[  A r t i k e l ]


Grand Syaikh Azhar, Prof. DR. Moh Sayyid Tantawi: “Bagi Intelektual Tidak Ada Benturan antara Agama, Tapi Kerjasama dan Dialog”

Hubungan Islam-Kristen telah terbina sejak

Kunjungan Syaikh Azhar ke United Kingdom dalam rangka “Dialog Antar Agama”, salah satu nilai yang diajarkan oleh Islam, seperti yang difirmankan oleh Allah: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik”, tapi kenapa ajaran dialog baru dapat direalisasikan sekarang?

Dialog adalah perintah yang patut direaliasikan dalam setiap waktu dan tempat. Apabila dialog merupakan sebuah tuntutan dalam setiap waktu, maka sudah barang tentu merupakan kebutuhan mendesak di era ini, karena akan membuka jiwa masing-masing dan memberi stimulan terhadap pemahaman setiap seseorang bagi lainnya, karena sulit bagi saya untuk memahami anda, kecuali saya bergaul dengan anda, mendengarkan perkataan anda dan anda mendengarkan perkataan saya.

Di sini jiwa manusia akan terbuka bagi siapa yang melakukan dialog dengannya. Saya setuju dengan dialog konstruktif yang bermuara pada kebenaran, dan dialog yang memilik tujuan dan maksud benar berdasarkan cara yang paling baik. Baru-baru ini saya telah menyelesaikan penulisan buku yang berjudul “Etika Dialog dalam Islam”, tebalnya 400 halaman. Dalam buku ini, saya menegaskan dengan tuntas tentang dialog-dialog yang disampaikan oleh Al-Qur’an, baik dialog antara orang-orang shaleh seperti dialog antara nabi Musa dan nabi Khidir maupun dialog antara orang-orang shaleh dan thalih. Begitu pula dialog antara para nabi dan kaumnya dalam ratusan ayat, antara nabi Nuh dan kaumnya, antara nabi Hud dan kaumnya, antara nabi Syu’aib dan kaumnya.

Apa sebenarnya yang melatarbelakangi anda untuk ikut berpartisipasi dalam dialog ini (dialog antar agama), setelah terjadi perdebatan panjang dan skeptisme bagi banyak kalangan?

Demi Allah saya tidak tahu, bahwa di sana terjadi perdebatan atau keragu-raguan dalam tema ini. Saya —sesuai dengan thabi’at— adalah manusia yang berprasangka baik terhadap manusia lainnya. Ketika delegasi dari vatikan mendatangi saya dan meminta saya untuk melakukan dialog antar agama, saya menyambut baik permintaan tersebut, namun saya berkata kepadanya, “Apa yang kalian kehendaki dari dialog ini?, apabila kalian dari dialog ini ingin bekerja sama, menjelaskan teks-teks yang tertera dalam kitab-kitab samawi untuk memerangi kedzaliman, menolong yang lemah, berpegang teguh pada kebenaran dan menegakkan keadilan, jika kalian dalam dialog ini menghendaki hal-hal yang demikian, maka saya menyambutnya dengan baik.

Dan jikalau kalian dalam dialog ini mengehendaki agar saya berkata, “kalian batil dan kami benar” atau kalian berkata, “hai orang-orang muslim kalian benar dan kami salah”, maka dialog ini tidak produktif, karena tidak akan pernah mengalihkan orang muslim kepada non Islam atau mengalihkan non Islam kepada muslim. Akidah itu mengalir dalam darah dan keringat serta bercampurbaur dengan perasaan. Dengan ini, dialog akan menumbuhkan kepercayaan terhadap akidahnya, hatta walaupun akidahnya batil. Maka, lebih dahulu kita harus sepakat, apa metode kita dalam dialog ini dan apa saja hal-hal yang akan didialogkan?

Kami menyambut baik dialog yang menjunjung tinggi kebenaran dan menumpas kebatilan, menyambut baik dialog yang membuka aspek-aspek historis, politik dan relegius serta menyambut baik dialog yang berpegang pada siapa yang menegakkan kebaikan, hingga dia menerima haknya.

Bagaimana anda melakukan dialog dengan Dr. george Cary, Uskup Canter Bary ?

Dr. Cary adalah seorang intelektual, pola pikirnya logis dan analisanya tajam. Sedangkan dialog saya dengannya berkisar sekitar bahasan, bahwa Allah menurunkan agama-agama langit hanya untuk membahagiakan manusia, bukan untuk menyusahkannya. Dia sepakat dengan saya, karena saya membawanya pada ayat-ayat Al-Qur’an dan membuatnya percaya, bahwa Islam, seperti halnya agama-agama langit lainnya, tidak akan diturunkan oleh Allah kecuali untuk mengeluarkan manusia dari kubang kebodohan menuju cahaya kebenaran, cahaya keadilan dan kemuliaan manusia serta merta cahaya keikhlasan untuk beribadah kepada Allah yang Maha Esa dan Maha Perkasa.

Saya dan Dr. Cary sepakat pada nilai-nilai tersebut, dan saya tidak mendapatkan tanggapan apapun darinya kecuali telinga yang konsentrasi mendengarkan dan kalbu yang terbuka. Saya pun mendengarkan pembicaraannya, saya temukan ungkapan yang logis, ungkapan seorag manusia yang menghormati manusia dan menghormati akidah Islam. Saya tidak mendengarkan apapun darinya kecuali ungkapan yang baik.

Grand Syaikh Azhar, baru-baru ini terjadi perdebatan sengit antara Front Ulama Azhar (FUA) dan guru besar Filsafat Islam, Dr. Hassan Hanafi. Apa saja komentar anda?

Pertama, saya anti pengkafiran manusia atas bukti yang tidak valid dan saya anti su'u al-dhan (prasangka buruk) dengan manusia, saya adalah orang yang percaya dengan sabda Rasulullah, “Saya diperintahkan untuk menghakimi manusia pada yang dzahir dan Allah Maha Mengetahui terhadap hal-hal yang tersembunyi (al-sara'ir)”. Saya akan berkata, sesungguhnya setiap orang yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksakan puasa di bulan Ramadlan, menunaikan haji bagi siapa yang mampu dan tidak mengingkari perintah yang telah merupakan aksioma, maka orang tersebut muslim. Tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk menyatakan fasik padanya atau menisbahkannya pada agama selain Islam.

Saya secara pribadi belum pernah berkenalan dengan Dr. Hassan Hanafi, barangkali saya hanya melihatnya satu kali dalam hidup saya, bahkan saya tidak pernah duduk dengannya atau mendengarkan pembicaraannya. Dan informasi yang saya terima tentang masalah ini, bahwa salah seorang guru besar fakulas Ushuluddin Universitas Azhar (Dr. Abd. Mu’thi Bayyumi, Dekan Fakultas Ushuluddin, sekarang) telah mengundang Dr. Hassan Hanafi untuk menyampaikan ceramah di Fakultas Ushuluddin yang dihadiri oleh sebagian guru dan mahasiswa. Kemudian saya bertanya, “Apakah Dr. Hassan Hanafi berkata dalam ceramahnya pembicaraan yang bertolakbelakang dengan etika hukum-hukum Islam. Oran-orang yang hadir pada acara itu menjawab, “Tidak”. Saya kembali bertanya, “Siapa sebenarnya yang berbeda dengan Dr. Hassan Hanafi?”, kemudian dijawab, bahwa salah seorang guru besar Fakultas Ushuluddin yang melakukannya. Jadi, obyek permasalahannya yaitu perbedaan pendapat sekitar tema-tema tertentu antara dua guru besar (Dr. Hassan Hanafi dan Dr. Yahya Ismail, Sekretaris FUA)

Sedangkan kalimat Front Ulama Azhar (FUA) dalam masalah ini sebenarnya asing, karena kalimat FUA tidak mempunyai dasar yang jelas. Front ini terdiri dari dua orang, Antara lain Dr. Al-Birry (sebagai ketua) dan Dr. Yahya Isma’il (sebagai sekretaris umum). Kemudian FUA menjadi sebuah Himpunan yang berdiri untuk menyampaikan pelayanan sosial bagi ulama Azhar dan mahasiswanya, seperti untuk mendapatkan sebidang tanah yang dibagikan bagi para anggotanya, saya kira hal itu tertulis dalam Menteri Urusan Sosial. Apabila seorang dari mereka berbicara, maka ia berbicara dalam kapasitasnya sebagai individu. Dr. Yahya Isma’il ketika berdebat dengan Dr. Hassan Hanafi atau menuduhnya telah melenceng dari ajaran Islam, maka ia berbicara sebagai salah seorang ulama Azhar dan guru besar depatermen Hadits Fakultas ushuluddin dalam kapasitasnya sebagai individu.

Tapi, Grand Syaikh Azhar, tidakkah perdebatan dan ancaman ini akan membengkak, seperti yang terjadi pada —pengkafiran— Dr. Nashr Hamid Abu Zayd?

Ketika informasi ini sampai kepada saya, saya menghubungi Dr. Ahmad Umar Hasyim (Rektor Universitas Azhar), kemudian ia menerangkan peristiwa ini dengan rinci. Kami tidak bisa memanjangkan mulut, tapi yang bisa kami lakukan yaitu bahwa kami akan menyelesaikan masalah ini pada urusan legislatif untuk mempertimbangan pengajuan Dr. Yahya Isma’il yang hasilnya akan disampaikan pada Dr. Ahmad Umar Hasyim dan kemudian akan disampaikan kepada saya. Secara pribadi saya tidak tahu tentang Dr. Hassan Hanafi kecuali semuanya baik dan saya membebaskannya atau mensucikannya dari ungkapan yang dinisbahkan kepadanya, baik itu fasik, kafir dan lain sebagainya.

Sebagian tulisan dan Studi barat menyerang Islam dengan statemen bahwa Islam adalah musuh baru bagi barat pasca runtuhnya komunisme. Menurut anda, mungkinkah bagi Islam sekarang untuk memutihkan bingkainya?

Ketika saya di Jerman —kira-kira sejak dua bulan yang lalu— disampaikan kepada saya, bahwa seorang penulis kawakan dari barat yaitu Huntington menegaskan bahwa di sana terjadi benturan peradaban, yang pada akhirnya akan mengakibatkan benturan antara Islam dan Kristen. Salah seorang meminta pendapat saya tentang hal ini, maka jawaban saya, “Bagi para intelektual tidak ada benturan antara agama, tapi kerjasama dan dialog. Karena agama-agama langit tidak saling berbenturan, sebagaimana Allah menurunkan pada setiap agama para nabi, seperti nabi Nuh, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Isa untuk melaksanakan tugas yang satu. Sedangkan kalimat pertama yang disampaikan oleh setiap nabi bagi para kaumnya yaitu, “Sembahlah Allah, kalian tidak memiliki Tuhan selain-Nya". Dari sini saya tidak percaya bahwa akan terjadi benturan peradaban, tapi saya percaya pada ungkapan para intelektual, bahwa yang ada yaitu kerjasama dan dilog antara agama.

Saya kembali berkata, bahwa model pemikiran yang muncul dalam wacana keislaman saat ini cendrung ekstrimis, nah hal ini justru akan menjadi ganjalan besar bagi proyek dialog tadi. Saya tidak mengingkari, bahwa manusia sejak diciptakan oleh Allah hingga saat ini bermacam-macam, ada yang intelektual dan ada pula yang tidak intelektual, dan saya tidak mengingkari pula, bahwa di sana-sini ada ekstrimitas, terorisme, pembunuhan dan kerusuhan atau orang-oranng sinting yang menyatakan dirinya tokoh agama. Tugas kita sekarang yaitu menjelaskan hakekat Islam, hendaknya kita menjadi kelompok yang menampilkan ajaran benar dalam setiap dialog, yaitu Islam toleran, Islam keadilan, Islam pemeluk kemuliaan, Islam penjauh kemungkaran, Islam tawadlu’, Islam yang dijelaskan oleh Al-Qur’an dengan metode yang bijak dalam menyeru kepadanya, “Berserulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasehat yang baik, dan berdebatlah dengan cara yang baik”.

Ada yang menginformasikan, bahwa sebagian orang di London berkunjung ke Islamic Center menyerukan agar ada negara Islam di London, mereka perrgi ke partai buruh dan mengatakan bahwa pemilihan semacam ini batil, kita menginginkan negara Islam di Britania atau kita memindahkannya ke Afganistan atau Pakistan, kemudian saya menjawab, “Apabila mereka menghendaki negara Islam di Pakistan dan Afganistan, kenapa mereka hidup di London, ini nonsense”.

Sebagian media massa baru-baru ini mengangkat topik hubungan Islam dan Kristen ortodok di Mesir yang mana hal ini memberi peluang besar bagi munculnya polemik di luar permasalahan ini. Apa komentar anda?

Barang siapa yang menyebarkan topik ini, ia salah, bahkan bodoh. Sejak saya hidup hingga masa sekolah tahun 40-an dan pertengahan tahun 50-an, saya yakin —hingga saat ini— secara khusus ketika saya menjabat sebagai mufti Repulik Arab Mesir, bahwa Mesir adalah negri yang hidup di dalamnya orang-orang muslim dan kristen, mereka hidup rukun sejak 14 abad yang silam, rumah kita berdekatan, kuburan kita berdekatan, bumi kita satu, langit yang menaungi kita satu dan air yang kita minum berasal dari sungai Nil, memadukan kita dalam satu kemaslahatan, kita semua dalam satu perahu. Dan dalam peperangan, orang muslim berperang dan di sampingnya orang kristen ortodok, lebih dari itu kita dalam satu negara, di mana orang muslim membayar pajak sepertinya orang kristen membayar pajak pula. Jadi, orang-orang kristen yang hidup dengan kita di Mesir, kita anggap sebagai saudara sebagaimana tertera dalam kaidah fikih, “Kesenangan kami adalah kesenangan bagi mereka, dan kesengsaraan kami, juga kesenggsaraan mereka”, tidak ada perbedaan antara kita dan mereka dari segi hak dan kewajiban.

Sedangkan yang berhubungan dengan akidah, setiap orang memilih akidahnya, selama orang kristen menghormati akidah orang muslim, maka orang muslim harus menghormati akidah orang kristen, karena akidah tidak dijual dan tidak dibeli. Al Qur’an berfirman, “Tidak ada paksaan dalam agama”. Kita semua adalah orang-orang Mesir, setiap kita membawa nasionalitas Mesir. Maka mereka yang tahu permasalahan ini hendaknya mencegah permasalahan ini, karena kalau tidak akan menimbulkan perubahan jiwa dan akibatnya jelas bagi nusa dan bangsa.

Menurut hemat anda, sejauhmana keberhasilan para intelektual Islam dalam menciptakan diskursus kontemporer yang sesuai dengan era yang akan datang, yang pada intinya akan menjadi kelompok dalam memformat peta era ini, baik secara intelektual maupun spiritual?

Ajaran kita compatable bagi setiap zaman, hal ini akan terjadi dengan menyampaikan agama kita sebagai suri teladan yang baik. Dengan ini, orang-orang muslim dan para tokohnya akan mendapatkan tempat di bawah matahari. Seperti yang saya lihat, bahwa mereka yang memeluk Islam dari kalangan non-muslim, tidak akan memeluk Islam kecuali setelah melalui proses membaca dan memahami Islam, tapi mereka nantinya tidak menemukan suri teladan yang baik pada orang-orang muslim. Artinya, bahayanya Islam dari sebagaian umatnya lebih keras dari pada bahayanya orang-orang yang baru masuk Islam. Dunia menjadi kampung kecil, ketika orangg-orang mendengarkan bahwa 40 orang di Aljazair disembelih, di antara mereka, anak kecil, wanita, orang tua renta yang tidak berdosa, apakah dalam kondisi ini kita membayangkan bahwa Amerika, Eropa, Afrika dan Asia mencintai Islam. Maaf, sebagai orang Islam telah menjadi suri teladan yang jelek bagi manusia lainnya, tapi apabila jumlah para ulama dan cendekiawan banyak, niscaya orang-orang Islam akan mendapatkan tempat yang menuntut dunia serentak untuk menghormatinya.

Anda senantiasa menyampaikan aspek toleransi dalam Islam, apakah dalam sikap ini anda mendapatkan klaim, seperti halnya yang disampaikan oleh orang-orang ekstrim?

Toleransi dan prosperitas adalah dasar ajaran Islam. Al-Qur’an senantisa menyinggung hal ini, seperti dalam firman Allah Swt., “Allah menghendaki bagi kalian kemudahan dan tidak menghendaki bagi kalian kesulitan”. Sesungguhnya toleransi dan prosperitas merupakan dasar bagi tegaknya syari’at Islam, namun saya berkata, bahwa terdapat perbedaan antara toleransi dan prosperitas serta kutukan dan remeh. Tleransi dan prosperitas maksudnya melaksanakan perintah yang dibebankan oleh Allah dengan semangat, ikhlash, jujur, kemauan dan kekuatan, sedangkan remeh atas perintah, tiadak ada di dalamnya toleransi. saya berseru dan berkata kita anti kedzaliman, baik yang berasal dari hakim atau orang yang dihakimi, baik yang berasal dari orang kaya ataupun fakir, baik yang berasal dari orang besar ataupun kecil, baik yang berasal dari laki-laki atau wanita. Kita bersama kebenaran, keadilan, kemuliaan, inilah tujuan kita, Hasyallah (saya takut kepada Allah), apabila kita munafik terhadap seseorang atau melalaikan hak-hak Allah. Akhir-akhir ini, masalah Quds semakin menghangat, sedangkan kita sudah hampir akan memperingati 30-an atas pencaplokannya..........

Bagaimana anda menstimulasi negara dan organisasi Islam untuk mendukung masalah Quds dan berkoalisi dengan mereka?

Saya melihat saudara-saudara kita di Palestina, terutama Yasser Arafat telah mengerahkan usaha yang luar biasa untuk menjelaskan permasalahan, begitu pula raja dan pemimpin negara Arab Islam. Di antaranya —Alhaamdulillah— Mesir, kita melihat presiden Husni Mubarak bertemu dalam satu hari lebih dari satu tokoh, dari Eropa, Asia, Amerika untuk menjelaskan permasalahan secara obyektif, bijak dan adil dan berkunjung ke beberapa negara untuk menerangkan krusialnya masalah ini. Kita semua, terutama presiden Husni Mubarak mempunyai keyakinan, bahwa Quds adalah bagian dari kita, maka sudah seharusnya apabila kita membantu mereka, karena mereka dalam posisi benar, naudzubillah apabila kita menolong orang yang bertindak batil. Orang-orang Palestina benar, maka hak-hak mereka wajib dikembalikan dan Quds harus menjadi ibu kota negara Palestina. Quds adalah Islam dan Arabism sejak 14 abad yang lalu.

Grand Syaikh Azhar, apakah anda tumbuh alami atau melalui aliran tertentu?

Dengan pengalaman hidup saya serta pemahaman saya terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, saya bisa belajar dari syaikh-syaikh yang mendahului saya dengan kalimat-kalimat yang baik. Saya harus jelas dalam berbicara, berkhutbah dan obyektif menguraikan permasalahan. Saya cinta dengan tanah air saya, agama saya, saudara saya, dan saya harus mendukung kebenaran. Saya orang biasa, mungkin selain saya lebih baik dari saya, baik dari segi ilmu maupun pemahaman.

Siapa saja tokoh Islam yang berpengaruh bagi anda, sehingga anda memilih metode yang moderat?

Dalam hidup saya, saya banyak dipengaruhi oleh Dr. Abdul Aziz Kamil —rahimahullah—, Syaikh Mahmud Syaltut, dan karya-karya Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Ghazali, Syaikh Muhammad Hasan al-Baquri dan Syaikh Muhammad al-Madani. Saya belajar dari mereka, saya membaca karya-karya mereka sejak menjadi mahasiswa. Dan ini tidak melarang saya, bahwa pengaruhnya bukan merupakan pengaruh yang mutlak, tapi justru menjadikan saya berjalan di atas jalan mereka yang menurut saya sesuai dengan pemikiran, pandangan dan akhlak saya. Saya tidak menganggap bahwa saya telah bisa menyaingi ilmunya, ini adalah keutamaan Allah, diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya.


www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt