[  H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Pemilu: Ruang Perubahan

Salah satu agenda nasional yang besar adalah melakukan
reformasi lima paket UU Politik, yaitu UU tentang Pemilu,
Parpol/Golkar, DPR/MPR, UU lembaga kepresidenan.
Bagaimana melangsungkan pemilu yang benar, jujur, dan
adil? Itu masalah besar. Lihat saja situasi menjelang Pemilu
1997, di mana kekuatan negara begitu aktif mengeluarkan
peraturan, misalnya Keputusan Presiden No. 99/1996
tentang Penyelenggaraan Kampanye Pemilu; Keputusan
Menteri Dalam Negeri/Ketua LPU No. 7/1997 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemilu 1997; Surat Keputusan
Menteri Penerangan No. 012/Kep/Menpen/1997 tentang
Penggunaan Siaran Radio dan siaran Televisi dalam
kegiatan kampanye; serta Petunjuk Lapangan Kapolri No.
01/I/1997 tentang Pemberian Surat Keterangan Penyeleng-
garaan Kampanye Pemilu 1997. Melihat deretan aturan itu
saja orang sudah melihat kampanye itu sebetulnya hanya
permainan, semacam katarsis-lah atau pelepasan emosi
masyarakat. Lewat kegiatan itu akan timbul kesan bahwa
memang ada persaingan politik. Saya yang pada waktu
itu ikut berkampanye di Jawa Tengah juga merasakan
tekanan itu. Tetapi, di lawa Tengah ada fenomena Mega-
Bintang sebagai ungkapan kejengkelan orang terhadap
dominasi pemerintah.
   Bagaimana Pemilu 1999? Siapa pun yang mencoba
memprediksi wajah politik Indonesia di tahun mendatang
akan sulit memperoleh gambaran yang jelas. Namun,
berdasarkan rentetan peristiwa yang terjadi pada tahun
1998, umumnya semua pesimis dan khawatir kekerasan
akan semakin dahsyat. Terakumulasi suasana ketidak-
puasan yang mengarah pada situasi chaos dan anarkis ini
tidak bisa dilepaskan dari semakin kuatnya rasa tidak
percaya masyarakat terhadap pemerintah dan ABRI.
Merebaknya peristiwa-peristiwa kekerasan di sepanjang
tahun 1998 dan tidak tuntasnya pengusutan berbagai kasus
pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan
semakin memperkuat asumsi bahwa ABRI seakan bingung
dalam menjalankan fungsi utamanya sebagai penegak
keamanan dan pelindung rakyat
   Berbagai kebijakan "potong kompas" yang dikeluarkan
pemerintah untuk mengatasi situasi krisis di bidang
keamanan mengingatkan banyak pihak tentang cara-cara
serupa yang dipakai rezim Orde Baru. Sulit untuk
mengabaikan pemikiran bahwa kemunculan Pam Swakarsa
adalah untuk "dihadapkan" dengan demonstrasi
mahasiswa, meskipun pemerintah berkali-kali menegaskan
bahwa kehadiran mereka demi pengamanan Sidang
Istimewa MPR.
  Dibentuknya Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem
Hukum (DPKSH) juga sulit dilepaskan keterkaitannya
dengan keberadaan Bakorstanas (Badan Koordinasi
Stabilitas Nasional) di zaman Orde Baru. Bahkan gagasan
untuk menciptakan "Rakyat Terlatih" (Ratih) dikhawatirkan
hanya akan mendorong potensi terjadinya perang saudara.
Semuanya itu menimbulkan pertanyaan tentang
kesanggupan pemerintah dalam memanajemen konflik dan
krisis. Pengamat politik Soedjati Djiwandono dalam sebuah
seminar mensinyalir bahwa penanganan konflik saat ini
cenderung dilakukan dengan menumbuhkan konflik baru.
Akibatnya, terjadilah konflik horisontal yang makin hebat,
dan menimbulkan korban yang lebih besar.
  Keprihatinan saya sekarang adalah terjadinya degradasi
etika yang terjadi di tengah masyarakat. Setelah mengalami
ingar-bingar euforia politik, interpretasi masyarakat ter-
hadap kebebasan mulai mengarah pada situasi yang
mengabaikan hukum. Penjarahan, pembakaran, peng-
royokan, pembunuhan, pembegalan, dan tindakan main
hakim sendiri, berlangsung di sejumlah tempat. Masya-
rakat menyiksa sampai mati, misalnya, seorang pencuri
sepeda motor yang tertangkap basah. Bahkan, di Malang
sambil bersorak sorai masyarakat memenggal kepala
orang yang diduga ninja pembantai dukun santet dan
mengaraknya keliling kota.
   Hal sepele juga bisa menyebabkan amuk massa dan
melebar menjadi kerusuhan yang bernuansa suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA). Sulit untuk menjelaskan,
balk secara sosiologis maupun psikologis mengapa
masyarakat Indonesia yang dikenal ramah dan toleran itu
bisa menjadi demikian beringas dan tidak beradab. Salah
satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa masyarakat
tidak pernah mengalami pendidikan politik dalam arti
berpolitik secara ksatria. Selama tujuh kali pemilu pada
zaman Orde Baru, rakyat disuguhi dan diajari hal-hal yang
paradoksal. Mereka dipaksa untuk menghayati nilai-nilai
luhur Pancasila, namun di sisi lain mereka diajari untuk
menghalalkan segala cara, termasuk menipu, menyogok,
dan mengancam-untuk memenangkan salah satu
kontestan pemilu. Rakyat dijejali slogan tentang demokrasi
dan keadilan, tetapi mengkritik presiden saja pada masa
itu dapat masuk penjara. Akibatnya, rakyat ingin menang-
nya sendiri. Mereka tidak pernah belajar untuk menerima
kekalahan secara ksatria. Mereka juga tidak pernah
menghormati perbedaan pendapat. Cendekiawan
Nurcholish Madjid bahkan pernah mengusulkan bahwa
sudah saatnya bangsa Indonesia dididik untuk berani kalah
dan menghormati yang menang. Pandangan Cak Nur yang
jauh ke depan sudah memberi peringatan bahwa bila
pendidikan politik itu tidak segera dilaksanakan maka hal
itu akan berbahaya bagi pemerintahan baru mendatang.
Apa jadinya bila partai-partai politik peserta pemilu tidak
bisa menerima kekalahannya dan tidak setuju terhadap
presiden terpilih'
  Seharusnya, momentum pembahasan rancangan
undang-undang bidang politik dapat dijadikan "tonggak
sejarah" menuju masa reformasi sekaligus mengurangi
ketegangan akibat kegoncangan politik. Dengan rasa
hormat kepada para anggota DPR yang saat ini masih
bekerja keras, kesepakatan-kesepakatan sementara yang
sudah dicapai ternyata menunjukkan betapa senjangnya
apa yang menjadi pergulatan di Gedung DPR dengan
realitas politik yang bergolak di luar gedung. Sikap Fraksi
Karya Pembangunan yang bersikeras bahkan beberapa
anggotanya mengancam akan melakukan voting agar
pegawai negeri sipil (PNS) bisa menjadi anggota maupun
pengurus partai politik, menunjukkan bahwa angin per-
ubahan itu memang belum sampai di tataran sikap, apalagi
dalam bentuk kemauan politik. Juga kesepakatan tentang
diperbolehkannya pengerahan massa selama kampanye
adalah sangat mengherankan mengingat hal itu telah
menjadi keprihatinan masyarakat yang sejak lama terteror
aksi-aksi massa. Tidak berlebihan bila banyak orang mem-
pertanyakan wakil rakyat itu memiliki sense of crisis atau
tidak?
  Dengan kondisi yang serba rentan tadi--mulai dari
tingkat pengambil kebijakan sampai masyarakat di tingkat
bawah, termasuk perangkat perundang-undangannya-
siapkah Indonesia menghadapi Pemilu 1999? Persoalaannya,
memang bukan sekadar siap atau tidak. Ketua Umum
PBNU Abdurahman Wahid menegaskan, sebopeng apa
pun bentuknya, pemilu nanti tetap harus berlangsung.
Karena hanya melalui pemilu terbuka, demokratis, jujur,
dan adil, Indonesia akan menjadi sebuah negara dengan
pemerintahan yang bisa diterima rakyat.
  Hal pelik yang harus diantisipasi adalah meminimalisir
kemungkinan terjadinya tindak kekerasan sebelum dan
sesudah pemilu. Kekhawatiran itu beralasan karena
bentrokan-bentrokan yang terjadi akhir-akhir ini. Sebut
saja di Desa Kecamatan Banjar, Buleleng, Ball 10-12
Desember 1998 antara pendukung Golkar dan PDI Per-
juangan yang menyebabkan enam orang tewas dan
puluhan luka-luka. Bentrokan juga terjadi pada pekan yang
sama di Brebes, Yogyakarta, dan Ponorogo dengan
puluhan orang luka-luka, sejumlah kendaraan dan bangun-
an rusak. Sampai saat ini Kepolisian RI memang belum
memiliki format yang jelas mengenai sistem pengamanan
pelaksanan kampanye karena pihak Polri masih menunggu
RUU Politik yang mengatur tentang peserta pemilu
mendatang, khusunya mengenai jumlah partai yang ikut
pemilu dan bentuk kampanye yang dipakai. Sejumlah
pemimpin partai politik jauh-jauh hari sudah menganjurkan
agar kampanye pemilu tidak dilaksanakan dengan
pengerahan massa.
  Dalam dialog antarpartai tentang pemilu awal
Desember 1998 di UGM Yogyakarta hampir sebagian besar
parpol mengusulkan agar kampanye tidak dilaksanakan
dengan rapat umum, pengerahan massa, dan pawai
kendaraan bermotor. Mereka lebih memilih kampanye
lewat media massa dan atau cara-cara yang tidak me-
nimbulkan kerawanan. Sekarang ini terpulang pada
anggota DPR yang sedang membahas RUU Politik apakah
mereka cukup peka terhadap aspirasi ini.
  Masalah krusial lain adalah penyelengaraan pemilu
yang fair. Salah satu elemen yang dibutuhkan adalah badan
pengawas pemilu yang independen dan kredibel. Namun,
siapakah yang dapat mengawasi sekitar 300.000 kotak suara
yang tersebar di wilayah Indonesia! Hanya jaringan instansi
seperti perguruan tinggi yang paling memungkinkan
memiliki sumber daya mananusia yang diharapkan.
  Pada awal November 1998 sejumlah alumni dan sivitas
akademika UI mengumumkan pembentukan Komite
Pemantau Pemilu Jaringan Universitas (KPPJ). Gagasan
serupa juga muncul dengan kehadiran Pemantau
Independen Pemilu Indonesia (PIPI) yang anggotanya
terdiri dari para alumni perguruan tinggi swasta dan negeri
yang tergabung dalam Badan Kerja Sama Ikatan Alumni
Perguruan Tinggi se-Indonesia (BKS-Ikaptisi). Meskipun
semua tampak tergesa-gesa, semangat untuk ikut serta demi
masa depan yang lebih balk patut disyukuri.
 


www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir