[  H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Bab l

DARI SEKJEN KE KETUA UMUM

  Partai Kebangkitan Bangsa  yang terlahir dari
garba Nahdlatul Ulama (NU) memang ditujukan
seara tulus ikhlas untuk: seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali.
(Garis Perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa)

   Sehari sebelum Deklarasi Partai Kebangkiran Bangsa
(PKB), dalam Rapat Harian Gabungan Syuriah dan
Tanfidziyah PBNU tanggal 22 Juli 1998 di Jalan Kramat
Raya 164 Jakarta, nama saya belum bulat diterima sebagai
Ketua Umum PKB. Dalam rapat ini topik yang paling seru
dan melalui perdebatan panjang adalah penetapan calon
ketua umum partai. Yang menarik, muncul kandidat lebih
dari satu. Mereka yang menolak saya, mencalonkan K.H.
Ma'ruf Amin atau K.H. Mustofa Bisri.
  Saya sendiri tidak mempersoalkan kedudukan di partai.
Keinginan saya yang utama adanya partai yang memberi
kesegaran baru, seiring dengan bergulirnya reformasi. Itu
saja! Seal diri saya, orang pasti sudah tahu kekuatan dan
kekurangan saya. Oleh karena itu, saya slap saja men-
jalankan amanat dari warga NU. Ide partai itu sering saya
kemukakan dalam berbagai kesempatan di lingkungan
saya, warga Nahdliyin dan di masyarakat pada umumnya.
Soal jabatan atau kedudukan menjadi nomor kesekian dari
prioritas hidup saya. Bagi saya, semua itu hanya amanah
dan sarana pengabdian bagi masyarakat. Saya memberani-
kan diri dicalonkan sebagai ketua partai karena mendapat
dukungan dari K.H. Abdurrahman Wahid dan sejumlah
kiai lainnva, selain dukungan dari generasi muda NU.
   Bursa calon ketua pada waktu itu memang ketat,
terlebih karena urgensi waktu. Hanya dalam waktu
beberapa bulan partai harus siap mengikuti pemilu. Di
samping itu, dalam kalangan NU sendiri masih terjadi silang
pendapat soal bentuk partai pang akan dideklarasikan.
Siapapun nanti yang memimpin, dia harus dapat merangkul
semua kekuatan politik dalam tubuh NU dan memperoleh
hasil Pemilu pang menggembirakan. Itu tentu bukan
perkara yang enteng. Kiai Ma'ruf Amin sudah diplot sebagai
Ketua Dewan Syura, sedangkan K.H. Mustofa Bisri tidak
bersedia dicalonkan. "Kalau nama Matori dengan PKB tidak
diterima maka akan saya deklarasikan sendiri!" tegas Gus
Dur. "Nanti akan kita lihat siapa yang benar!" tandasnya.
"Untuk saat ini, di mana PKB hanya punya waktu sangat
sempit untuk menghadapi Pemilu, Matori adalah orang
yang tepat. Karena dia sudah makan asam garam
perpolitikan. Dia sudah merasakan bagaimana diinjak-
injak," tambah Gus Dur. Masalah ada yang setuju dan tidak
setuju dengan figur Matori, menurut Gus Dur, adalah hal
yang biasa. "Kalau tidak ada perbedaan pendapat, ya bukan
NU namanya," katanya.
  K.H. Cholil Bisri pun mempunyai pandangan yang
sama. Kiai ini hanya terkekeh-kekeh membaca pernyataan
sikap yang dibuat kelompok yang mengaku mewakili NU
Jawa Tengah. Kelompok itu mengaku figur Matori tidak
mencerminkan aspirasi mereka. Pernyataan sikap itu
disebarkan ketika Matori sedang dibaiat menjadi ketua
umum. "Kalau mau bikin pernyataan itu ya mestinya minta
izin saya dulu. Tapi saya mau usut siapa yang membuat
ini. Soalnya dia nyuri stempel NU Jateng he...he.. he..,"
kata Kiai Cholil Bisri.
  Ali Haidar, pengamat politik yang sekaligus Sekretaris
Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI-persatuan pesantren
dalam NU), pernah mengatakan bahwa format politik NU
di tingkat lokal bisa sangat berbeda dengan format politik
di tingkat nasional. "Tidak semua senang ketika Gus Dur
ngotot mencalonkan Matori sebagai Ketua PKB. Sidang
pleno sudah menolaknya," begitu komentarnya.
  Meski demikian, dukungan Gus Dur terhadap pen-
calonan saya tetap kukuh, "Saya tidak ingin partai ini
dipimpin oleh orang yang plintat-plintut (dengan menyebut
nama seseorang). Tetapi harus dipimpin oleh orang yang
memiliki karakter kuat, telah merasakan pahit getirnya po-
litik dan tahan bantingan. Dan Matori telah teruji untuk itu."
  Penjelasan senada juga disampaikan Gus Dur kepada
beberapa orang pang di antara mereka terdapat seseorang
yang duduk dalam jajaran DPP Golkar, "Saya telah menguji
perilaku politik Matori sepuluh tahun lebih. Ternyata dia
paling cocok. Memang, belum semua kiai NU paham.
Tetapi nanti juga paham sendiri."
  Saya memang dipandang sebagai kader NU yang sudah
malang melintang dalam panggung politik sejak zaman
NU sebagai parpol hingga berfusi dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Karier, atau lebih tepat dikatakan
kiprah, saya sebagai Sekjen DPP PPP memang tidak di-
peroleh dengan gampang, melainkan merupakan suatu
perjalanan panjang. Karier politik dimulai dari daerah saya,
Salatiga. Mulai sebagai pemimpin PMII dan memimpin PPP
di daerah itu hingga duduk dalam kepengurusan DPW
PPP Jawa Tengah. Saya pernah menjabat sebagai Wakil
Ketua DPRD Salatiga, lalu Wakil Ketua DPRD Kabupaten
Semarang, ketua Komisi C DPRD Jateng, ketua FPP DPRD
Jateng dan sebagai anggota DPR Pusat selama dua periode.
   Sebagai warga NU klotokan, saya sudah aktif dalam
kepengurusan NU di Salatiga dan Jawa Tengah. Saya terlibat
dalam organisasi sebagai kader dari bawah yang boleh
dikatakan sudah cukup makan "asam garam" perpolitik-
an.
   Meskipun aktif di PPP, saya tetap loyal kepada induk
organisasi saya. Salah satu contoh yang patut dikemukakan
adalah saat Muktamar PPP tahun 1994 di Jakarta. Dalam
muktamar itu saya "menantang" Buya Ismail Hasan
Metareum dalam perebutan kursi ketua umum partai. Saya
berada di "Kelompok Rembang" bersama K.H. Cholil Bisri,
Imam Churmen dan tokoh-tokoh eksponen Nahdlatul
Ulama di PPP lainnya. Namun, suatu silent operation terjadi.
Operasi itu memanfaatkan keretakan di kelompok
Rembang. Pada saat mendekati medan laga, Hamzah Haz
dan teman-teman lainnya yang sebenarnya warga nahdliyin,
keluar dari barisan. Praktis di saat ketika itu pertarungan
dimulai, kelompok Rembang sudah "kempes" Saya pun
harus mengakui kekalahan. Usaha menumbangkan Buya
itu bukan untuk mengejar tujuan pribadi saya. Kalau saya
hanya ingin jabatan saya cukup merangkulnya karena angin
dukungan pemerintah berada di pihaknya. Justru karena
partai harus menjaga jarak dengan pemerintahlah maka
saya berusaha untuk mengalahkan dia dalam Muktamar.
Keinginan saya adalah menuntut hak warga NU dan warga
masyarakat pada umumnya yang semakin dipinggirkan.
  Memang, sesudah saya kalah, orang mengatakan
seakan-akan saya hilang seperti ditelan bumi. Anggapan
itu saya kira tidak beralasan. Saya memang sudah tidak
aktif di kepengurusan PPP. Tetapi bukan berarti saya
berhenti menyumbangkan pikiran dan tenaga saya.
Meskipun tidak ditunjuk sebagai juru kampanye di tingkat
pusat, saya tetap berkampanye di Jawa Tengah. Dalam
kampanye tersebut muncul istilah "Mega-Bintang" yang
diperkenalkan oleh Ketua DPW PPP Solo, Mudrick M.
Sangidu. Saya juga mengadaptasi istilah itu dalam
kampanye di daerah itu. Saya aktif di partai bukan hanya
karena ingin menjadi pengurus atau pimpinan partai. Saya
aktif di partai karena saya mencintai partai. Partai saya
pandang sebagai sarana memperjuangkan kepentingan
rakyat atau membangun demokratisasi. Perjuangan itu tidak
berhenti karena kalah dalam pemilihan jabatan partai.
  Kegiatan-kegiatan diskusi dan kepengurusan dalam
beberapa yayasan masih saya lakukan, meskipun saya
sekarang menjadi Ketua Umum PKB. Misi utama PKB
adalah menegakkan komitmen bangsa yang demokratis.
Sistem yang tidak demokratis dan tertutup terbukti menye-
babkan ekonomi ambruk, pemerintahan yang represif serta
munculnya penjarahan, berbagai teror lainnya, termasuk
kekerasan seksual. Misi itu sangat berat, mengingat
keutuhan bangsa saat ini nyaris tercabik-cabik. PKB
berkewajiban mengembalikan keutuhan bangsa ke arah
masyarakat yang damai dan dijiwai semangat persaudaraan.
K.H. Abdurrahman Wahid jauh-jauh hari sudah mengajak
warga NU untuk mencoblos PKB. Warga NU tampaknya
tidak mau mengulangi sejarah peran politiknya. PKB
didirikan PB NU untuk mewadahi, khususnya aspirasi
politik warga NU yang selama ini tidak tertampung oleh
tiga orsospol yang sudah ada. Termasuk di PPP, sekalipun
pada saat partai itu didirikan tahun 1973, NU termasuk
yang berfusi Lersama MI, PSII, dan Perti. Di pentas politik
nonstruktural pun NU berada di pinggiran. Istilah yang
begitu populer adalah "NU seperti tukang dorong mobil
mogok. Setelah mobilnya jalan, ditinggal plung begitu saja.
Bahkan K.H. Cholil Bisri menambahi, tidak hanya ditinggal
tetapi sempat diidoni (diludahi)."
  Terus terang saja, sebagai organisasi massa yang sangat
besar, nasib NU selama rezim Soeharto memang kurang
menggembirakan. Di pentas politik, NU dipreteli secara
bertahap. Setelah "dianjurkan" berfusi dalam PPP, unsur
NU tidak pernah berkesempatan memimpin partai tersebut.
Padahal, PPP mengandalkan perolehan suara dari massa NU.
  Itu pula sebabnya, dalam deklarasi pembentukan PKB
pada tanggal 23 Juli 1998 yang dibacakan oleh salah
seorang deklarator, K.H. Muchid Muzadi, dikemukakan
bahwa dalam kurun tiga dasawarsa terakhir, perjuangan
bangsa untuk mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan
semakin jauh dari yang diharapkan. Pembangunan
ekonomi, sosial, politik, dan budaya telah mengabaikan
faktor rakyat scbagai pemegang kedaulatan. Pengingkaran
terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip tersebut telah
melahirkan praktek kekuasaan tidak terbatas dan tidak
terkendali yang pada gilirannya mengakibatkan ke-
sengsaraan rakyat. Untuk mewujudkan prinsip-prinsip
tersebut dan untuk mencegah terjadinya kesalahan serupa
di masa depan, diperlukan tatanan kehidupan bermasya-
rakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Dalam
tatanan kehidupan yang demokratis tersebut, warga
Jam'iyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari bangsa In-
donesia bertekad untuk bersama komponen bangsa lainnya
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur,
berakhlak mulia, dan bermartabat melalui suatu wadah
partai politik.
  Dalam sambutannya seusai pengumuman pengurus,
Gus Dur mengatakan bahwa tugas yang diemban PKB
sangatlah berat. Selain mereka harus bekerja keras untuk
memenangkan Pemilu, PKB juga harus mengim-
plementasikan visi partainya yang bersifat kejuangan,
demokratis, dan terbuka. "Tidak sedikit dari kita, termasuk
warga NU, yang selama ini menganggap warga keturunan
Tionghoa bukan sebagai orang Indonesia. Ini salah, karena
tidak ada yang asli di Indonesia. Nenek moyang saya 500
tahun yang lalu adalah orang Tionghoa. Oleh karena itu,
saya tidak terima kalau di Indonesia ini ada perbedaan
ras," katanya. Dalam sambutannya Gus Dur juga menying-
gung adanya kekhawatiran sejumlah kalangan terhadap
rencana NU mendirikan partai politik dan mengeluarkan
pernyataan-pernyataan yang "mengecilkan" NU. Oleh
karena itu, tegasnya, warga NU diharapkan ikut dalam
Pemilu mendatang dan mencoblos PKB. "Ini bukan
kampanye, karena belum waktunya. Tapi ini untuk
menunjukkan bukti bahwa PBNU mendukung dan
mendirikan PKB," tegas Gus Dur yang disambut riuh
warganya.
  Deklarasi itu merupakan klimaks dari keinginan warga
NU untuk mendirikan partai sendiri. Keinginan itu
ditanggapi secara hati-hati oleh PBNU. Mengingat, hasil
Muktamar NU ke-27 di Situbondo menetapkan bahwa
secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik
mana pun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis.
Deklarasinya hanya berupa alinea singkat, tetapi sub-
stansinya membalikkan seluruh sikap politik sebuah
organisasi raksasa, yaitu "Hak berpolitik adalah salah satu
hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara
yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Tapi Nahdlatul
Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik
praktis."
   Deklarasi Situbondo itu selanjutnya dikenal dengan
istilah "kembali ke Khitah 1926". Khitah boleh pula
dianggap sebagai cara NU menyelamatkan kepentingannya.
Apa yang dialami jamaah dan jam'iyah NU, dipinggirkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentulah
menjadi salah satu pertimbangannya. Meski demikian, bila
kemudian NU melahirkan partai, hal ini bukan berarti
Mengkhianati Khitah 1926. Ini merupakan upaya menyerap
suara dan aspirasi kaum nahdliyin yang begitu besar.
Mengutip komentar K.H. Said Aqil Siradj, "PRNU tidak
menyalahi khitah. Sebab PKB adalah partainya warga NU,
bukan partai organisasi. Dan, yang menjadi pengurus partai
harus keluar dari PBNU. Lagi pula, Muktamar Situbondo
memutuskan yang kembali ke khitah itu NU, sedangkan
warganya silakan berpolitik."
   Itulah situasinya. Dan, guna memenuhi desakan untuk
membentuk parpol sendiri, PBNU membentuk Tim Lima
yang ditugaskan untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim
Lima diketuai K.H. Ma'ruf Amin, dengan anggota K.H. M.
Dawam Anwar, K.H. Said Aqil Siradj, Rozy Munir, dan
Achmad Bagdja. Untuk mengatasi hambatan, Tim Lima
tidak dibekali surat keputusan PB NU. Kemudian pada
tanggal 20 Juni 1998 dibentuk Tim Asistensi untuk
membantu Tim Lima antara lain dalam menginventarisasi
dan merangkum usulan warga NU untuk mendirikan partai
baru.
  Saat rapat gabungan Syuriah dan Tanfidziah PBNU
berlangsung, saya berada di rumah saja. Lha wong saya
hanya mengusulkan sama Gus Dur. Ini Iho Gus mbok: bikin
partai terbuka yang berwawasan kebangsaan untuk
membangun demokrasi. Gus Dur bilang, "Pak Matori,
keinginan itu bagus. Hanya harus hati-hati, karena desakan
untuk membentuk partai di tubuh NU itu besar sekali."
  Saya pun menunggu dengan melakukan kegiatan-
kegiatan saya sendiri. PBNU membentuk panitia untuk
menjajagi dan mempertimbangkan pendirian partai sendiri.
Suatu ketika saya bertemu Gus Dur lagi, beliau bilang
nanti akan dibentuk partai dan Pak Matori menjadi ketua
umum. Mendengar itu saya ya tenang-tenang saja, karena
yang mengatakan Gus Dur sendiri.
  Mengapa kemudian habis rapat itu timbul pro dan
kontra soal saya, karena di NU sendiri banyak orang yang
mampu untuk itu. Interest dalam politik itu sangat
manusiawi dan wajar saja. Di samping itu, tidak semua
kiai mengenal saya. Memang dalam "peristiwa Rembang"
saya dijagokan para kiai Muktamar PPP 1994 dan saya
dikalahkan oleh Buya Ismail Hasan Metareum. Tentu saja
sikap pro dan kontra itu saya jadikan cermin untuk berkaca
diri, memperbaiki diri. Tidak ada orang yang sempurna,
makanya saya harus terus memperbaiki diri.
   Susunan lengkap DPP Partai Kebangkitan Bangsa saya
kira perlu dikerahui umum, sebagai herikut.

Para Deklarator
K.H. Ilyas Ruhiyat
K.H. Munasir Ali
K.H. A. Mustofa Bisri
K.H. Muchit Muzadi
K.H. Abrurrahman Wahid

Dewan Syura
Ketua: K.H. Ma'ruf Amin
Wakil Ketua: K.H. M. Cholil Bisri
Sekretaris: K.H.M. Dawam Anwar
Anggota:
Brigjen TNI (Purn) K.H. Sullam Syamsun
K.H.M. Hasyim Latief
Dr K.H. Nahrawi A Salam
K.H.M. Mukeri Gawith, MA
K.H. Yusuf Muhammad, MA
K.H. Dimyati Rais
Hj Sariani Thaha Ma'ruf
TGH Turmudzi Badruddin

Dewan Tanfidzi
Ketua Umum : H. Matori Abdul Djalil
Ketua
Dr H.Alwi Shihab
Dra. Hj. Umrah M Tholchah Mansoer
H. Agus Suflihat Mahmud
H. Amru Mu'tashim, SH
K.H. Imam Buchari AG
H. Taufiqurrahman Saleh, SH. Msi
Drs. Yafi Thahir
Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa

Sekjen: Drs. A. Muhaimin Iskandar
Wakil Sekjen:
Drs. Amin Said Husni
H. Aris Aahari Siagian
H. Yahya Staquf Cholil

Bendahara: H. Imam Churmen
Wakil Bendahara:
H. Ali Mubarrak
H. Safrin Romas, MBA

  Banyak harapan ditujukan pada Partai Kebangkitan
Bangsa setelah kemunduran demi kemunduran politik
terjadi pada masa Orde Baru. Tumbuhnya aliansi ABRI-
Teknokrat menghasilkan kemenangan mutlak Golkar sejak
Pemilu 1971. Golkar di bawah pimpinan Ketua Dewan
Pembinanya bertindak sekaligus sebagai pemain,
pengawas, dan pembina semua partai. Partai-partai Islam
digiring dalam satu wadah tunggal, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Pada kesempatan
deklarasi itu K.H. Ma'ruf Amin menyatakan warga NU terus
dipinggirkan dan aspirasinya belum tersalurkan dengan
balk dalam orsospol yang ada atau belum ada orsospol
yang mampu menampung aspirasi warga NU.
  "Sekarang kami sepakat untuk bersatu. Kami tidak mau
lagi menjadi kerdil. Mereka sekarang disatukan dalam Partai
Kebangkitan Bangsa," Kata Kyai Ma'ruf. Partai ini,
tambahnya, adalah partai terbuka namun tidak akan
menghilangkan identitas keislaman pada landasan
perjuangannya.


www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir