Paradigma
Intelektualitas Dalam Peta Kemahasiswaan dam Kemasyarakatan*
Oleh Hasminto Yusuf
Pengantar
Inti intelektualitas adalah kepedulian seseorang terhadap permasalahan
masyarakat. Kemampuan untuk merumuskan persoalan zaman, kehandalan
untuk melakukan analisis dan kecerdikannya untuk memberikan pemecahan
masalah. Atas dasar itu, maka seorang intelektual dapat lahir, baik dari
kalangan pendidikan atau perguruan tinggi, para aktifis organisasi maupun
di LSM-LSM, juga para pekerja sosial yang tekun di lapangan maupun para
seniman dan budayawan.
Selama dua dasawarsa terakhir ini telah mulai muncul para intelektual
dikalangan generasi muda NU dan di kalangan masyarakat yang berpikir
secara Aswaja. Karena pada dasarnya, para intelektual sekarang ini juga
merupakan hasil yang langsung maupun tidak langsung dari dinamika gerakan
pembaharuan dan pembebasan yang dilakukan generasi muda NU yang dipelopori
oleh PMII, satu oragnisasi kemahasiswaan yang memiliki hubungan (interdependensi)
dengan NU. Oleh karena itu sebuah paradigma strategis sosio-kultural NU
mulai menampakkan tahapan gerakannya dari reformisme ke transformisme Islam,
sehingga untuk dekade sekarang ini NU merupakan Center of City dari pada
State of Mind.
Peta Kemahasiswaaan dan Kemasyarakatan
Selama di perguruan tinggi mahasiswa dididik untuk mangasah otaknya.
Dilatih untuk berpikir logis, sistematis, dan analitis guna memperoleh
ilmu pengetahuan sebanyak mungkin sesuai dengan bidangnya. Dengan segenap
kemampuannya mahasiswa dilatih bernalar secara benar sesuai dengan prinsip-prinsip
ilmiah yang mengutamakan obyektifitas,
rasionalitas kejujuran dan terbuka. Pemilikan ilmu melalui proses ilmiah
yang berarti memindahkan tata krama ilmiah antara lain bersifat
universal. Sebagai bagian dari nagara yang sedang berkembang, mahasiswa
di negara kita tetap merupakan elitis yang memiliki privelese tertentu.
Karena tidak semua pemuda dapat memasuki perguruan tinggi apalagi studi
berbeasiswa di perguruan tinggi.
Hanya generasi muda yang kebetulan dapat menguasai prevelese sosial,
ekonomi dan politik, yang notabene berasal dari strata sosial atas saja
di tambah dengan mereka yang memiliki kualifikasi intelektual yang
luar biasa - dari strata terbawah sekalipun - yang dapat menikmati bangku
perguruan tinggi. Dengan kata lain, perguaruan tinggi menjadi
representasi kelas-kelas sosial. Makin tinggi derajat perguruan tinggi
makin tinggi elitis mahasiswa yang terjalin didalamnya. Kenyataan ini
mengandalkan bahwa proses seleksi memasuki perguruan tinggi dengan
sendirinya memperkecil kemungkinan terekrutnya mereka secara sosiologis,
kebetulan tidak memperoleh keuntungan dari proses pembangunan. Ini berarti
mengandung potensi konflik laten.Sesuai dengan kedudukannya di atas, maka
corak penampilan gaya hidup mahasiswa sehari- hari juga terpengaruh oleh
status yang di sandangnya. PERMASALAHAN POKOK yang dihadapi masyarakat
biasanya merupakan akumulasi dari segenap proses sosial, politik, ekonomi,
dan budaya yang mengiringi pembangunan. Di negara kata makin terasa adanya
aspirasi yang kian beragam dan berkembang dalam upaya mengaktualisasikan
segenap potensi yang kita miliki.
Sesuai dengan setting-sosial masyarakat kita suatu kecenderungan ke
arah industrialisasi tidak mungkin dihindari. Pergeseran tata nilai merupakan
anak kandung dari upaya penyesuaian emosional secara pribadi, perubahan
etika, ketrampilan dan kelembagaan.
Gaya hidup modern yang mengutamakan kemajuan, sukses dan produktifitas.
Sikap dan cara rasional adalah konsekuensi logis dari upaya
merealisasikan masyarakat industrial:
a. Tehnikalisasi
b. Rasioanalisasi
c. Efisiensi
d. Orientasi pada hasil maksimal
e. Egalitarian
Cita-cita masyarakat industrial adalah kebebasan produktifitas
partisipasi dan perubahan sama sekali bertolak belakang dengan tatanan
masyarakat agraris yang mengutamakan kekuasaan, hirarki, perhamban dan
ketertiban. Begitu pula masyarakat industri yang mengagung-agungkan keterbukaan,
demokratisasi, dan individualisasi akan berbenturan dengan yang dimiliki
masyarakat agraris yang sangat mengutamakan stratafikasi sosial tertutup,
konsensus dan komunalistis.
Dari uraian di atas jelas kiranya, bahwa adopsi tatanan masyarakat
industrial harus kita tebus dengan terkikisnya nilai budaya bangsa.
Secara teoritis Danial Bell, mengungkapkan bahwa apabila masyarakat
industrial kapitalis mengalami koreksi karena timbulnya kontradiksi
budaya, maka di negara yang sedang berkembang, dengan intensitas yang
berbeda maka harus menanggung resiko reduksi. Bahkan degradasi berbagai
aspek kehidupan yang selama ini menjadi dambaan. Tehnikalisasi dan adopsi
ilmu merupakan faktor yang sangat bertanggung jawab terhadap munculnya
dehumanisasi. Dengan kata lain mengikuti pendapat Kuntowijoyo, masyarakat
industrial dikritik dari kanan karena tidak mementingkan nilai individu
dan dari kiri karena tidak mem perdulikan kepentingan kolektifitas.
Dalam kenyataan di negara kita, kemajuan yang didapat selama era
pembangunan secara umum dapat diidentifikasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Struktural, telah tercipta perangkat keras dan lunak yang
memungkinkan bangsa kita melangkah ke tingkat yang lebih tinggi dalam
poses rekayasa sosial politik ekonomi dan budaya.
2. Telah lahir lapisan masyarakat baru yang dalam banyak hal juga
menuntut adaptasi pola pikir dan bertingkah laku sesuai dengan cetak
biru yang inhern dalam proses kelahiran masyarakat baru tersebut.
Adaptasi fungsional sangat diperlukan untuk menghindari kultural lag,
meminjam pendapat Ogburn.
3. Diversivikasi fungsional yang ditandai dislokasi sosial, alienasi
dan
pada ujung yang ekstern mengarah pada fragmentasi sosial yang kian
beragam dan ditentukan kuantitas pemikiran aset, ekonomi, sosial dan
politik. Inilah sumber disharmoni dan merenggangnya soilidaritas sosial.
4. Munculnya tolak ukur baru dalam melihat arah perkembangan sosial
dengan mereduksi nilai-nilai abstrak transedental diganti dengan
pragmatisme, hedonisme sesuai dengan tuntutan kapitalisme yang
dicanangkan secara spektakuler selama dua dasawarsa terakhir ini.
Agama secara perlahan menjadi asing karena tidak memiliki kontribusi
bagi aktualisasi diri manusia modern. Simbol-simbol religio-magis diganti
dengan simbol budaya konsumtif, material, dan metropolis.
5. Timbulnya konflik sosial, karena tidak adanya kekuatan normatif
yang bisa mencegah terbentuknya klas-klas dan stratatifikasi sosial yang
makin beragam. Akibatnya klaim tentang keadilan, persamaan dalam menikmati
hasil-hasil pembangunan menjadi obsesi dan sekaligus merupakan potensi
konflik. Ketimpangan sosial, kemiskinan dan keterbelakangan menjadi isu
yang dapat menumbuhkan solidaritas di kalangan massa.
Tajdid: Sebagai Strategi Budaya
Dengan menempatkan mahasiswa sebagai sumber budaya yang memiliki potensi
untuk berkembang manakala kelak mereka -setelah menyelesaikan studi- memasuki
lapangan kerja berarti mereka mengemban tugas berat untuk makin dapat kreatif
dalam menjawab tantangan masa depannya. Karena itu selama menduduki bangku
kuliah, kecuali dibebani kewajiban belajar sebaik mungkin, masa studinya
juga merupakan saat mendewasakan diri secara
intelektual, emosional, dan tehnikal. Dengan demikian, di kalangan
angkatan / generasi muda, sebenarnya organisasi kemahasiswaan NU (PMII
dan KMNU) ini menurut saya mempunyai posisi yang sangat menentukan bagi
pengembangan intelektualitas, yaitu
sebagai prime mover. Homogenitas keanggotaan, tingkat pendidikan
akademis dan pendekatan yang dilakukan, yang ditambah dengan dukungan
universitas, sesungguhnya sangat menunjang bagi pengembangan intelektualitas
mahasiswa NU.
Dibanding dengan intelektualitas muslim di negara-negara lainnya seperti
di Mesir, intelektual muslim di Indonesia -khususnya alumni Timur Tengah-
boleh dikata kurang menulis buku dan makalah, apalagi di bidang bahasa
Arab, Inggris, maupun Perancis. Padahal kualitas intelektual muslim Indonesia
(alumni Timur Tengah) tidak kalah dari sejawatnya di negara-negara Eropa
dan Amerika. Bahkan secara pribadi, saya mengharapkan lahirnya intelektual
muslim kaliber dunia dari Asia Tenggara dan khususnya Indonesia. Karena
tajdid yang akan kita lakukan yang dipelopori kawan-kawan generasi muda
NU di Indonesia lebih bersifat holistik dan diimplementasikan di dalam
suatu gerakan. Masalahnya sekarang, kita harus menajamkan analisis, menajamkan
sasaran dan merumuskan isu yang strategis yang menjadi kepedulian bersama
(common concern). Sehubungan dengan itu, sebenarnya sudah saatnya NU harus
menyentuh titik strategis dalam gerakan tajdidnya, melalui gerakan reformasi
ke transfornasi konsep dan doktrin Aswaja. Mulai dengan pemurnian tauhid
(tazkiah tashfiyah) perumusan teologi pembangunan yang mempunyai gereget
untuk suatu transformasi budaya sosial, pengebangan sosial budaya, yang
langsung menyentuh keperluan rakyat pada lapisan bawah dan menata gerakan
dalam suatu organisasi yang teratur dengan pembinaan kader ummat, kader
organisasi dan kader bangsa. Tajdid yang merupakan sunnatullah itu bagi
mahasiswa dan generasi muda NU sudah semestinya menjadi suatu gerakan budaya.
Suatu cultural movement (gerakan budaya) yang menerobos dinding kejumudan
sosial budaya lewat suatu proses transendensi, evaluasi etik dan penyadaran
budaya
yang cerdas dan bijak.
Untuk itu secara personal selama menjadi mahasiswa seyogyanya kita
berusaha:
1. Melatih menetukan keputusan dan mengambil pilihan yang tepat dalam
berbagai segi kehidupan.
2. Membiasakan diri bekerja sama dengan orang lain terutama untuk rasa
kesetiakawanan sosial dan melatih diri menumbuhkan rasa bertanggung jawab
terhadap segala keputusan dan pilihan yang diambil.
3. Melakukan interaksi untuk melatih disiplin, memupuk semangat
demokratis dan mempertebal kepercayaan diri dalam berhadapan dengan
orang atau pihak lain.
Demikian juga secara organisatoris dalam rangka memantapkan citra
organisasi-organisasi kemahasiswaan (seperti KMNU) ini harus menampilakan
performance secara lebih tegas, berani tampil secara lebih meyakinkan
lagi, bukan semata mencari popularitas murahan.
Sehingga organisasi KMNU secara pas mendapat lebel organisasi alternatif
bagi mahasiswa Kairo, itu yang pertama. Yang kedua, sebagai organisasi
calon intelektual dan profesional maka orientasi dari programnya haruslah
senantiasa ke arah terbentuknya muslim NU yang bersifat profesional. Ketiga,
untuk mengejar ketinggalan KMNU harus berani melakukan terobosan-terobosan
dalam mengambil kebijaksanaan dalam menata serta menata organisasinya.
Keempat, dalam menghadapi perkembangan sosial politik di negeri kita,
terutama yang menyangkut peta pembinaan atau penataan atau
kemahasiswaan, harus ada satu visi dan persepsi yang sama dalam lembaga
kepemimpinan dan kino-kinonya, untuk itu harus ada jaringan kerja sama
daan informasi secara formal organisatoris antara KMNU dan PBNU, PMII guna
mengetahui perkembangan yang ada di tanah air dalam berbagai aspek.
Dan terakhir untuk menghadapi masa depan, yang sebenarnya telah mulai
pada hari ini, kita -KMNU- sebagai the thinker of nasional building (pemikir
masa depan bangsa) harus mendekatkan kepada Allah Swt Maha Pemilik Masa
Depan, di samping mengembangkan studi masalah strategis dan kebijakan (strategic
and policy studies) serta terus meneguhkan tri komitmen yaitu: komitmen
ke-Islaman, komitmen kebangsaan dan komitmen keorganisasiannya.
Wallahul Musta'an |