[ Metamorfsis Fikih Ala NU ] |
Mengamati perkembangan NU akhir-akhir ini, nampak sekali adanya pergeseran dasar pelandasan hukum-hukum, khususnya yang bersangkutan dengan Kaidah Fikih. Memang dalam taraf permukaan memang nampak sejak dulu -- sampai kini -- kiai-kiai NU mengandalkan kaidah-kaidah fiqih, dari sosok yang paling tradisional sampai yang paling modern kayak Gus Dur. "Bagi saya, kaidah-kaidah fikih yang terdapat di Al-Asybâh wa al-Nadzâir-nya Imam Al-Suyûthiy itu merupakan pandangan hidup", ungkap Gus Dur dalam sebuah pertemuan dengan masyarakat mahasiswa di Kairo (Kamis, 9 September 1999). Kaidah-kaidah yang digunakan itu-itu saja, tak pernah berubah, namun pondasi dasarnya yang berubah. Hal ini bisa terjadi karena kaidah fikih tak ubahnya ibarat "pedang bermata dua". Pedang itu bisa digunakan seorang Syafi'iyah, Malikiyah, Hanafiyah, atau Hanbaliah, dll. Dan bahkan siap melampaui semua mazhab yang ada. Alatnya tetap, hanya mekanisme dalamnya yang senantiasa berubah. Ini juga yang pernah saya maksudkan dengan mengibaratkan Kaidah Fikih sebagai "sortcut" atau jalan pintas berijtihad. (lihat juga tulisan saya "NU dan Jalan Pintas Berijtihad", Duta, 4 Oktober 1999) Di sini akan saya ketengahkan sebuah Kaidah Fikih penting yang dinamik dan terbukti sering sekali digunakan, yaitu "al-hukmu yadûru m'a 'illatihî (wujûdan wa 'adaman)" atau lebih singkatnya disebut kaidah "ta'lîl al-hukm" (mendasarkan sebuah hukum atas alasan atau sebab). Dari kasus yang paling sederhana sampai problematika yang sangat kompleks dan berkait dengan berbagai faktor lain, misalnya persoalan gender, bisa dengan mudah dikaitkan dengan kaidah ini. Misalnya ketika Gus Dur ngotot meneruskan pencalonannya sebagai presiden. Ia tak perduli ketika beberapa kiai lebih mendukung Habibie dan sambil menolak pencalonannya. "Keputusan mereka bukanlah sebuah hukum", sergahnya, "karena mereka harus mencari 'illatnya terlebih dahulu untuk menetapkan sebuah hukum". Yang tersirat dari kejadian itu adalah upaya Gus Dur membangun pluralitas pemikiran. Proses menghukumi suatu kejadian bisa menghasilkan berbagai hukum yang berlawanan, tergantung sudut pandangnya. Karena sebenarnya 'illat sebagai pondasi hukum bisa berujud dalam berbagai bentuk menurut situasi kondisi, cara pandang dan kemampuan intelektual masing-masing mujtahid. Apalagi jika suatu hukum yang mau diputuskan bersifat pribadi, yang tak bisa ditentukan secara umum memakai "kaca mata umum". Untuk mengatasi hal ini, dikenallah dalam disiplin Ushul Fikih prinsip "tahqîq al-manâth al-'âm" (mendasarkan hukum pada kondisi umum) dan "tahqîq al-manâth al-khâs" (mendasarkan hukum pada kondisi khusus). Yang pertama memandang permasalahan secara obyektif dan yang kedua secara subyektif. Masing-masing sama mendapat pengakuan. Suatu saat berdasar manâth al-'âm hukum perlu ditegakkan, dan berdasar manâth al-'khâs suatu hukum boleh tampil beda pada saat yang lain. Dari sinilah muncul pluralitas pemikiran yang harus saling dihormati. Contoh lain lagi adalah seperti yang nampak pada kesimpulan Seminar
Nasional Gender (Fiqhunnisa') di Baturaden, 16-17 Juli 1999. Poin penting
di antara beberapa kesimpulannya adalah "tuntutan perubahan penafsiran
atau reinterpretasi ulang atas beberapa nas ayat atau hadits yang berhubungan
erat dengan keperempuanan berdasar kaidah ta'lîl al-hukm itu. Reinterpretasi
itu perlu dilakukan karena kondisi sosial budaya telah berubah. Wanita
tidak lagi dipandang sebagai "barang" atau "materi" yang hanya untuk dinikmati,
Ada satu hal yang perlu kita renungkan dari kesimpulan Seminar tersebut, yaitu mengenai pemakaian kaidah ta'lîl al-hukm itu. Seminar tersebut menyimpulkan, "karena keadaan sosial sudah berubah, maka hukumnya pun harus berubah". Yang perlu digarisbawahi adalah memutuskan "perubahan keadaan sosial" sebagai 'illat (alasan/sebab perubahan hukum). Persoalannya, jika hukum-hukum yang telah lewat -- dan sekarang dipandang sebagai "merendahkan" kaum perempuan -- sebagai "kesalahan sejarah", maka "perubahan sosial" tidak bisa dijadikan sebagai 'illat (alasan). Mengapa? Coba bedakan dengan hukum diperbolehkannya jama'-qashr salat ketika menemui masyaqqah (keletihan). Dalam kasus ini, masyaqqah ('illat) tentu tidak merupakan sebuah "kesalahan", namun sesuatu yg alami dan semua orang secara insidental pasti mengalaminya. Karenanya masyaqqah bisa dijadikan 'illat. Makanya Kalau kita sepakat menganggap hukum-hukum masa lalu itu sebagai suatu kesalahan sejarah, maka keadaan sosial sekarang -- yg menyamakan antara laki-laki dan perempuan --tidak bisa dijadikan 'illat. Pandangan-pandangan kita sekarang ini terhadap perempuan merupakan sesuatu yg baru sama sekali, yakni hasil tinjauan ulang terhadap keputusan-keputusan masa lalu. Dengan demikian tidak tepat mengkaitkan hukum persamaan laki-laki dan perempuan dengan kaidah ta'lîl al-hukm. Dan kenyataannya, beberapa pemikir modern sudah menyatakan bahwa tak ada nas (Qur'an atau hadits) yg menunjukkan subordinasi perempuan di bawah laki-laki, di antaranya Dr. Suad Soleh (Dosen Fak Syari'ah Al-Azhar University). Namun, bagaimanapun, hal penting yang bisa dipetik dari kesimpulan seminar tersebut adalah tergesernya pandangan Syafi'iyyah atas 'illat yang menjadi pegangan kebanyakan orang NU selama ini. 'Illat, menurut mazhab Syafi'iyyah harus berupa sesuatu yang bisa dibatasi (mundlabith). Misalnya 'illatnya jama'-qashar salat adalah bepergian (safar) itu sendiri. Karena bepergian bisa dibatasi dengan jarak. Haluan Syafi'iyyah seperti itu berbeda dengan mazhab Malikiyyah, yang tidak mensyaratkan 'illat harus mundlabith. Baik mundlabith atau tidak bisa saja dipakai 'illat. Seminar fiqhunnisa' tersebut, dengan demikian, telah memunculkan fenomena baru; memutuskan adanya 'illat yang tidak lagi terbatasi, yakni keadaan sosial secara luas. Kesimpulannya, karena keadaan sosial telah berubah, makan hukumnya pun ikut berubah. Walaupun kesimpulan itu hanya sekedar kesimpulan seminar untuk menyambut Muktamar, namun bagaimanapun ia harus diakui sebagai wujud nyata dinamika diskursus keislaman NU. Dan itu cukup untuk menunjukkan adanya gejala-gejala metamorfosis, walaupun sekedar karena jasa Kaidah Fikih. Atau dengan ungkapan lain, NU telah mempraktekkan prinsip-prinsip mazhab Malikiyyah, setelah lama Syafi'iyyah mendominasi pola fikir kiai-kiai NU. ***
Memakai kaidah ta'lîlul hukm tentu terasa lebih luwes, karena bisa menyangkutkan segala permasalahan dengannya. Semua sudut kehidupan bisa dikuasai penuh oleh 'illat, kecuali bidang "ta'abbudiyyah" (peribadatan). Ini tak lain karena ibadah merupakan manifestasi ketundukan seorang hamba terhadap Sang Pencipta. Sudah layaknya jika hubungan vertikal antara hamba dan Tuhannya merupakan sesuatu yang tak bisa ditelusuri oleh 'illat (al-ashlu fî al-‘ibâdât al-ta’abbud dûna al-iltifât ilâ al-ma’âniy). Di sinilah letak perbedaan antara urusan ibadah dan mu'amalah atau adat istiadat, di mana mu'amalah secara total dikuasai oleh 'illat (wa al-ashlu fî al-‘âdât al-iltifât ilâ al-ma’âniy). Dengan demikian ta'lîlul hukm merupakan satu-satunya kaidah yang menunjukkan rasionalitas fikih -- yang sejatinya merupakan tabi'at syari'at Islam. Karena tiada lain 'illat adalah ibarat ruh sebuah hukum, jika ruh melayang maka hukumnya pun ikut melayang (al-ashlu an tazûla al-ahkâm bi zawâli ‘illalihâ). Ruh tersebut bisa sirna, dikarenakan perubahan situasi dan kondisi yang menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian baru. Melandaskan hukum pada 'illat sama halnya menyerahkan hukum pada dinamika realitas. Karena sebenarnya 'illat itu bersumber dari realitas. Dan kemampuan NU mengelaborasi 'illat secara tak terbatas (baca: 'illat Malikiyyah) akan membawanya ke taraf akseptabilitas dan kontekstualitas yang tinggi setiap waktu. Ia terus bergerak tidak akan terlindas oleh rotasi sejarah. *Duta Masyarakat Baru
|
|