[  H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Pluralitas Agama

   Masalah kemajemukan agama di Indonesia merupakan
masalah peka. Ia sering dipandang sebagai "kendala"
persatuan dan kesatuan. Bahkan, dianggap sebagai salah
satu ancaman SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-
golongan) .
   Dalam suatu survei tentang "Kemajemukan Masyarakat
Jakarta" oleh Litbang Kompas pernah ditanyakan, "Manakah
yang paling membuat Anda tersinggung?" Sekitar 78,8 %
responden menjawab, "Jika agama Anda dilecehkan; 6,6
% jika pekerjaan Anda disepelekan; dan 4,4 % yang
tersinggung jika etnis Anda dihina.
  Sebenarnya, sejauh mana hubungan antaragama itu
memiliki potensi konflik yang membahayakan! Untuk
menjawab pertanyaan itu perlu masuk ke dalam jatidiri
agama itu sendiri. Seorang cendekiawan Masdar Farid
Mas'udi mengajak masyarakat memandang hakikat agama
dalam tiga tataran. Dalam terminologi Islam, yang pertama
adalah "hakikat", kedua "syari'at", dan yang ketiga
"tharikat". Pada tataran pertama, agama merupakan kesa-
daran azali yang bersumber pada bisikan ilahiyah dalam
hati nurani setiap manusia. Pada tataran kedua, agama
sebagai konsep ajaran atau doktrin yang ditimba dari
sumber wahyu kenabian. Ketiga, agama merupakan
aktualisasi dan pelembagaan dari kedua tataran tersebut.
  Sebagai kesadaran asali, suara ke-Tuhan-an yang
dibisikkan atau diilhamkan ke lubuk sanubari segenap
manusia di dunia, agama merupakan komitmen rohaniah
di satu sisi (ke dalam diri pribadi) untuk selalu berserah
diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Besar. Dan
di sisi lain (ke luar) merupakan komitmen untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran dan keindahan yang
tak berhingga. Komitmen pertama dapat disebut sebagai
komitmen spiritual, sedangkan yang kedua bisa disebut
komitmen moral. Kerinduan para sufi untuk meluhur-
leburkan kepada Tuhan dan perjuangan para mujahid
untuk menggelarkan kasih dan keadilan Allah secara
menyeluruh merupakan fungsi sejati agama dalam tataran
pertama ini. Semua agama dalam tataran ini sama, kecuali
yang bukan agama. Perbedaan nama, kitab suci, dan nabi
yang memperkenalkannya di hadapan agama ini tidak banyak
maknanya. Perbedaan itu hanyalah perbedaan bentuk dan
cara yang bersifat lahiriah, tetapi esensinya bersifat batiniah
yang tidak berbeda. Agama pada tataran esensial ini, agama
sebagai komitmen rohani adalah agama yang benar-benar
memahami, bahkan bisa saja malah mensyukuri pluralitas
dengan sesama. Tetapi, bukan berarti dalam tataran rohaniah
ini agama tidak mengenal konflik. Agama dapat menjadi
penganjur konflik yang sangat kuat tanpa mengdnal
kompromi. Hanya konflik yang mesti dipandang bukan
konflik instrumental antarsesama umat beragam karena
perbedaan bahasa dan cara tetapi konflik terhadap kekufuran,
yaitu keserakahan, kedzaliman, dan pengrusakan.
  Pada tataran kedua (syari'at), agama merupakan agama
formal yang hadir dalam kalam, wahyu, atau dalam wujud
konkretnya dalam "sabda-sabda kitab suci" bersama tafsir
nalar manusia yang mengimaninya. Pada tataran kedua
ini agama hadir kepada manusia melalui perantara, yaitu
bahasa, bahasa milik masyarakat manusia yang pertama
kali menjadi audiensnya; mantlsia mediator, utusan Allah
yang berbicara kepada masyarakat audiens dengan bahasa
perantara tadi. Berawal dari tataran syari'at yang formal
ini maka agama menjadi berbeda-beda. Agama Yahudi
dengan Taurat dan Nabi Musa-nya, Kristen dengan Injil
dan Nabi Isa; dan agama Islam dengan al-Qur'an dan Nabi
Muhammad-nya. Karena perbedaan dalam tataran ini tidak
bersifat esensial dan absolut, melainkan perbedaan instru-
mental (mediatorial) yang nisbi maka konflik yang terjadi
antaragama yang disebabkan oleh perbedaan ini
seharusnya disadari sebagai konflik yang tidak beralasan.
Semua nabi dan utusan Tuhan agaknya menyadari benar
bahwa mereka adalah teman sejawat dengan misi yang
sama.
   Agama dalam tataran ketiga sebagai realitas empirik
dan objektif dalam arena kehidupan masyarakat manusia
yang terpanggil untuk merealisasikannya. Agama sebagai
tharikat, agama pergumulan, praksis adalah agama yang
dengan inti kesadaran (hakikat) dan ajaran-ajaran (syari'at)
mewujud dalam bentuk tindakan sosial objektif dari
masyarakat manusia yang beriman dalam konteks ruang
dan waktu tertentu. Agama dalam tataran ini adalah agama
yang dapat diamati pada tingkah laku manusia perseorangan
maupun lembaga-lembaga kehidupan masyarakat, baik
dalam kehidupan ekonomi, politik, maupun budayanya.
Apa yang secara empirik dan objektif dilakukan oleh Nabi
Musa, Isa, dan Muhammad Saw dengan menggalang kelompok
manusia beriman pada zamannya (dengan institusi normatif
dan sosialnya) adalah bentuk konfigurasi yang terbaik dari
agama pada tataran ketiga ini. Dengan dasar kesadaran
rohani yang dipertajam dengan konsep kognitif wahyu
yang diterimanya, umat masing-masing utusan Tuhan itu
hadir dalam peta sejarah manusia sezaman sebagai kekiatan
yang secara kritis mempertanyakan nilai kekufuran beserta
kekuatan-kekuatan sosial (politik, ekonomi, maupun
budaya) yang menjadi pendukungnya. Dengan demikian,
agama-agama sebenarnya bukan suatu kekuatan yang
hanya menginginkan ketentraman, keheningan, harmoni,
dan status quo. Agama adalah kekuatan ilahiyah dan
rohaniah yang terpaku pada kesadaran paling dalam pada
diri setiap manusia yang penuh dengan desakan kritik
atau bahkan kalau perlu konflik. Akan tetapi, bukan konflik
"ke samping" dengan sesama umat beragama melainkan
konflik ke atas untuk menghadapi kekufuran yang biasanya
melekat pada kelas (ekonomi, politik, maupun budaya).
Masalahnya, pada tahap kesejarahannya masing-masing
sepeninggal nabi pembawanya, agama pada tataran ketiga
sebagai fenomena sosial yang empirik telah mengalami
distorsi hebat. Kelembagaan agama yang pada awalnya
merupakan sarana untuk mengejawantahkan kesadaran
rohaniah (kerinduan akan keilahian dan komitmen pada
keadilan dan kerahmatan semesta alam) berubah menjadi
wahana untuk mengaktualisasikan dan sekaligus memupuk
sentimen kelompok yang bersifat tertutup. Hal itu terjadi
saat para pengikut agama-agama itu mulai terjebak untuk
memutlakkan mediator (syari'at atau pembawanya) seolah-
olah hakekat itu sendiri. Sabda Allah (kitab suci) dan ma-
nusia yang bertugas menyampaikannya yang sebenarnya
merupakan instrumen bagi Allah, telah didistorsi oleh para
pengikut dengan memutlakkannya, sehingga seakan-akan
dianggap identik dengan Tuhan itu sendiri. Dalam Islam
hal itu terjadi terutama kepada mediator Kitab Suci
(syari'at)-nya, dan dalam I<risten hal yang sama terjadi
terutama pada mediator (nabi/lembaga Gereja) yang
membawakannya. Dengan demikian, agama yang pada
awalnya adalah komitmen kemanusiaan yang bersifat
substansial-inklusif bergeser menjadi komitmen "per-
kauman" yang bersifat eksklusif. Agama telah didefiniskan
dengan kitab sucinya, dengan tokoh pembawanya, bahkan
dengan sebutan madzhab atau aliran penafsirannya.
   Kemudian konsep jihad dari agama-agama juga
berubah. Apabila pada awalnya jihad agama-agama itu
adalah untuk menegakkan kasih dan keadilan, berubah
untuk menegakkan kebesaran kelompok sendiri dan
sekaligus kehinaan pesaing-pesaingnya, Lawan mereka
bukan lagi kekufuran yang didefiniskan sebagai "ke-
serakahan, kedzaliman, dan kesewang-wenangan", me-
lainkan kekufuran yang didefiniskan dalam wujud "orang-
orang yang secara formal mengikuti kitab suci (syari'at)
atau rasul yang berbeda. Atau bahkan "orang-orang yang
mengikuti nabi/kitab suci (syari'at) yang sama, tetapi
dengan madzhab penafsiran yang berbeda."
  Tidak mengherankan, bila perjuangan agama, setelah
terjadi distorsi, adalah bagaimana mempengaruhi orang-
orang yang berbeda keyakinan, agar secara sadar atau
setengah sadar mau bergabung dalam keyakinan sendiri.
Modus perjuangan agama ini bermacam-macam, sesuai
dengan kesiapan sumberdaya dan dana yang tersedia pada
masing-masing. Kalangan penguasa di Indonesia
sebenarnya telah meletakkan agama yang terdistorsi ini
pada tempat yang semestinya, yaitu sebagai kekuatan
destruktif dan disintegratif yang sejajar dengan problem
kesukuan, ras, dan golongan. Semestinya, dengan begitu
penganut agama mengetahui benar bahwa ia tidak hidup
sendiri tetapi penuh keyakinan bahwa yang lain harus
dikalahkan. Pada masa Orde Baru, pemerintah telah
mengajak (dan mungkin dengan menggertak) masing-
masing agama untuk bersedia hidup berdampingan dengan
yang lain. Ajakan hidup berdampingan, atau lebih populer
disebut kerukunan antarkelompok agama, yang diprakarsai
pemeuintah memang tampak beuhasil. Sejauh dibanding-
kan dengan negara lain, seperti India, Inggris, atau Yugo-
slavia, konflik yang mengakibatkan sentimen relatif
terkendali. Tetapi, bagaimana keadaan itu dapat terus
dipertahankan? Begitu mudahnya orang disulut karena
masalah agama. Hasil jajak pendapat di Harian Kompas
memberikan warning bahwa masyarakat Indonesia
gampang tersinggung bila agama mereka dilecehkan. Jadi,
masalah kerukunan beragama ini merupakan masalah yang
sangat sensitif, tetapi harus dibicarakan dalam rangka
membangun masyarakat sipil yang kuat. Upaya yang harus
dilakukan tidak cukup hanya sekadar upaya politik, tetapi
juga upaya teologis. Upaya politik sandarannya pada
kekuasaan atau kekuatan luar, sedangkan upaya teologis
bersandar pada iman masyarakat itu sendiri; Untuk itu,
harus dilakukan pemasyarakatan pemahaman agama dalam
tiga tataran tersebut. Dengan pemahaman itu, masyarakat
akan sadar mana yang hakikat, syari'at, dan mana yang
"hanya" tarekat. Syari'at merupakan mediator yang me-
nengahi agama tataran pertama yang bersifat universal-
abadi (kesadaran rohani, iman) dengan agama pada tataran
ketiga yang bersifat partikular dan nisbi (kelembagaan aksi,
amal). Dengan pemahaman seperti itu, semestinya umat
beragama secara perlahan-lahan membenahi persepsi
mereka bahwa doktrin kitab suci (syari'at) bukanlah sesuatu
yang bersifat mutlak dan abadi secara par excellent.
Kemutlakan serta keabadian kitab suci bukan terletak pada
huruf dan kosa kata yang dipakainya, melainkan pada
nilai spiritual-moral yang dikandungnya. Lembaga ke-
agamaan yang eksklusif dan tertutup hanyalah lembaga
ritual (ibadah mahdlah) yang memang hanya melibatkan
orang-orang yang percaya. Lembaga keagamaan sebagai
wahana yang mengikuti kehidupan soaial-lahiriah untuk
mengaktualisasikan komitmen moral pada dasarnya adalah
lembaga terbuka, seiring dengan terbukanya komitmen
moral itu sendiri. Dengan pemahaman konsep kelembaga-
an agama itu, maka usaha untuk mengkotak-kotakkan
lembaga kehidupan (mulai negara, partai, ormas, hukum,
pendidikan, atau pers) dengan atribut-atribut keagamaan
tertentu pantas diwaspadai. Bahwa umat beriman dan
beragama mengemban tugas suci untuk mengagamakan
lembaga-lembaga kehidupan itu memang benar. Tetapi,
bukan dalam arti semata-mata membubuhkan atribut for-
mal, tetapi lebih-lebih dengan cara memberikan ke dalam
lembaga itu muatan-muatan moral (kasih dan keadilan
semesta) yang menjadi keprihatinan seluruh umat manusia.
   Dakwah keagamaan juga harus ditinjau kembali.
Dakwah keagamaan harus dikembalikan pada maksud
substansial-kualitatif dan bukan kuantitatif. Dengan kata
lain, dakwah agama bukan diartikan sebagai upaya me-
nambah anggota komunitas kelompok tertentu, melainkan
upaya penyadaran manusia untuk kembali pada komitmen
spirtual dan moral. Komitmen itu bersifat rohaniah yang
secara fitri ada dalam diri setiap manusia. Hanya dengan
proses dekonstruksi dan redefinisi seperti itu akan ada
harapan bahwa agama akan kembali pada kodratnya.
Agama bukan sebagai kekuatan yang hanya disejajarkan
dengan sentimen kesukuan dan ras (SARA), tetapi yang
lebih pokok lagi merupakan sebuah kekuatan ilahiah yang
mengilhami manusia untuk bekerja sama menegakkan
kasih dan keadilan di dunia. Di samping masalah
konseptual itu, dalam jangka pendek sekarang ini para
pemuka agama dan penganut agama harus terus-menerus
mempererat tall silaturahmi antarsaudara yang beragama
lain. Tall silaturahmi itu akan menjadi penangkal terhadap
isu karena informasi yang keliru dan kecenderungan untuk
saling mencurigai satu sama lain. Kegiatan sosial bersama
dapat menjadi semacam common platform dengan usaha-
usaha nyata memerangi masalah kemiskinan, keamanan,
bencana alam, kenakalan remaja, dan penyakit sehingga
dapat lebih mempererat tall persaudaraan. Dengan
kegiatan-kegiatan itu akan terbangun solidaritas sosial atas
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  Untuk meneguhkan kerukunan antarumat beragama
dan untuk mengeliminir friksi-friksi antaragama, PKB
menumbuhkan dan mengembangkan sikap keberagaman
yang inklusif dan toleran melalui bentuk-bentuk dialog
antar iman secara otentik. Inklusivisme dan toleransi
beragama yang dikembangkan oleh partai adalah inklusi-
visme dan toleransi sejati yang sungguh-sungguh hidup
sebagai semangat berdemokrasi dan mempertinggi derajat
kemanusiaan, bukan inklusivisme dan toleransi sebagai
retorika harmoni sosial.
 


www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir