[  H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

   Dalam kedudukan sebagai raja baru, Ibnu Saud
mengundang utusan umat Islam dari seluruh dunia untuk
menghadiri Kongres Islam Sedunia (Muktamar al-Alam
al-Islami) di Mekkah yang akan diadakan pada 1 Juni 1926.
Selain penataan Mekkah dan Madinah untuk keperluan
ibadah haji, kongres juga diharapkan membicarakan
masalah kekhalifahan (khilafah). Masalah kekhalifahan ini
sudah ramai dibicarakan setelah pada tahun 1922
kesultanan Turki runtuh dan berubah menjadi republik.
Pada tahun 1924 parlemen Turki menghapuskan lembaga
kekhalifahan. Suatu muktamar khilafah diadakan di Kairo
dan Indonesia membentuk Comite Khilafah sendiri untuk
keperluan itu.
  Undangan Ibnu Saud dibahas dalam kongres ke-4 Pan
Islam (Al-Islam) di Yogyakarta pada 21- 27 Agustus 1925.
Para ulama pesantren mengusulkan delegasi ke muktamar
itu membawa permintaan agar Ibnu Saud menjamin
kebebasan beribadah berdasarkan tradisi mazhab.
Ternyata, rapat pemimpin Islam aliran pembaru (non-
pesantren) di Cianjur pada tanggal 8 - 10 Januari 1926
memutuskan bahwa wakil umat Islam Indonesia ke
kongres Mekkah adalah HOS Tjokroaminoto (PSI) dan
Mas Mansur (Muhammadiyah). Hal itu agak menyimpang
dari kebiasaan mengirim utusan Islam Indonesia keluar
negeri sejak Comite Khilafah dibentuk pada tanggal 4
Oktober 1924. Komite itu dipimpin oleh Wondosoedirdjo
(kelak dikenal sebagai Wondoamiseno) dari SI sebagai
ketua, dan K.H. Abdoel Wahab sebagai wakil ketua,
sedangkan utusan terdiri dari Soerjopranoto (SI),
Fachruddin (Muhammadiyah), dan K.H. Abdoel Wahab
(pesantren).
  Secara resmi utusan dan usul yang akan dibawa ke
muktamar di Mekkah baru akan diputuskan dalam Kongres
Al-Islam ke-7 di Bandung, G Februari 1926. Namun, melihat
gelagat aliran pembaru sejak pertemuan Cianjur K.H.
Abdoel Wahab menyatakan mundur dari Comite Khilafah.
Atas prakarsa sejumlah kiai diadakan pertemuan ulama
pesantren di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Pada
pertemuan itu dinyatakan pembentukan organisasi
Nahdlatul Ulama atau "Kebangkitan Kaum Ulama" (NU)
dengan para tokoh ulama pesantren di Jawa Timur. Di
antara pendiri tersebut terdapat K.H. Abdul Wahab
Hasbullah, kelahiran Jombang (dekat Mojokerto), bersama
Syekh untuk perjalanan haji, ahli hukum, dan guru agama:
K.H. Hasjim Asj'ari, mahaguru dari pondok pesantren
Tebuireng (yang didirikan pada tahun 1899 di dekat
Jombang); K.H. Bisri, seorang kiai kelahiran Pati dari
keluarga pedagang yang telah "keliling Jawa" dari pondok
yang satu ke pondok yang lain; K.H. Ridhwan, kelahiran
Surabaya dan putera pedagang batik pang naik haji pada
tahun 1901 setelah melewatkan sebelas tahun di pelbagai
pesantren Jawa Timur dan Madura.
  Hampir bersamaan dengan pendirian NU, pondak
pesantren Tebuireng banyak menjadi buah bibir karena
pembaruan-pembaruan yang diadakan berkat dorongan
Kiai Ilyas yang masih muda. Kiai Ilyas, salah seorang
keponakan Nafiqah, isteri K.H. Hasyim Asy'ari yang telah
diangkat anak oleh pendiri NU itu. Kiai muda itu
sebelumnya telah mengikuti pendidikan dasar khusus
untuk orang pribumi (HIS) di Surabaya sebelum menetap
di Tebuireng Salah satu pembaruan itu adalah pemakai-
an huruf Latin untuk metnbuka kesempatan yang lebih
luas kepada para santri menimba ilmu pengetahuan. Usaha
itu mendapat perlawanan dari warga NU yang masih
tradisional. Pembaruan itu didukung oleh K.H. Hasyim
Asy'ari. Pembaruan juga dilakukan dalam pendekatan
pedagogik dengan mempelajari metode pendidikan yang
telah diterapkan di sekolah lain, seperti Taman Siswa,
Muhammadiyah, Aligargh maupu" Santineketen. Presiden
Soekarno pada tahun 1964 memperoleh gclar Doktor
Kehormatan Doctor Honoris Causa dari IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pada pidato pengukuhannya Bung
Karno menyatakan dukungannya atas usaha modernisasi
itu, "Bebaskan pikiran kalian dari rangka pesantren yang
sempit dan membumbunglah setinggi-tingginya di udara,
seperti elang-elang raja. Pandanglah seantero dunia
Bukan hanya Arab Saudi, Mekkah dan Medinah, tetapi juga
Kairo dan Spanyol, pandanglah sejarah, seluruh sejarah.."
  Pada tahun itu juga K.H. Imam Zarkasji bersama dua
saudaranya mendirikan pondok modern di Gontor. Usaha
modernisasi terus dilakukan dengan mendirikan pondok
modern "perintis" di Pabelan, dekat Magelang pada bulan
Agustus 1965. Beberapa kongres diadakan di Surakarta
tahun 1970, di Tugu tahun 1971, guna mendorong dan
merangsang para kiai untuk menyesuaikan pengejaran
mereka pada tuntutan-tuntutan baru pembangunan bangsa.
  Secara ringkas pembaruan terletak pada tiga tataran
pokok. Mula-mula pada tataran fisik. Sang guru dan mu-
rid tidak lagi duduk di lantai atau di atas tikar, tetapi di
ruang kelas dengan papan tulis hitam, dan bangku-bangku
murid. Bersamaan dengan itu untuk para santri diterapkan
sistem asrama dan kantin dari bahan permanen. Hal itu
berbeda dengan masa sebelumnya berupa pondok kayu
yang mereka tinggali secara berkelompok. Sudah barang
tentu ada perubahan dalam mata pelajaran. Di samping
teks-teks Arab yang tetap diterjemahkan dan dibahas,
dimasukkan pelajaran matematika dan ilmu hitung, geografi
dan bahasa Inggris.
  Di Gontor misalnya, pemakaian bahasa Indonesia
dilarang pada jam-jam tertentu, dan para murid harus
berbicara dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris. Pelajaran
teknik dipertahankan dan dikembangkan, terutama di
Pondok-pondok yang mengkhususkan diri dalam hal ini,
seperti di Pabelan. Meski demikian, pelajaran olahraga tidak
diabaikan. Setiap pesantren berusaha mempunyai lapangan
Olahraga dan regu kepanduannya sendiri. Modernisasi juga
terjadi pada struktur pesantren sendiri. Timbul hasrat untuk
melakukan efisiensi, suatu hal yang tidak pernah dilakukan
pertapaan kuno dulu. Fokus perhatian juga dipusatkan
pada mutu pelajaran, seleksi para santri, persaingan
kualitas, dan kadang-kadang suatu ujian masuk yang ketat.
Sering juga diusahakan untuk memperluas wawasan
pesantren dengan menrrintegrasikannya. dalam dunia seke-
lilingnya. Misalnya, dengan mengikutkan para santri dalam
kegiatan desa tetangga atau sekolah-sekolah umum di luar.
Meskipun letak pesantren terpencil, jalan ke tempat itu
diaspal sehingga mempermudah orang menjangkau dan
berkomunikasi dengan dunia luar. Dulu pesantren sangat
tergantung pada kharisma para kiai pendirinva, tetapi
sekarang ada kecenderungan untuk menenkankan peran
"tim" dalam pengelolaan pendidikan itu. Untuk meng-
hindari masalah "suksesi" dibentuk yayasan resmi yang
mendukung kelangsungan lembaga pendidikan itu.
  Dalam bidang sosial sebetulnya sejak Masa
Pcndudukan Jepang, NU telah mulai melepaskan sikap
tradisional mereka berupa perlawanan pasif dan
selanjutnya mengarahkan diri ke dunia ramai, bahkan di
bidang politik. Saat lepang menduduki Jombang pada
tahun 1942, Kiai Hasyim dicurigai dan ditangkap. Namun,
atas usaha putranya Abdul Wahid yang kemudian terkenal
dengan nama Wahid Hasvim dan karena kebesaran
kharismanya Jepang melepaskannya. Pada bulan Novem-
ber 1943 K.H. Hasjim Asj'ari terpilih sebagai ketua
pergerakan baru Masjoemi. Sebagai media komunikasi
diterbitkan Asjoe'lah, sebuah majalah berkala untuk
wadah komunikasi antara pemerintah dan pemimpin
muslim di daerab. Dua tahun kemudian ia diangkat menjadi
direktur Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama,
menggantikan Prof Hoesein Djajadiningrat yang dipandang
bertanggung jawab atas pemberontakan Kiai Zainal Mustafa
di Singapama, Tasikmalaya yang telah bergabung dengan
NU sejak 1933. Pada waktu Hoesein diangkat (September
1943) secara umum situasi masih cukup balk bagi pihak
Jepang untuk berpegang pada cara berpikirnya sendiri.
Tetapi ketika situasi perang semakin tidak menguntungkan
bagi pihak Jepang ditambah dengan situasi sosial-ekonomi
di Jawa yang makin memburuk, kebutuhan untuk
menggalang kerja sama dengan kaum muslim menjadi
sesuatu hal yang sangat mendesak. Dengan kata lain,
ketergantungan Jepang kepada para pemimpin Islam untuk
menjalankan kebijakan yang menguntungkan perang Asia
menjadi sangat besar. Pengangkatan K.H. Hasyim Asy'ari
sebagai Shumubucho merupakan konsesi Jepang kepada
kekuatan-kekuatan muslim, dan pengangkatan itu tidak
dapat dipandang sebagai akibat simpati Jepang kepada
kaum muslim.
  Pengangkatan Hasyim Asy'ari itu disambut dengan
bersemangat oleh masyarakat. Akan tetapi, ia tetap tinggal
di Jombang sekalipun sudah diangkat dan jarang muncul
di kantor Shumubu. Dengan usia yang telah lanjut (69
tahun) dan dengan tanggung jawab besar sebagai
pemimpin besar pesantren besar, tentu saja sulit baginya
untuk meninggalkan Jombang. Sekalipun ada keterbatas-
an seperti itu, pemerintahan Jepang menganggapnya
sebagai orang yang sangat diperlukan dan mengira dapat
mengambil keuntungan dari pengaruh besar dan gengsi
tinggi ulama itu. Putranya, K.H. Wahid Hasyim diangkat
dalam jabatan Sanyo yang setingkat dengan jabatan wakil
Shumubucho bersama dengan kiai lain, seperti K.H. Abdoel
Kahar Moezakir, seorang pimpinan Muhammadiyah dari
Yogyakarta. Meskipun Wahid Hasyim masih muda, ia telah
aktif sebagai pemimpin NU daerah, sejak 1932. Selama
masa pendudukan Jepang kiai muda itu menduduki
berbagai jabatan penting, seperti anggota Chuo Sangiin
(Dewan Pertimbangan Pusat) dan Wakil Ketua Masjoemi.
   Keberhasilan dan pengalaman pada jabatan-jabatan
penting sewaktu pendudukan Jepang itu, mengantarkan-
nya sebagai kandidat Menteri Agama dalam kabinet
pertama Rcpublik Indonesia, dalam usianya yang baru 32
tahun. Kantor itu kelak kemudian hari berkembang pesat
sesudah kemerdekaan menjadi Departemen Agama.
Meskipun demikian, tidak berarti kiai pendiri NU: ini tidak
kritis terhadap tentara pendudukan Jepang. Ia pernah
berselisih paham tentang cara-cara membcri penghormatan
kepada Kaisar Jepang. Pada bulan Februari 1944 pusat-
pusat latihan permanen bagi guru-guru pesantren dan
madrasah daerah didirikan di Jakarta. Atas persetujuan
tentara pendudukan didirikan sejenis milisi Muslim
Hizbullah atau "Pengawal Tuhan" yang dimaksudkan untuk
memberi pendidikan militer kepada kaum santri. Pasukan
itu kemudian bergabung dengan Tentara Nasional Indo-
nesia (TNT) beserta semangat dan nilai-nilai yang mereka
yakini. Dukungan kepada perjuangan kemerdekaan In-
donesia diwujudkan dengan pidato-pidatonya yang
memberi semangat kepada rakyat pada awal revolusi
kemerdekaan. Pendiri NU itu wafat pada 25 Juli 1947 akibat
serangan jantung, di tengah-tengah perjuangan kemerdeka-
an, saat utusan-utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tome
datang meminta nasibat dan sarannpa. Ia dimakamkan
dekat mesjid di pondoknya. Ia diangkat menjadi "Pahlawan
Nasional" pada bulan November 1964.
  Keterlibatan para ulama NU terus berlanjut pada masa
kemerdekaan. Sejak tahun 1946 saat ulama melakukan
"kompromi" politik dengan kaum nasionalis yang
menghendaki Pancasila dan bukan agama Islam sebagai
ideologi negara dengan pendirian Departemen Agama.
Khususnya pada masa pemerintahan Soekarno,
departemen itu menjadi ajang kriprah kaum santri
meningkatkan kualitas kehidupan beragama. Dari sisi
pendidikan mulai tahun 1960 telah didirikan Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) yang benar-benar merupakan
universitas Islam yang dibiayai negara. Institut itu memiliki
empat fakultas: Usuluddin (Teologia), Syari'a (Hukum),
Tarbiya (Pedagogi), dan Adab (Sastra). Dewasa ini empat
belas IAIN telah didirikan, kebanyakan berlokasi di Jawa.
Lewat pendidikan itu diharapkan dihasilkan pengajaran
tinggi yang bermutu kepada para murid-murid keluaran
pesantren dan umat Islam pada umumnya.
  Pada tingkat pendidikan dasar pemegang peranan
pokok masih pesantren-pesantren yang sejak awal tetap
merupakan lembaga swasta. Menurut catatan dewasa ini
hampir 40.000 di seluruh Indonesia, dengan jumlah murid
kurang lebih delapan juta orang. Sejumlah pesantren
terkenal yang bisa saya sebut di sini adalah di pulau Jawa:
Kaliwungu, dekat Demak; Al Hidapat di Lasem; Kebarong-
an dekat Banyumas; Tegalrejo, Pabelan, dan Payaman di
daerah Magelang; Krapyak di Yogyakarta; Jamsaren di
Solo; Tegalsari dekat Madiun; Takeran dekat Magetan;
Gontor dekat Ponorogo; Termas dekat Pacitan;
Tembakberas dekat Jombang; Tebuireng dekat lombang;
Lirhopo dekat Kediri; Dukun dekat Gresik; Blok Agung
dekat Banyuwangi; dan Bangkalan dekat hladura;
Langitan dekat Tuban. Pesantren di daerah Pasundan bisa
disebut Citangkil di Banten; babakan dan Ciwaringin dekat
Cirebon; Darul Falah dan Al Falah dekat Bogor;
Darussalam di Ciamis, Suralaya di Tasikmalaya; Santi
Asromo di Majalengka; Gunung Puyuh di Sukabumi.
   Lingkungan NU yang terus melakukan modernisasi
itu saya rasakan lewat kehadiran rekan dan keluarga di
sekeliling saya. Hal itu membuat saya at home sebagai
warga nahdliyin. Sebagai penganut Islam paham Ahl-sl
'I-sunnah wa 'l-Jama'ah atau suni, konsep kalamnya adalah
tidak mungkin terlaksana tatanan masyarakat muslim
tanpa melembagakan kekuasaan. Perubahan dan
tuntutan zaman ternyata membimbing NU memunculkan
visi baru. Visi baru itu antara lain diformulasikan oleh
K.H. Abdurrahman Wahid dan kiai-kiai lain yang menurut
saya sangat modernis. Islam dalam pandangan ini akan
lebih praktis untuk berjuang dalam jalur demokratisasi,
penjaminan pelaksanaan HAM, dan penegakan hukum.
Sebab dalam Islam (dan agama-agama lain) sudah ada
postulat-postulat itu. Semua pemerintahan despot, tiran,
diktator yang dikutuk oleh hak asasi manusia dan
demokrasi juga ditolak oleh hukum Islam. Agama bukan
hanya label atau ornamen, tetapi penghayatan konkrit
dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat
Saya menyadari visi itu belum merata diterima oleh
kalangan muslim pada umumnya. Dalam tataran gagasan,
hal itu sudah terjadi khususnya di lingkungan generasi
muda NU. Tetapi yang lebih penting adalah mewujudkan
visi dalam tataran aplikasinya. Bagaimana hal itu diwujud-
kan dalam kehidupan sosial maupun politik. Dalam
konteks ini perjuangan modernisasi warga nahdliyin masih
panjang. Dalam kerangka itu mungkin perlu pemantapan
kembali "Teologi Perjuangan" bagi seluruh warga NU.
  Teologi merupakan pokok keyakinan yang menjadi dasar
seluruh ajaran. Ibaratnya ia seperti ruh dalam setiap
langkah dan usaha manusia. Umat Islam dalam kasab-
nya dijiwai oleh pesan Allah dalam ayat ke-llO Surat Ali
Imran, "Kuntum Khaira ummatin ukhrijat li al-naasi
ta'muruuna bi al-ma'rufi wa tan hauna'anil munkari wa
tu'minuunabillah ..." Artinya, "kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah yang mungkar dan beriman
kepada Allah..". Ayat tersebut mengisyaratkan kepada
kita bahwa langkah pertama yang harus ditempuh guna
mewujudkan atribut "khaira ummah" haruslah ber-iqamatu
al ma'ruf, yang memiliki arti sangat luas. Termasuk di
dalamnya perbaikan dalam bidang sosial, ekonomi,
budaya, politik, teknologi, ilmu pengetahuan maupun
aspek kehidupan lainnya yang akan mengangkat
kemaslahatan bersama. Setelah langkah pertama sukses
terus meningkat langkah kedua, iqmatu nahiy al-munkar.
Kemungkaran di sini termasuk kemiskinan, kebodohan,
kemalasan dalam perbuatan baik maupun al-akhlaq al-
madzumah lainnya. Setelah langkah pertama dan kedua
tergarap barulah langkah ketiga, tu'minuna billah. Artinya,
jangan mengharapkan "beriman kepada Allah" akan
berhasil kalau tidak iqamatu al-ma'ruf dan nahyan al
munkar. Artinya pembangunan atau kemajuan boleh jalan
terus tetapi keimanan harus tertanam dalam kalbu. Saya
kira, khitah asli--meski tidak dirumuskan secara tertulis--
telah merumuskan empat bidang kegiatan, yaitu pendidikan         (ma'arif), kesejahteraan sosial (mabarat), penyebaran
agama (da'wah) dan perekonomian.
   Dalam perjuangan itu pula peranan Partai 
Kebangkitan Bangsa menjadi penting,
khususnya dalam menghadapi Pemilu 1999. Bagi NU
sendiri, Pemilu 1999 selain menjadi ajang pembuktian,
juga akan menjadi momen yang tepat untuk merumuskan
peran politik yang ingin dimainkannya.

Sumber Bacaan:
Aula, September 1998. "Kesiapan Pesantren Dalam Proses
Industrialisasi"
Aiko Kurasawa. 1992. Mobilisasi dan Kontrol, Studi tentang
  perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta:
Grasindo dan Yayasan Karti Sarana.
Deliar Noer. 1973/1978. The Modernist Muslim Movement
   in Indonesia 1900-1942. Kualalumpur: Oxford Univer-
sity Press.
Dennys Lombard. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya 2.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kompas, 30 Desember 1998
M. Ali Haidar. 1994. Nahdatul Ulama dan Islam di Indone-
sia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Media Indonesia, 13 November 1998 "Hindari Negara
Berasumsi Agama"
Dr. Nurcholish Madjid. 1997 Bilik-Bilik: Pesantren Sebuah
Potret Perjalanan Jakarta: Penerbit Paramadina
Tempo, edisi 12-18 Januari 1998
"Nahdliyin (Masih) Menunggu Restu Kiai"
"Khitah Tembus Jalan Buntu"
 


www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir