[  H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Pemimpin dan Kritik

   Sering orang membanggakan nilai-nilai kebudayaan In-
donesia. Seal berbudi luhur, lemah lembut, atau soal
bangsa yang ramah. Pegawai negeri sipil disebut sebagai
"abdi negara" atau ABRI sebagai "bahyangkari negara."
Pemuda disebut "generasi penerus" atau "bunga bangsa"
Tetapi, rakyat disebut secara salah dengan istilah "massa
mengambang" (floating mass) yang berdaulat (dalam
pemilu lima tahun sekali)! Rakyat di anggap mudah
direkayasa, mudah digerakkan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Siapa pihak yang tak bertanggung
jawab itu? Acap kali saya dan masyarakat luas tidak puas
dengan penjelasan resmi tentang "siapa"-nya tetapi yang
jelas pasti Lukan pemerintah yang sah itu. Paling-paling
hanya oknum atau provokator.
  Mengenai konflik horisontal ini juga masalah. Sekarang
kita lihat, di satu sisi Habibie bertahan untuk memerintah
yang seakan-akan selalu mengatakan dengan pendekatan
formalitas, yaitu mampu menyerap dan melaksanakan
aspirasi masyarakat. Misalnya, tuntutan-tuntutan mahasiswa
tentang pengusutan Soeharto. Mungkin secara formalitas
boleh, tapi orang mempertanyakan apa dan bagaimana
kelanjutan dari Keppresnya itu?
  Contoh lain dalam mengusut kasus penculikan melalui
Mahkamah Militer. Tujuannya mencari akar permasalahan
atau sekadar menunjukkan bahwa pengadilan itu ada. Lha,
kesan selama ini pengusutan memang ada, pemanggilan
ada. Tetapi tidak bermaksud untuk lebih jauh menyelesai-
kan masalah yang dituntut itu.
   Sayang sekali, hingga kini belum dibangun suatu sistem
sebagai sarana untuk melakukan aktuliasasi nilai-nilai luhur.
Sementara nilai-nilai yang harus diaktualisasikan itu tidak
dilindungi dan difasilitasi dalam undang-undang. Nilai-nilai
itu hanya "hiasan bibir" (lips service) saja. Mau menyampai-
kan pendapat harus "bebas dan bertanggung jawab."
Aspirasi harus disampaikan ke saluran resmi di DPR dengan
mekanisme fraksi dan komisi. Masalah suksesi pimpinan
nasional merupakan mekanisme di MPR. Orang harus
mengikuti keputusan majelis yang anggotanya banyak
diangkat oleh presiden. Akibatnya, komponen-komponen
demokrasi dalam struktur menjadi mandul dan lebih
berfungsi sebagai sarana state control dan social engineer-
ing. Saluran-saluran yang seharusnya menjadi saluran
aspirasi rakyat, mampat. Organisasi yang seharusnya
menjadi sarana perjuangan rakyat tidak lagi berorientasi
populis tetapi berorientasi ke atas lewat instruksi, petunjuk
pelaksanaan, atau restu yang diberikan. Organisasi seperti
itu akan ditinggalkan rakyat. Rakyat sebagai pihak yang
kalah atau menjadi korban kekuasaan menjadi makin lemah
karena tidak ada yang menyuarakan.
  Salah satu contoh yang paling jelas adalah soal
"Pernyataan Keprihatinan 1 Juli 1996". Saya bersama
beberapa tokoh menyerahkan pernyataan itu kepada Ketua
DPR/MPR pada waktu itu Wahono. Isi pernyataan itu
tentang keprihatinan terhadap situasi bangsa akhir-akhir
ini. Persatuan bangsa, kedaulatan rakyat, dan keadilan
sosial semakin menjauh dari cita-cita bangsa. Kekerasan
cenderung meningkat, bahkan telah merasuki kehidupan
politik. Seharusnya, saya kan mendapat hadiah, tapi kok
malah disalahkan. Ini bukti bahwa di negara ini memang
ada masalah. Hal itu saya tegaskan kepada kawan-kawan
wartawan setelah bertemu dengan Ketua F-PP DPR
Hamsah Haz di Jakarta. Menurut Hamzah, persoalan bukan
pada materi pernyataan tersebut, tetapi sebagai anggota
DPR mempunyai saluran konstitusional untuk menyatakan
pernyataan politiknya, yaitu DPR. Jadi, bukan soal esensi
materi pernyataan itu. Ini aneh! Dalam pertemuan itu Ketua
F-PP menerangkan bahwa peringatan terhadap diri saya
hanyalah pernyataan kepada pihak pemerintah bahwa
F-PP tidak tahu menahu dengan sikap politik saya. Kegiatan
saya di luar fraksi adalah sikap pribadi saya. Malah Hamzah
menjelaskan bahwa laporan itu harus diberikan agar F-PP
tidak dicap mbalelo oleh pemerintah. Penjelasan itu
semakin membuat saya prihatin karena tindakan itu akan
memperkuat citra bahwa fraksi di DPR adalah alat
Pemerintah, bukan alat perjuangan rakyat. Hamzah me-
nangkis tindakannya dilakukan karena tekanan
pemerintah, tetapi murni inisiatif pimpinan fraksi. Lha,
saya tidak nanya begitu kok dia pasang kuda-kuda. Benarlah
yang dikatakan Arief Budiman, kekuasaan bukan hanya
dari luar (dari pemerintah yang berkuasa) tetapi juga dari
dalam. Ini semakin membuktikan bahwa kedaulatan rakyat
memang sudah scmakin jauh dari cita-cita demokrasi
Pancasila.
  Soal kritik terhadap pemerintah patutlah diberi catatan.
Mengapa para pemimpin kita enggan dikritik? Kritik yang
disampaikan bisa-bisa dicap makar. Masyarakat belum biasa
memilahmilah peran para pemimpinnya. Kcpemimpinan
bisa dilihat dalam substansinya, misalnya Ieyasu Tokugawa
dipandang hebat karena substansi kepemimpinannya atau
capaian-capaiannya berupa modernisasi Jepang. Selain
substansi juga bisa dilihat gayanya. Karena perbedaan
dalam pola kepemimpinan tidak berarti perbedaan dalam
substansinya, melainkan dalam gapanya. Hal itu merupakan
hal yang biasa terjadi tidak hanya di Jndonesia, tetapi juga
di Asia. Pola kepemimpinan Mao Ze Dong dipandang lebih
baik dalam teknik pemerintahan daripada kepemimpinan
sebelumnya Meskipun begitu, dalam substansinya
mempunyai persamaan yang besar dengan pemerintahan
Chiang Kai Sek yang kepemimpinannya dibuat secara
personal leader (kepemimpinan pribadi) Akibatnya,
kepemimpinannya identik dengan kekuasaan. Menjadi
pemimpin berarti berkuasa, dan menentang pimpinan
idcntik dengan menentang pemerintah yang dipilih rakyat.
Menurut sudut pandang ini, kekuasaan justru merupakan
sesuatu yang formal dengan sang pemimpin sebagai
simbolnya. Dengan demikian, menentang sang pemimpin
sama halnya dengan menentang negara dan menentang
rakyat.
  Pandangan itu masih berlaku hingga kini. Dalam
rangka pemikiran itu, pemerintah menindak mahasiswa
dan beberapa sesepuh dalam kelompok Barisan Nasional
(Barnas) sebagai bertindak makar. Kelompok seperti Barnas
menolak adanya DPR dan MPR yang diartikan sebagai
menolak kewenangan pemerintah. Terlepas dari mudah
atau sulitnya membuktikan status tersebut, sikap verbalistik
itu justru menunjukkan watak otoriter pemerintah. Meng-
kritik seorang pejabat dianggap sama dengan mengkritik
pemerintah secara keseluruhan, dan mengkritik pemerintah
secara keseluruhan dianggap makar karena dipandang
menentang pemerintah secara keseluruhan pula.
   Sebetulnya, perbedaan dalam dua macam kritikan itu
harus dilihat secara analitis dan diperlakukan secara benar.
Mengritik .pemerintah secara keseluruhan dalam arti
lembaga negara yang dianggap makar tidak berarti sama
dengan keinginan menggantikan landasan negara. Jika
yang dikritik sistem pemerintahan bukan landasannya
haruslah dipahami sebab-sebabnya. Artinya, aparat dan
cara memerintah harus diperbaiki bukannya landasan
negara atau UUD-nya. Kemampuan membedakan seperti
itulah yang belum dimiliki oleh sistem pemerintahan di
Indonesia. Salah satu sebab pokoknya adalah Indonesia
belum pernah memiliki birokrasi yang terlepas dari urusan
landasan tersebut. Selama ini seluruh birokrasi
pemerintahan menganggap dirinya paling setia pada
landasan negara. Karena itu pula, ia menjadi "pembina"
politik yang melebihi golongan lain, seperti parpol atau
ormas lainnya.
  Sebetulnya, birokrasi tidak perlu terlalu mementingkan
masalah ideologi. Katakanlah dalam suatu pertandingan
perlu ada wasit yang netral. Kalau semuanya mau bermain
bisa kacau nantinya. Urusan ideologi menjadi urusan partai-
partai politik. Selama satu masalah masih bisa dihubungkan
dengan sebuah undang-undang yang objektif, selama itu
pula birokrasi pemerintah tidak membawa atau meng-
hubung-hubungkan hal itu dengan Undang-Undang Dasar.
Dengan kata lain, tidak setiap hal harus dikaitkan dengan
Undang-Undang Dasar. Selama birokrasi dianggap identik
dengan seal politik karena menganggap diri paling loyal
terhadap landasan negara atau karena keterkaitannya
dengan partai yang memerintah maka selama itu pula
birokrasi tersebut tidak dapat berdiri sendiri secara objektif.
Birokrasi itu berfungsi servis pada rakyat, masyarakat, pada
bangsa. Ia berdiri di atas semua golongan, suku, agama,
atau golongan. Pemerintahan boleh berganti sekian kali,
tetapi birokrasi tetap mandiri untuk terus memberi layanan
kepada rakyat. Sayangnya, birokrasi terkooptasi oleh
kekuatan politik pemerintah. Birokrasi dan pemerintah
menjadi identik. Sayangnya, partai-partai politik juga tidak
pernah benar-benar independen dari birokrasi
pemerintahan. Akibatnya, masyarakat pun tidak inde-
penden tetapi bergelantungan di "tangan-tangan" birokrasi
dengan budaya "sowan", mohon petunjuk, dan mohon
restu. Rakyat diposisikan sekadar "pengikut" partai untuk
diperebutkan yang kerapkali dengan kemelut oleh partai
politik. Di Amerika Serikat atau Jepang, anggota masyarakat
dengan gampang memilih partai yang satu dalam pemilu
kemarin dan memilih partai lain dalam pemilu sekarang.
Sementara, di Indonesia perbuatan seseorang seperti itu
akan dianggap sebagai perbuatan seorang pengkhianat
atau paling tidak seorang "kutu loncat" yang tidak
konsisten. Akibatnya, pemilu tidak mendorong perubahan
tetapi hanya penegasan seal "pengikut," berapa jumlah
pengikut Golkar, PPP, atau PDI. Tetapi substansi apa yang
akan dibawakan dan siapa Bang dipercava memikul
tanggung jawab, rakyat yang berdaulat itu tidak tahu.
Selama Orde Baru, hal itu menjadi "hak prerogatif Presiden"
yang tidak boleh dicampuri oleh MPR pun.
  Dalam kerangka itu, saya paling tidak setuju pegawai
negeri berpolitik dengan menjadi anggota partai ini atau
itu. Tetapi FKP di DPR tetap ngotot pegawai negeri atau
"Korpri" boleh berpolitik karena itu hak asasi manusia.
Langkah itu kian tendensius sekali, orang penggede-peng-
gede Golkar itu di birokrasi. Nanti, anak buahnya akan
mudah digiring ke Golkar lagi. Bagaimana pemilu mau
jurdil kalau birokrasi yang seharusnya berdiri di atas semua
golongan pagi-pagi sudah berpihak. PKB dan juga PAN
sudah sepakat akan mengerahkan massa unfuk menentang
usaha memperbolehkan pegawai negeri berpolitik. Bahkan,
FPP pun mengancam akan mundur dalam pembahasan
Lima Paket UU Politik. Jadi, tampaknya tidak akan gampang
bagi FKP untuk tidak memperhatikan aspirasi rakyat itu.
 


www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir