[  H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Agenda Politik

Kritik dan reaksi masyarakat saya pandang sebagai cermin
diri agar terus berada pada jalur yang benar, selalu
memperbaiki dan menyempurnakan diri. Salah satu kritik
itu juga datang dari Dawam Rahardjo, salah seorang Ketua
Partai Amanat Nasional (PAN) sebelum lahirnya PKB, NU
sebenarnya bisa digolongkan organisasi terbesar yang
memperjuangkan civil society secara murni. Namun, setelah
lahirnya PKB yang didirikan untuk mewadahi warga NU
dalam pentas politik, menurut Dawam, ciri khas NU itu
hilang. "Hal itu bukan berarti saya anti-PKB. Saya hanya
mengatakan bahwa PKB itu didirikan untuk mewadahi
aspirasi NU," kata Dawam. Artinya, menurut dia, memang
ada suatu desain bahwa orang NU itu memilih PKB. Dasar
ketidaksetujuan Dawam adalah pandangan bahwa NU itu
sebaiknya menjadi organisasi civil society yang memberi
kebebasan warganya untuk memilih partai politik apa saja
sehingga tidak perlu membuat partai yang menampung
aspirasi NU. Menurut dia, ada perbedaan cukup mendasar
antara PAN dan PKB. PKB didirikan oleh organisasi,
sedangkan PAN itu tidak didirikan oleh organisasi tetapi
dirikan oleh individu-individu. Jika organisasi-organisasi
itu mendirikan PAN, Dawam menolak. Dawam menyatakan
tidak setuju bila suatu organisasi itu berafilisiasi dengan
parpol. Ini untuk membebaskan organisasi civil society dari
partai-partai dan mencegah perpecahan. Kalau nanti warga
NU menyalurkan suaranya ke PKB dan kebetulan PKB
kalah, wah nanti warganya dikuyo-kuyo (disindir-sindir),
katanya.
     Tentu saja Dawam boleh berpendapat begitu. Itu
hak dia. Cuma bagi saya aneh bila demi menegakkan civil
society warga NU tidak boleh mendirikan partai politik
sendiri. Bukankah sebaliknya, justru adanya partai menjadi
wadah untuk meningkatkan pendidikan, kesadaran, dan
partisipasi politik. Partai sebagai sarana artikulasi dan
agregasi (penampilan masalah secara menyeluruh)
kepentingan-kepentingan rakyat di dalam lembaga-
lembaga politik. Soal kalah atau menang bukankah itu
biasa dalam politik? Mengapa kekhawatiran
itu berlebihan?
Saya juga menyadari ada "kebencian" kepada NU dan
PKB. Hal itu tampak dalam serangkaian aksi tindak
kekerasan di Banyuwangi yang menelan banyak korban
dari warga nahdliyin. Orang mengatakan ada hujatan
kenapa NU tidak membagi adil saja anggotanya, seperti
khitah, bebas-bebas saja. Atau ungkapan-ungkapan bahwa
keadaan yang lalu lebih bagus dari sekarang. Indikasi-
indikasi itu ada. Menurut K.H. Hasyim Nuzadi, Ketua
PWNU Jawa Timur, ada dua kekuatan yang bertarung yang
disebutnya sebagai yang pro status quo dan pro perubahan.
Di dalam kantong status quo isinya banyak. Yang main di dalam ini 
banyak. Mungkin rezim yang lama, mungkin
orang yang akan dirugikan dengan pemilu, mungkin juga
orang yang akan bergeser kekuasaannya, mungkin juga
kekhawatiran terhadap dwifungsi (ABRI) yang mengecil.
Atau mungkin juga orang-orang yang tidak mau terbongkar salahnya. 
Ini semua jadi satu. Satu keranjang dalam istilah
saya status quo itu. Sementara yang reformis masih dalam
tanda petik," tegas Kiai Hasyim.
  Tentang kasus Banyuwangi ada satu komentar
menarik dari K.H. Maksum Jauhari, salah seorang pengurus
DPW PKB Jawa Timur, "Yang bakal menang pada Pemilu
1999 adalah PKB, karena PKB adalab partai hesar. Kalau
Golkar kalah, itu berarti tidak ada orang-orang Soeharto
dan kroninya, yang saya ibaratkan sisa-sisa laskar Pajang
itu melakukan teror dan pembunuhan terhadap ulama-
ulama NU. Ulama itu tokoh anutan umat. Ulama ibarat
lidi. Kalau tali pengikatnya lepas, sapu lidi
pengikat sapu itu tercerai berai."
  PKB bersama PBNU tidak mau terpancing dengan
manuver kekerasan itu. Ketua Umum PBNU pada Perayaan
Idul Fitri tahun 1997 pernah menegaskan, apabila hendak
membudayakan dan menegakkan demokrasi jangan sekali-
kali menggunakan kekerasan, tetapi hendaknya memakai
cara-cara persuasi, betapapun repotnya. "Kita tidak
melakukan sesuatu yang bersandar pada kekerasan. Negeri
ini milik bersama, jangan sampai ada kelompok yang
menamakan diri mayoritas kemudian berteriak meminta-
minta bagian "kue pembangunan" yang lebih besar dengan
menyebut dan membawa-bawa nama Islam. Sikap ini harus
kita hindarkan. Negeri ini milik bersama, mari kita bangun
bersama-sama," tegasnya.
  Kalau kita masih mempunyai prinsip mau menang
sendiri karena merasa mayoritas kita tidak dapat
menghindarkan diri dari kekerasan. Untuk itu, setiap
muslim harus lebih dahulu mengubah konsep jihadnya.
Sebab, jihad akbar, kata Gus Dur lagi, adalah memerangi
hawa nafsu dalam diri kita sendiri. Kecenderungan mau
menang sendiri saat ini sudah menggejala. Untuk
menghindarinya mari kita kembali kepada kebersamaan.
Agenda bangsa yang paling penting seperti ditegaskan oleh
sejarawan Sartono Kartodirdjo, adalah masalah persatuan
dan kesatuan, seperti disebut dalam Manifesto Politik
Tahun 1925. Tanpa itu, tidak bisa negara terselenggara
dengan berhasil. Prinsip berbangsa itu unity, liberty, dan
equality. Perlu juga ditambah personality, karena manusia
harus memiliki kepribadian, harus berbudaya. Tanpa
kebudayaan tidak ada artinya. Prinsip kelima adalah per-
formance, prestasi. Jadi, aktualisasi nasionalisme: Kita harus
memelihara kesatuan dan kerukunan beragama. Kedua,
bila ingin unggul dalam Iptek maka kebudayaan mesu budi
(asketisme) di dalam kampus mesti dicangkokkan dan
dipelihara masyarakat. Yang diperlukan model peran (role
model). Jangan hanya konsep atau omongan sebab
masyarakat butuh model peran konkrit, keteladanan nyata.
Agenda lain adalah masalah dwifungsi ABRI. Deklarasi
Ciganjur menegaskan bahwa dwifungsi akan dihapuskan
secara bertahap dalam kurun waktu G tahun. Saya ingat
kata-kata Marsilam Simanjuntak, idealnya tentara
dibutuhkan untuk negara. Itu akan lebih efektif kalau
tentara memusatkan perhatiannya kepada pembinaan
untuk dikerahkan sewaktu-waktu bila dibutuhkan. Tentara
dipercaya pegang senjata. Kapan dan ke arah mana senjata
itu ditembakkan, itu bukan dia yang menentukan. Itu harus
wewenang di luar dirinya. Yang penting, menjadi militer
bukan sesuatu vang otonom. Militer bagian dari
perlengkapan negara, yang sengaja diadakan dan diatur
untuk itu. Dari permulaan orang yang masuk ke situ harus
tahu, ini pengabdian.
Sebaliknya, masyarakat juga harus mampu menciptakan mekanisme 
pengambilan politik dan 
mekanisme penyelesaian konflik sosial-politik dengan cara
damai. Kalau tidak ada perpecahan, tidak perlu usaha
pencegahan berupa fungsi sosial-politik ABRI dan
sebagainya.
   Agenda ketiga adalah masalah konsolidasi ke dalam
partai sendiri. William Liddle pada acara Reuni UI di Jakarta,
18 Agustus 1998 menjelaskan dua kelemahan PKB.
Pertama, perpecahan di dalam NU. Misalnya, ada tokoh-
tokoh NU yang membentuk partai sendiri, seperti Yusuf
Hasyim, Abu Hasan, dan Syukron Makmun. Tetapi,
munculnya tokoh NU untuk mendirikan partai dengan
basis NU itu tidak banyak pengaruhnya terhadap PKB.
Kedua, visi orang-orang PKB untuk Indonesia masa depan.
Menurutnya, PKB tidak mempunyai visi nasional, tetapi
hanya memiliki visi lokal dan parokial. Liddle bercerita
bahwa seorang temannya mengadakan penelitian di Jatim
terhadap para kiai bahwa pemikiran mereka adalah bagai-
mana menguasai Departemen Agama dan jabatan-jabatan
politik lain.
  Pendapat tentang "kelemahan" dari Liddle itu disanggah
oleh K.H. Cholil Bisri bahwa dirinya orang modern hanya
pakaiannya saja yang tidak modern. Modern atau tidak itu
tidak hanya pada pakaian, tetapi pada pikiran dan perilaku.
Dengan pembentukan partai itu berarti pola pikir modern
sudah ada.
  Adanya partai lain selain PKB bukan berarti perpecahan,
tetapi hanya perbedaan pendapat. Hal itu ditegaskan oleh
salah seorang Ketua Pengurus Besar NU yang juga salah
seorang anggota Tim Lima PBNU, Rozy Munir, "Orang-
orang yang memimpin dan membantu pembentukan PKB
itu tidak ada yang kolot dan tak ada yang antimodern."
Rozy Munir juga tidak sependapat terjadinya perpecahan
gara-gara ada tiga tokoh NU: Yusuf Hasyim, Syukron
Makmun, dan Abu Hasan mendirikan partai sendiri. "Dan
meski kini ada tiga partai, namun rapat pleno PB NU setelah
pendeklarasian PKB beberapa waktu yang lalu menyatakan
hanya mengakui PKB sebagai satu-satunya partai untuk
mengakomodasi warga NU."
  Di samping kelemahan, terdapat juga kekuatan PKB,
yaitu basis NU yang terbukti sejak tahun 1955 hingga kini;
kepemimpinan yang sudah mentradisi lewat dukungan
para kiai dan jaringannya; dan modernisasi di lingkungan
pesantren tentang pemahaman akan kedaulatan rakyat,
kepastian hukum, dan penegakan HAM.
Tentang sikap Pak Ud bukan sesuatu yang aneh baik
bagi saya maupun warga NU. Kedua orang ini, paman
dan keponakan, sejak lama berbeda visi, persepsi, taktik,
dan strategi politik. Ketika Gus Dur menolak ICMI, Yusuf
Hasyim justru mendukung ICMI dan masuk di dalamnya.
Kctika Gus Dur mendukung saya melalui "Gerakan
Rembang" untuk menggulingkan Ismail Hasan Metareum,
Yuusuf Hasyim justru mengundang Metareum ke Pondok
Pesantren Tebuireng dan akhirnya diberi jatah sebagai
anggota MPP PPP, dan masih banyak lagi perbedaan lainnya.
  Kalau saya telusuri sejenak perjalanan politik NU,
termasuk keluarga para tokoh NU, memang secara wadah
tidak pernah utuh. Ketika K.H. Wahab Chasbullah
menyarakan NU keluar dari Masyumi dan bcrdiri sendiri
sebagai partai tahun 1952 dan ikut Pemilu tahun 1955 tidak
semua warganya mendukung partai NU. Ranyak juga yang
masih mcndukung Masyumi. Bukan hanya itu, putra-putra
tokoh NU sendiri sikap politiknya berbeda-beda Keluarga
K.H. Hasyim Asy'ari sebagian mendukung NU, sebagian tetap
Masyumi. Begitu pula keluarga K.H. Siddiq dari Jember.
Dalam musim kampanye, karena mereka menjadi juru kam-
panye, tentu saja di antara mereka saling menyerang. Kalau
sekarang juga terjadi pro dan kontra, baik menyangkut
kelahiran PKB maupun pemimimpinnya itu wajar saja.
Perbedaan sikap adik-adik kandung Gus Dur, yaitu
Salahuddin Wahid dan Aisyah Hami Baidlawi berbeda
dengan kakaknya sudah menjadi rahasia umum. "Kalau
tidak beda bukan NU. NU kan memang selalu begitu,"
tegas Gus Dur. Bukankah perbedaan itu rahmat! Coba
kalau di dunia ini isinya sama saja. Pastilah menjemukan
dan tidak ada keindahan atau mungkin sekali cepat kiamat.
   Melihat penolakan itu di dalam hati terpikir, saya ini
ibarat ayam yang dimasukkan ke kandang baru, lalu ayam-
ayam yang sudah merasa lama di kandang mecohi
(mematuk) saya. Hanya saja, saya sudah cukup lama
meninggalkan kandang itu. Tetapi, kita sebetulnya sama-
sama satu kandang. Perbedaan pendapat khususnya
mengenai diri saya itu tidak membuat pendirian Gus Dur
dan para kiai lainnya surut. Tak pelak lagi, akhirnya saya
tampil untuk memimpin partai warga nahdliyin. Kawan-
kawan saya berkomentar, "Wah sekarang spesialis sekjen
menjadi ketua umum partai!" Di sebuah harian dari Jawa
Tengah menulis berita tentang saya dengan judul "Gagal
di PPP Jadi di PKB!" Saya sebetulnya merasa biasa-biasa
saja. Kalau dilihat dari segi kedudukan di NU saat itu
barangkali banyak tokoh lain yang memiliki jabatan yang
juga pantas untuk menjadi I<etua Umum PKB.
  Ketika dimintai komentar seal penolakan sejumlah
orang tentang pencalonan saya, Gus Dur dengan tegas
menjawab, "Mereka itu berpikir ke belakang. Padahal, kita
ini harus berpikir ke depan." Saya diharapkan mampu
mengelola perbedaan-perbedaan pendapat itu dengan
pengalaman dan kemampuan saya melakukan lobbi. "Ben
wae. Matori iso! (Biar saja. Matori bisa!). Matori bisa
menyelesaikan masalah itu, sehingga mereka kelak akan
mendukung juga," kata Gus Dur, tenang.
  Harapan yang ditimpakan ke pundak saya cukup berat
dalam kepengurusan 1998-1999. Tetapi saya merasa tidak
sendirian. Saya merasa rakyat Indonesia sedang bangkit
dan bersama-sama mulai menyadari hak dan kedaulatannya
atas republik ini. Suatu kebangkitan masyarakat sipil (civil
society) telah tumbuh subur di era reformasi ini.
  Tentang kebangkitan kaum sipil itu, paling tidak ada
tiga hal yang bisa saya catat. Pertama, gerakan-gerakan
sosial menghasilkan terbentuknya berbagai organisasi.
Dalam pemahaman ini berbagai organisasi lahir dari unsur
pluralitas yang merupakan representasi keragaman aspirasi
dan kepentingan dalam masyarakat. Kedua, semua
organisasi berkoalisi dan menyatukan kekuatan bersama
dalam memperjuangkan kepentingan umum atau
kepentingan bersama. Ketiga, kepentingan yang
diperjuangkan adalah kehidupan negara yang demokratis
atau dengan kata lain, mengembalikan kedaulatan rakyat
ke kedudukannya yang sebenarnya. Antisipasi terhadap
kebangkitan masyarakat itu telah dilakukan dengan
deklarasi PKB yang dibidani oleh tokoh-tokoh dan warga
nahdliyin. Saya kira kinilah saatnya kebangkitan bangsa
itu akan terjadi.
  Tindak tanduk saya baik di luar rumah maupun di
dalam rumah, saya coba tidak berbeda. Jika misalnya saya
sering menyerukan menjunjung tinggi demokrasi di luar,
seruan itu juga saya terapkan di dalam rumah. Anak saya
yang kuliah di IKJ misalnya, karena praktek kerja sering
pulangnya sampai malam. Sebagai orang tua, saya sering
menasihati, "Bapak memberi kebebasan kepada kamu
supaya kamu selamat. Makanya, kamu harus bertanggung
jawab pertama-tama terhadap dirimu sendiri."
  Saya berkata begitu, karena anak perempuan "sekali
salah" dia akan salah terus. Artinya, kesalahan itu akan dia
bawa terus seumur hidup. Alhamdzllillah dia mengerti.
Anak perempuan saya bergaul dengan banyak orang, maka
saya tidak khawatir. Selain, saya percaya Gusti Allah juga
karena yang berbahaya itu kalau ia hanya bergaul dengan
satu orang saja. Dengan bergaul dengan banyak orang,
balk laki-laki maupun perempuan, dia sudah melatih diri
untuk memiliki ketahanan diri menjaga martabat dan
kehormatan. Tetapi kalau hanya satu orang, apalagi laki-
laki, itu malah berbahaya, bisa-bisa "kecelakaan" nanti.
 

Sumber Bacaan

Detak: No. 017 Thn I 3 -9 November 1998:
K.H. Hasyim Muzadi - Ketua PU NU Jatim
K.H. Maksum Jauhari: "Dalangnya Sisa-sisa Laskar
Pajang"- pengurus DPW PKB Jatim
Kompas, 23 April 1996
Kompas, 8 Maret 1997 "Halal Bihalal Budayakan Demokrasi
Fitrah Harus Menang"
Kompas, 24 Mel 1998
Kompas, 22 Juli 1998 "Matori-Muhaimin-Imam Churmen
Pimpin Partai Kebangkitan Bangsa
Kompas, 23 Juli 1998 "Pengaruh PKB pada PPP Masih Belum
Dapat Diukur"
Kompas, 24 Juli 1998
"Partai Kebangkitan Bangsa Berdiri"
  "Partai Kebangkitan Bangsa, Kerinduan Warga NU"
Kompas, 27 Juli 1998 "Matori Abdul Djalil Saatnya
Mendorong Kaum Pinggiran"
Kontan, No. 2 Tahun III, 5 Oktober 1998 " Militer Bukan
  Sesuatu yang Otonom"
Merdeka, 5 September 1998 "Dawam Lancarkan Kritik ke
PKB"
Merdeka, 17 November 1998 "Penjelasan Salahudhin Wahid"
   (Surat Pembaca)
Republika, 23 Juli 1998
Suara Merdeka, 26 Juli 1998
Tempo edisi 12-18 Januari 1999
"Nahdliyin (Masih) Menunggu Restu Kiai
"Khitah Tembus Jalan Buntu"


www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir