[  Tabayun Gus Dur / Abdurrahman Wahid  ]

 
Kehadiran dan Jejak Pemikiran
(Catatan Penyunting)
 

Di tengah-tengah istirahat total dari sakit, sementara di luar terus bergema suara rakyat menuntut reformasi, apa yang menarik dari Gus Dur sekarang ini? Pertanyaan tersebut menyelesat dari balik kepala, ketika mata menatap sekumpulan kliping wawancara Gus Dur. Hampir semua media pernah mewawancarai Gus Dur secara panjang lebar. Tema wawancaranya sangat luas, dari sepakbola hingga keluarga, dari politik hingga soal klenik, dari humor sampai soal pamor, dan dari organisasi hingga pribadi. 

Gus Dur memang telah akrab dengan media sejak awal kemunculannya, namun sungguh-sungguh menjadi "news maker
dalam pers Indonesia dalam lebih dari satu dasawarsa ini. Gagasannya yang segar, inovatif, dan sering kontroversial, membuatnya menjadi bintang media. Dalam kesunyian politik Indonesia dari kritisisme, Gus Dur (bersama beberapa gelintir individu lainnya) tampil ke depan dengan kritik-kritik dan sikap oposisinya yang tajam. Pendapatnya dikemukakan dengan tegas dan dipertahankan pula dengan tegar. Karena sikap kritisnya ini, dan dengan jutaan umat yang berpayung di bawahnya, Gus Dur termasuk tokoh yang dibayangkan sebagai salah seorang dari pemimpin masyarakat sipil terkemuka di Indonesia. 

Selasa, 20 Januari 1998 yang lalu, Gus Dur diberitakan sakit, 
dan harus beristirahat total, berhenti sementara dari segala aktivitas. 
Istirahat total di situ tentu saja termasuk "istirahat berhubungan 
dengan media". Putus dengan media, pada zaman di mana media 
merupakan kekuatan penggerak seperti sekarang ini, bagi seorang 
tokoh publik bisa jadi semacam "setengah kematian", dan berarti 
siap-siap untuk "dilupakan". Hal ini yang dialami banyak artis yang 
kian lapuk dimakan usia, atlet yang semakin tua meredup serta seniman yang makin terotomatisasi dengan karyanya dan kehilangan inovasi. Akankah halnya dengan Gus Dur? 

Hingga berhari-hari sesudah sakitnya itu, media, baik cetak 
maupun elektronik, terus melaporkan perkembangan kesehatan 
Gus Dur. Dikemukakan pula deretan tamu dari segala lapisan masyarakat yang berdatangan ingin menjenguk, serta ribuan simpati 
dan doa yang dihaturkan. 

Menyaksikan derasnya simpati dan rasa sedih atas sakitnya Gus 
Dur, beberapa teman berkomentar, "Gus Dur temyata masih populer!" Ikhwal munculnya komentar ini tak sulit untuk ditelusuri. 
Hari-hari itu diyakini sebagai titik terendah dari popularitas Gus Dur, setelah ia, dengan argumen tersendiri, menolak ajakan Amien 
Rais, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah agar barsatu dalam 
koalisi nasional untuk perubahan, bersama dengan Megawati 
Soekarnoputeri, ketua umum ekstra-resmi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), menyusul krisis ekonomi yang menimpa Indonesia. 
Mungkin, bukan semata Amien dan Mega serta para pendukungya 
yang kecewa dengan penolakan itu. Opini publik, di luar tiga komunitas tradisional tersebut, yang diyakini juga sangat kental dengan keinginan perubahan ikut tertimpa kecewa. Padahal, menurut kebanyakan mereka, Gus Durlah yang selama ini terus menghembus-hembuskan angin perubahan tersebut. Tapi, mengapa ketika ajakan perubahan tersebut memperoleh momentumnya, Gus Dur justru menolak untuk bergerak. 

Dengan ketidaksediaannya itu, untuk kesekian kalinya Gus Dur 
mengecewakan bagian besar masyarakat yang sudah tak sabar lagi 
menuntut perubahan. Kami sebut "untuk kesekian kali", karena 
sebelumnya Gus Dur juga mengundang banyak tanda tanya dan 
kekecewaan dengan safarinya bersama Ny. Hardiyanti Indra 
Rukmana, puteri sulung Presiden Soeharto dan salah seorang pengurus inti Golkar, ke kantong-kantong NU. Safari ini dibaca sebagai dukungan tak langsung Gus Dur terhadap Golkar, golongan pendukung status quo yang hingga kini tak sudi menyebut diri sebagai "partai". Sementara itu, Megawati Soekarnoputri dan para pendukungnya, yang selama ini didampingi Gus Dur, seperti ditinggal 
dalam keterpojokan mereka. Itulah bacaan kontekstual yang membuat Gus Dur seolah diisolasi saat itu. 

Secara umum, Gus Dur akhir-akhir itu memang tampak lebih 
moderat, dibanding Amien Rais (dan banyak tokoh lainnya menjelang, saat dan mungkin sesudah gagasan reformasi ini) yang justru suaranya terasa makin kritis. Publik yang pro-perubahan menemukan banyak tokoh baru, yang lugas, blak-blakan dan terbuka, yang terus mencuat, berlawanan diametral dengan Gus Dur yang gradasi ketenarannya terus menurun. Dan penolakannya terhadap ajakan koalisi itu dianggap merupakan titik nadir dari ketokohannya. 

Lantas, mengapa ia masih mendapat simpati dan perhatian yang 
besar? Tentu ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Sebagai 
pemimpin organisasi keagamaan dengan jutaan pengikut, Gus Dur, 
apapun visi politik yang dipeganginya, jelas tetap memiliki pengaruh dan wibawa yang menempatkan posisinya senantiasa strategis 
dalam konstelasi politik nasional. Tetapi, jawaban ini kurang memuaskan. Karena jika kita cermati, simpati dan perhatian, yang 
datang dari berbagai kelompok agama dan faksi-faksi politik; 
lapisan kelas masyarakat, para pejabat sipil-militer hingga kalangan 
mancanegara, bukan sekadar "basa-basi kultural" terhadap seseorang yang kebetulan memegang kepemimpinan informal yang 
penting. Tampak di sana, simpati dan perhatian tersebut merupakan 
perpaduan dari harapan dan kepercayaan yang masih tersisa. Selain 
dari warga NU sendiri, kita saksikan, simpati dan perhatian tersebut 
datang kebanyakan dari kalangan "minoritas" secara budaya, politik, dan terutama, agama. 

Bagi kalangan minoritas ini dan mereka yang sungguh-sungguh 
ingin membangun demokrasi, perubahan bukan sekadar pergantian kekuasaan politik dan perbaikan ekonomi, tetapi juga adanya persamaan derajat dan kedudukan, jaminan hukum dan kebebasan politik bagi setiap warga negara tanpa memandang asal-muasal etnis, agama, jenis kelamin dan bahasa ibu. Maka, tak ada alasan mayoritas atas dasar apapun untuk mendominasi minoritas. 
Gus Dur, harus diakui, adalah prototipe terdepan dari pejuang hak-hak minoritas ini. Ia bertarung tidak saja melawan mereka yang 
jelas-jelas anti-demokrasi, tapi juga menghadapi mereka yang berjuang justru atas nama demokrasi. Maka bisa dimengerti, meskipun Gus Dur, mengundang banyak tanda tanya, kegusaran bahkan kekecewaan dengan berbagai manuver dan sikap politiknya pada akhir-akhir ini, namun hal itu bukan sesuatu yang mendasar, yang bisa menjadi preseden jelek bagi penegakan hak-hak asasi dan demokrasi. Bagi kebanyakan mereka, sikap politik itu semata merefleksikan perbedaan pendapat dan sekaligus tuntutan kesediaan 
berbeda pendapat tersebut. Terlebih jika kita bersedia mafhum, 
bahwa Gus Dur punya alasan-alasan yang argumentatif dan strategis baginya dan organisasi yang dipimpinnya terhadap berbagai 
pilihan politik tersebut. 

Maka, seperti diungkapkan oleh seorang cendikiawan Katolik 
terkemuka, "Secara pribadi saya jelas kecewa dengan safari Gus 
Dur dengan Tutut, juga dengan penolakannya untuk koalisi. Tetapi 
hal itu sekedar perbedaan pilihan. Perbedaan yang wajar dalam 
kehidupan politik yang demokratis. Gus Dur tetap bukanlah seorang 
'pedagang' politik dengan berbagai manuvernya tersebut. Di balik 
semua manuvernya, terdapat visi yang mungkin tidak terbaca 
sekarang ini". "Karena itu," lanjutnya, "saya tetap menaruh harapan 
dan keyakinan terhadap Gus Dur karena empat peristiwa yang terus 
melekat dalam memori saya. Empat peristiwa tersebut menyangkut 
soal hukum, hak asasi manusia, dan perlindungan terhadap minoritas, di mana Gus Dur dengan tegas tampil ke depan mengemukakan sikapnya, bahwa hukum itu seberapapun ia telah dilecehkan, 
ia tetap harus tegak. Bahwa hak asasi masih dihormati dan bahwa 
kalangan minoritas harus dilindungi." 

Pertama, jelas cendikiawan ini panjang lebar, peristiwa monitor tahun 1990. Soal polling tersebut dianggap menghina Nabi Muhammad, bisa kita terima. Kendati, banyak juga kalangan muslim lain tidak melihatnya demikian. Tetapi, yang memprihatinkan dari semua adegan protes tersebut adalah adanya tuntutan keras kepada pemerintah untuk membredel Monitor. Bahkan seorang cendikiawan muslim terkemuka yang selama ini turut mengibar-kibarkan pluralisme agama turut membenarkan tuntutan pembredelan itu. Di tengah gelombang protes demikian, Gus Dur tampil ke depan, dengan alasan pertama; sama sekali bukan untuk membela Monitor, tapi untuk membela hukum dengan menentang tuntutan pembredelan. Tuntutan pembredelan terhadap pemerintah, sama dengan memberikan otoritas dan membenarkan perilaku pemerintah selama ini dalam melakukan pembredelan. Bukankah melawan pembredelan merupakan bagian utama dari gerakan prodemokrasi selama ini? Kedua; dari dramatisasi peristiwa tersebut Gus Dur melihat tidak hanya berkembangnya sikap sentimen dan primordial dari segelintir umat Islam, tapi juga menggejalanya politik pemojokan terhadap kelompok minoritas atas dasar sikap sentimen dan primordial tersebut. 

Kedua, pendirian ICMI di akhir tahun 1990. Ada suasana sektarian yang mengeras dalam kehidupan politik saat itu, dan ICMI 
adalah bagian utama dari suasana sektarian tersebut. Suasana ini 
dalam banyak hal cukup mengganggu kehidupan berbangsa, dan 
terutama membuat gelisah kalangan minoritas agama. Gus Dur, 
mengkritik kecenderungan sektarianistik tersebut bukan saja 
dengan penolakannya untuk bergabung ke dalam ICMI, tetapi ia 
bahkan membuat kelompok yang dari segi anggota kurang lebih 
bersifat plural, Pokja Forum Demokrasi (FD), sebagai tandingan 
langsung ICMI. Letak sukses manuver Gus Dur dan FD-nya tidak 
bersifat ke dalam, karena hal ini hampir-hampir bukan menjadi 
tujuan Forum Demokrasi itu sendiri, tapi justru pada dampak keluarnya, yakni semacam "pendidikan politik", termasuk pada 
ICMI. Kita tidak tahu bagaimana perkembangan ICMI tanpa kritik 
Gus Dur dan Forum Demokrasinya (dan banyak para pengkritik 
ICMI lainnya) tersebut, yang kita tahu ICMI berkembang dengan 
banyak mengingat, meski tidak secara menyeluruh, "catatan kaki" 
dari mereka yang mengkritik tersebut. Ibarat kapitalisme yang terus 
membenahi diri lantaran ada kritik-kritik dari sosialisme, demikian 
pula ICMI dengan kritik-kritik terhadapnya. "Saya", kata Gus Dur 
parodis, "hanya akan mengurusi Islam alun-alun". Sikap Gus Dur 
ini memang seperti angin yang sepoi berhembus. Tak cukup 
mengubah banyak hal secara mendasar, tetapi sangat menyegarkan. 
Terutama kalangan minoritas yang tadinya gelisah dan penuh 
syakwasangka, menjadi lega bahwa suatu kecenderungan untuk 
mendominasi atas dasar golongan mayoritas mendapat penolakan 
mentah-mentah. 

Ketiga, peristiwa 27 Juli 1996. Politik sapu bersih pemerintah 
segera sesudah peristiwa itu, membuat hampir semua aktivis pro-demokrasi tiarap. Suara-suara kritis yang tadinya keras bergema, hilang dan senyap seketika. Politik kembali ke titik nol. Dalam peristiwa, yang berawal dari pendudukan kantor PDI dari kelompok Pro-Mega tersebut, banyak korban jiwa, luka-luka, bahkan ada yang hilang tak tentu rimbanya  Tak terhitung harta benda yang rusak dan terbakar. Tak ada suara protes atas sikap militer yang keras saat itu, bahkan sekadar untuk klarifikasi. Dalam suasana ketakutan politik saat itu, Gus Dur bersama dengan beberapa rekan aktivis hak asasi manusia, seperti "membebaskan masyarakat dari rasa takut" dengan membuat posko pengaduan bagi mereka yang merasa kehilangan keluarga dan mengalami kerugian fisik maupun harta benda. Gus Dur sendiri menjadi anggota relawan dari posko tersebut. 

Ketika Budiman Sujatmiko dan rekan-rekannya tertangkap di 
rumah Sumardi, adik seorang rohaniawan Katolik, Romo 
Sandyawan SJ., yang merupakan salah seorang anggota relawan 
posko pengaduan tersebut, pemerintah dan sekelompok elemen di 
luar pemerintah yang bersuara kurang lebih sama, seperti menemukan siapa yang harus dituduh "otak" di balik peristiwa tersebut, 
setelah sebelumnya sudah menemukan "kambing hitam". Suatu 
kelompok kecil agama, tanpa sebab yang jelas, tapi oleh tujuan 
politis yang kasat mata, menjadi ter(di)pojok(an) di sana. Gus Dur, 
dengan gayanya yang khas tampil mendampingi Romo Sandyawan 
untuk memberikan klarifikasi, bahwa perlindungan terhadap 
Budiman Sujatmiko dan kawan-kawannya tersebut merupakan 
bagian dari aktivitas Romo Sandyawan sebagai anggota relawan. 
Selain itu, memberikan perlindungan itu juga merupakan bagian 
dari tugas profetisnya sebagai rohaniawan. Khalayak menjadi lega. 
Romo Sandyawan memang akhirnya diadili, tetapi Gus Dur telah 
melawan kecenderungan politik pemojokan terhadap kelompok 
minoritas tersebut. 

"Dan keempat, peristiwa gugatan pasangan penganut Kong Hu 
Cu ke PTUN Surabaya, karena tidak diakuinya perkawinan mereka 
berdasar kepercayaan yang mereka anut. Dalam sidang-sidang 
pengadilan tersebut, Gus Dur datang memberikan dukungan moral 
terhadap kedua pasangan tersebut. Kehadiran dan dukungan Gus 
Dur memang tidak berhasil memenangkan gugatan kedua pasangan itu, tetapi sekali lagi, Gus Dur dengan peristiwa itu menunjukkan perhatiannya terhadap kalangan minoritas, dan perlawanan 
terhadap gejala persekutuan segelintir kalangan dan negara untuk 
mendefinisikan, "yang berarti ingin menguasai, mengatur dan 
membatasi" ruang batin orang lain, menyangkut spiritualitas dan 
keyakinan. 

"Saya sering kecewa dengan Gus Dur, tetapi sesekali saya tak 
kehilangan harapan dan kepercayaan terhadapnya, karena keempat 
peristiwa ini", demikian kata cendikiawan tersebut menutup 
komentarnya. Gus Dur, memang suara tegas dan lirih bagi kaum 
minoritas. "Tegas", karena semua itu diungkapkan Gus Dur secara 
gamblang dan terbuka. Tetapi "lirih", karena ia muncul di tengah-tengah arus kuat pemikiran yang berlawanan dengannya. 

Kepercayaan, inilah tampaknya yang diletakkan orang terhadap Gus Dur. Maka ketika, krisis ekonomi-politik kita memasuki 
periode enam bulan kedua, dimana kian meluas demonstrasi mahasiswa, protes-protes berbagai tokoh, ormas-ormas dan berbagai elemen masyarakat lainnya, disusul kemudian kerusuhan-kerusuhan di berbagai kota, kalangan agamawan, yang memegang otoritas kepemimpinan religius tertinggi umatnya, bergabung dengan Gus Dur dalam pernyataan moralnya. Demikian juga, dengan Megawati, pemimpin PDI, yang tadinya dikira bercerai dengan Gus Dur. 

Apa yang dikemukakan rekan cendikiawan Katolik di atas seperti menemukan kekuatannya di sini. Eksistensi seorang cendekiawan memang tidak ditentukan semata oleh soal "kehadiran": tapi juga "jejak pemikiran". Gus Dur secara pribadi "tidak hadir dalam gema menyerukan reformasi tersebut pertama-tama tentu saja karena soal fisiknya yang tak memungkinkan. Tetapi ia dianggap "tak hadir" juga karena adanya perspektif yang berbeda dengan pikiran banyak rekan cendekiawannya mengenai reformasi. Reformasi, bukan semata soal mengganti orang, tetapi juga suatu penataan kembali seluruh dimensi kehidupan secara mendasar. Mengganti orang bisa dilakukan sehari, tetapi penataan kembali jelas memerlukan waktu yang lama dan mesti berlangsung secara gradual. Reformasi secara gradual demikian telah lama menjadi pemikiran Gus Dur. Pendewasaan dan penyadaran demokrasi terus menerus telah lama diserukannya. Demokrasi tidak bisa dibangun sekejap, semudah seperti jin Qurtuby memenuhi permintaan tuannya, Aladin, dalam salah satu dongeng klasik 1001 malam. 

Tampak pandangan itu tidak progresif, bahkan mungkin kelihatan naif, karena membayangkan seolah rezim penguasa bertahun-tahun ini mau begitu saja menyerahkan kekuasaannya. Tapi ini adalah cara yang sejati membangun demokrasi, dengan menyingkirkan para pedagang politik yang bergentayangan dan "sok pahlawan" saat negara dan bangsa mengalami krisis. Gus Dur, bukanlah pejuang demokrasi yang mucul kemarin sore, ketika kehidupan politik Indonesia mengalami senja dan gelap. Penyadaran demokrasi secara kultural telah menjadi perhatiannya sejak fajar keprihatinannya terhadap arah dan kecenderungan politik Indonesia. Ia "tidak hadir" dengan "kehadirannya" yang sudah sejak lama tersebut. 

Dalam situasi sekarang ini, kami rasa, tumpukan kliping wawancara Gus Dur seperti hidup kembali. Ia mengingatkan orang akan bahaya pikiran dan janji-janji membangun demokrasi dalam satu hari. Ia meminta agar tak terulang lagi seperti "peristiwa tiga daerah" di Jawa Tengah pada zaman awal revolusi kemerdekaan, di mana rakyat menjadi korban dan para pejabat-pengusaha bojuis kembali mengendalikan kekuasaan. 

Reproduksi dalam bentuk buku berbagai wawancara Gus Dur 
dengan media ini, dimaksudkan untuk menyegarkan kembali visi 
kita mengenai banyak aspek pemikiran menyangkut pengelolaan, 
penataan dan pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara 
ini. Topik yang luas menyangkut pengelolaan kehidupan kita sebagai bangsa ini menjadi pergumulan Gus Dur, seperti dengan konsisten diperlihatkannya dalam berbagai wawancara sepanjang dasawarsa terakhir ini. 

Sejenak terlintas pertanyaan, mengapa harus mengumpulkan 
tulisan dari wawancara-wawancara media? Memang, media efektif 
dan paling segera menyampaikan apa yang diidealkan oleh setiap 
penyampai gagasan. Tak heran, kalau para cendikiawan, termasuk 
Gus Dur, memilih secara sadar maupun tidak sadar, media massa 
sebagai ruang komunikasi utama antara mereka dan khalayak luasnya. Tetapi, bukankah media selama ini diakui sebagai penyampai yang kurang setia dan baik, bahkan sulit sepenuhnya dipercaya. Media sangat berjasa dalam mengembangkan wacana pemikiran Islam, namun sekaligus, media menyumbang peran besar atas tejadinya reduksi-reduksi dan simplifikasi wacana pemikiran Islam. Kontroversi, yang lahir semata-mata berdasar kesalahpahaman yang banyak terjadi dalam diskursus pemikiran Islam justru seringkali berawal dari media. Pada hakikatnya, lewat media, para cendekiawan tersebut hanya bisa menyampaikan "percikan-percikan pemikirannya, tetapi sama sekali bukan "pikiran-pikirannya ". 

Ada beberapa alasan terhadap pertanyaan ini. Pertama, setiap 
wawancara langsung selalu mengandalkan jawaban spontan dari 
respondennya. Seorang yang memang tidak mempunyai kerangka 
pikir utuh, Sudah barang tentu akan gelagapan menjawab kejaran 
pertanyaan. Logika yang dibangun akan tampak rancu, alur pemikiran akan kelihatan tumpang-tindih. Kalau sudah begini, jawaban improvisasi jelas tak bisa mengatasi. Karena dasar pemikiran tidak bisa dibangun seketika. Tetapi seorang yang sudah memiliki perhatian lama terhadap topik yang disodorkan, sudah terakumulasi dan terinternalisasi dengan apa yang dipikirkan, rancang bangun yang utuh, jelas dan kokoh terhadap ide yang dilemparkan, dengan spontan dan mudah akan menjawab setiap pertanyaan. Barangkali, ini aspek yang menarik yang bisa ditelusuri dari kumpulan wawancara ini. 

Kedua, setiap wawancara di sini hanya mengedepankan satu 
aspek saja dari perhatian luas Gus Dur. Ia hanya berupa penggalan-penggalan. Pengumpulan wawancara-wawancara ini, barangkali bisa menjadi salah satu cara untuk melihat lontaran pemikiran Gus Dur secara utuh dan integral, bukan semata kepingan-kepingan yang berserakan.. Termasuk di dalamnya suatu pembacaan kritis atas bangunan pemikiran tersebut. 

Terakhir, tak ada alasan praktis lain dalam pengumpulan wawancara ini, kecuali bahwa ia dimaksudkan untuk mengingatkan kembali berbagai gagasan-gagasan gemilang Gus Dur, yang barangkali karena percepatan waktu dan diskontinyuitas peristiwa, menjadi terlupakan. Atau kalaupun ada yang sudah diterima, belum sepenuhnya dijalankan. 

Satu anjuran kami, agar berbagai wawancara ini dibaca pada 
konteks peristiwa dan wacana yang melahirkannya. Wawancara-wawancara ini kadang muncul sebagai reaksi, afirmasi, atau seringkali juga klarifikasi Gus Dur terhadap berbagai peristiwa ataupun gagasan-gagasan yang ingin dikemukakannya. Karena itulah, buku ini kami beri judul "Tabayun", suatu istilah yang dikenal di 
kalangan santri untuk menjernihkan dan memperjelas duduk suatu 
perkara atau asal muasal suatu peristiwa, sebelum berdebat dan 
berselisih paham. 

Demikianlah, lewat media Gus Dur menghantar gagasan, karena media gagasannya disalahmengerti, dan pada akhirnya melalui 
media kembali Gus Dur melakukan tabayun. Dengan mengumpulkan berbagai topik wawancara ini, diharapkan buku ini menjadi 
tabayun berikutnya. Selamat membaca! 

Yogyakarta, 18 Mei 1998
 
M. Saleh Isre

 
www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt