Wajah Pemikiran Ke-Islaman di Dunia Arab
Oleh: A. Purwanto

 

Pendahuluan

Sekitar akhir abad ke-19 bangsa Arab terlepas dari penetrasi kolonialisme. Semenjak itu dunia Arab menghadapi problema-problema pelik dalam berinteraksi dengan peradaban dunia modern yang menuju ke arah globalisasi secara menyeluruh. Sangat sulit bagi para cendekiawan muslim di dunia Arab pasca kolonialisme ini, untuk menyatukan persepsi guna membangun kembali suatu pola peradaban yang ideal bagi bangsa Arab itu sendiri.

Pemikiran Islam, boleh dikatakan merupakan sumber bagi inspirasi yang sangat dominan bagi kejayaan peradaban Arab klasik. Sejarah telah membuktikan bahwa jika bukan karena kelahiran Islam sebagai agama kosmopolit di semenanjung Arabia, niscaya Arab sedikitpun tidak akan mempunyai estimasi penilaian dalam kancah peradaban dunia. Arab hanyalah suatu bentuk masyarakat badawi yang hidup dalam konunitas kecil di padang pasir jazirah Arabia, belum pernah mengenal bentuk sebuah kebudayaan dan peradaban besar.

Maka kemunculan Islam di tengah komunitas badawi ini sebagai pemberi ruh lahirnya sebuah peradaban agung yang menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Hanya dengan satu sumber ajaran Islam saja misalnya, yaitu al Quran, ummat Islam mampu menelorkan berbagai macam disiplin ilmu. Muncul ilmu nahwu, sharaf, tafsir, balaghah, fiqh, sejarah, ilmu kalam dan lain-lain. Begitu juga dengan hadits nabi, melahirkan pula sekian banyak cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu hadits, ilmu rijal, takhrij dan lain sebagainya. Dari sini dapat diambil sebuah konklusi, bahwa kegemilangan yang pernah dicapai oleh peradaban Arab klasik itu, merupakan jelmaan dari kontribusi pemikiran yang pernah disumbangkan oleh Islam.

Atas dasar premis inilah, para cendikiawan Arab kontemporer merasa perlu untuk menggali kembali warisan-warisan klasik itu untuk kemajuan masa mendatang. Namun, ternyata masing-masing pihak dalam memberikan interpretasi terhadap nash-nash dasar ajaran Islam itu mempunyai kecenderungan ideologis yang berbeda-beda.

Ketika political power ummat Islam berada di bawah pemerintahan khilafah Bani Abbasiyah, kehidupan ilmiyah dan kebebasan berfikir sangat menonjol, meski di lain pihak kehidupan istana penuh dengan penyalahgunaan kekuasaan. Sehingga pemikiran-pemikiran cemerlang dan ide-ide brilian untuk kemajuan peradaban ummat manusia, dapat dijumpai di masa tersebut.

Namun angin perubahan menerpa dunia pemikiran tatkala political power mulai dipegang oleh keluarga Turki Usmani. Boleh dikata kondisi terburuk dari kemerosotan pemikiran Islam terjadi pada periode ini. Meskipun tidak diingkari, bahwa Turki Usmani mempunyai kontribusi besar untuk kejayaan Islam di bidang ekspansi militer. Namun kemajuan di bidang militer ini tidak diimbangi oleh kemajuan di bidang intelektual. Akibatnya ummat Islam mulai diliputi oleh kejumudan dan stagnasi berfikir .

Dari kejumudan berfikir inilah, bahaya mulai mengancam peradaban Islam. Di mana piramida peradaban Islam mulai menunjuk ke arah bawah, dan dari sinilah titik tolak kemunduran peradaban Islam yang dirasakan oleh ummat Islam hingga saat ini.

Kondisi di atas, menyebabkan terputusnya mata rantai pemikiran Islam antara masa akhir kekuasaan Bani Abbasiyah dengan masa pasca kolonialisme. Kedatangan kolonoalisme Eropa ke dunia Islam menjadikan keterputusan mata rantai peradaban Islam itu semakin merenggang, karena tujuan kedatangan mereka disamping sebagai penjajah dan pemeras, juga memasukan misi ideologi yang mereka anut di Barat. Sehingga bermunculannya para cendiawan dan intelektual Islam pada era pasca kolonialisme, yang berusaha untuk menyambungkan kembali keterputusan mata rantai itu, ternyata telah mengalami perbedaan visi dan kecenderungan ideologis masing-masing.

Secara garis besar, pemikiran keIslaman pasca kolonialisme ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga aliran besar; Tradisionalis Islami, Liberalis Sekuler, dan Reformis Islam.

Tradisional Islami

Tradisional Islami yang penulis maksudkan di sini adalah dalam pengertian konteks memahami substansi nash-nash ajaran Islam itu sendiri, bukan dalam pengertian tradisional dalam konteks sejarahnya. Yaitu menerima apa adanya nash-nash al Quran dan hadist nabi tanpa ta’wil dan interpretasi akal secara luas. Sebagai sampel bagi aliran pemikiran tradisionalis Islami ini, penulis angkat gerakan salafiyah Wahabiyah yang muncul di penghujung abab ke-18 di semenanjung jazirah Arabiyah. Gerakan ini bila ditinjau dari konteks sejarah, ia tidak bisa digolongkan sebagai aliran tradisional, sebab dalam gerakan reformasinya ia terkenal sebagai penentang tradisi Islam yang sudah berjalan puluhan abad yang mereka anggap sebagai bid’ah dan keluar dari ajaran Islam yang murni.

Sebutan Wahabiyah adalah suatu nisbat terhadap pencetus pertama gerakan ini yang muncul di penghujung abad ke-18 M, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab. Ia dilahirkan di Nejed dalam lingkungan Arab badawy, yang masih bersih dari sentuhan dan pengaruh kebudayaan asing, yang tidak pernah ditaklukkan oleh bangsa lain, sehingga belum pernah mengenal seni dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh percampuran dan interaksi antara bangsa Arab dengan bangsa penjajah tersebut.
Muhammad bin Abdul Wahab merupakan keturunan dari keluarga masyayikh fuqaha, ia menimba ilmu fiqh Islam secara mendalam dari mereka, yang sesuai dengan kondisi kehidupan badawi yang masih sangat sederhana. Ia menentang secara tegas segala bentuk pemikiran yang berbau filsafat dan ilmu kalam. Sehingga tatkala pergi ke Basrah dan kota-kota lain, ia melaknat segala bentuk bid’ah dan khurafat serta ilmu pengetahuan yang tidak sesuai dengan alam fikirannya.
Bersamaan dengan kondisi seperti ini, pemerintahan Turki Usmani sebagai pusat khilafah Islamiah pada waktu itu, sama sekali tidak mempunyai concern terhadap kemajuan ilmu pengetahuan modern, khususnya ilmu-ilmu logika. Sehingga kekosongan ini diisi oleh berbagai aliran tarikat sufi sebagai warisan dari kerajaan Fathimiyah yang dulu pernah berkuasa di Mesir. Sehingga di dunia Islam pada masa itu, keyakinan yang bersifat bid’ah dan khurafat berkembang dengan subur. Diantaranya keyakinan yang mengatakan bahwa seorang hamba untuk bisa sampai kepada Tuhannya, harus memakai jalan tabarruk dan tawassul.
Melihat fenomena ini, Muhammad bin Abdul Wahab menganggap bahwa ummat Islam telah kembali kapada zaman jahiliyah yang pernah diperangi oleh Rasulullah. Kemusyrikan telah menyusup ke dalam aqidah yang benar, dengan menjadikan berbagai wasilah sebagai “zulfa” untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga ia berani menghukum para penganut tarekat sufi ini sebagai musyrik. Alasannya, walau pun mereka bertauhid dengan keesaan Tuhan, namun dengan mengambil wasilah dan perantara dalam beribadah, berarti mereka telah melakukan syirik yang tidak terampuni. Lebih dari itu ia mengatakan, bahwa kaum musyrikin zaman sekarang lebih kafir dari pada kaum musyrikin yang pernah di perangi oleh Rasulullah di Mekkah dahulu.
Sebagai seorang pelopor sebuah gerakan tajdid, Muhammad bin Abdul Wahab menginginkan agar dakwah yang ia bawa bisa menyebar secara luas, tidak hanya sekedar sebuah gerakan dakwah, lebih dari itu harus dipadukan dengan kekuatan politik yang digunakan sebagai alat untuk merealisasikan dakwah salafiyahnya menjadi sebuah ideologi praktis. Karena ia berkeyakinan bahwa sesungguhnya Allah mencegah dengan kekuasan, apa yang tidak bisa dicegah dengan ajaran agama (Al Qur’an).
Sebagai langkah awal dari usahanya, ia mendekati amir negeri Uyainah yang bernama Usman bin Ahmad bin Muamar. Ia berhasil mempengaruhi Amir Uyainah agar mengerahkan bala tentaranya untuk menghancurkan seluruh kuburan dan pohon-pohon keramat yang dijadikan sebagai tempat tawassul dan tabarruk. Sampai pada suatu hari, ia sendiri yang memimpin bala tentara untuk menghancurkan kuburan Zaid al Khattab di daerah Jabilah, yang banyak dikunjungi ummat Islam untuk tawassul dan tabarruk. Dengan peristiwa ini, hampir terjadi peperangan antara Uyainah dengan masyarakat Jabilah, dimana mereka mengancam untuk menyerang Amir Uyainah jika masih tetap membantu pergerakan Muhammad bin Abdul Wabah. Dengan peristiwa ini, akhirnya Muhammad bin Abdul Wahab melarikan diri ke daerah Dar’yah, dan di sinilah ia bertemu dengan amirnya yang bernama Muhammad bin Su’ud (pendiri kerajaan saudi Arabiayah sekarang) yang membantu sepenuhnya perjuangan Muhammad bin Abdul Wahab.
Dari perpaduan antara ideologi keagamaan Muhammad bin Abdul Wahab dengan kekuasaan Ibnu Su'ud, maka menyebarlah dakwah Wahabiyah sampai ke Nejed dan daerah-daerah sekitarnya, yang akhirnya meluas ke seluaruh wilayah dunia Islam sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Model gerakan Islam yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, bukan merupakan sesuatu yang baru dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam. Akan tetapi ia merupakan perpanjangan tangan dari salah satu aliran pemikiran yang sudah ada semenjak abad kedua hijriyah. Kalau kita runtutkan ke atas, paham pemikiran ini merupakan sebuah rentetan gerakan salafiyah yang di mulai dari Imam ibnu Hanbal, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al Jauziy, al Thohawy dan banyak lagi para pengikutnya. Hanya saja Muhammad bin Abdul Wahab mampu mengelaborasikan paham ini dalam bentuk political power dan menjadi idologi praktis sebuah kerajaan.


Liberalis Sekuler

Pengertian “liberal” berasal dari kata “liberti" yang berarti kebebasan atau kemerdekaan. Sedangkan ”sekuler" dalam pengertian umum berarti pemisalah antara urusan pribadi dan keyakinan agama seseorang dengan urusan politik, negara, dan sosial kemasyarakatan. Sehingga pengertian dari dua istilah di atas berpadu menjadi satu paham, ideologi, yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Bila ditelusuri lebih jauh ke belakang, paham ini akan bertemu dengan paham filsafat Yunani Kuno, yang diejawantahkan oleh paham John Lock, yang sangat mengagungkan kebebasan individu, dan senantiasa memperjuangkan hak-hak pribadi (temasuk agama) atas campur tangan negara. Menurut Dr. Thoha Dasuki Hubaisyi, faktor signifikan yang menyebabkan munculnya pola pemikiran gaya John Lock di dunia Barat Kristen adalah, adanya petentangan antara superioritas doktrin-doktrin gereja dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada masa itu gereja berkuasa secara otoriter atas nama Tuhan. Selain itu, juga karena adanya despotisme absolut di bidang pemikiran dan intelektual, serta pengaplikasian sistem kasta di tengah masyarakat, dimana praktek diskriminasi antara sesama manusia sangat menonjol. Masyarakat terbagi menjadi dua kelas, yaitu kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas diwakili oleh pemimpin-pemimpin gereja sebagai kaum feodal dan borjuis, yang menguasai tanah-tanah pertanian dan perkebunan. Sedangkan kelas bawah diwakili oleh kaum proletar yang bekerja pada tuan-tuan tanah tersebut.

Hubungan dengan perkembangan penganut paham liberalis sekuler di dunia Arab, bila ditinjau dari kaca mata sosiologi, tidak bisa dilepaskan dari rentetan sejarah hitam ini. Mereka menggunakan logika yang sama dengan para pengajur modernisasi di Barat.

Bahwa sebab utama keberhasilan peradaban Barat modern adalah, karena mereka mampu melepaskan diri dari ikatan-ikatan agama dalam urusan kenegaraan dan sosial kemasyarakatan. Oleh sebab itu, agar ummat Islam bisa terlepas dari kemunduran dan keterbelakangan, mau tidak mau harus pula melepaskan ikatan-ikatan agama dari kehidupan bernegara dan sosial kemasyarakatan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh bangsa Barat. Sebagai sampel dalam tulisan ini, kita angkat beberapa contoh kasus perkembangan aliran pemikiran liberalis sekuler Mesir. Dan memang Mersirlah sebagai lahan yang subur tempat berkembang biaknya para pemikir liberalis sekuler di dunia Arab.

Berbeda halnya dengan negara-negara Arab pada umumnya, mereka boleh dikatakan tidak mempunyai akar peradaban di masa lampau, sehingga pemikiran masyarakatnya sangat homogen, dan sulit untuk dipengaruhi oleh pemikiran luar, dan mereka lebih cenderung mempunyai sikap nrimo dan mengikut saja kepada idologi pengusa. Lain dengan Mesir yang telah mengenal peradaban semenjak ribuan tahun silam, sehingga corak pemikiran bangsa Mesir itu sangat variatif dan memiliki accepable terhadap berbagai aliran pemikiran yang masuk ke alam pemikiran masyarakatnya.

Berkenaan dengan fenomena ini, Abdul Hasan Ali An Nadawi seorang pemikir terkenal India, dalam sebuah karyanya yang berjudul “Pertarungan antara alam fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat” menggambarkan fenomena kemunculan para pemikir liberalis sekuler di Mesir dengan panjang lebar. An Nadawi menulis : “Tunas-tunas intelektual muda dan kaum terpelajar di Mesir, mulai berkenalan serta mempelajari ilmu pengetahuan modern dan peradaban Eropa yang dibawa oleh kaum imperalis ke negeri mereka. Bahkan banyak diantara mereka yang langsung menuntut ilmu pengetahuan ke berbagai pusat kebudayaan Barat di negara-negara Eropa itu sendiri. Mereka selami lautan peradaban Barat, berkecimpung di tengah-tengah kalangan ilmiah yang terbiasa dengan gaya berfikir bebas dan kritis, sehingga mereka mulai benci terhadap segala sesuatu yang berbau taqlid dan menerima apa adanya.

” Lard Cromer, seorang orientalis ternama berkomentar tentang hal ini sebagai berikut “Masyarakat Mesir sekarang berada dalam masa peraliahan dan panca roba, sebagai konsekwensi logisnya, di antara mereka terdapat satu golongan yang masih memeluk Islam, namun pada hakekatnya mereka sudah tidak memiliki sifat dan ciri-ciri keislaman lagi. Di antara mereka yang mulai tunduk kepada pengaruh pemikiran Barat, walupun masih memakai etiket Islam, ternyata mengaut ideologi atheis dan skeptis. Sedang jurang yang memisahkan mereka dari ulama Al Azhar, seperti jurang yang memisahkan ulama Al Azhar dengan Eropa.

” Pada hakekatnya, di antara pemuda Mesir yang telah masuk dalam asuhan pendidikan Barat dan mengalami brain washing, secara tidak disadari telah kehilangan nilai keislamannya. Setidaknya kehilangan unsur-unsur yang paling mendasar dari nilai dan norma agamanya. Secara berangsur ia akan dilucuti dari aqidah agamanya yang fundamental, sehingga tidak percaya lagi bahwa ia selalu berada di hadapan Tuhannya.

Yang dimaksud dengan pemuda Mesir yang telah masuk dalam pendidikan Barat di sini, An-Nadawi mencontohkan Qosim Amin dan Thaha Husein.

Qosim Amin
Ia adalah seorang tokoh pemikir yang terkenal sebagai penyeru emansipasi wanita di Mesir. Sebagai contoh yang sangat jelas dalam masalah ini, tergambar dari dua buah karyanya tentang feminisme yaitu “Tahrir al Mar’ah” dan “Al Mar’ah al Jadidah”.

Dalam bukunya yang pertama, ia mengupas empat masalah pokok, yaitu : masalah hijab, peran aktif wanita dalam mengurus kepentingan umum, poligami, dan masalah perceraian. Dalam semua masalah ini, dia cenderung mengemukakan pendapat yang sesuai dengan visi dan pandangan Barat, dengan selalu berusaha menjustifikasinya sebagai ajaran Islam.

Pengaruh nilai-nilai kebudayaan Barat, lebih terlihat eksplisit dalam bukunya yang kedua, yaitu “al mar’ah al jadidah”. Ia menandaskan perlunya sistem pendidikan baru ala Eropa, yang memiliki sikap kritis terhadap setiap pemasalahan, dan tidak menerima suatu apapun kecuali melalui bukti eksperimen dari berbagai fakta, sebagaimana yang dilakukan oleh para peneliti sosial Barat.

Pada bagian akhir buku ini, Qosim Amin menyerukan secara gamblang agar ummat Islam mengikuti peradaban Barat sepenuhnya, setelah terlebih dahulu menyebut betapa terpesonannya kaum muslimin dan bangsa Mesir khususnya terhadap warisan klasik.

Ternyata dengan terbitnya dua buku ini, membawa pengaruh besar terhadap gaya hidup wanita-wanita Mesir. Sehingga wanita-wanita Mesir selalu menuntut agar mereka diberi kebebasan dalam kegiatan, karya dan perjuangan, serta tuntutan emansipasi wanita makin kerap terdengar. Kaum wanita mulai menanggalkan hijab, mulai bergaul bebas dan mengadakan perlawatan ke manca negara tanpa merasa terikat lagi oleh norma-norma agama. Kondisi seperti ini masih berlaku di Mesir hingga sekarang.

Thaha Husein
Ia adalah seorang satrawan dan pujangga terkemuka di Mesir. Semenjak kecil ia sudah memiliki sikap kritis terhadap segala sesuatu yang dianggapnya bertentangan dengan pemikiran logis, ia pernah mengenyam pendidikan di Al Azhar. Namun karena sikap kritisnya itu ia tidak disukai oleh masyayekh Azhar pada waktu itu. Sehingga ia pindah ke Universitas Malik Fouad (Cairo university, sekarang) yang baru saja didirikan oleh imperialisme Inggris. Berkat kecerdasannya, ia mampu meraih gelar doktor dengan predikat sangat memuaskan. Atas dasar itu pula ia mendapat bea siswa untuk melanjutkan studi ke Universitas Sorbon di Perancis.

Dengan pola pendidikan Barat yang didapatkan oleh Thaha Husein dari Universitas Cairo dan Universitas Sorbon, hal ini sangat mempengaruhi pola fikirnya yang cenderung menjadi pengagum peradaban Barat dan menjadi penyerunya di Timur.

Malah dengan tidak segan-segan Thaha Husein menganjurkan bangsa Mesir agar memandang dirinya sebagai satu bagian dari Barat. Sehingga dikerahkannya segala karya dan penyelidikannya dalam masalah sejarah, untuk menetapkan bahwa otak Mesir adalah otak Eropa, bahkan mempunyai pertalian erat dengan otak Yunani. Begitu pula sebaliknya, bahwa otak Mesir jauh sekali dari pemikiran Timur. Maka ia tidak terpengaruh oleh bangsa Romawi, Arab maupun Islam.

Atas dasar inilah Thaha Husein mengajak orang-orang Mesir untuk memilki peradaban Barat sebagai peradaban mereka, dan bersekutu dengan orang-orang Barat dalam semua norma, cara, perasaan dan perundangan, karena bangsa Mesir masih satu rumpun keluaga dengan bangsa Eropa.

Terakhir ia mengatakan : “kita harus melangkah seperti orang-orang Eropa melangkah, kita tempuh jalan yang mereka lalui, agar kita dapat menjadi kawan serikat mereka dalam seni dan peradaban. Untuk itu kita harus selalu bersama mereka dalam baik atau buruknya, manis atau pahitnya, serta senang atau susahnya. Kita nyatakan kepada orang-orang Barat, bahwa kita melihat sesuatu sebagai mana mereka melihat, kita luruskan apa yang mereka luruskan dan kita bengkokan apa yang mereka bengkokkan, serta kita putuskan akan apa yang mereka putuskan.” Demikianlah sekelumit tentang pemikiran cendikiawan muslim yang menganut paham liberalis sekuler. Aliran pemikiran ini, terus dikembangkan oleh para pendukungnya hingga saat ini, yang senantiasa menjadi seteru bagi pendukung reformis Islami dan gerakan Islam kontemporer.


Reformis Islami

Di sini penulis persempit ruang lingkup pembahasan tentang reformis Islami ini hanya sebatas gerakan Ikhwanul Muslimun saja. Bukan bermaksud untuk menafikan kelompok reformis Islami lainnya, akan tetapi penulis memandang bahwa gerakan Ikhwanul Muslimun sangat representatif bagi seluruh gerakan reformis Islam kontemporer, karena boleh dikatakan bahwa ia merupakan suatu gerakan politik dan keagamaan terbesar di Timur Tengah saat ini.

Banyak pengamat politik berprediksi, bahwa Ikhwanul Muslimun merupakan sebuah pradigma pemikiran dan gerakan politik kontemporer yang mampu membangun kembali kekuatan politik ummat Islam. Hal itu tentu saja bila Al Ikhwan bisa berjalan secara wajar dan tanpa banyak rintangan yang berarti. Karena dalam realitanya, ternyata Ikhwan mampu mengumpulkan para pemikir dan tokoh-tokoh penting yang memiliki spesialisasi dalam berbagai bidang. Dan diharapkan, mereka-mereka inilah yang bisa mengisi kekosongan pemikiran di Timur, serta berhasil mendirikan masyarakat Islam yang kuat, baik dalam kepribadian, pemikiran dan kemasyarakatan.

Namun gempuran dari kekuatan-kekuatan sekulerisme dan sosialisme terhadap Al Ikhwan, menyebabkan dunia Islam sedikit kehilangan buah dari gerakan revolusi terbesar di belahan dunia sunni saat ini.

Seorang pengamat Barat benama W.C. Smith dalam bukunya “Islam in Modern History” dengan lugas mengatakan:

“Sekali-sekali tidaklah benar bila kita menganggap bahwa Al Ikhwan itu ortodox. Karena gerakan ini bangkit untuk suatu usaha yang patut mendapat penghargaan dan penghormatan. Mereka berusaha untuk membentuk suatu masyarakat Islam modern di atas prinsip-prinsip keadilan sosial dan cita-cita kemanusiaan. Al Ikhwan mampu untuk merubah Islam dari semangat kefanatikan para penganutnya -baik dalam pemikiran maupun secara praktis- menjadi suatu tenaga pendobrak yang mampu meretas jalan di tengah-tangah situasi dan kemuskyilan zaman kini. Dalam dakwah Al Ikhwan terdapat paradigma problem solving yang praktis dan efektif dari sebagian besar problematika sosial yang dihadapi masyarakat modern. Oleh sebab itu kita mengakui, bahwa gerakan Al Ikhwan akan senantiasa hidup dan berkembang, betapapun sengitnya cemeti ancaman dan tekanan kediktatoran.

Kebanyakan pengamat menganggap, bahwa Al Ikhwan merupakan kelanjutan dari gerakan tajdid yang dipelopori oleh Jamaludin al Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka menggambarkan hubungan tokoh-tokoh tajdid dengan gerakan ýAl Ikwan sebagai berikut: Afghani dan Abduh sebagai penyeru (muazzin), dan Hasan Al Banna sebagai pembangun (baani) kebangkitan Islam. Namun perlu dicatat bahwa pemahaman Islam Hasan Al Banna jauh lebih revolusioner dari pada toko-tokoh reformatif sebelumnya, berhubung bagi Al Banna Islam pada dasarnya adalah revolusi (tsaurah) melawan korupsi pemikiran dan korupsi hukum (fasad fil fikr wa fasad fil Hukum), revolusi menentang korupsi moral, revolusi terdahap monopoli (ihtikar) dan terhadap perampasan kekayaan rakyat secara sewenang-wenang (akhzul amwal an-nas bil bathil).

Menurut para tokoh Al Ikhwan, berbagai gerakan Islam sebelumnya tidak dapat berhasil adalah karena gagal memahami Islam sebagai suatu totalitas. Al Afghani melihat masalah dan mengumandangkan kebangunan Abduh berfikir dan mangajar Ridho mencatat dan menyimpan. Tetapi bagi Al Banna, para tokoh tersebut hanyalah menyentuh masalah-masalah keagamaan dan moral secara tidak tuntas, sehingga tidak memiliki pandangan komprehensif yang menjadi ciri khas Al Ikhwan. Islam yang dipahami Al Ikhwan adalah Islam salaf yang dieloborasikan dengan semangat revolusioner. Islam salaf mengajarkan bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat hanya dapat dicapai lewat Islam, dan intelek manusia tanpa bimbingan wahyu akan berjalan sesat dan menyeleweng dari jalan kemanusiaan yang benar.

Tanpa petunjuk wahyu, pikiran manusia dapat terjerumus ke arah ekstrem, sehingga kehilangan keseimbangan dan moderasi. Karena itu, dalam pandangan Al Ikhwan, seluruh ideologi sosial politik kontemporer yang merupakan produk intelek manusia yang lemah dan mudah sesat, sudah sangat jauh menyimpang dari jalan kebenaran. Pemisahan agama dan negara dalam konsep Al Ikhwan, sama sekali tidak dapat diterima, karena Islam adalah aqidah dan syari’ah, dien dan daulah. Islam adalah kesatuan organik yang utuh dan sempurna, sehingga hanya Islam saja yang dapat menjamin perjalanan kehidupan manusia sesuai dengan sunatullah. Disamping sebagai wahana untuk mengenal kebenaran metafisik, Islam juga merupakan sarana untuk menemukan prinsip-prinsip yang harus diikuti dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip ini tidak saja harus diikuti dalam bidang-bidang spritual, melainkan juga secara mandatori harus ditaati dlam masalah-masalah politik dan ekonomi.

Sebagaimana disinggung terdahulu, Islam yang dianut oleh Al Ikhwan adalah Islam salaf yang dipadukan dengan semangat revolusioner. Secara cukup luas kita dapat melihat wawasan Al Ikhwan dalam hal ini lewat tokohnya yang paling terkenal, yaitu Sayyid Qutb. Dalam kitabnya tafsirnya “fi zilal al quran”, Qutb memaparkan watak revolusioner Islam secara panjang lebar. Dari banyak urain yang dikemukakan Qutb, satu hal yang menarik adalah penolakannya bahwa semua perang dalam Islam adalah perang defensif. Justru kebanyakkan perang Islam adalah perang ofensif untuk menegakkan ajaran-ajaran tauhid, dan dalam hal ini Islam tidak mengenal kompromi.

Qutb menganjurkan agar kaum muslimin di seluruh dunia bekerja sama membangun Partai Revolusioner Internasional (al Hizb al Inqilabi al ‘Alami) untuk menghancurkan sistem sosial internasional non Islami yang ada, dan menggantinya dengan sistem Islami.

Kalau kita lihat lebih jeli ideologi Al Ikhwan, barangkali kita dapat menyebutnya sebagai suatu ideologi murni, bukan ideologi praktis. Ideologi murni adalah serangkain gagasan yang dihimpun untuk menunjukkan kepada para pendukungnya suatu pandangan dunia yang sadar dan terpadu, sedangkan ideologi praktis adalah serangkaian gagasan yang dapat memberikan kepada pendukungnya instrumen-instrumen rasional untuk melakuakan aksi atau tindakan. Mengingat hal ini, generasi muda Al Ikhwan masih perlu melanjutkan usaha para pendahulunya agar ideologi murni itu perlahan-lahan dapat menjadi ideologi praktis. Dan melihat potensi intelektual Al Ikhwan di Mesir dan di negara Islam lainnya. Harapan ini adalah cukup realistis.


Penutup

Bagi kita sebagai bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hendaknya lebih dituntut untuk memiliki sikap kritis dan selektif dalam menerima berbagai perkembangan aliran pemikiran itu. Karena kita mengetahui, bahwa sosio budaya suatu bangsa dan masyarakat tertentu, tidak akan bisa ditransfer begitu saja kepada sosio budaya bangsa lainnya. Oleh sebab itu, sebagai masyarakat muslim terbesar di dunia, hendaknya bangsa Indonesia mempunyai suatu standar khusus dalam usaha selektifitas arus transformsi pemikiran yang masuk ke Indonesia itu. Sebagai standar utamayang mutlak, tentu saja ajaran Islam yang universal dan komprenhensif itu sndiri, kemusiaan sosio budaya kita yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Aliran pemikiran tradisionalis Islami, yang diwakili oleh gerakan wahabiyah, bila kita simak kronologis sejarah dan inti ajaran dari gerakan wahabiyah ini muncul sangat dipengaruhi oleh inspirasi pemikiran Ibnu Taimiyah, seorang mujaddid besar pada abad ke 14 M. Sekalipun menurut Dr. M. Amin Rains, gerakan wahabiyah tidak sepenuhnya merupakan duplikat pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah itu.

Adapun berkenaan dengan aliran liberalis sekuler, ternyata dewasa ini tesis tentang sekulerisasi makin terdesak, dan bilamana diterapkan di dunia muslim, tesis ini runtuh dengan sendirinya. Bahkan bukan hanya di dunia muslim, di Amerika Latin pun yang mayoritas penduduknya beragama katholik, tesis sekulerisasi tidak mendapat dukungan yang empiris, sehingga asumsi-asumsinya menjadi sangat diragukan.

Di dunia Islam dapat saja secara sementara sekulerisasi yang dipaksakan bisa berhasil dipermukaan, akan tetapi sejarah menunjukkan bahwa gelombang- lebih besar yang lebih berakar dalam masyarakat Islam - akan memukul kembali arus sekulerisasi itu secara efektif. Satu-satunya negeri muslim yang pernah melancarkan sekulerisasi secara besar-besaran adalah Turki, di bawah pimpinan Kamal Atatruk dengan didukung oleh kekuasaan telanjang pemerintahannya. Namun sebagaimana kita ketahui, bangunan politik yang telah ditegakkan dengan susah payah oleh Atatruk itu kini telah porak poranda.

Islam tidak memberikan tempat bagi sekulerisasi, karena agama wahyu ini memang tidak mengenal dikotomi secara tegar antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, antara yang profan dan yang sakral, antara yang imanen dan yang trasendental.