[  H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Visi Politik

  Dengan menyimak perjalanan sejarah, hubungan agama
dan negara dalam wacana Islam selama ini terdeferensiasi
dalam tiga gagasan besar.
  Pertama, paham integralistik yang menyatakan bahwa
Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Islam bukan
semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
tetapi juga mengatur semua aspek kehidupan termasuk di
dalamnya masalah politik. Perspektif ini menghasilkan
suatu pemahaman bahwa Islam adalah agama sekaligus
negara (al-Islam) diinun wa al-daulah), maka kewajiban
berpolitik juga merupakan satu kewajiban agama. Agama
menjadi alat formal untuk membentuk masyarakat baru.
  Kedua, paham sekularistik. Islam dipandang sebagai
agama yang hanya mengurus hal-hal yang bersifat vertikal,
tidak ada hubungan dengan masalah kenegaraan maupun
politik. Nabi Muhammad SAW diutus dengan tugas tunggal
mengajak manusia kembali pada kehidupan yang mulia.
Tugas agama tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan
mengepalai suatu negara. Agama tidak ada sangkut-
pautnya dengan demokrasi.
  Ketiga, paham simbiosis. Paham ini tidak sepenuhnya
setuju dengan pendapat pertama dan kedua, tetapi
beranggapan bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
kenegaraan atau sistem politik yang baku, tetapi Islam
menyediakan seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara dan berpolitik. Islam memiliki postulat-postulat
demokrasi, penegakan hukum, pelaksanaan HAM sejak
didirikan.
  Ketiga pemahaman di atas dalam artikulasi politik
selanjutnya mengambil bentuknya yang berbeda. Pertama,
menghendaki adanya kaitan formal antara ideologi Islam
dengan negara-politik (the proformal link: between Islamic
ideology and the state camp). Fenomena yang terlihat
sekarang ini adalah adanya partai-partai yang mem-
bawa simbol-simbol Islam (balk berasas Islam atau men-
deklarasikan diri sebagai partai Islam). Melihat landasan
ideologis dan pemahaman keagamaan di atas serta
kekuatan massa yang mayoritas Islam, maka optimisme
kalangan yang menginginkan berdirinya partai yang
berdasarkan agama mendapatkan peluang dan rasional.
  Kedua, mereka yang tidak menghendaki adanya
simbolisasi ataupun institusionalisasi agama maka artikulasi
politik selanjutnya lebih mementingkan pada konvergensi
ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Hal ini dibuktikan dengan
dibentuknya partai-partai dari kalangan umat beragama
yang bersifat inklusif dan terbuka, berasas kebangsaan tidak
ideologis-primordialistik. I<elompok ini tidak menginginkan
tampilan-tampilan simbolis atas agama, tetapi yang lebih
signifikan adalah proses pribumisasi Islam sebagai ajaran
dan tata nilai dalam kehidupan politiknya. Maka, partai-
yang dideklarasikan lebih bersifat terbuka dan inklusif
dengan menggunakan simbol-simbol kebangsaan sebagai
sebuah perjuangan politiknya.
  Perbedaan pemahaman dan artikulasi politik dari
kalangan Islam tersebut disebabkan adanya pendapat yang
berbeda-beda tentang konsep negara Islam dan akar
sejarahnya, serta adanya tuntutan politis dan sosio-kultural
dalam kondisi sejarah tertentu. Perjalanan sejarah Islam
menunjukkan bahwa tantangan yang berbeda telah
menghasilkan respons ideologis yang berbeda pula.
Dengan demikian, ekspresi ideologis umat Islam tidak akan
tetap sama jika mereka dihadapkan pada kondisi sosial-
politik yang berbeda. Di Indonesia dan negara-negara di
kawasan Asia Tenggara para pemimpin Islam dari berbagai
gerakan telah dipaksa oleh keadaan untuk menentukan
garis perjuangan mereka. Mereka tidak lagi bercita-cita
menjadikan hukum Islam sebagai landasan perjuangan
menegakkan hukum. Dengan kata lain, mereka menerima
supremasi hukum kontemporer yang dibuat manusia. Hal
itu terjadi tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-
negara Asia Tenggara lainnya. Khusus di Indonesia, hal
ini terjadi berkat adanya kesadaran bahwa kehidupan
mereka tidak memungkinkan syari'ah menjadi hukum
negara. Di negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya
nonmuslim juga membuat hal itu tidak mungkin tercapai.
Artinya, penegakan hukum non-syari'ah memang menjadi
kebutuhan di kawasan ini.
  Menjadi jelas bahwa di kawasan Asia Tenggara, Islam
mengalami penafsiran ulang atas segala ajaran-ajarannya.
Juga jelas bahwa mau tidak mau harus ada penafsiran
ulang tentang tempat syari'ah dalam perkembangan hukum
negara di kawasan ini. Dan, ini memberi tempat tersendiri
bagi perjuangan keagamaan yang berbeda dengan kawasan
lain. Di Indonesia, keinginan untuk meninggalkan ideologi
Islam justru datang dari gerakan Islam seperti NU. Ini
membuat perkembangan Islam di Asia Tenggara memerlu-
kan perhatian tersendiri. Kita lihat di Thailand, orang-
orang dari gerakan Islam seperti Menteri Luar Negeri Surin,
ikut serta dalam pemerintahan yang sama sekali tidak
memiliki pretensi agama. Hal yang sama juga terjadi di
Indonesia dan Myanmar. Di Filipina, pada masa lampau
Moro National Liberation Front (MNLF) berangkat dari
asumsi Timur Tengah, yaitu keinginan Saudi Arabia dan
Libya. Keduanya menginginkan agar MNLF menjadi
gerakan Islam yang kuat dan mampu menciptakan negara
syari'ah. Dua puluh tahun telah ditempuh, berbagai
penderitaan telah dijalani dan pertempuran telah dimasuki.
Banyak korban berjatuhan dan antara agama Katolik dan
Islam di Filipina Selatan tampak begitu berbeda.
  Pada akhir pertentangan yang berkepanjangan itu
datanglah kesadaran pada kedua belah pihak. Presiden
Ramos (yang memerintah waktu itu) menyadari bahwa
haruslah diberikan konsesi cukup pada kaum muslimin
untuk tetap hidup sebagai gerakan. Ketua MNLF, Nur Mis-
ouari, menyadari pada akhirnya perjuangan organisasinya
haruslah tidak bersifat ideologis, jika ingin berhasil. Dengan
demikian, berubahlah seluruh watak perjuangan orang
Moro itu. Mereka yang menginginkan perjuangan dengan
pola lama, yaitu garis ideologis gerakan Islam harus mencari
pemimpin baru. Mereka mendapatkan ini pada diri Hasyim
Salamat. Tetapi kita tahu perjuangan itu akan gagal karena
kaum muslimin yang berpandangan demikian hanya
minoritas di antara seluruh kaum muslim Filipina. Dan,
jumlah total kaum muslimin secara keseluruhan hanya 5%
dari penduduk seluruh negeri. Meskipun demikian, hal
itu cukup membuat repot Missouari dan kawan-kawannya.
Di kawasan anak benua India, Islam menjadi terlalu for-
mal dan penafsiran kembali terjadi di luar gerakan Islam.
Ini dapat dilihat dalam kiprah Benazir Bhutto, Begum
Rahman, dan Begum Khaleda Zia di Bangladesh dan
Srilanka. Hanya bedanya di kawasan Asia Tenggara
penafsiran ulang itu terjadi di dalam gerakan Islam. Adapun
di Timur Tengah apa yang pada mulanya tampak sebagai
pelaksanaan hukum Islam, pada dasarnya adalah
penerusan tradisi Arab dan Persia sebelum Islam lahir
sehingga tidak ada penafsiran ulang di dalamnya.
   Partai politik yang masih terkungkung dalam
primordialisme sempit dan eksklusivisme tidak akan
kapabel terhadap kebutuhan masa depan karena partai
politik yang berorientasi ideologis dengan tawaran-tawaran
"keselamatan akhirat" sebagai sentuhan dan eksploitasi
identitas tunggal (singtrlar identity) berupa ideologi agama,
sudah tidak relevan. Sejarah telah mengajar bagaimana
partai yang berangkat dari aspirasi agama orientasinya akan
kembali pada tujuan agama yang eksklusif dan pada
akhirnya akan terjebak dalam sektarianisme. Kekhawatiran
politik itu muncul ketika lahir banyak parpol baru yang
berlandaskan aspek primordialisme. Jangan sampai muncul
kembali kekhawatiran politik bahwa dengan sistem
multipartai yang pernah terjadi tahun 1950-an terjadi
fragmentasi politik yang sangat tajam. Fragmentasi itu dapat
membahayakan integrasi bangsa.
  Parpol-parpol baru memang harus menghindarkan diri
dari primordialisme karena sebagai partai ia memiliki fungsi
dan sah untuk merebut kekuasaan (the allocation authority
of value). Bila demikian, maka kekuasaan yang dipegang-
nya (dalam pemerintahan) sekurang-kurangnya terselu-
bung-bersifat dan berorientasi pada primordialisme. Pada
gilirannya, hal itu akan mengakibatkan fragmentasi politik
yang tajam dan dapat membahayakan integrasi bangsa.
Hal itu tidak mudah. Tampaknya strategi berbasis ikatan
primordial lebih pragmatis dan lebih menjamin dalam
jangka pendek. Akan tetapi, strategi pragmatis itu untuk
jangka panjang tidak akan menguntungkan. Agar arah yang
membahayakan itu tidak terjadi maka harus ada
kesepakatan awal para penggagas parpol barn. Arab
reformasi menyeluruh dimaksudkan nntuk tetap
mempertahankan negara kesatuan RI dengan berbasis pada
UUD 1945 dan ideologi Pancasila. Oleh karena itn, asas
dasar parpol barn barns tetap mengacu pada ideologi
kebangsaan -- Pancasila -- yang sudah teruji sebagai asas
kebangsaan dan kesepakatan bersama common platform.
Sebab, dengan dibentuknya parpol baru yang tidak
berbasis primordial berarti mendukung adanya pengakuan
plnralisme Indonesia sehingga yang muncul bnkanlah
parpol yang eksklusif, tetapi parpol yang terbuka bagi
warga masyarakat tanpa membedakan suku, ras, dan
agama.
  Usaha-nsaha ke arab itu sudah dilakukan pada Masa
Orde Baru dengan usaha meminimalkan konflik-konflik
politik dan konflik ideologis dengan menjadikan Pancasila
sebagai basis wacana politik. Dengan demikian, "Politik
Aliran" yang dianggap lama mendominasi konfigurasi
politik Indonesia sudab dianggap selesai. Kemajemukan
ideologi dicoba disatukan menjadi kelompok-kelompok
politik yang ada. Mereka diikat untuk berkompetisi satu
sama lain atas dasar program-program politik mereka yang
riil dan bukan atas dasar retorika politik dan sentimen
ideologis.
   Sayang, akses partai politik dalam penentuan kebijakan
politik baik lewat kabinet maupun lembaga perwakilan
ternyata tidak memuaskan. Saya masih ingat silang
pendapat oleh sejumlab pimpinan DPR tentang keberadaan
anggota DPR. Anggota DPR itu wakil rakyat atau wakil
partai atau malahan wakil fraksi? Pertanyaan itu bagi saya
aneh. Bukankab adanya partai merupakan representasi
suara dan kepentingan rakyat? Bukan sebaliknya! Tetapi
kenyataan yang aneh itulah yang terjadi. Begitu fraksi
memutuskan ini atau itu, semua barns diam dan menerima.
Siapa yang tidak menerima berarti di luar sistem. "Fraksi
bicara habis perkara," demikian ungkapan yang saya kira
cocok. Fraksi partai dalam lembaga perwakilan merupakan
minoritas di tengab fraksi lain yang lebih besar. Fraksi
PDI dan PPP (kalanpun bersatu) masih baru berhadapan
dengan Fraksi Utusan Daerab, Fraksi-ABRI, dan Fraksi-
Karya Pembangunan. Tentu saja tidak efektif. Kedaulatan
rakyat diaktualisasikan dalam Pemilu. Tetapi, setelab
Pemilu berakbir sepertinya tidak ada kedaulatan lagi.
Bahkan, anggota DPR yang berani berbeda dengan fraksi
atau partainya dia barns slap di-recall. Sangat kentara
adanya mata rantai yang putns antara rakyat atau
masyarakat yang berdaulat dan lembaga yang mewakilinya.
  Dalam era reformasi, partai-partai politik harus
diperbarui. Pluralitas masyarakat terbentuk karena suku,
ras, agama dan kepercayaan, ideologi merupakan suatu
kenyataan yang tidak bisa ditolak. Partai berorientasi pada
program yang menyentuh secara langsung pada kebutuhan
riil masyarakat, bersifat terbuka, menembus batas ideologi,
agama, dan ras. Eksploitasi terhadap agama akan membawa
antagonisme serta radikalisme keagamaan terbukti selalu
berumur pendek karena kekurangan visi dan misi politik
serta program sosial politik yang masuk akal sehingga sulit
meraih dukungan massa. Orientasi pada program harus
menjadi mainstream perjuangan partai-partai baru yang
akan berdiri tidak melenceng dari eksistensi dan nilai-nilai
substansial yang melekat pada suatu partai.
   Dengan demikian, partai menjadi sarana komunikasi
politik dalam rangka artikulasi dan agregasi politik dengan
jalan menghubungkan tuntutan-tuntutan rakyat dan
rekomendasi-rekomendasi kebijakan antara suprastruktur
dan infrastruktur politik secara efektif. Partai juga harus
menjadi mediator sosialisasi politik, sebagai sebuah proses
sosial yang menjadikan warga bangsa ini memiliki budaya
politik yang demokratis yang selama ini terpasung. Dengan
sosialisasi politik yang dilakukan oleh parpol akan
berimplikasi pada perubahan budaya yang selama ini
berjalan bahkan akan tercipta budaya politik baru. Parpol
juga harus menjadi wahana sosialisasi kebijakan pemerintah
pada rakyat. Partai harus mampu berfungsi sebagai wahana
rekrutmen politik, di mana terjadi sebuah proses seleksi
berdasar pada kriteria kemampuan alami dan prestasi juga
terbuka, budaya rekrutmen seperti itu akan mampu
melahirkan kepemimpinan politik yang andal. Partai juga
harus berfungsi sebagai management of conflict, balk secara
internal maupun eksternal, sehingga tercipta tertib politik.
Partai politik berfungsi sebagai wahana artikulasi dan
agregasi kepentingan rakyat. Partai akan menjadi tempat
di mana rakyat menyatakan kepentingan dan keinginannya
agar disalurkan dan diperjuangkan.
   Parpol baru yang terbentuk ini harus dapat me-
ngemban fungsi politik yang ada. Bila tidak, bisa dipastikan
implikasi fungsi politik yang muncul akan tidak meng-
untungkan baik bagi kepentingan pendewasaan politik
masyarakat maupun kepentingan bangsa secara keseluruh-
an. Artinya, menjaga keutuhan dan integrasi nationstate
Indonesia dan kelestarian konvergensi nasional, baik
konvergensi budaya antara santri dan abangan ataupun
konvergensi aliran agama antara tradisionalis dan modernis,
serta antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an,
  Dalam rangka membangun politik dan ideologi harus
dihindarkan konflik politik dan ideologi dari artikulasi
melalui wacana keagamaan atau paling tidak berkonotasi
agama. Konflik seperti itu akan membawa konsekuensi-
konsekuensi negatif berupa fanatisme di antara dan di
dalam komunitas-komunitas agama. Agama tidak menegas-
kan dirinya kembali sebagai suatu ideologi politik yang
formal. Meski demikian, tidak berarti bahwa agama tidak
lagi berfungsi sebagai medium untuk melakukan perbaikan
atas kenyataan.
   Dapat dipahami bahwa meskipun terjadi kemerosotan
yang drastis dari pengaruh politiknya, agama tetap
berperan. Agama memberi dasar tatanan moral dan menjadi
"energi hidup" (elan vital) yang terus menerus bisa ditimba
oleh manusia untuk berbuat, untuk hidup. Sebagai se-
perangkat struktur nilai khusus agama memiliki ke-
mampuan menjelaskan dan merekonstruksi kenyataan
sosial di dalam waktu dan tempat yang berbeda. Agama
masih harus dipertahankan sebagai faktor penting untuk
memahami proses politik di Indonesia pada masa men-
datang. Agama yang mengakui I<eesaan dan Kemaha-
kuasaan Allah dan menegaskan fitrah manusia sebagai
hamba Allah akan menjadi negasi terhadap segala
kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, pemerkosaan,
dan ketidakadilan yang terjadi dalam sejarah. Kemaha-
kuasaan Allah menjadikan segala kuasa dunia ini relatif
dan mendudukkan manusia sebagai sesama yang sederajat
dan bersama-sama hidup sebagai hamba Allah. Dengan
itu, agama memberi dasar bagi ideologi politik yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu pada
gilirannya akan mempengaruhi "budaya" politik dan
tindakan di dalam masyarakat, seperti penegakan hukum,
pelaksanaan HAM, pelaksanaan sistem demokrasi. Pada
saat kritis agama juga mampu menjadi modalitas agar
tuntutan-tuntutan sosial politik dapat disuarakan dan juga
dilaksanakan sehingga tercipta keadaan masyarakat yang
lebih baik.
 


www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir