[  H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Bab 4

POLITIK ITU PILIHAN HIDUP

(Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh beriman kepada Allah)
(Surat Ali Imran ayat 110)

   Kota Salatiga, Jawa Tengah Tengah adalah satu dari sekian kota
sejuk yang dimiliki negeri ini. Di kota itulah pada 11 Juli
1942 saya dilahirkan. Lahir dari keluarga NU, nahdliyin
tulen, saya memulai pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah
LP. Ma'arif (setingkat SD) dan selesai tahun 1956. Pada
saat bersamaan, saya juga lulus Sekolah Rakyat Negeri.
Kemudian melanjutkan ke SMP Negeri Salatiga, lulus tahun
1959 dan SMA Negeri Salatiga Jurusan Ilmu Pasti Alam
pada tahun 1963. Saya sempat mengenyam pendidikan di
Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga, sampai tingkat III (1968). Sering orang bertanya
kenapa saya yang orang NU atau orang tahlil, kaum
istighosah, salawat badar, kok kuliah di universitas Kristen?
Waktu itu yang penting belajar. Belajar di mana bukan
persoalan. Mungkin, saat itu supaya saya tidak perlu in de
kost atau mondok luar kota sehingga menghemat biaya,
maka kuliah di Salatiga saja!
  Saya juga tidak tahu di kemudian hari Satya Wacana
menjadi universitas yang dipandang paling demokratis atau
paling memiliki kebebasan akademik. Mungkin karena
pluralitas warga universitas di situ dan tokoh-tokoh
penghuninya, seperti Arief Budiman, Th. Sumartana, atau
Liek Wilardjo. Tetapi suasana kebebasan pada masa kuliah
di sana saya rasakan ada. Saya dengan bebas dapat aktif
sebagai Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) Cabang Salatiga. Keaktifan di organisasi itu boleh
dikatakan saya mulai sejak kecil. Sebagai anak keluarga
NU, sejak kecil saya sudah aktif di lingkup organisasi NU.
Pada tahun 1955-1957 menjadi anggota Pandu Ansor.
Semasa di SMA, saya menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul
Ulama (IPNU) Cabang Salatiga. Kemudian kiprah organisasi
saya teruskan di PMII.
  Padatnya aktivitas saya di organisasi akhirnya me-
nyebabkan kuliah saya tinggalkan. Asal tahu saja, sejak
tahun 1966 saya aktif sebagai Ketua Presidium Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Komisariat Salatiga.
Lewat kesatuan itu saya ikut berjuang menumpas apa yang
saya yakini sebagai pemberontakan G-30-S/PKI untuk
menegakkan Orde Baru. Kuliah saya tinggalkan tahun 1968
bertepatan saat saya menjadi Wakil Ketua I Partai Nahdlatul
Ulama Cabang Kabupaten Semarang/Kotamadya Salatiga.
Hal itu merupakan konsekuensi dari perjuangan saya.
  Konsekuensi seorang mahasiswa aktif di organisasi,
kuliahnya terbengkalai. Risiko itu memang saya terima
dengan sedikit penyesalan. Sebab saya bukanlah orang yang
terlalu bodoh, kalau hanya untuk menyelesaikan kuliah saja.
  Tetapi kenyataannya! Saya tak sampai diwisuda sarjana.
Alasannya, saya terlampau sibuk di organisasi. Ketika masih
mahasiswa tingkat III, saya sudah menjadi wakil ketua
DPRD Kodya Salatiga. Karena kesibukan politik itu saya
merasa wegah (malas) untuk turun ke bangku kuliah lagi.
Kalau boleh menyesali, itulah salah satu sisi kehidupan
yang agak saya sesali. Makanya, saya ngopyak-opyak
(mendorong) anak-anak muda di PKB untuk tetap
menyelesaikan kuliah. Ilmu yang dipelajari itu nanti pasti
berguna. Saya menambah ilmu dengan belajar sendiri lewat
buku bacaan.
  Politik adalah pilihan hidup saya. Politik itu pekerjaan
utama saya. Sejak aktif dalam partai di Jawa Tengah saya
tidak ikut-ikutan berbisnis atau mengikuti proyek ini dan
itu. Seluruh waktu saya habis untuk berpolitik.
Alhamdulilah saya merasa tidak kekurangan atau istilahnya
kapiran. Anak-anak ternyata juga bisa sekolah meskipun
saya bukan orang kaya. Saya bersama istri berusaha melatih
anak-anak untuk bertanggung jawab atas tindakan atau
pilihan hidupnya, termasuk pilihan untuk kuliah di sini
atau di sana. Anak yang mau masuk IKJ saja saya tanya,
apakah sudah mempertimbangkan konsekuensinya
menjadi seorang seniman. Seorang seniman itu kalau
mempunyai duit semua orang yang ditemui akan ditraktir.
Tetapi, kalau lagi bokek, ya baju saja dijual.
  Sebagai politisi, seseorang harus berani hidup miskin
seperti saya ini. Karena pekerjaannya, seorang politisi tidak
sempat lagi memikirkan mencari uang. Sampai saat ini
belum ada salah satu anak saya yang terjun ke dunia politik,
meskipun Fahmi anak pertama kami pernah aktif di PMII,
dia lebih memilih menekuni dunia usaha. Demikian pula
adik-adiknya, juga aktif di PMII. Setiap pilihan hidup
membawa konsekuensinya sendiri-sendiri. Saya dapat
mengambil contoh keluarga Wanandi. Sofyan Wanandi
itu pengusaha yang dapat dikatakan berhasil. Beda dengan
Yusuf yang menjadi ilmuwan. Dia sukses karena karya-
karya ilmiahnya dalam hubungan internasional bukan
karena mempunyai banyak uang. Sofyan berbeda dengan
Yusuf beda pula dengan Markus yang menjadi imam
Katolik. Sebagai pastor, tentu tidak mempunyai duit. Tetapi
mereka bertiga saling menghormati status masing-masing.
Pengusaha tentu mempunyai banyak uang. Memang dia
berusaha supaya mendapat laba. Tidak ada pengusaha
yang ingin rugi terus. Itu tidak ada. Keuntungan yang
dinikmati pengusaha sepadan dengan kemungkinan
kerugian yang mungkin saja dideritanya. Make, keuntungan
itu wajar.
  Lha yang lucu, pegawai negeri zaman seperti ini kok
ingin menjadi orang kaya. Setiap pilihan hidup memiliki
konsekuensinya sendiri-sendiri. Meskipun saya bukan orang
kaya, tetapi alhamdulillah "tidak kurang". Ini bukan
kesombongan atau ingin menonjolkan diri. Buktinya, anak-
anak saya semuanya bisa sekolah. Saya percaya Gusti
Allah menyelenggarakan hidup setiap orang. Hidup itu
beres bukan hanya karena duit. Lihat itu orang-orang kaya.
Duitnya berlimpah tetapi anak-anaknya tidak selesai
sekolah. Sementara orang yang hidupnya sederhana, anak-
anaknya malah selesai kuliahnya. Mereka kaya, tetapi
hidupnya tidak cukup karena hidup tidak hanya dicukupi
dengan uang. Hidup itu lebih kaya daripada sekadar harta
benda, apalagi sekadar mencari uang.
  Hidup itu saya pandang sebagai amanah bagi sesama.
Karena amanah saya merasa berarti, berguna bagi orang
lain. Untuk itu, saya sepertinya tidak sempat memikirkan
diri sendiri. Setiap hari banyak tamu yang harus saya
tanggapi atau saya layani. Mungkin saja bila saya pergi ke
tempat lain saya dapat uang atau mendapat order ini dan
itu. Tetapi, tidak saya lakukan karena ada seorang teman
yang datang. Teman itu butuh didengarkan. Justru dengan
itu saya merasakan hidup ini berguna bagi diri saya sendiri,
sahabat, keluarga, atau orang di sekitar saya. Di samping
itu, berada di antara kawan-kawan saya merasakan
keikhlasan mereka. Dengan aktif dalam politik saya merasa
diberi kesempatan untuk bergaul dengan begitu banyak
orang. Tidak hanya terbatas pada lingkungan nahdhliyin,
tetapi lebih luas. Melihat perkembangan negara akhir-akhir
ini saya juga merasa ngeri, tetapi dengan penuh harapan
akan Indonesia esok yang lebih baik. Saya seperti diberi
kesempatan untuk menatap masa depan bangsa Indone-
sia yang demikian kaya dan majemuk ini. Insyaallah
menatap masa depan yang lebih balk, lebih demokratis,
dan lebih manusiawi. Saya percaya pada akhirnya ke-
benaran yang akan ditegakkan bukan keburukan atau
kebatilan.
  Dalam aktivitas berpolitik, saya ini sering dikatakan
galak. Artinya, kalau perlu mengkritik ya saya kritik. Kalau
berbicara terbuka, blak-blakan. Bila saya merasa yakin
benar akan saya katakan benar bila salah akan saya katakan
salah. Tentu saja dengan mengindahkan perasaan yang
saya kritik. Supaya saya bebas mengkritik maka saya tidak
cluthak atau rakus dalam harta atau kedudukan dengan
memanfaatkan situasi dan posisi. Sejak menjadi pengurus
partai di daerah, saya tidak pernah memanfaatkan ke-
dudukan untuk bisnis. Kalau saya sudah mendapat suatu
konsesi bisnis maka saya tidak bisa berharap bersikap
objektif. Sebagai fungsionaris PPP saya sering memegang
jabatan ketua. Kalau saat itu mau kolusi tentu saja bisa.
Tetapi, saya tidak mau karena tidak suka kolusi. Istilah
saya, galak tapi cluthak ya disorak. Kalau orang itu vokal
tapi hidupnya tidak benar tentu saja akan menjadi bahan
tertawaan orang lain. Paling tidak, menjadi bahan tertawaan
dan teguran hati nuraninya. Sebelum seorang polisi datang
untuk menangkap orang yang mencuri, pastilah hati nurani-
nya sudah menegurnya. Dia tidak bisa lari dari dirinya
sendiri, dari hati nuraninya. Walaupun polisi tidak me-
nangkap karena perkara korupsi, kolusi yang bisa di-
sembunyikan tetapi sudah ditangkap oleh suara hati
nuraninya. Seorang mantan pejabat tinggi selama 32 tahun
sudah jelas mempunyai duit kok mengaku "tidak punya
sesen pun". Itu namanya ngapusi Gusti Allah. Gusti Allah
kok diapusi. Dia itu Mahatahu.
  Politik dengan hati nurani itu saya pegang teguh sampai
saat ini. Insyaalah, sampai saat ini saya tidak pernah di-
teror atau diancam dengan kekerasan, karena lewat hati
nurani kita dididik untuk memperlakukan orang dengan
manusiawi. Mentaati hati nurani itu membuat manusia
terbuka dan ber-akhlakul karimah. Akhlak bukan sekadar
sopan santun, basa basi, tatakrama saja, melainkan sikap
mental yang mendorong tumbuhnya perbuatan dengan
mudah. Sebab hal itu sudah menjadi watak dan kebiasaan
tanpa perlu dipikir-pikir lagi atau dihitung untung ruginya.
Jadi, pendorongnya baik dan perbuatannya baik sehingga
bisa disebut akhlak karimah atau budi pekerti mulia.
Memang manusia bisa salah, tetapi karena dia manusia
maka harus kita hargai dan hormati juga. Lewat hati nurani
kita bisa membedakan antara urusan organisasi dan urusan
pribadi. Dengan Buya Ismail Hasan Metareum saya bersaing
dan berbeda pendapat bahkan berseberangan, tetapi
sebagai sesama manusia tali silaturahmi tetap saya lakukan.
Pada saat perpisahan anggota Fraksi Persatuan Pem-
bangunan DPR periode 1992-1997 saya khusus menyanyi-
kan sebuah lagu untuk Buya. Demikian pula waktu saya
mantu, saingan saya dalam muktamar itu juga saya undang
dan dia hadir.
  Politik yang saya geluti bertahun-tahun memberi
pelajaran bagi saya bahwa sekarang ini yang namanya
Philosopher King (Raja Pendeta) itu sudah tidak ada lagi.
Maksud saya, seorang tokoh yang pintar, demokratis,
menjadi anutan, tanpa cela secara moral, jujur, diterima
masyarakat sehingga rakyat dapat memberi "cek kosong"
untuk memerintah negara itu tidak ada. Jadi, jangan mem-
perlakukan orang atau lebih tepat mengkultusindividukan
orang sebagai seorang Philospher King yang mungkin pada
masa Yunani Kuno, zaman Socrates dulu relevan di sebuah
Polis (negara kota) tetapi sekarang sudah tidak mungkin
lagi. Lihatlah pengalaman pada masa Soeharto. Betapa
seorang presiden dijunjung setinggi langit dengan gelar
"Bapak Pembangunan", "Ketua Dewan Pembina Golkar",
"Pembina Politik", dan terakhir menjuluki dirinya sebagai
(raja) yang mau lengser keprabon madeg pandito. Seorang
pejabat bisa saja digoyang dengan dalil korupsi, tetapi tidak
ada yang berani mengarahkan telunjuknya ke presiden.
  Kompleksitas pemasalahan zaman ini sudah tidak
memungkinkan seorang individu, betapa hebatnya dia,
untuk mampu menghandle urusan negara seorang diri
dengan kekuasaan mutlaknya. Bukan kepemimpinan in-
dividual lagi, tetapi sebuah teamwork, kepemimpin
kelompok yang lebih menjamin. Di samping itu, ke-
pemimpinan itu mesti diamankan dengan adanya sistem
kontrol, sehingga kekuasaan dapat digunakan dengan
benar. Kecenderungan menjadi seorang individu sebagai
Philospher King itulah yang terjadi pada masa Orde Lama
dan Orde Baru. Setelah terlepas dari "Pemimpin Besar
Revolusi dan Presiden Seumur Hidup" bangsa ini jatuh ke
tangan "Bapak Pembangunan" yang bukan diangkat se-
umur hidup, tetapi terus-menerus dipilih selama tiga dasa-
warsa dengan segala eksesnya yang kurang balk. Perjuang-
an politik saya terletak pada bagaimana menjadikan
kekuasaan itu sebagai sistem yang dapat dikontrol secara
efektif. Itulah seninya berpolitik sekarang ini. Di situlah
perjuangan setiap orang Indonesia, bagaimana mewujud-
kan sistem kontrol kekuasaan yang efektif dan menjamin
pelaksanaan kedaulatan rakyat. Bangsa Indonesia menurut
saya masih dalam proses belajar.
  Dulu orang begitu percaya pada kepemimpinan
Soeharto dan ABRI sebagai penegak Orde Baru. Entah
apa sebabnya. Barangkali karena orang sudah capai akan
"ideologi revolusi" yang belum selesai. "Revolution at all
cost!", kata Bung Karno. Katakanlah pendulum politik
nasional berubah dari politik ideologi menjadi politik
pragmatis. Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal
Soeharto dipandang orang sebagai antitesis terhadap
kekuatan Orde Lama yang kian lama kian melelahkan dan
menyengsarakan rakyat. Di samping itu, tentu saja pe-
nyingkiran Bung Karno merupakan salah satu ekses
pertentangan Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat
dengan kekuatan modalnya sudah tidak tahan lagi
menghadapi seorang pemimpin seperti Bung Karno yang
dengan enteng mengatakan: Go to hell with your aids, atau
kritiknya tentang kapitalisme dalam pidato di depan Sidang
Umum PBB yang berjudul "To Build the World a New"
Betapa hebatnya presiden pertama itu karena kekuatannya
bertumpu hanya pada individu, yaitu dirinya, namun
akhirnya toh tergelincir juga.
  Setelah lebih dari tiga dasawarsa Orde Baru saya merasa
semangat dan cita-cita pada awal Orde Baru sangat jauh
dari kenyataan. Bahkan, menurut saya, bertolak belakang.
Tetapi semua orang diam. Tidak ada yang berani. Kondisi-
nya malah lebih buruk dari orde sebelumnya. Pernah saya
bacadalam surat pembaca di surat kabar seseorang
bercerita, dulu orang bangga menjadi warga Indonesia.
Ceritanya, sehabis menunaikan ibadah haji kapalnya
mengalami kerusakan sehingga harus merapat di suatu
negara Afrika yang tidak memiliki hubungan diplomatik
dengan Indonesia. Para penumpang tidak bisa turun dari
kapal untuk mendarat sekadar berjalan-jalan tanpa mem-
bawa paspor di negeri itu. Untunglah seorang petugas
pelabuhan mengetahui "Indonesia" itu Presidennya
Soekarno maka para penumpang diizinkan melihat-lihat
kota diantar dengan mobil. Pada masa kini kesan orang
terhadap Indonesia tidak baik. Indonesia berkonotasi ke-
kerasan atau kerusuhan. Sejumlah negara tidak menerima
orang Indonesia. Hal itu tentu patut disayangkan. Sebetul-
nya, Orde Baru dan Orde Lama memiliki kesamaan, yaitu
masih bertumpu pada tokoh dan bukan pada sistem yang
demokratis.
  Saya merasa tidak fair kalau orang hanya menyalahkan
masa lalu, masa Orde Baru. Pada awalnya, ide Orde Baru
itu bagus sekali. Hal itu paling tidak tampak dalam pidato
kenegaraan Soeharto sebagai pejabat presiden pada tanggal
16 Agustus 1967 di depan Sidang Paripurna DPR-GR:
"...Orde Baru lahir dan tumbuh sebagai reaksi total atas
segala bentuk penyelewengan yang dilakukan pada masa
orde yang berkuasa waktu itu, yaitu yang sekarang disebut
Orde Lama. ... Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
ditinggalkan; hak-hak asazi manusia hampir-hampir lenyap,
sebab semua ditentukan kemauan penguasa. Jaminan dan
perlindungan hukum hampir tidak ada.... Sila kedaulatan
rakyat menjadi kabur; yang ada adalah "kedaulatan
pemimpin". Sila keadilan sosial makin jauh; sebab kekayaan
negara dipakai untuk proyek-proyek mercusuar yang
merusak ekonomi rakyat dan negara. Sistem "ekonomi-
pemimpin" dalam praktek menjadi "sistem lisensi" yang
hanya menguntungkan segelintir orang yang dekat dengan
penguasa. Penyelewengan serius terhadap UUD 1945
terjadi dengan memusatnya kekuasaan secara mutlak dan
satu tangan yaitu kepada kepala negara. Asas dan sistem
konstitusi, dalam praktek berubah sehingga bersifat
absolutisme. Kekuasaan negara yang tertinggi bukan lagi
di tangan MPR (S), melainkan di tangan pemimpin besar
revolusi. Presiden bukannya tunduk kepada MPRS; bahkan
sebaliknya MPRS yang ditundukkan di bawah presiden.
Sungguh suatu tragedi bagi rakyat bangsa Indonesia...."
  Pada masa awal Orde Baru ditegaskan bahwa prioritas
"Pembangunan Ekonomi" ditopang oleh berlakunya
doktrin pembangunan yang dilaksanakan di mana-mana
waktu itu. Agar pembangunan ekonomi berjalan, diperlu-
kan stabilitas. Maka, dibangunlah pemerintahan yang kuat
dan efektif. Tetapi orang banyak yang lupa bahwa prioritas
itu disertai dengan kualifikasi sekaligus sebagai
pemerintahan yang bersih. Jadi, pemerintahan harus bersih
dan berwibawa, sebuah strong and clean government.
Dengan perspektif pertumbuhan serta pembangunan
infrastuktur serta berbagai institusi ekonomi maju, prioritas
pembangunan ekonomi sebetulnya membawa hasil.
Sayangnya, hasil itu memakan biaya tinggi yaitu represi
politik serta ketidakdilan sosial-ekonorni. Oleh karena itu,
akhirnya pemerintahan kuat menjadi pemerintahan otoriter
tanpa kontrol yang efektif. Anasir bangsa yang hendak
melakukan pelurusan semangat asli pembentukan Orde
Baru tidak ada yang mampu melawan kuatnya pemerintah-
an, kuatnya eksekutif di bawah Presiden Soeharto. Akibat-
nya, buyarlah komitmen untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
  Represi sosial politik dan ketidakadilan sosial ekonomi
sangat menekan rakyat dengan menggunakan birokrasi,
aparat ketertiban-keamanan, orsospol andalan dan
perusahaan-perusahaan monopoli. Kondisi itu membuat
rakyat menyimpan perasaan. Perasaan itulah yang meletup
dan meledak ketika katup represi sosial politik dan sosial
ekonomi dibuka oleh Gerakan Reformasi dan pemerintah-
an baru. Letupan rakyat dimanfaatkan oleh pejabat
keamanan dengan menyebutnya sebagai "banyak pemain"
Sampai akhir 1998 gejolak vertikal dan horisontal itu masih
berlanjut. Acapkali disertai ekses Yang mencemaskan
karena seakan-akan ingin membuat tidak berfungsinya
birokrasi dan aparat ketertiban-keamanan. Akan terjadi
kekacauan lebih besar dan radikalisasi yang tidak jelas
jika birokrasi pemerintahan dan aparat ketertiban dan
keamanan, termasuk ABRI, berhasil dibuat disfungsional.
Pada fase sekarang pun gejolak vertikal dan horisontal itu
sudah membangkitkan kecemasan meluas dan mendalam
sehingga menggangu keamanan dan rasa aman masyarakat.
  Dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun radio
swasta nasional saya pernah ditanya, "Apakah Bapak ngeri
melihat perkembangan yang terjadi!" Tentu saja saya
menjawab, "Saya ngeri." Dengan spontan sang penyiar
menyahut, "Bapak saja yang punya pengikut (baca: punya
rombongan) ngeri apalagi saya!" Akibat kondisi itu bisa
berlipat ganda. Di antaranya mempengaruhi rasa kepastian,
mempengaruhi minat usaha, membuat arus modal dari
luar terganggu, dan membuat industri pariwisata terpuruk.
Gejolak tanpa kesudahan itu tanpa disadari sudah
membangkitkan kecemasan meluas dan mendalam
sehingga menyebabkan gerakan reformasi berhenti di
tempat. Dalam masalah krisis multidimensi dan pada
agenda pemilu, para pemimpin pemerintahan dan para
pemimpin bangsa lebih memberi kesan berjalan sendiri-
sendiri, saling berprasangka dan saling curiga daripada
duduk bersama. Lihat itu ide "Dialog Nasional" Gus Dur.
Begitu banyak orang bingung dan curiga. Bagi siapa pun
dan dari pihak mana pun terlalu berat persoalan dan
tantangan yang sedang dihadapi ini sendirian. Siapa pun
memerlukan kebersamaan.
  Menengok ke masa lalu, saya masih ingat dalam Pidato
Kenegaraan di depan DPR pada tanggal 15 Agustus 1974,
Presiden Soeharto mengatakan, "Kemampuan untuk
menilai hasil penyelenggaraan kepemimpinan dan
pemerintahan negara oleh seorang Presiden akhirnya akan
ditentukan oleh Sidang Umum MPR lima tahun berikutnya,
di mana Presiden wajib mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugasnya seperti yang ditetapkan dalam Garis-
garis Besar Haluan Negara."
  Waktu penilaian itu bahkan dapat dimulai pada waktu
kampanye pemilu untuk wakil-wakil rakyat di DPR dan
MPR yang akan datang. Dalam kampanye itu, calon presiden
atau golongan peserta pemilu yang mendukungnya dapat
menjelaskan konsepsinya yang mungkin lebih balk
daripada kebijakan dan program presiden yang sedang
menjabat dalam melaksanakan GBHN ataupun kebijak-
sanaan lainnya. Mereka yang menemukan konsepsi pro-
gram yang dinilai lebih balk oleh rakyat, karena lebih sesuai
dengan keinginannya dan lebih memperhatikan
kepentingannya, tentu akan memperoleh suara yang lebih
banyak dalam pemilu, yang selanjutnya akan menentukan
pemilihan presiden yang akan datang. Masih menurut Pak
Harto ketika itu, "Dengan melaksanakan ketentuan UUD
1945, maka tumbuh stabilitas yang dinamis pada puncak-
puncak Pemerintahan Negara. Karena berdasarkan UUD
1945 di satu pihak ada jaminan yang cukup bagi Presiden
untuk melaksanakan tugasnya, dan di lain pihak tetap
tersedia sarana-sarana untuk mengawasi, mengoreksi,
bahkan mengganti sang presiden (Sekneg, 1974)."
  Jadi, sebetulnya Presiden Soeharto pernah mengusul-
kan mekanisme suksesi yang tidak hanya secara formal di
MPR, tetapi terutama mencakup mekanisme pencalonan
diri partai kepada rakyat. Namun, usul itu tidak pernah
dilaksanakan oleh pencetusnya sendiri. Sayang sekali!
  Kiprah saya sebagai aktivis partai tidak dapat dilepas-
kan dari perjuangan mengartikulasikan apa yang saya
yakini sebagai kehendak rakyat. Tetapi, balk di Partai NU
dulu, dan lebih-lebih pada waktu di PPP, saya mengalami
benturan dengan personalized of power dalam diri Presiden.
Kembalinya NU ke Khitah 1926 dan peminggiran diri
saya dari tampuk pimpinan PPP membuat saya mawas
diri. Salah satu hal yang saya gagas kembali adalah soal
lembaga kepresidenan. Di samping tentu saja kondisi
masyarakat Indonesia yang masih patrimonial, kurang
terdidik dalam berdemokrasi. Kekuasaan lembaga
kepresidenan selama Orde Baru sangat dominan karena
enam faktor berikut.
  Pertama, UUD 1945 sendiri menyatakan secara eksplisit
tugas dan kewenangan presiden mencakup tidak hanya
bidang eksekutif, tetapi juga legislatif. Presiden pemegang
kekuasaan pemerintahan (eksekutif), memegang
kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif) dengan
persetujuan DPR, dan menetapkan peraturan pemerintah
untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Tugas dan kewenangan eksekutif saja sudah sangat luas,
masih ditambah dengan bidang legislatif.
  Kedua, selain sebagai kepala pemerintahan (eksekutif)
presiden juga memangku jabatan kepala negara. Karena
UUD 1945 menganut sistem presidensial, maka kedua
jabatan ini dipegang oleh presiden. Sebagai kepala negara,
presiden memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan
AU; menyatakan perang membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain (dengan persetujuan DPR);
menyatakan keadaan bahaya dan akibatnya yang
ditetapkan dalam undang-undang; mengangkat duta dan
konsul; memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi;
memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan.
Jabatan kepala negara pada lazimnya lebih bersifat simbolis
daripada substansial, tetapi dalam praktek justru bersifat
substansial. Kalau menurut UUD 1945 penggunaan ke-
wenangan ini memerlukan persetujuan DPR atau diatur
dengan undang-undang, tetapi dalam praktek dilakukan
sendiri.
   Ketiga, berbagai sebutan yang melekat pada jabatan
presiden dalam kenyataannya selama ini telah dijadikan
sebagai sumber kekuasaan baru bagi presiden di luar yang
disebutkan dalam UUD 1945. Jenis kekuasaan baru ini
ialah presiden sebagai mandataris MPR telah berubah arti
menjadi presiden sebagai pengganti MPR; hak prerogatif
presiden yang tidak disebutkan sama sekali dalam UUD
1945 berubah arti menjadi pihak lain tidak boleh mem-
pengaruhi, dan presiden sebagai Pangti ABRT berubah arti
menjadi ABRI sebagai alat presiden mempertahankan ke-
kuasaannya.
   Keempat, balk secara institusional maupun pribadi,
presiden menguasai sumber keuangan yang cukup besar
sehingga dapat digunakan untuk mempertahankan
kekuasaannya. Sekurang-kurangnya terdapat empat
sumber keuangan yang dikuasai presiden selama Orde
Baru. Sumber dana pertama berasal dari anggaran
penerimaan dan pengeluaran Belanja Negara (APBN) dan
BUMN karena kata akhir penentuan tarif, peruntukan dan
penggunaan anggaran berada di tangan presiden. Sumber
kedua berasal dari sejumlah yayasan yang langsung
dipimpin oleh presiden, seperti Yayasan Dharmais, Yayasan
Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Supersemar, Yayasan
Dana Kemanusiaan dan Gotong Royong, Yayasan Dana
Karya Abadi (DAKAB), dan Yayasan Dana Sejahtera
Mandiri. Dana yayasan itu dihimpun melalui Keppres, SK,
Menkeu, dan SK penjabat pemerintah lainnya. Bisnis
anggota keluarga merupakan sumber keempat.
  Kelima, Pancasila lebih digunakan sebagai alat
melakukan hegemoni terhadap rakyat daripada sebagai
pedoman dan tolok ukur dalam penyelenggaraan negara
dan pemerintahan. Melalui berbagai sarana dan cara,
Pancasila digunakan sebagai alat mendapatkan kepatuhan
dari rakyat. Rakyatlah yang disuruh melaksanakan Pancasila
sesuai dengan tafsiran penguasa, sedangkan presiden dan
pembantunya bertindak sebagai penafsir dan karena itu
sumber utama kebenaran. Mereka yang berpandangan lain
dari penguasa cenderung disingkirkan. Yang salah bukan
Pancasilanya tetapi penggunaannya. Seharusnya, Pancasila
difungsikan sebagai pedoman dan tolok ukur penyeleng-
garaan negara.
  Keenam, format politik yang dipraktekkan oleh rezim
Orde Baru dilukiskan oleh para ilmuwan secara berbeda-
beda, misalnya birokratis otoriter, negara penjabat,
neopatrimonial, diktator pembangunan, tetapi semuanya
sepakat bahwa Orde Baru sama sekali tidak demokratis
karena presiden mempunyai kekuasaan yang sangat mutlak
sehingga tidak tepat disebut "demokrasi", apalagi ditambah
dengan keterangan tambahan Pancasila.
  Sistem politik yang nyata berlaku sejak akhir 1960-an
sampai Soeharto turun dari jabatannya memang menempat-
kan presiden sebagai pemegang kekuasaan kunci tanpa
kontrol dan pengawasan yang berarti dari lembaga
tertinggi, lembaga tinggi negara, dan kekuatan politik
lainnya. Sebagaimana dikemukakan di atas, UUD 1945
sebenarnya menerapkan pembagian kekuasaan, seperti
DPR memiliki kekuasaan anggaran yang lebih menentukan
daripada presiden, DPR mengawasi pelaksanaan
pemerintahan oleh presiden, dan kekuasaan peradilan yang
lebih independen oleh Mahkamah Agung.
   Pola kepartaian yang oligarki tetapi dibina oleh
penguasa, penyelenggaraan pemilu oleh pemerintah yang
bertindak sebagai pemain, wasit, dan pengawas sekaligus,
sistem pemilihan umum yang menjadikan anggota MPR/
DPR lebih sebagai wakil partai daripada wakil rakyat, ke-
anggotaan MPR yang belum seluruhnya dipilih dan ke-
dudukannya yang lemah dan tata tertib DPR yang memberi
ruang gerak lebih kepada fraksi dan komisi daripada
kepada wakil rakyat, maka anggota DPR sudah terpasung
sejak awal untuk melaksanakan kewenangan konstitu-
sionalnya, seperti kekuasaan penyusunan anggaran, pem-
buatan undang-undang, dan kontrol (penyelidikan).
Lembaga peradilan terbelenggu oleh UU Mahkamah Agung
dan UU Peradilan lainnya yang menempatkan lembaga
peradilan secara administratif (perutnya) di bawah presiden
(Departemen Kehakiman, Hankam, dan Agama), yaitu
semua hakim adalah pegawai negeri sipil, tetapi secara
fungsional di bawah Mahkamah Agung, dan mekanisme
penetapan anggota dan pimpinan Mahkamah Agung lebih
memberi kewenangan kepada presiden daripada kepada
DPR. Demikian pula dengan sumber daya (anggaran dan
sarana), personel, dan otoritas Badan Pemeriksa Keuangan
secara sistematis juga dibatasi dengan alasan keterbatasan
keuangan negara sehingga BPK hanya mampu melakukan
pemeriksaan sebatas 10% dari seluruh tugas yang harus
diperiksanya. Namun, BPKP yang berada di bawah kendali
presiden justru memiliki anggaran, personel, dan otoritas
yang luas untuk melakukan pemeriksaan. Di samping itu,
terdapat sejumlah kegiatan negara, seperti Bank Indone-
sia yang tidak boleh diperiksa oleh BPK dengan alasan
rahasia bank. Pembatasan seperti itu merupakan salah satu
penyebab kebocoran anggaran negara.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Jabatan dapat dikatakan
bersifat relatif tetap, sedangkan orang yang memegang
jabatan itu bersifat tidak tetap. Dalam keadaan normal,
umur jabatan suatu institusi biaaanya lebih lama daripada
umur manusia. Sifat sementara dari masa jabatan seorang
penjabat tidak hanya disebabkan oleh umur manusia yang
memang terbatas, tetapi juga karena kemampuan dan
kearifan manusia terbatas juga. Oleh karena itu, sekurang-
kurangnya terdapat tiga faktor keterbatasan manusia yang
menyebabkan peralihan kekuasaan (suksesi) harus
dilakukan secara periodik dan tertib. Pertama kemampuan
dan kearifan manusia yang terbatas karena adanya
kecenderungan manusia untuk terjebak rutinitas bila telah
memegang suatu jabatan dalam jangka waktu yang lama
maupun karena kecenderungan manusia untuk cepat
bosan melaksanakan suatu jenis pekerjaan yang sama
dalam waktu yang lama. Akibatnya, yang bersangkutan
tidak hanya semakin tidak memiliki prakarsa dan kreativitas
karena miskin tantangan, tetapi juga semakin tidak sabar
melihat bawahan dalam melaksanakan fungsinya sehingga
cenderung mengambil alih tugas dan kewenangan
bawahannya.
Kedua, semakin lama seseorang memegang suatu
jabatan semakin dia menganggap dan memperlakukan
jabatan itu sebagai milik pribadinya Karena jabatan itu
dianggap sebagai milik pribadi, maka setiap kritik terhadap
jabatan dianggap sebagai kritik terhadap pribadinya,
sedangkan kritik terhadap pribadinya dianggap sebagai
kritik terhadap jabatan. Konsekuensi lanjutan dari situasi
seperti itu adalah penyalahgunaan jabatan itu demi
kepentingan pribadi dan keluarganya, sedangkan
kepentingan publik malah dikesampingkan. Keadaan itulah
yang menyebabkan fenomena KKN pada masa Orde Baru.
   Ketiga, kecenderungan kekuasaan itu berkembang-
biak. Bila seseorang memegang suatu jabatan terlalu lama,
tanpa batas waktu dan tanpa kontrol dari rakyat secara
politik dan hukum dari lembaga peradilan, maka ke-
wenangan formal itu akan digunakan untuk mendapatkan
sarana kekuasaan lainnya, seperti sarana ekonomi yang
pada gilirannya akan digunakan untuk mempertahankan
kewenangan formal. Makin lama seseorang bertahan dalam
jabatannya, makin besar kemungkinan bagi yang ber-
sangkutan untuk mengembangbiakkan kekuasaannya, dan
semakin tinggi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan yang sangat merugikan tidak saja warga
masyarakat, tetapi juga merusak tatanan negara sebagimana
ditetapkan dalam konstitusi.
  Oleh karena itu, peralihan kewenangan dari seseorang
kepada orang lain pada periode waktu yang ditentukan
merupakan keharusan. Perihal berapa lama seharusnya
suatu jabatan dipegang oleh seseorang agaknya bervariasi
sesuai dengan jenis jabatan dan sistem politik yang
diterapkan. Amerika Serikat yang menganut sistem kabinet
presidensial membatasi masa jabatan seorang presiden
selama empat tahun, dan hanya dapat dipilih kembali satu
masa jabatan lagi. Lain halnya dengan Inggris, yang
H. MATORI ABDUL DJALIL: DARI NU UNTUK KEBANGKITAN BANGSA
menganut sistem kabinet parlementer, di mana seorang
perdana menteri setiap saat dapat diganti bila terdapat
mosi tidak percaya dari mayoritas anggota parlemen.
Tetapi, seorang perdana menteri dapat memegang jabatan
itu tanpa batas sepanjang yang bersangkutan masih
dipercaya partainya dan terpilih dalam pemilu yang
kompetitif secara jujur dan adil. UUD 1945 dan Tap MPR
memang membatasi masa jabatan seorang presiden tetapi
tidak membatasi secara definitif berapa periode seseorang
dapat menjadi presiden karena hanya menyatakan "...
sesudahnya dapat dipilih kembali." Usul berbagai pihak
agar membatasi berapa periode seseorang dapat menjadi
presiden ditolak oleh Realm Soeharto dengan alasan pasal
8 UUD 1945 tidak membatasi berapa periode dan "biar
MPR-lah yang menentukan apakah presiden sebelumnya
dipilih kembali atau tidak pada masa jabatan berikutnya."
  Bagaimana Indonesia dalam praktek selama lebih dari
30 tahun? Seandainya anggota MPR dipilih seluruhnya
melalui pemilu yang kompetitif dan adil, ada pola
kepartaian yang mencerminkan dan menjamin pluralisme
politik, dan mempunyai kekuasaan seperti yang ditentukan
dalam UUD 1945, maka pandangan yang dikemukakan
itu akan mengandung kebenaran. Tetapi, karena format
politik (sistem kepartaian, sistem penvakilan rakyat, sistem
perwakilan kepentingan, sistem pemda, sistem pemilu,
sistem pembagian kekuasaan lembaga tinggi negara,
stabilitas politik, dan hegemoni politik) yang berlaku
selama Orde Baru pada dasarnya menerapkan asas
maka MPR tidak lebih dari reproduksi kekuasaan presiden 
sebagai pemegang kedaulatan.
 


www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir