Dilema Turki
    Oleh Agus Setiawan Sofwan

     

    Krisis di Turki nampaknya semakin serius. Pertentangan antara pihak militer dengan partai Refah, amarah rakyat akan kesulitan ekonomi menghiasi dilema yang dihadapi negeri At Taturk ini.

    Inti dari itu semua kembali kepada perkembangan terakhir di Turki, baik dalam skala nasional, regional, ataupun internasional. Yang pada pokoknya ialah pertentangan antara pendukung sekuler dan masyarakat Islami.

    Sekuler di Turki pada masa At Taturk sebenarnya hanyalah satu ikatan dari mata rantai hubungan Turki dengan Barat yang telah dijalin sejak abad ke delapan belas hijriah. Yaitu ketika khilafah Utsmaniayah berkuasa.

    Di kepemimpinan Kemal hubungan ini lebih dipertajam dan diperkuat. Diambilnya pelajaran tentang single partai, sistem perekonomian dari negara Soviet. Diadopsinya pemahaman sekuler, negara otokrasi -yang mana kewarganegaraan didasari oleh hak-hak individu bukannya hubungan darah ataupun agama- dari Perancis.

    Demikian pula Turki mengadakan kesepakatan -sebagaimana dituturkan oleh Ridha Nur, Menlu Turki- yang isinya: Kemerdekaan Turki, yang ditukar dengan dihapusnya sistem kekhalifahan dan keluarnya Turki dari negara-negara Islam, dibatasinya pengamalan ajaran Islam seperti libur hari Ahad, pelarangan adzan berbahasa arab, pelarangan terjemah Al Quran dalam bahasa Turki, pelarangan busana muslim, digantinya bahasa arab menjadi bahasa latin dalam ejaan Turki, pemberlakuan sistem sekuler.Untuk pengawasan perjanjian ini dilimpahkan kepada militer.

    Keintiman ini ditambah dengan ikut sertanya Turki dalam perjanjian dengan Barat serta hubungan kerjasama dengan Israel.

    Namun kondisi di dalam negeri memaksa Turki untuk melirik kembali akan keberadaan Islam. Karena dalam situasi persaingan antara Timur-Barat, yang mana Turki lebih condong ke Barat, membuat Turki harus mengambil tindakan preventif/jaga-jaga akan pengaruh sosialis Marxis. Nampaknya senjata Islamlah yang mampu membendung pengaruh ini.

    Fakta berbicara, pada pertengahan tahun tujuh puluhan Turki mencatat keberhasilan Islam dalam mengatasi permasalahan Cyprus dan krisis ekonomi dalam negeri. Turki saat itu memainkan kartu Islam dalam menuntaskan kasus Cyprus dengan negara Islam lainnya.

    Dan krisis ekonomi di Turki, yang menyebabkan terjadinya revolusi minyak mengharuskan Turki bergabung dengan munadzomah muktamar Islami. Juga pengukuhan UU tahun 1982 yang mewajibkan diajarkan materi agama pada sekolah dasar. Demikian pula orientasi pendidikan saat itu cenderung menjadikan Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari negara Turki. Serta dalam setiap kebijaksanaan, baik dalam maupun luar negeri.

    Walaupun Soviet telah runtuh, ditambah lagi gembar-gembor demokrasi, hal ini tidak mengurangi perasaan adanya jarak antara Turki dengan Barat. Karena ketergantungan Turki dengan Barat bukan menjadi kehendak seluruh rakyat. Pula bantuan politik yang diberikan Turki masih kurang cukup untuk membayar Turki menjadi bagian dari Uni Eropa.

    Walaupun 90% rakyat Turki adalah muslim, juga keberhasilan partai Islam dalam memberikan sumbangan kepada Turki namun bukan berarti menjadikan Turki sebagai negara Islam. Perkara ini tak lain karena perbedaan kepentingan dan keinginan. Ini paling tidak dikarenakan dua hal: Pertama, tidak adanya kata sepakat dalam tubuh Turki.Yang dalam hal ini slogan persaudaran Islam belum dapat membereskan permasalahan Kurdi. Kedua, kurang kuatnya pengaruh para Atrok/pendukung paham Kemal At Taturk dalam mewujudkan cita-cita mereka.

    Selanjutnya perubahan di sekeliling Turki memberikan muatan khusus dalam krisis ini. Adanya wilayah otonomi Kurdi di sebelah Timur Irak menambah berat konflik Turki dengan Kurdi. Penggunaan senjata yang dilegalisasi oleh partai buruh Kurdi memaksa militer Turki membuka kembali file-file Kurdi. Untuk selanjutnya dilimpahkan kepada militer.

    Selesainya perang dingin dan bubarnya Soviet turut mempengaruhi Turki. Karena negara Islam di Asia Tengah yang berasal dari pecahan Soviet tersebut ternyata aslinya adalah orang Turki. Pasal ini menjadikan Turki harus bermain dengan pihak Eropa tanpa melepaskan hubungan dengan negara-negara Islam di Asia Tengah. Perubahan dalam negeri ataupun luar negeri Turki memposisikan Turki pada tempat penting dalam perjanjian Atlanta. Walau demikian Turki tetap partner penting AS karena letak geografisnya. Juga karena adanya kepentingan AS terhadap Turki pasca perang dingin di wilayah Timur Tengah, yaitu menghadapi fundamentalis diwilayah Turki juga negara yang melindungi para fundamentalis, Iran. Kedua perkara inilah yang akan membuat AS dan Israel berfikir dua kali untuk memutuskan hubungannya dengan Turki.

    Selanjutnya posisi Turki untuk keluar dari perseteruan antara sekuler -yang diwakili oleh militer- dan kaum Islamiyin -yang diwakili oleh Refah- bukanlah hal yang mudah. Hal ini karena khilaf antara keduanya demikian dalam. Yang mana jalan revolusi kurang diperkenankan dalam mengatasi permasalahan ini. Khususnya AS menginginkan adanya stabilitas di Turki. Demikian pula kaum Islamiyyin belum begitu menguasai opini umum. Apalagi mengingat demokrasi yang begitu didengung-dengungkan, sehingga membuat Turki harus lebih hati-hati. Pihak sekuler masih menguasai pos-pos penting dalam birokrasi di Turki. Pula Islam masih belum dianggap mampu dalam menjalin hubungan luar negeri. Dan permasalahan lainnya ialah Turki masih mempunyai PR dalam kasus Kurdi. Yang mana untuk masalah ini Turki harus mengeluarkan dari koceknya sekitar tujuh sampai delapan milyar dollar Amerika setiap tahunnya. Juga pertentangan madzhab yang terjadi khususnya antara pembela Ali ra. dan kaum sunni. (Dari 12 juta orang Kurdi sebagian besar adalah pengikut Ali ra/Syiah, jumlah kaum Syii di Turki ialah sekitar 15 juta orang). Dari permasalahan dalam negeri yang ada berpengaruh kepada hubungan luar negeri Turki. Sedang dari permasalahan Kurdi dan perbedaan madzhab mengakibatkan perpecahan di daerah-daerah Turki.

    Permainan Turki yang melibatkan Barat dan Islam membutuhkan tawazun yang matang, dengan menimbang antara kesempatan dan bahaya yang akan diderita. Ini karena nampaknya Turki menginginkan keuntungan dari negara-negara Asia Tengah di satu sisi, juga dari pihak Barat di sisi lain. Yang mana ia harus mampu memuaskan pesanan para sekuler tanpa menyakiti negara Arab/Islam.

    Dan bahwasanya "aqidah dan sejarah" telah menggariskan itu semua. Turki tidak bisa terlalu berharap kepada Barat apalagi menggantungkan diri kepada mereka. Karena walaupun adanya kepentingan AS pada Turki tapi bukan berarti AS melepaskan Turki begitu saja tanpa pengawasan. Contoh saja dalam permasalahan kilang minyak Kourkouk di sebelah Timur Irak. Demikian pula kita lihat bagaimana Uni Eropa menyikapi Turki, yang masih saja menganggapnya sebagai negara berkembang. Tanpa memasukkan Turki ke Uni Eropa. Ditambah komentar Eropa tentang perlakuan Turki terhadap kaum Kurdi yang menurut mereka bertentangan dengan HAM. Juga masalah Armenia dll.

    Mengingat beratnya permasalahan di atas maka paling tidak Turki harus mampu meredakan kasus-kasus dalam negeri dahulu. Pertama-tama dengan mengatasi masalah Kurdi untuk selanjutnya membentuk tatanan kemasyarakatan baru. Kaum intelektual Turki mencoba memberikan solusi dengan "Sekulerisme Islamisme". Yaitu sekulerisasi negara, Islamisasi masyarakat. Dan hasil uji coba yang dilakukan Arbakan dengan partai Refahnya, juga pertentangan antara sekuler dengan kaum agama yang mendominasi rakyat Turki nampaknya menempatkan Islam sebagai alternatif dari krisis ini dan menjadikan sekuler tak banyak berarti.

    Sesungguhnya ia hanyalah solusi alternatif, namun Islam berlaku dalam setiap kesempatan.

    Wallahu A’lam