[ Musykilat dalam NU]

 
Pengantar
Paling Mendesak Reformasi Internal NU Sendiri
Oleh  M. Said Budairy
 

Komite Hijaz  yang telah dibentuk sehubungan terjadinya perubahan 
penguasa di tanah Arab, bermaksud menyelenggarakan rapat di Surabaya. Ketika akan menyusun surat undangan untuk rapat tersebut terjadi dialog antara KH. Wahab Hasbullah dengan Kyai Abdul Halim (Leumunding), mempersoalkan tujuan Komite Hijaz yang akan dicantumkan dalam surat undangan tersebut. Kyai Wahab menjawab: 
"Tentu, syarat tujuan nomer satu untuk menuntut kemerdekaan. Ummat Islam menuju ke jalan itu. Ummat Islam tidak leluasa sebelum negara kita merdeka". 

Selain obsesinya tentang negeri merdeka agar ummat Islam leluasa 
menjalankan syari'at agama mereka, Kyai Wahab juga merasakan  ada tantangan dari kalangan intern ummat Islam sendiri. Kyai Wahab 
menjelaskan kepada Kyai Halim selanjutnya: 
"Saya sudah sepuluh tahun lamanya memikirkan membela para ulama yang diejek sana-sini, beramalnya diserang sini-sana. Kalau satu kali ini luput, pilih satu antara dua yang patut. Masuk organisasi merombak terus atau pulang memelihara pondok (pesantren) yang khusus." 
 
Rapat Komite Hijaz berlangsung pada tanggal 31 Januari l926, yang 
kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Nahdlatul Ulama. Dalam rapat itu disepakati mengirimkan delegasi ke Hijaz, atas nama 
organisasi/jam'iah  Nahdlatul Ulama. Usia jam'iah NU sekarang menjelang 73 tahun. 
 
Sesudah berakhirnya pemerintahan orde baru, Rois Syuriah PBNU K.H. Mustofa Bisri (Rembang), mengatakan  bahwa di tengah kancah  reformasi sekarang ini langkah paling mendesak  yang harus ditempuh oleh NU adalah mereformasi diri sendiri. Sebab, NU sekarang ini belum menjam'iah, tapi masih dalam kondisi berjama'ah (Kompas, 22/6). 
 
Gus Mus punya otoritas untuk mengemukakan pendapatnya itu, karena ia salah seorang rois dari badan yang merupakan pimpinan tertinggi dan berfungsi sebagai pembina, pengendali, pengawas dan penentu kebijaksanaan NU. Karenanya tentulah tahu persis kondisi NU  yang punya banyak persoalan dewasa ini. 

Buku kecil ini, maka bertajuk "Musykilat dalam NU",  memuat 
tulisan-tulisan yang menggambarkan kepelikan dan kesulitan-kesulitan yang sedang berkecamuk di dalam NU. Menyangkut hal-hal sangat mendasar yang dapat menggoyahkan sendi-sendi pijakan berdirinya NU. Sekaligus memberikan indikasi kuat tentang penting dan mendesaknya dilakukan reformasi internal NU. 

Tulisan KH Yusuf Hasyim mengungkap posisi NU sebagai jam'iah diniah Islamiah terhadap peluang bagi lahirnya partai politik. Ungkapan itu berkaitan dengan hasil pengamatannya, oleh PBNU keputusan muktamar dipatuhi sebagian dan dilanggar sebagian. Contohnya, disebutkan bahwa PKB adalah satu-satunya wadah penyalur aspirasi politik warga NU. Dan itu resmi tercatat dalam risalah rapat pleno PBNU. Sedangkan muktamar menetapkan,  bahwa NU tidak mempunyai ikatan organisatoris dalam bentuk apapun dengan organisasi kekuatan sosial politik yang manapun juga. 

Disebutkan juga, NU  tidak akan menentang organisasi sosial politik yang manapun juga dan tidak akan menjadi partai politik sendiri.Ini 
mesti  diartikan, bahwa NU harus mengatur jarak yang sama dengan PKB, Partai SUNI, Partai Nahdlatul Ummat, bahkan partai yang manapun sebab saat ini pun  banyak warga NU berperanan aktif di PPP, di Golkar dan sebagainya. Kalau mau berubah, kenapa tidak sekalian saja meninjau keputusan muktamar melalui muktamar dipercepat dan mengubah sehingga dapat menetapkan NU menjadi partai politik, seperti pada tahun l952 dalam muktamar Palembang. 

Tulisan Salahuddin Wahid "NU, Gus Dur dan Megawati", (Republika, 9 Juli l998), mengungkap musykilat yang lain. Dilengkapi  tulisan M. Ishom Hadzik "Gus Dur di antara Dua Partai". Lalu tulisan Amsar A. Dulmanan "Demokrasi Berimplikasi Sekularisasi" (Republika, 30 Juli l998), yang mengundang minat Salahuddin menurunkan tulisan lagi  "Negara Demokrasi tak Mesti Negara Sekuler" (Republika, 10 Agustus l998). 
 
Tulisan-tulisan tersebut mempermasalahkan pemikiran politik ketua umum PBNU. Benarkah  ia menentang formalisasi ketentuan syari'ah melalui peraturan perundangan negara, walaupun sebatas yang berkaitan erat dengan sah tidaknya perilaku keagamaan ummat Islam. Jika benar, inilah salah satu dari musykilat yang sangat mendasar dalam NU. Benarkah pemikiran politik Gus Dur itu sekuler?. Sekularisme adalah paham atau pandangan filsafat yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Sekuler maknanya bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian. 

Jawaban atas berbagai pertanyaan dan dugaan yang dimaksud sebenarnya sudah ada sejak lama. Mungkin karena tidak ada sikap dan tindakan organisasi yang tegas dan jelas merespon penyimpangan-penyimpangan itu, maka warga masih terus bertanya-tanya. 

Awal 90-an Gus Dur berkunjung ke Amerika Serikat. Di antara acaranya memberikan seminar di Universitas Cornell tentang "Islam dan Politik di Indonesia", berlangsung pada  Kamis 12 April l992. 
 
Dalam seminar itu Gus Dur menyatakan  bahwa, " NU akan selalu menghindari formalisasi ajaran Islam didalam peraturan perundangan-undangan  negara. Setiap upaya untuk memformalkan ajaran Islam kedalam peraturan perundang-undangan negara akan bersifat diskriminatif terhadap kelompok yang lain. Contohnya adalah gagasan undang-undang zakat yang memungkinkan warganegara Islam memperoleh potongan pajak atas  sejumlah zakat yang telah dibayarkan. 

"Kalau orang Islam boleh dapat potongan, bagaimana dengan penganut agama lain?," katanya sambil menambahkan, "dalam suatu negara harus hanya ada satu hukum yang tidak membedakan agama, ras dan keyakinan politik rakyatnya". 

Pada kesempatan lain, menjelang diselenggarakannya Muktamar NU XXIX, Nopember l994 di Cipasung, Tasikmalaya, Gus Dur singgah di Tokyo dari AS. Di ibukota Jepang itu ia telah disediakan forum oleh Nakamura, profesor Jepang yang tekun menjadi pemerhati NU. Forumnya berupa sebuah pertemuan dengan sejumlah orang Indonesia. 

Dalam ceramahnya Gus Dur mengungkapkan pendirian yang berkembang di kalangan NU dan pendirian pribadi dia. Dia  menyatakan, "cukup besar kalangan Islam yang menghendaki Islam menjadi penggerak pemerintahan (prime-mover). Karena itu (Islam) harus memiliki kedudukan yang lebih utama dibanding dengan agama-agama lain. Ini tercermin umpamanya di dalam sikap sebagian warga/pimpinan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Majelis Ulama (MUI), demikian pula dengan beberapa pernyataan yang dikemukakan para pemimpin Islam dari bermacam-macam organisasi termasuk juga pemimpin-pemimpin NU". Gus Dur menjelaskan, " bentuk dari sikap itu ialah Islam, karena mewakili mayoritas, harus memperoleh perlakuan tersendiri oleh negara, harus memperoleh perhatian berlebih. Nahdlatul Ulama dalam hal ini terpecah dua. Ada yang menganggap itu wajar. Tetapi orang-orang seperti saya menganggap tidak wajar." 

"Kalau kita bicara demokrasi lalu hanya memikirkan jumlah warga terbanyak itu muslim lalu Islam yang diutamakan, ya tidak demokratis lagi." Menurut Abdurrahman, hal-hal yang merupakan pembeda diantara sesama warga negara tidak boleh dijadikan pertimbangan untuk melebihkan. Ini akan membawa konsekuensi sikap atau pandangan untuk menganggap kedudukan semua agama itu sama di muka undang-undang. Terlepas dari pandangan teologis masing-masing, tentu tiap agama menganggap dirinya paling benar yang lain salah. Itu wajar-wajar saja, kata dia. 

Dapat difahami karena pandangannya itu Gus Dur pernah menyatakan  keheranannya kenapa pemerintah (Departemen Agama) ikut campur dalam menentukan siapa yang dibenarkan menjadi jagal penyembelihan binatang di tempat-tempat penyembelihan umum binatang ternak. 

Ketika memberikan kuliah umum di depan civitas akademika Universitas Kristen Petra Surabaya (Harian Surya Juni l995), Abdurrahman ditanya,  "apa dasarnya pemerintah mengatur jagal penyembelihan binatang kok harus orang beragama Islam ?". 

"Peraturan tentang jagal itu jelas diskriminatif", ujar Gus Dur. Dia menjelaskan, "dalam fiqih hanya disebutkan, yang penting dalam menyembelih binatang disebut nama Tuhan. Di sana tidak dijelaskan apakah jagal harus beragama Islam apakah tidak." Dia menambahkan, "di Timur Tengah saja, tidak ada orang yang ribut-ribut soal jagal. Di sana sudah biasa yang menyembelih orang Yahudi kemudian yang makan dagingnya  orang Islam". 

Pada bagian lain Abdurrahman menerima pertanyaan soal kawin campur antar agama yang bertentangan dengan UU Perkawinan tahun l974 (termasuk kawin antara muslimat dengan pria non Islam). 

Menjawab pertanyaan itu Gus Dur langsung memberikan "jalan keluar". Dia bilang, "sekarang 'kan sudah banyak yang menikah melalui Kantor Catatan Sipil. Mereka bisa melakukan kawin lari ke negara lain. Mereka bisa ke Singapura dan melakukan pernikahan di Kantor Catatan Sipil di sana. Kemudian datang lagi ke sini untuk mencatatkan kembali ke Kantor Catatan Sipil tentang pernikahan di luar negeri itu." 
 
Pernyataan-pernyataan atau kegiatan pentingnya Gus Dur belakangan ini tentu dilakukan sejalan dengan sikap dan pandangannya itu. Langsung atau, karena kondisi fisiknya, menugaskan kepada seseorang.  Seperti, mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa sekaligus menyatakan secara pribadi akan bergabung dengan Megawati. Menghadirkan pemimpin/rohaniwan berbagai agama secara khusus  untuk melaksanakan ibadah bersama berupa "memanjatkan doa" di tempat kediamannya. Menugasi atau mendukung Said Aqiel Siradj, katib Syuriah PBNU berkhotbah di gereja-gereja. Dia pula yang  "menciptakan" salam baru yang diperkenalkan di hadapan para pastor, termasuk Mgr. Carlos Filipe Xemenes Belo, para pendeta dan pemeluk-pemeluk agama lain. 
 
Sikap dan perilaku terakhir Said Aqiel itu  mengundang Moh. Irfan Zidny menurunkan tulisan bertajuk "Anggota NU Dr. Said Aqiel Siradj". Berisi kisah tentang kesaksian dia yang ikut hadir dalam acara itu dan tuntutannya agar Said Aqiel dijatuhi sanksi organisatoris. Sementara itu Luthfi Basori menulis "Perkuat Keimanan Islam", ungkapan kegalauan pikirannya menyaksikan pencampur adukan peribadatan agama-agama yang justru dipelopori oleh pemimpin NU. 
 
Kegalauan pikiran warga NU yang terungkap melalui tulisan-tulisan tersebut hanya bagian sangat kecil saja yang dapat terlihat. Kegalauan semacam itu menjangkau kalangan pengurus NU sendiri, para aktifis dan warga NU lainnya. 

Hukum Islam  telah melembaga di Nusantara, bahkan semenjak zaman kerajaan-kerajaan Islam dahulu. Yang terpenting adalah hukum keluarga mengenai perkawinan, waris dan lain-lain yang berkaitan dengan itu. 

Suatu lembaga penghulu pada zaman Belanda telah berdiri untuk keperluan itu. Pemerintah Belanda pada tahun l882 membuat peraturan mengenai wilayah dan komposisi priesterraad (pengadilan agama) dan pada tahun l931 memperbaharui lembaga itu dengan  sebutan pengadilan penghulu yang kekuasaannya dibatasi hanya mengenai perkawinan. Setelah pembentukan Kementerian Agama tanggal 3 Januari l946 soal-soal keagamaan kemudian menjadi tanggung jawab kementerian ini. 
 
Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun l952 tentang wali hakim untuk luar Jawa dan Madura antara lain menetapkan wewenang tentang penunjukan (pengangkatan) kadi-kadi nikah (pegawai pencatat nikah) oleh kepala kantor urusan agama kabupaten. Berangkat dari keinginan menguji ketepatan peraturan itu kemudian berlangsung 3 kali konperensi alim ulama seluruh Indonesia,  tahun l952, l953 dan  l954. Dari konperensi alim ulama dengan menteri agama  dicapai keputusan: 
 

  1. Presiden  sebagai Kepala Negara, serta alat-alat negara sebagai mana dimaksud dalam UUD seperti Kabinet, Parlemen dan sebagainya adalah Waliyyul Amri Dlaruri bi Syaukah. 
  2. Waliyyul Amri Dharuri wajib ditaati oleh rakyat dalam hal-hal yang tidak menyalahi Syari'at Islam. 
  3. Tauliyah Wali Hakim dari Presiden kepada Menteri Agama dan seterusnya kepada siapa saja yang ditunjuk termasuk juga Tauliah Wali Hakim  yang menurut kebiasaan yang hidup di tempat-tempat yang ditunjuk oleh Ahlul Halli wal Aqdi, adalah sah. Untuk menjalankan akad nikah Wali Hakim, sesuai dengan UU tentang Pencatatan Perkawinan, Talaq dan Ruju' harus ada surat peresmian lebih dahulu dari pemerintah. 
  4. Atas dasar semua di atas maka nyatalah bahwa Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun l952 tentang Wali Hakim untuk luar Jawa dan Madura adalah sah. 
Konperensi-konperensi alim ulama itu diselenggarakan semasa Menteri Agama RI dipangku oleh K.H. Masykur (NU), dilanjutkan oleh K.H. Faqih Usman (Muhammadiah). 

Didirikannya Departemen Agama dalam pemerintahan Indonesia punya kaitan dengan proses yang panjang, saat para pendiri negara Indonesia akan menetapkan dasar negara. 

Tulisan Salahuddin "Departemen Agama Tidak Diperlukan?" memperjelas posisi sebenarnya departemen tersebut. Departemen pemerintahan  yang akan menjadi sasaran pertama untuk dibubarkan jika Said Aqiel berkuasa. 

Terlalu menyederhanakan persoalan dalam tulisan Amsar A Dulmanan yang menyebutkan bahwa, "Negara sekuler adalah negara yang tidak berdasar agama, sedangkan Pancasila bukan agama tetapi sekuler, karena itu negara Indonesia adalah negara sekuler...". Penafsiran demikian a historis. Pancasila memang bukan agama. Tetapi itulah titik temu yang merubah Piagam  Jakarta dengan penghapusan  7 kata sesudah ke-Tuhanan "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam  bagi pemeluk-pemeluknya", menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. 

Dalam Memoir-nya Bung Hatta menulis, "Pada waktu itu kami dapat menginsyafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan = 
menghilangkan perkataan 'ke-Tuhanan  'dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dan mengganti dengan 'ke-Tuhanan Yang Maha Esa'. Dalam negara Indonesia yang kemudian memakai semboyan Bhineka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syari'ah Islam, yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan sebagai rencana UU ke DPR, yang setelah diterima DPR mengikat ummat Islam Indonesia. Dengan cara begitu lambat laun terdapat bagi ummat Islam Indonesia suatu sistim Syari'ah Islam yang teratur dalam UU, berdasarkan Qur'an dan Hadith, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang." 

Formalisasi hukum Islam semacam itu termasuk yang dianggap tidak wajar, bersifat diskriminatif dan ditolak oleh Gus Dur. Ia sadari tidak seperti itu pendirian umumnya para pimpinan dan ulama NU. Bahkan juga sikap resmi organisasi NU yang tercermin dalam keputusan Muktamar ke 28 NU di Yogyakarta, yang mendesak agar RUU Peradilan Agama segera disahkan menjadi UU. Namun yang terjadi memang sangat ironis. Muktamar itu pula yang secara aklamasi memilih Gus Dur kembali sebagai ketua umum. Dan Gus Dur juga menerima amanat muktamar tersebut, sambil tetap berpegang pada pendiriannya sendiri;  artinya tak akan melaksanakan amanat tersebut. 
 
Pengantar panjang ini membawa kita kepada kesimpulan, memang telah terjadi banyak musykilat dalam tubuh NU. Telah terjadi pergeseran kepemimpinan dari majelis Syuriah kepada pribadi ketua umum Tanfidziah. Pemikiran politik Gus Dur berkaitan dengan cara mencapai tujuan jam'iah, yaitu  berlakunya syari'at Islam  dalam masyarakat di dalam wadah negara RI, bertolak belakang dengan pandangan dan pendirian jam'iah. Gus Dur menentang formalisasi syari'at dalam perundang-undangan, jam'iah justru menghendaki. Belum terhitung lagi pandangan dan sikap keagamaannya. Mayoritas warga NU tidak dapat memahami terjadinya pencampur bauran peribadatan berbagai agama, seperti  penyelenggaraan acara khusus "doa bersama". Dan lain-lain. 
 
Akhirnya, patut dicermati program NU amanat Muktamar Cipasung tahun l994. Berapa banyak telah dijabarkan dalam bentuk rencana aksi/kegiatan. Berapa sebenarnya yang sudah dan yang belum dilaksanakan. Muktamar NU berikutnya tinggal belasan bulan lagi. 

Tulisan "Fatamorgana dalam Realisasi Program NU" memberikan gambaran bagaimana program-program besar  dalam rangka kembali ke khittah dilaksanakan. Contohnya di bidang pengembangan ekonomi warga, salah satu dari 4 garapan besar kembali ke khittah.  Prakteknya tidak berlanjut setelah diberitakan besar-besaran oleh media massa bersumber dari koperensi pers Gus Dur atau kegiatan yang  bersifat kosmetik. 

Jadi benar, bagi NU yang terpenting pada era reformasi sekarang ini adalah melakukan reformasi diri sendiri. Penerbitan buku ini dimaksudkan sebagai sumbangsih untuk mendukung pelaksanaan pendapat tersebut.


 
www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt