[  H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Bukan Retorika

Berbagai macam partai yang muncul sesudah keruntuhan
Orde Baru membuat banyak orang terkejut bahkan ngeri.
Masyarakat sudah terbiasa selama dua dasawarsa ini
dengan sedikit partai. Menurut saya, sistem multipartai
sebetulnya tidak jelek. Puncak praktek kehidupan sistem
multipartai adalah pemilu 1955. Satu-satunya pemilu yang
tidak membawa korban jiwa manusia meskipun diikuti
oleh lebih dari 50 tanda gambar. Bila saya bandingkan
dengan pelaksanaan enam kali pemilu pada zaman
pemerintahan Soeharto, banyak korban yang tewas dan
terakhir berbuntut penculikan para aktivis. Kiranya perlu
menimbang dengan adil praktek kehidupan kepartaian
tahun 1955. Tidak perlu dibantah bahwa terjadi kompetisi
ideologi yang bermuara pada kemacetan Sidang
Konstituante tahun 1959, namun pengalaman dengan
sistem multipartai tidak sepenuhnya negatif. Kehadiran
banyak partai itu saya pandang sebagai gladi politik (po-
litical exercise) bagi masyarakat yang pada akhirnya menjadi
gladi berdemokrasi. Partai bukan hanya wadah retorika
politik atau semangat nasionalisme semu yang di zaman
Bung Karno disebut "nasionalisme gagah-gagahan." Partai
adalah wadah artikulasi aspirasi dan kepentingan
masyarakat. Lewat interaksi antara partai yang satu dengan
partai lain akan terumuskan kebersamaan kita sebagai
bangsa, entah itu yang namanya format, sistem politik,
atau kepentingan nasional. Rupanya, kekuatan sosial politik
yang ada pada waktu itu (Angkatan Darat, Bung Karno,
partai-partai politik) tidak sabar dengan situasi yang ada.
Idiom dalam politik bahwa "lawan bicara adalah teman
berpikir" tidak masuk alam pikiran pada waktu itu sehingga
berakibat dikeluarkannya Dekret 5 Juli 1959.
  Apakah dengan demikian masalah ideologi selesai?
Ternyata belum. Hal itu kentara dengan partai-partai baru
yang muncul. Banyak parpol baru mengidentifikasikan
dirinya sebagai "partai agama" atau parpol yang namanya
tidak terang-terangan mengasosiasikan agama dan masih
menyatakan berasaskan Pancasila. Partai-partai agama atau
bernuansa agama yang dapat dicatat, antara lain Partai
Masyumi Baru, Partai Umat Islam, Partai Islam Persatuan
Indonesia, Partai Karya Ulama Indonesia, Partai Bulan
Bintang, Partai Kesatuan Umat Islam, Partai Syarikat Islam
Indonesia, Partai Insan Muttaqin, Partai Reformasi
Cintakasih Kristus Indonesia, Partai Demokrasi Kasih
Bangsa. Partai-partai itu memperlihatkan "politik aliran"
selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa disalah gunakan
dan tidak pernah dapat dimatikan. Di luar partai agama
cukup banyak dijumpai partai-partai aliran antara lain Partai
Nasional Indonesia, Partai Rakyat Marhaen, Partai Murba,
Partai Tionghoa Indonesia.
  Saya memandang kenyataan itu merupakan bagian
dari proses perkembangan bangsa. Orde Baru mengingin-
kan agar politik yang memimpikan politik aliran dan partai
agama dikubur untuk selamanya. Langkah penguburan
itu dipandang sebagai usaha modernisasi politik. Tetapi,
kenyataannya usaha itu tidak dapat menabrak realita yang
hidup di dalam masyarakat. Pengalaman traumatik dengan
propaganda partai program dan partai berorientasi ala Orde
Baru pada ujungnya menyebabkan rakyat hidup menderita.
Akibat pengalaman buruk itu dengan sendirinya meng-
antarkan kembali rakyat kepada romantika kehidupan
politik masa lalu. Ketika pembangunan gagal memberikan
kesejahteraan rakyat tentu saja dapat dimengerti kalau
kemudian masyarakat kembali merangkul ideologi.
Pragmatisme dan sekularisasi politik yang dilaksanakan Orde
Baru menghasilkan pemasungan, pembungkaman,
belenggu, dan penjara atas nama kemerdekaan dan kebebas-
an politik rakyat. Betapapun indahnya kampanye
pragmatisme dan sekularisasi politik sekarang, toh itu tidak
akan berhasil menghalau mimpi buruk rakyat atas kekejaman
rezim Orde Baru yang juga mengkapanyekan hal-hal serupa.
  Pendulum politik bergerak secara ekstrem dari satu
kutub ke kutub lain. Kehadiran partai yang bernuansa
agama memang tidak dapat dicegah karena hal itu hak
setiap warga negara. Saya memandangnya sebagai bagian
dari proses pendewasaan dan perkembangan politik. Di
tengah kemajemukan bangsa seperti ini untuk jangka
panjang menjadi terlalu rentan untuk membangun
demokrasi dengan bertolak dari politik golongan atau
aliran. Tetapi, mengingat kepentingan taktis menghadapi
pemilu beberapa bulan mendatang, tindakan itu dapat
dimengerti. Namun yang perlu dikuatkan adalah basis
kebersamaan (common platform) di antara parpol-parpol
tersebut. Biarkanlah mereka hidup berinteraksi dan
berkembang sehingga bangsa Indonesia nanti secara
bersama-sama menemukan model kehidupan politik yang
pas. Di antara parpol-parpol itu juga muncul kesadaran
untuk berjuang bersama-sama meskipun dalam wadah
yang berbeda-beda. Saya sebagai orang PKB juga
melakukan komunikasi dengan partai-partai lain, baik itu
PDI Perjuangan maupun partai-partai baru. Pernah hanya
beberapa hari setelah deklarasi PKB ada 11 parpol membangun
kebersamaan dalam wadah Forum
Komunikasi Partai-partai "Proreformasi Total." Kesebelas
partai tersebut adalah Partai Masyumi Baru dan Partai Umat
Islam (Islam); PNI, Partai Rakyat Marhaen, Partai Rakyat
Jelata, Partai Nasional Demokrat (Nasionalis); PUDI, Partai
Aliansi Demokrat Indonesia (Demokrasi); Partai Pekerja
Indonesia pimpinan Wilhelmus Bocca; Partai Ekonomi
Rakyat Indonesia (Profesi); dan Partai Murba (Sosialis).
Mereka mengikat dirinya dalam komitmen dasar, yaitu (1)
Menegakkan Negara kesatuan RI yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945; (2) melindungi hak-hak sipil
dan politik rakyat Indonesia; (3) Menegakkan prinsip-
prinsip Trias Politica dalam praktek kehidupan kenegaraan;
dan (4) Menempatkan fungsi Angkatan Perang sesuai
dengan isi dan jiwa UUD 1945.
  Saya tidak ikut serta dalam "forum komunikasi" itu,
meski saya memandang komunikasi itu baik. Saya sendiri
terus-menerus membangun komunikasi dengan partai-
partai yang ada. Dalam berbagai kesempatan saya
menegaskan, "Tidak masalah untuk berkoalisi dengan
partai lain asal visi dan misinya sejalan." Komunikasi dan
pendekatan informal sering lebih kena daripada
pendekatan formal. Dukungan atas misi PKB itu tidak
hanya datang dari warga nahdliyin, tetapi juga rekan-rekan
agama lain atau mereka menamakan dirinya nasionalis. 
Dukungan itu tentu saja saya harapkan nantinya
pada pemilu juga. Hasil Pemilu nanti akan menentukan
strategi kita selanjutnya, khususnya dalam soal berkoalisi.
Koalisi itu sebetulnya apa? Dalam bayangan saya nanti
bila tidak ada mayoritas tunggal partai-partai tentu harus
berkoalisi. Syukur-syukur tampil sebagai partai
mayoritas. PKB dapat saja berkoalisi. Mengapa tidak?
Kanjeng Nabi Muhammad SAW saja pernah berkoalisi
dengan bani Nadhir dan Qurnidhah!
  Meskipun nanti terjadi koalisi, partai-partai itu tetap
sendiri-sendiri, Fraksinya juga sendiri-sendiri. Hanya dalam
menghadapi sesuatu atau beberapa masalah tertentu
bersatu sikap yang pada pokoknya ada dua, yaitu "sikap
mendukung" atau "beroposisi" terhadap pemerintah. Koalisi
partai-partai juga tidak mengubah identitas masing-masing.
Koalisi sebetulnya urusan permainan politik, tidak ada
hubungan dengan identitas apalagi aqidah partai. Untung
dan rugi dalam koalisi merupakan pertimbangan taktis
politik. Tentu saja koalisi hanya dapat dilakukan oleh partai-
partai yang memiliki "kesamaan" sikap menghadapi suatu
masalah politik yang cukup prinsipiil dan berlangsung
cukup lama. Artinya, tidak bisa asal ada masalah lalu
membentuk koalisi. Dalam pemilihan presiden, misalnya,
yang tentunya dilakukan oleh MPR, partai-partai
menentukan sikapnya sendiri. Mereka yang berkoalisi akan
saling berkonsultasi dengan meminta koalisinya untuk
"mempersatukan calon" atau mungkin "memunculkan
calon alternatif' tergantung situasinya. Koalisi bukan fusi
(peleburan) seperti pernah dikehendaki oleh Orde Baru
saat parpol hanya ada dua PPP dan PDI. Sebetulnya "fusi"
itu bukan fusi, bukan pula penggabungan dan juga bukan
koalisi. Sebetulnya hanya ada "fusi fungsi" politik saja. Kalau
suatu pihak melepaskan fungsi politiknya, seperti NU pada
tahun 1984, maka hilang pula fungsi politik NU yang pada
tahun 1973 difusikan ke dalam PPP. Jadi, NU kembali
bebas. Koalisi juga bukan berarti federasi (penggabungan
organisasi secara permanen) tetapi hanyalah kerja sama
dalam sikap dan langkah politik.
  Sekarang ini menurut saya masih terlalu dini untuk
menentukan koalisi dengan siapa saja. Di samping masih
"terlalu pagi" untuk mengikatkan diri pada partai lain tetapi
juga alasan taktis. Main saja belum kenapa sudah kecut
atau merasa takut akan kalah! Orang Jawa bilang, "Aja
nggege mangsa!" Artinya, jangan terburu-buru, musimnya
belum datang. Di samping itu, seal koalisi ini jangan
menjadi "batu sandungan" bagi internal partai. Bukan
rahasia lagi setiap koalisi dengan "pihak sana" atau "pihak
sini" akan menimbulkan silang pendapat. Silang pendapat
itu sendiri sebetulnya tidak masalah, namanya juga
demokrasi. Tetapi kalau itu terjadi menjelang pemilu yang
dekat ini bisa mengganggu menciptakan suasana kondusif
di kalangan anggota.
  Di tengah perkembangan partai yang menjamur itu
PKB menegaskan dirinya sebagai partai terbuka. Dia tidak
hanya untuk warga nahdliyin, tetapi terbuka juga untuk
warga non-muslim. Harus diakui, ini merupakan pe-
nyodoran konsep PKB yang cukup berani. Reaksi dari
beberapa kiai tentu saja ada. Namun, saya selalu
menyerukan: "Mari kita bangun bangsa ini bersama-sama!"
Hal itu sejalan dengan yang ditegaskan dalam asas PKB,
yaitu Pancasila yang disebut secara utuh. Pancasila sengaja
disebut lengkap dan tidak hanya disebut "Pancasila" saja,
karena kata "Pancasila" memang tidak terdapat dari UUD
1945. Tetapi, yang disebut secara utuh dalam Pembukaan
UUD 1945 adalah isi "Pancasila" itu. Dengan disebut secara
lengkap terasa betapa luhur isinya, tidak terasa dangkal
atau tidak terasa "terlalu politis". Artinya, hanya disebut
untuk membenarkan pendapat atau perbuatan sendiri yang
tidak benar atau menyalahkan orang lain. Ingatlah kita
akan jargon-jargon "Demokrasi Pancasila", "Budaya Politik
Pancasila", "Ekonomi Pancasila" yang hanya diberi makna
sepihak untuk memperkuat diri sendiri dan memukul pihak
lain. Paling tidak, bila kita mendengar kata Pancasila atau
membacanya, ingatlah akan isinya secara lengkap. Di
samping itu, prinsip perjuangannya adalah: pengabdian
kepada Allah SWT (berjuang dalam partai dengan niat
mengabdi kepada Allah atau beribadah); menjunjung tinggi
kebenaran dan kejujuran; menegakkan keadilan; menjaga
persatuan; menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan
sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlussunnah Waljamaah
(Pasal 4 AD). Prinsip perjuangan itu digariskan untuk
mencapai tujuan partai, yaitu mewujudkan cita-cita ke-
merdekaan RI sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan
UUD 1945; mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
lahir batin, material dan spiritual; mewujudkan tatanan
politik nasional yang demokratis, terbuka dan berakhlakul
karimah (budi pekerti mulia) (Pasal 7 AD).
  Partai ini merupakan wadah berhimpun setiap warga
Indonesia dengan tanpa membedakan asal-usul, keturunan,
suku, golongan, agama, dan profesi. Sebagai wadah
berhimpun, PKB bersifat kebangsaan, demokratis, dan
terbuka. Arti kebangsaan dalam hal ini bukan kesukuan,
keturunan, keprofesian, juga tidak bersifat keagamaan. Atau
lebih tegas lagi, PKB tidak berjuang untuk suku, keturunan,
profesi, atau pemeluk agama tertentu, tetapi untuk seluruh
bangsa Indonesia. Bahkan, berjuang untuk kemanusiaan
tanpa menempatkan diri di bawah pengaruh atau kuasa
bangsa lain. "Kami tidak pernah ingin mendirikan negara
Islam, karena bagi NU maupun PKB, bentuk negara Indo-
nesia sudah final," demikian penegasan yang berkali-kali
diulang oleh Katib Aam Syuriah PBNU, K.H. Said Aqil Siradj.
  Tentu ada pertanyaan seal pengurus ini, misalnya dari
anggota yang di luar lingkungan NU. Menurut saya
perkembangan ke depan ini akan menggariskan sendiri
bagaimana pola keanggotaan pengurus yang paling balk
bagi partai. Sekarang ini yang paling penting adalah
semangat pembaruan partai yang kita dengungkan. PKB,
meskipun lahir dari lingkungan NU, tetapi berbasis
kebangsaan dan nasionalisme. PKB berkewajiban untuk
mewujudkan masyarakat dan bangsa Indonesia yang adil
dan makmur, merdeka dan berdaulat, terjamin hak asasinya
yang berkaitan dengan segala bentuk penganiayaan,
kebebasan dari pemaksaan agama, pemusnahan etnis serta
kebebasan mencari nafkah secara sah.
  Cita-cita saya tentu saja semoga PKB menjadi harapan
baru bagi warga NU. Salah seorang rekan saya yang
anggota FPP DPR, Khofifah Indar Parawansa, secara tegas
memilih menjadi pengurus PKB. Dalam kepengurusan PKB
periode 1998-1999 sedikitnya ada empat orang warga NU
di PPP yang "pulang ke rumah", yaitu H. Taufiqurrahman
Saleh, Khofifah Indar Parawansa, Imam Churmen, dan
Amru Mu'tashim. Khofifah memilih meninggalkan PPP
karena dalam pandangannya, reformasi telah memberikan
suatu nuansa baru pada tatanan format politik ke depan.
Globalisasi mengharuskan semua tatanan lebih inklusif.
"Visi keagamaan NU yang dikembangkan selama ini adalah
membawa visi tersebut. Saya merasa at home dengan visi
yang dikembangkan NU selama ini," katanya. Menurut
Khofifah dibandingkan dengan PPP, PKB lebih dahulu
menawarkan format baru sebagai partai dengan visi yang
membawa nuansa demokratis, keterbukaan dan pluralitas.
Senior PPP yang juga nadhliyin, Imam Churmen menyata-
kan bahwa PKB merupakan partai akomodatif untuk meng-
antisipasi situasi saat ini yang dipenuhi dengan luapan-
luapan emosi tanpa norma hukum. Jika situasi ini tidak
diatasi secara konsepsional dan mendasar maka negara
dan bangsa ini akan makin terpuruk dan terbelah. Itu tugas
dan tantangan PKB terbesar!

Sumber Bacaan
Aula, September 1998 "Apa dan Bagaimana Partai
   Kebangkitan Bangsa itu"
Bina Darma, No. 60 Tahun ke-16, 1998 "Keadilan Islam
   Multidimensi"
H. Matori Abdul Djalil: "Reformasi yang sedang berlangsung
   telah mengalami inflasi (kemerosotan nilai)"
Media Indonesia, 19 Oktober 1998"Islam di Asia Tenggara"
Media Zndonesia, 13 November 1998 "Hindari Negara
   Berasumsi Agama"
Ridwan Saidi, "Apa Khabar Partai Islam?"
Tempo, edisi 12-18 Januari 1998
   "Nahdliyin (Masih) Menunggu Restu Kiai"
   "Mendatangkan Tuhan ke Dalam Politik"
 


www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir