudukan Ilahi yang Allah Swt. pilih dari sekalian hamba-Nya, sesuai dengan ilmu-Nya, seperti Allah Swt. memilih nabi. Allah Swt. juga memerintahkan nabi untuk menunjukkan imam kepada umat dan memerintahkan mereka untuk mengikutinya48. Substansi khabar, hadist dan riwayat-riwayat tersebut, menurut Syi’ah terbagi tiga:
    Pertama: Khabar dan riwayat yang mengandung petunjuk pembersihan jiwa, akhlak, nasehat dan cara-cara pengobatan penyakit hati, dengan muatan berisi pertakut, ancaman dan dorongan. Atau yang berkaitan dengan tubuh, seperti kesehatan, penyakit, sakit dan pengobatan. Juga manfaat buah-buahan, tetumbuhan, pepohonan, air dan batu mulia. Juga yang mengandung doa, zikir, jampai dan keutamaan ayat-ayat. Dan semua hal yang disunnahkan, baik itu dalam pembicaraan, perbuatan maupun sikap. Itu semua, menurut mereka, bisa dijadikan landasan untuk beramal ibadah. Dan tidak perlu mencari tahu apakah sanad dan matannya shahih atau tidak. Kecuali jika ada tanda-tanda yang menunjukkan kepalsuannya.
    Kedua: Yang mengandung hukum syara’ parsial, taklifi atau wald’i. Seperti thaharah, berwudlu, cara shalat, zakat, khumus, jihad, dan semua bagian mu’amalat, transaksi yang diperbolehkan. Juga tentang nikah, thalaq, warisan, hudud dan diyat. Semua khabar dan riwayat tersebut tidak boleh langsung dijalankan. Namun diberikan kepada faqih yang mujtahid untuk menterjemahkannya. Sedangkan orang awam harus mengiktui mujtahid marji’.
    Ketiga: Khabar dan riwayat yang mengandung pokok-pokok aqidah, seperti pengitsbatan al Khaliq Swt., juga tentang hasyr, barzakh, shirath, mizan, hisab dan lain-lain. Khabar dan riwayat seperti ini, jika berkaitan dengan aqidah dan pokok agama—seperti tauhid, ‘adl, nubuwwah, imamah dan ma’ad, jika khabar tersebut sesuai dengan dalil-dalil ‘aqli, urgensi, dan tanda-tanda yang qath’i, maka ia dapat di jalankan, dan tidak perlu menyelidiki sanad, keshahihan dan ketidak shahihannya49.

    b. Metode Klasifikasi Hadist.

    Hadist, menurut Syi’ah terbagi menjadi dua bagian, mutawatir dan ahad. Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sebuah jama’ah yang mencapai jumlah yang amat besar sehingga tidak mungkin mereka berbohong dan salah. Hadist seperti ini adalah hujjah dan harus dijadikan landasan dalam beramal. Sedangkan hadist ahad adalah hadist yang tidak mencapai derajat tawatur, rawie yang meriwayatkannya satu atau lebih50.

    Kemudian, hadist ahad diklasifikasikan menjadi empat bagian51: 1. Shahih. Yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seorang penganut Syi’ah Imamiyyah yang telah diakui keadalahannya dan dengan jalan yang shahih. 2. Hasan. Yaitu jika rawie yang meriwayatkannya adalah seorang Syi’ah Imamiyyah yang terpuji, tidak ada seorangpun mengecamnya atau mengatakan ke’adalahannya. 3. Muwats-tsaq. Yaitu jika rawie yang meriwayatkan adalah bukan syi’i, namun ia adalah orang yang tsiqat dan terpercaya dalam periwayatan. 4. Dla’if. Yaitu hadist yang tidak mempunyai kriteria-kriteria tiga kelompok hadist di atas, seperti misalnya sang rawie adalah non-muslim atau muslim yang fasiq atau dalam sanad hadist sang rawie tidak menyebutkan seluruh rawie yang meriwayatkan hadist kepadanya.

    Hadist shahih adalah hujjah menurut kesepakatan seluruh ulama Syi’ah yang mengatakan bahwa khabar ahad adalah hujjah52 .

    Sedangkan hadist muwats-tsaq dan Hasan, menurut pendapatnya yang masyhur, keduanya adalah hujjah, sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa keduanya tidak bisa dijadikan hujjah. Namun pndapat yanga kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa keduanya bisa dijadikan hujjah 53.

    Adapun hadist dlaif, tidak bisa dijadikan hujjah54.

    c. Kitab-kitab Hadist Di Kalangan Syi’ah.

    Kitab-kitab hadist yang dijadikan pedoman utama —dan berfungsi seperti kutub-u ‘s sittah dalam kalangan sunni— ada sebanyak 4 kitab. 1. Kitab al Kafi. Disusun oleh Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al Kulayni (w.328 H.). Kitab tersebut disusun dalam 20 tahun, menampung sebanyak 16.090 hadist, di dalamnya sang penyusun menyebutkan sanadnya hingga al Ma’shum. Dalam kitab hadist tersebut terdapat shahih, hasan, muwats-tsaq dan dla’if55. 2. Kitab Ma La yahdluruhu ‘l Faqih. Disusun oleh ash-Shadduq Abi ja’far Muhammad bin ‘Ali bin Babawaih al Qummi (w. 381H). Kitab ini merangkum 9.044 hadist dalam masalah hukum56. 3. Kitab At Tahzib. Kitab ini disusun oleh Syeikh Muhammad bin al Hasan ath- Thusi (w. 460 H.), penyusun, dalam penulisan kitab ini mengikuti metode al Kulayni. Penyusun juga menyebutkan dalam setiap sanad sebuah hakikat atau suatu hukum. Kitab ini merangkum sebanyak 13.095 hadist57. 4. Kitab al Istibshar. Kitab juga disusun oleh Muhammad bin Hasan ath-Thusi, penyusun kitab at-Tahzib. Kitab ini merangkum sebanyak 5.511 hadist58.

    Di bawah derajat ke empat kitab ini, terdapat beberapa kitab Jami’ yang besar. Antara lain59: 1. Kitab Biharu ‘l Anwar. Disusun oleh Baqir al Majlisi, terdiri dalam 26 jilid. 2. Kitab al Wafie fi ‘Ilmi ‘l Hadist. Disusun oleh Muhsin al Kasyani. Terdiri dalam 14 juz, ia merupakan kumpulan dari empat kitab hadist. 3. Kitab Tafshil Wasail ‘sy-Syi’ah ila Tahshil Ahadist asy-Syari’atu. Disusun oleh al Hus Asy-syami al ‘Amili. Disusun berdasarkan urutan tertib kitab-kitab fiqh dan kitab Jami’ Kabir yang dinamakan Asy-Syifa fi hadist Al Mushthafa, susunan Muhammad Ridla At-Tabrizi. 4. Kitab Jami’ ‘l Ahkam. Disusun oleh Muhammad Ar-Ridla ats-Tsairi al Kadzimi (w.1242H.). Terdiri dari 25 jilid. Dan kitab-kitab lainnya, seperti kitab At Tauhid, kitab ‘Uyun Akhbar Ridla dan kitab al Amali60.

    Kaum Syi’ah juga mengarang kitab-kitab tentang rijal periwayat hadist. Di antara kitab-kitab tersebut, yang telah dicetak antar lain: Kitab ar Rijal, karya Ahmad bin ‘Ali an Najasyi (w.450), Kitab Rijal karya Syeikh Ath-Thusi, kitab Ma’alim ‘Ulama karya Muhammad bin ‘Ali bin Syahr Asyub (w.588H.), kitab Manhaj ‘l Maqal karya Mirza Muhammad al Astrabady (w.1.020 H.), kitab Itqan al Maqal karya Syeikh Muhammad Thaha Najaf (w.1.323 H.), kitab Rijal al Kabir karya Syeikh Abdullah al Mumaqmiqani ulama abad ini dan kitab lainnya61.

    Satu yang perlu dicatat, mayoritas hadist syi’ah merupakan periwayatan dari Abi Abdillah Ja’far ash-Shadiq. Diriwayatkan bahwa sebanyak 4.000 orang, baik orang biasa ataupun orang khawas, telah meriwayatkan hadist dari beliau, oleh karena itu, Imamiyya dinamakan pula sebagai Ja’fariyyah62. Mereka berkata bahwa apa yang diriwayatkan dari masa ‘Ali Kw. hingga masa Abi Muhammad al Hasan al ‘Askari mencapai 6.000 kitab, 600 dari kitab-kitab tersebut adalah dalam hadist63.

    d. ‘Adalah Sahabat.

    Sahabat Rasulullah Saw. adalah: Orang yang berjumpa dengan Rasulullah Saw dengan cara biasa, dalam masa hidup beliau dan saat itu orang tersebut telah masuk Islam dan beriman64.Dalam wacana keilmuan Ahlu ‘s Sunnah, seluruh sahabat adalah ‘Udul. Oleh karena itu, ketika menjalankan proses jarh wa ta’dil dalam ilmu hadist untuk menentukkan apakah riwayat seseorang diterima atau tidak, Ahlu ‘s Sunnah akan berhenti sampai pada tabi’in (perawie setelah sahabat). Dan mereka tidak memasuki kawasan sahabat, karena meyakini bahwa sahabat adalah ‘udul dengan pengakuan Allah Swt., sehingga tidak perlu dilakukan analisa jarh dan ta’dil65.

    Sikap mereka tersebut berdasarkan pernyataan ayat al Qur’an yang mendeklarasikan ke’adalahan sahabat. Ayat-ayat itu antara lain terdapat pada QS. Attaubah:117: “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang- orang Muhajirin dan orang-orang anshar”. Juga QS. Attaubah:100. “ Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan merekapun ridla kepada Allah”.

    Dan Rasulullah Saw. dalam banyak kesempatan telah berwanti-wanti agar tidak mengusik harga diri dan kedudukan sahabat, mengingat kedudukan mereka yang mulia di sisi Allah Swt. Rasulullah Saw. bersabda: “Jangan kalian kecam sahabat-sahabatku” (Hadist Mutatafaq ‘Alaih).

    Menurut riwayat yang shahih, imam-imam Syi’ah juga melarang untuk mengecam sahabat Rasulullah Saw.66 karena seperti, dikatakan An Nubakhti, dalam kitab Firaq Syi’ah67, fenomena pengecaman terhadap sahabat justeru dimulai oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam dan kemudian menyebarkan perpecahan dalam Islam. Ia pula yang pertama menuhankan ‘Ali Kw.

    Sedangkan dalam wacana keilmuan Syi’ah, tidak semua sahabat, menurut mereka, ‘udul68, karena di dalam al Qur’an juga diterangkan tentang keberadaan orang-orang munafiq di Madinah, seperti dalam QS. Attaubah:101, dsb. Maka jalan untuk mengetahui mu’min dan munafik, menurut mereka adalah dengan melihat apakah orang tersebut cinta dengan ‘Ali Kw. atau membencinya. Jika ia mencintainya, maka ia adalah mu’min dan jika membencinya berarti ia adalah munafiq. Hal ini berdasarkan sebuah hadist yang mengatakan bahwa ‘Ali Kw. yang mencintainya adalah mu’min dan yang membencinya adalah munafiq.

    Dari logika seperti itu, maka sahabat-sahabat yang mereka anggap telah merampas hak ‘Ali Kw. atau tidak mendukungnnya adalah munafik atau kafir. Dalam kitab-kitab Syi’ah akan didapati banyak cercaan kepada sahabat yang mereka anggap telah munafik, sesat atau malah kafir.

    Dalam buku Syubahat Haula Syi’ah, Abbas ‘Ali al Musawie membagi sahabat menjadi dua kelompok: pertama: kelompok yang setia dan kedua kelompok yang mereka anggap telah sesat69. Yang pertama adalah seperti: ‘Ammar bin Yasir dan Abu Zar al Ghifari. Sedangkan kelompok yang kedua, menurut mereka, adalah seperti: Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Abu Hurairah ad Dausi dan Al Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith.

    Akan banyak kita temui contoh-contoh cercaan terhadap sahabat oleh Syi’ah dalam buku-buku mereka. Dan cercaan tersebut tidak hanya terbatas pada shigar sahabat, namun juga menimpa syaikhain: Abu Bakar Ra. dan ‘Umar Ra. Namun mengingat bahwa sikap mereka terhadap sahabat telah jelas sekali, penulis tidak akan menguraikan contoh-contoh itu lebih banyak, sebagai sikap penghormatan kepada sahabat Rasulullah Saw.

    Yang dapat disebutkan di sini, dengan sikap mereka terhadap sahabat seperti itu, maka, mereka, dalam periwayatan hadist, hanya menerima periwayatan dari sahabat-sahabat yang loyal kepada mereka.

    Yang bisa dicatat di sini adalah: Jika klaim yang dikemukakan kaum Syi’ah tersebut diterima, maka konskuensi logis yang harus dihadapapi akan amat luas. Misalnya: Bahwa Rasulullah Saw. telah gagal dalam menyampaikan risalahnya, karena mayoritas sahabat yang beliau didik dan bina telah menyimpang. Bahwa kekhalifahan dan dinasti-dinasti, serta capaian peradaban yang mereka telah capai adalah bukan hasil peradaban Islam, karena dilakukan oleh orang-orang yang —menurut Syi’ah— telah menyimpang (munafik atau kafir). Dan konsekuensi- konsekuensi logis lainnya.

    Hubungan Sunnah Syi’ah: Tauhid sebagai Common Platform.

    Kembali ke dataran realitas di Indonesia. Masalah yang ada kemudian adalah bagaimana mencari formulasi yang tepat untuk dalam satu waktu mengambil apa yang baik dari Syi’ah dan pada saat yang sama mampu menghindari bias negatif konsep Syi’ah. Formulasi itu, dalam scope dunia Islam, pernah dilakukan oleh Syekh Muhammad Syaltut, Grand Syekh al Azhar. Namun, di kemudian hari tampak macet.

    Kita, dalam upaya pendekatan mazhab, bisa saja menggunakan fiqh ikhtilaf, yakni dalam hal-hal yang sama kita saling bahu membahu. Dan dalam hal-hal yang bersebrangan kita saling memberikan toleransi.

    Menurut Prof. Dr. Hamid Algar, —Muslim Inggris, mengajar studi Islam dan Persia di University of Calaifornia— selama ini, umat Islam telah begitu banyak memberikan toleransi ke luar, terhadap agama di luar mereka, namun kurang memberikan toleransi ke dalam, antara sesama pemeluk Islam70. Namun, dalam kasus Syi’ah, Ahlu ‘s Sunnah tentu akan amat.....amat ... keberatan untuk bertoleransi terhadap pengecaman dan pengkafiran para sahabat. Dan dari pihak Syi’ah sendiri, seperti dikatakan oleh SH. Hossein Nasr, dalam pengantarnya atas buku M.H. Thabathaba’i, Shi’te Islam, bahwa Syi’ah juga sulit untuk bertoleransi jika toleransi itu berarti harus mengesampingkan apa yang selama ini mereka yakini71.

    Namun, toh ada satu kesatuan yang kita miliki bersama, yaitu tauhid72. Maka tauhid inilah yang kita harapkan bisa menjadi common platform antara Sunnah dan Syi’ah. Sedang dalam bentuk-bentuk praktikal, kita bisa menerapkan fiqh muwazanat dan fiqh awlawiyat.
    Wallahu a’lam.

    Kairo, 15 Desemberi 1996.
    Abdul Hayyie al-Kattanie

    Catatan:

    1. Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Bandung, 1991, hal. 242.
    2. Affan Gafar, Islam dan Negara, dalam majalah mingguan TEMPO, 10 Oktober, 1992.
    3. Oleh karena itu, ketika menulis buku yang berisikan kajian tentang syi’ah, Jalaluddin Rahmat memberikan judul bukunya: Islam Alternatif.
    4. Lihat wawancara Jalaluddin Rahmat dengan redaksi jurnal Ulumul Qur’an, No.4, Vol.VI, tahun 1995.
    5. Dawam Rahardjo, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 2, Vol. V Th. 1994.
    6. Sca.
    7. Beliau mengarang buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, Jakarta, 1974.
    8. Dengan tulisannya “Shi’a Elements in Malay Literature”, in Sartono Kartodirdjo (ed.), Profiles of Malay Culture, Historiography, Religion and Politics, Jakarta, 1976.
    9. Dengan bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh, Banda Aceh, 1968.
    10. Dengan bukunya Syi’ah dan Sunnah Saling Rebut Kekuasaan Sejak awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara, Surabaya, 1983.
    11. M. Yunus Jamil, Scn.9, hal. 6-19, 37-40. A.Hasymi, Scn.10. hal. 45-56.
    12. Dr. Azyumardi Azra, Syi’ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.4, Vol. VI, Tahun 1995.
    13. Dr. Said Agil Siraj, Latar Kultural dan Politik Kelahiran ASWAJA, makalah disampaikan pada seminar yang diadakan oleh Forum Silaturrahmi Da’i Sejakarta, sabtu, 11 Agustus 1995, di Tanjung Priok, hal. 18.
    14. Lihat Jurnal Ulumul Qur’an, No.4, Vol. VI, Tahun 1995. dalam artikel Lemba-lembaga Syi’ah di Indonesia.
    15. Sca.
    16. Isytiqaq akbar a la Ibn Ginni ini adalah sebuah proses isytiqaq dengan membolak-balik susunan huruf-huruf yang membentuk sebuah kata.
    17. Lihat, Muhammad Fu’ad Abdu ‘l Baqi, Mu’jam al Mufahras Li Alfazhi ‘l Qur’an, Cairo, 1991, hal.506.
    18. Lihat: Allamah M.H.Thabathaba’i, Shi’te Islam, edisi bahasa Indonesia Islam Syi’ah Asal Usul dan Perkembangannya,Jakarta, 1989, hal.32, Dr. Muhammad At Tijani Assamawi, Asy- Syî’ah Hum Ahl-u ‘s Sunnah, Beirut,1993, hal.17, Asy-Syahrastani, Al Milal wa Nihal, Beirut, 1992, Vol.I, hal.144, Dr. Mushthafa Asy-Syak’ah, Islâm Bilâ Madzâhib, Kairo, 1994, hal.171, Abddurrahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Beirut, 1993, hal. 155, Dr. Muhammad ‘Imarah, Tayyârât-u ‘l Fikr-i ‘l Islâmi, Kairo, 1991, hal. 199.
    19. Dr. Muhammad ‘Imarah, Tayyarat Fikr Islam, Kairo, 1991, hal. 199.
    20. Dr. Nasy’at Abdul Jawwad Dlaif, Al Manhaj al Jadid fi Syarh Jauharat-i ‘t Tauhîd, Universitas Al Azhar, tt. hal. 93.
    21. Scn. 16, hal.37.
    22. Dalam bukunya Asy-Syî’ah fi ‘l Mizan, Beirut, 1989, hal.24.
    23. Dalam Bukunya Ashlu ‘sy Syi’ah wa Ushuluha, Beirut, 1993, hal. 118.
    24. Sca.
    25. Scn.17, hal.200.
    26. Scn. 18. hal. 94.
    27. Lihat catatan yang diberikan Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid pada kitab Maqalat-u ‘l Islamiyyin wakhtilaf-i ‘l Mushallin, karya Imam Ab- ‘l Hasan al As’ari, Beirut, 1990, Vol.I, hal.65. 28. Sca. hal. 66.
    29. Lihat dalam ‘Abbas ‘Ali Al Musawi, Syubhat Haula ‘sy Syi’ah, Beirut, 1991, hal.12.
    30. Tentang ini, bisa dibaca pada: Islam Bila Mazahib, Op.Cit. hal.208 dan Abdullah bin Sa’id al Junaid, Hiwar Hadi Bain-a ‘s Sunnah wa Syi’ah, Daru ‘l Manarah, tt. Hal.12.
    31. Antara lain oleh: Muhammad Jawwad Al Mughniyah, Asyi’ah fi ‘l Mizan. Op. Cit. hal. 314. Assayyid Muhammad ‘Ali al Hasany, Dirasat fi ‘Aqaid Asy-Syi’ah al Imamiyyah, Beirut, 1989, hal. 20.’Abbas Ali Al Musawi, Syubhat Haula ‘sy Syi’ah, op.Cit. Hal. 35. Imam Al Khu’i, Al Bayan fi Tafsir al Qur’an, Beirut, 1974, hal.200-220, dll.
    32. Riwayat tentang tahrif al Qur’an, terdapat dalam kitab hadist Al Kafi, disusun oleh Abu Ja’far Muhammad ibn ya’kub al Kulayni al Razi (w.329/941). Kitab ini, menurut Abdul Husain al Musawi dalam kitab al Muraja’at adalah kitab Syi’ah yang paling bagus, tak meragukan dan paling otentik. Diriwayatkan bahwa ketika kitab al Kafi tersebut disodorkan kepada al Mahdi, beliau berkomentar: ”Hâza Kâfin li Syî’atina-kitab ini mencukupi bagi Syi’ah kita”, maka tentu saja apa yang tertulis di dalamnya bisa dijadikan ukuran untuk menentukan sikap Syi’ah. Dan ulama-ulama yang mengkritik isi kitab tersebut pada kemudian hari, layakkah pendapat mereka mengalahkan kitab yang didukung oleh Imam mereka (al Mahdi)?. Sedangkan dalam Syi’ah, perkataan Imam adalah termasuk Hadist. Maka, dapatkah pendapat para ulama mengalahkan hadist (dalam wacana mereka)?.
    33. Lihat, Al Kulayni, Al Kafi, Kitab al Hujjah 1:414.
    34.M.H.Ath-Thabathaba’i, al Mizan fi Tafsir al Qur’an, Beirut, 1991, Vol. 4, hal.72-73. 35.Tentang motivasi dan sejarah timbulnya sekte-sekte dalam Syi’ah, bisa dibaca dalam Al Hasan bin Musa An-Nubakhti, Firaq-u ‘s Syi’ah, Beirut, 1984. Syahrastani, Milal wa ‘n Nihal, Op. Cit. Hal.144-219. Dr. Mushthafa Asy-Syak’ah, Islam Bila Mazahib, Op.Cit. Hal.175-369.
    36. Imam Abi ‘l Hasan al Asy’ari, Maqalat-u ‘l Islamiyyin wa ‘khtilaf-i ‘l Mushallin, Beirut, 1990, Vol.I, hal. 65.
    37. Sca. hal.66
    38. Sca. hal.66-88.
    39.Sca. Hal. 88-89.
    40.Sca. Hal. 88-105.
    41.Menurut al Mas’udi dalam kitab al Muruj-u ‘z Zahab, beberapa pengarang kitab tentang doktrin, ideologi dan agama, seperti Muhammad bin Harun al Warraq dan lain-lain mengatakan bahwa pada masa mereka terdapat sebanyak 8 sekte dalam Zaidiyyah.
    42. Scn. 34. hal.140-145.
    43. M.H. Al Kasyif al Githa, Ashlu ‘sy-Syi’ah wa Ushuluha, Beirut, 1993, Hal.136.
    44. Tentang kisah “pembelotannya” tersebut, bisa dibaca dalam bukunya Tsumm-a ‘Htadaitu, London, 1989.
    45. Lihat: Dr. Muhammad at Tijani as Samawie, Asy-Syi’ah Hum Ahlu ‘s Sunnah, Beirut, 1993. 46.Lihat: Muhammad Mahfudz bin Abdullah Attarmasy, Manhaj zawi ‘n Nadhor Syarh Mandhumat ‘Ilmi ‘l Atsar, Beirut, 1981, hal. 8. Muhammad Jamaluddin al Qasimi, Qawa;idu ‘l Hadist min Funun Mushthalah ‘l Hadist, Beirut, tt, hal. 61. Muhammad ‘Ajjaj al Khathib, as- Sunnah Qabla ‘t Tadwin, Beirut, 1981, hal.16. Manna’ al Qath-than, Mabahits fi ‘Ulum-i ‘l Hadist, Kairo, 1992, hal.15.
    47. Lihat: Muhammad ‘Ali al Hasani, Dirasat fi ‘Aqaid ‘s Syi’ah al Imamiyyah, Beirut, 1989, hal.360. Juga, M.H. Husein Thabathaba’i, Shi’te Islam, edisi bahasa Indonesia Islam Syi’ah, Op.Cit. hal. 113.
    48. M.H. Husein Kasyif Githo, Op. Cit. Hal.145.
    49.Scn.45 hal.360-363.
    50.M.Husein Thabathaba’ie, Op.Cit. hal. 113. Muhammad Jawad al Mughniyah, Asy-syi-ah fi ‘l Mizan, hal. 318.
    51.Lihat. Muhyiddin al Musawie al Guhraify, Qawa’idu ‘l Hadist, Beirut, 1986, hal. 24. Juga, Asy- Syi’ah fi ‘l Mizan, hal. 318.
    52. Sca. Qawa’idul Hadist, hal.27. Asy-Syi’ah fi ‘l Mizan, hal. 319.
    53. Sca. Qawa’idul hadist, hal.27-30.
    54. lihat: Asy-Syi’ah fi ‘l Mizan, hal. 319.
    55.Lihat, As Sunnah baina Anshariha wa Khushumiha, Risalah doktoral, fakultas Uhsuluddin Universitas al Azhar, Vol.II, hal.488. Juga Ays-Syi’ah fi ‘l Mizan, op.Cit. hal. 317.
    56. Sca. Assunah Baina Anshariha wa Khushumiha, op. Cit.hal. 389. Asy-Syi’ah fi ‘l Mizan, hal. 317.
    57. Sca.
    58. Sca.
    59. Lihat: Assunah baina Anshariha wa Khushumiha, op.Cit. hal. 489.
    60. Sca.
    61. lihat: Asy-Syi’ah fi ‘l Mizan, Op.Cit. Hal. 318.
    62. Scn. 57.
    63. Sca.
    64. lihat: Attarmasy, Manhaj Zawi ‘n Nadhar, Hal. 214.
    65. Dr. Faruq Hammadah, Al Manhaj ‘l Islami fi ‘l Jarh wa ‘t Ta’dil, Rabat,1982, 185-186.. 66.Untuk studi lebih lanjut tentang ini, silakan baca: Muhammad bin Abdul Wahid Dliauddin al Maqdisi, Kitab ‘n Nahyi ‘an Sabbi ‘l Ash-hab, Kairo, 1994.
    67. Lihat, An Nubakhti, firaq Syi’ah, Op.Cit. Hal. 22.
    68.Lihat, Murtadlo al ‘Askari, Ma’alim Madrasatain, Vol.I, Beirut,1993, hal. 130-188. Juga Syubhat Haula Syi’ah, Op.Cit. Hal.103-dst.
    69. Syubhat Haula Syi’ah, Op.Cit. Hal.129-182.
    70. Lihat majalah Ummat, no. 5 Th.I/4
    71. Lihat pengantar SH. Nasr, atas buku M.H.Thabathaba’i, Shite Islam.
    72. Penulis artikel ini menawarkan tauhid, tidak aqidah, sebagai common platform, karena dalam salah satu konsep aqidah Syi’ah terdapat point yang amat sensitif. Yaitu konsep imamah. Dengan konsep ini, orang-orang yang tidak mengakui dan mengimani ke-imamah-an sebagaimana dipahami kaum Syi’ah akan secara otomatis tidak lengkap aqidahnya. Konsekuensinya adalah: sebagian besar umat Islam di dunia ini, yang tidak mempercayai konsep ini, secara otomatis berada di luar main stream Islam (kafir??). Dengan demikian, konsep yang bisa diterima oleh kedua pihak sebagai common platform yang sejuk, menurut hemat penulis adalah konsep tauhid tersebut.