[  H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Bab 6

MEMBANGUN PERSAUDARAAN SEJATI


Partai politik: harus menjunjung tinggi etika dan
moralitas yang bersumber pada spiritualitas
kebangsaan yang otentik: Indonesia
(Garis Perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa)

       Orang mudah mengucapkan dalam pidato atau
ceramah, "Saudara-saudara, sebangsa dan se Tanah Air."
Namun, makna kata-kata itu kurang dihayati. Kata
"saudara" seakan-akan hanyalah hiasan bibir saja (lips ser-
vice). Makna itu tertutup oleh kategori-kategori "politik",
seperti suku, ras, agama, atau golongan. Padahal,
persaudaraan itu universal. Dia tidak mengenal perbedaan.
Selama menjadi sesama manusia, seseorang sebetulnya
saudara. Persaudaraan juga menjadi salah satu sokoguru,
tiang penyangga berbangsa dan bernegara. Orang Perancis
mengatakan, liberte, egalite, fraternite. Maknanya,
kemerdekaan dan persamaan itu nantinya bermuara pada
persaudaraan. Satu sama lain saling mengayomi dan
meyayangi, sehingga semua orang merasa at home. Orang
menghubungkan keadaan masyarakat Indonesia masih
dikuasai oleh state (lembaga negara) dan belum menjadi
suatu civil society (masyarakat sipil). Konsep itu sebetulnya
digunakan untuk menandai masa transisi dalam masyarakat
Barat. Transisi antara "masyarakat alamiah" (natural soci-
ety) dan "masyarakat politik" (political society). Masyarakat
alamiah tercipta saat orang belum mengenal hukum,
norma, dan tatanan hidup bersama dengan akibat anarki
dan kesewenang-wenangan mereka yang kuat. Dalam
masyarakat politik, terjadi interaksi yang dinamis antara
pelaku politik dan lembaga politik. Keduanya bersaing
untuk tampil sebagai pemimpin, menjadi penguasa negara
dalam seluruh aspek administratif, birokrasi, hukum dan
perundangannya. Civil society atau sering disebut sebagai
"masyarakat beradab" tercipta ketika masyarakat telah
mengenal, menghormati, dan melindungi hak-hak asasi
manusia, balk hak-hak sipil maupun hak politik
masyarakat. Dalam kaitan hubungan antara masyarakat
dan negara (state) civil society berkembang sebagai teori
anti-dominasi dan anti-hegemoni negara atas masyarakat.
Alfred Stephan mendefinisikannya sebagai "arena tempat
terdapat banyak sekali gerakan sosial (seperti persatuan
atas dasar kekerabatan, perhimpunan wanita, kelompok-
kelompok agama dan organisasi cendekiawan) dan
organisasi kemasyarakatan (civic organization) dari berbagai
golongan dan kelompok profesi (seperti persatuan
wartawan, sarjana hukum, serikat pekerja, atau organisasi
pengusaha). Mereka berserikat di dalam suatu tatanan agar
dapat menyatukan diri dan memperjuangkan kepentingan-
nya. Pada akhirnya, mereka tidak hanya memperjuang-
kan kepentingan diri dan kelompoknya, tetapi memper-
juangkan kehidupan negara yang demokratis atau me-
negaskan bahwa kedaulatan itu benar-benar di tangan
rakyat atau masyarakat. Di Amerika, misalnya, orang
dengan mudah mendukung Partai Demokrat pada pemilu
tahun ini, meskipun pada pemilu sebelumnya memilih
Partai Republik. Di Indonesia, kalau ada orang yang
berpindah-pindah seperti itu akan mudah dicap plin-plan
atau tidak punya pendirian. Padahal orang mendukung
suatu partai karena ada alasan substansial misalnya program
dan pendirian partai itu dinilai cocok atau relevan untuk
menjawab permasalahan negara saat ini. Partai dalam
"masyarakat politik" benar-benar menjadi sarana dan
representasi kehendak masyarakat. Partai bukan untuk
memisahkan masyarakat dari "kaum sana" dan "kaum sini",
tetapi benar-benar menjadi mekanisme artikulasi kehendak
masyarakat.
  Memang menjelang akhir Orde Baru bentuk-bentuk
gerakan massa telah meluas namun agaknya masih bersifat
parsial, terkotak-kotak dalam kantong-kantong
kepentingan yang eksklusif. Gerakan massa dalam bentuk
partisipasi politik tidak terkontrol dengan balk, sehingga
belum menghasilkan koalisi yang memiliki kekuatan besar.
Salah satu aliansi yang pernah terjadi adalah sejumlah LSM
yang mendukung perjuangan Megawati Soekarnoputri
dalam kasus 27 Juli 1996. Mereka membentuk MARI (Majelis
Rakyat Indonesia) yang menunjukkan kelemahan kekuatan
aliansi itu untuk menghasilkan perubahan berarti. Beberapa
di antara mereka terancam untuk diadili dan salah seorang
di antaranya adalah Muhtar Pakpahan yang malah dije-
bloskan ke penjara. Gerakan massa yang cukup kuat adalah
massa mahasiswa yang mencapai klimaksnya ketika
menduduki gedung MPR/DPR dan berhasil memaksa
Presiden Soeharto menyatakan berhenti dan menyerahkan
tongkat kepemimpinanya kepada Habibie. Tetapi, setelah
itu agenda reformasi seakan-akan mandeg. Ternyata, Orde
Baru masih kuat bahkan tampaknya masih dapat
memaksakan kehendaknya lewat pembahasan sejumlah
UU Politik. Kubu reformis seakan-akan mengalami jalan
buntu. Ternyata, kohesivitas gerakan reformasi masih reng-
gang. Tampaknya, sejarah perjuangan masa kolonial
kembali terulang. Kekuatan perjuangan, dari Tjipto
Mangunkusumo, Tjokroaminoto sampai Soekarno dengan
mudah dipatahkan. Para sejarawan menggarisbawahi
adanya proliferasi masyarakat Indonesia akibat ke-
majemukan suku, ras, golongan (isme), dan agama.
Pemerintah kolonial dengan, atau tanpa politik "Adu
Domba", akan dengan gampang mengalahkan gerakan
kebangsaan. Dinamika internal kemajemukan bangsa
menjadikan kesatuan masyaraBat menjadi barang yang sulit
dijangkau. Siapa yang nanti maju sebagai calon presiden
mendatang saja sudah dapat menimbulkan perdebatan
yang berkepanjangan, apalagi dapat sepakat tentang
masalah strategis ke depan yang penting. Susahnya lagi,
masalah strategis itu sangat mendesak. Tetapi, masyarakat
tidak boleh menafikan ikhtiar atau usaha yang mungkin
harus dilakukan dengan kerja keras. Pertumbuhan bangsa
Indonesia secara demokratis dan sosiologis tidak dapat
dihindari. Partai-partai yang mengaku Islam pun tanpa
kecuali, pada waktu dideklarasikan selalu menyempatkan
diri menyebut bahwa partainya terbuka untuk nonmuslim.
Hal itu tidak mungkin terjadi pada tahun 1950-an. Bisa-
bisa yang berani mengatakan seperti itu dituduh kafir. Segi-
segi positif itu harus dilihat juga supaya tidak terlalu pesimis
terhadap perkembangan reformasi.
  Dalam rangka menegakkan masyarakat sipil ini, partai
dengan jajaran pimpinannnya menduduki peranan sentral.
Dalam perkembangan politik di Tanah Air yang demikian
pesat sepertinya partai-partai harus bekerja keras dan
berpacu dengan waktu. Partai bukan tujuan, tetapi sarana
membangun persaudaraan antarsesama warga. Persaudara-
an itu selalu digairahkan dan dihangatkan lewat kegiatan-
kegiatan politik. Bukankah politik itu dilakukan untuk
kebaikan masyarakat? Artinya, bagaimana menjadikan
masyarakat semakin demokratis, semakin adil, menjunjung
tinggi supremasi hukum dan menjamin pelaksanaan hak-
hak asasi manusia. Tetapi, perjuangan itu tidak mudah.
Menurut saya, dalam politik perhitungannya adalah
kemungkinan, the art of the possible. Dia harus berusaha
menentukan arah bilamana tidak ada arah, atau suatu
kalkulasi bahwa tidak ada yang bakal tetap berlangsung
tanpa perubahan. Perhitungan ekonomi baru bisa dibikin
kalau ada kepastian, paling tidak ada kondisi atau prasyarat
yang memungkinkan. Namun, perhitungan dalam politik
justru harus dibuat atas dasar ketidakpastian. Langkah yang
harus dilakukan untuk menegakkan persaudaraan, adalah
membangun kembali platform kebersamaan kita sebagai
bangsa. Dalam kaitan dengan masalah itu, bagi NU plat-
form itu telah dirumuskan dalam tiga persaudaraan, yakni
persaudaraan antarumat Islam (Ukhuwah Islamiyah),
persaudaraan antarbangsa (Ukhuwah Wathoniah), dan
persaudaraan antarmanusia (Ukhuwah Insaniah/Basyariah).
Tetapi, dalam diskursus anak-anak muda NU, selain tiga
ukhuwah tersebut masih ada satu ukhuwah lagi yang
mereka sebut sebagai persaudaraan antaragama (Ukhuwah
Diniyah) .
 


www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir