[ KH Bisri Syansuri; Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat ]

 
Pasca G-30-S 

Di saat-saat penuh kesulitan setelah terjadinya percobaan penggulingan kekuasaan pemerintahan oleh G-30-S/PKI di tahun 1965, dengan pertumpahan darah luar biasa besarnya serta perpindahan kekuasaan pemerintahan dari Orde Lama kepada Orde Baru, Kiai Bisri sering harus meninggalkan Jombang untuk turut dalam pengambilan keputusan di lingkungan Nahdlatul Ulama mengenai masalah-masalah nasional, karena Kiai Abdul Wahab sudah banyak sekali menghadapi 'udzur. Dalam periode setelah wafatnya Kiai Abdul Wahab di tahun 1972 dan pengangkatan Kiai Bisri sebagai Ra'is 'Am, semakin jelas beratnya tanggung jawab memimpin Nahdlatul Ulama. Organisasi itu semakin nyata membuktikan diri sebagai kekuatan sosial-keagamaan yang memiliki kekuatan jumlah anggauta (manpower) dan kekuatan kejiwaan (daya tahan) begitu besar dihadapan banyak perkembangan yang menguji kelangsungan hidupnya sendiri.

Segera setelah Nahdlatul Ulama meleburkan fungsi politiknya ke dalam Partai Persatuan Pembangunan dan kembali kepada fungsinya semula sebagai gerakan sosial-keagamaan yang bersifat non-politiks (jam'iyah), terlepas dari keberatan yang dirasakan Kiai Bisri terhadap cara-cara peleburan itu dilakukan, tidak dapat juga ia berpangku tangan melihat tantangan demi tantangan yang dihadapi. Tantangan besar yang pertama adalah munculnya sebuah Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang secara keseluruhan berwatak begitu jauh dari ketentuan-ketentuan hukum agama, sehingga tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya. Tindakan pertama yang diambil Kiai Bisri adalah mengumpulkan sejumlah ulama daerah Jombang, untuk membuat sebuah rancangan tandingan atau RUU Perkawinan yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat itu. Setelah rancangan tandingan itu selesai dibuat, ia diajukan ke dalam lingkungan Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama, dan diterima secara aklamasi. Rancangan tandingan itu kemudian diajukan kepada sidang Majlis Syura Partai Persatuan Pembangunan, yang menerimanya dan kemudian memerintahkan Fraksi Persatuan Pembangunan untuk menjadikannya dasar bagi satu-satunya rancangan undang-undang yang dapat diterima oleh partai tersebut. Setelah melalui proses negosiasi berbelit-belit dan diselingi oleh kerusuhan oleh sejumlah pemuda di gedung lembaga perwa-kilan rakyat, rancangan tandingan itu diterima sebagai Undang-Undang Perkawinan yang disahkan dengan sedikit perubahan di sana-sini.

Tantangan berat lain setelah itu terjadi menjelang pemilihan umum tahun 1977, ketika terjadi tekanan dari berbagai kalangan agar Partai Persatuan Pembangunan tidak menggunakan gambar Ka'bah se-bagai lambang dalam pemilihan umum tersebut. Tampak jelas sekali pada akhirnya, bahwa hanya Kiai Bisri seoranglah yang dapat menahan tekanan-tekanan politik itu secara mantap, dan partai tersebut dapat mengikuti pemilihan umum tetap dengan tanda gambar ka'bah.

Dalam masa persiapan menjelang dan selama berlangsungnya Sidang Umum Majlis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum 1977, kembali terjadi perbedaan tajam dengan pihak-pihak lain menge-nai beberapa rancangan ketetapan lembaga tersebut. Terutama dalam persoalan pemberian status kepada aliran kepercayaan, cara berpikir yang semata-mata dilandaskan pada hukum fiqh telah membuat Kiai Bisri menolak gagasan tersebut, dan pendapat itu tidak berubah sama sekali dalam proses tawar-menawar politik yang terjadi. Keteguhan pendirian itu akhirnya membawa kepada sikap meninggalkan sidang (walk out) ketika lembaga permusyawaratan itu tetap memutuskan memberikan status formal kepada aliran kepercayaan.

Sikap serba keras seperti itu menyembunyikan sebuah kenyata-an penting yang tidak pula luput dari pengamatan orang banyak: Kiai Bisri sebenarnya telah banyak mengambil pendekatan yang dilakukan Kiai Abdul Wahab semasa hidupnya. Seolah-olah terjadi metamorfose dalam dirinya, sewaktu ia memikul beban yang tadinya dipikul sang ipar. Kiai Bisri lalu menjadi orang yang bersedia melihat persoalan dari berbagai-bagai sudut pandangan, sebelum diambil keputusan terakhir. Sikap yang hanya mau mencari sumber pengambilan keputusan literatur fiqh saja ditinggalkannya, karena hal itu sudah tidak sesuai lagi dengan peranan yang dijalaninya. Sebelum itu, pendekatan monolinear kepada fiqh itu dilakukannya untuk mengurangi sejauh mungkin pemudahan persoalan yang timbul dari pendekatan yang dipakai Kiai Abdul Wahab, seolah-olah penjaga gawang yang harus menjaga jangan sampai kebobolan. Tetapi dengan beban yang harus dipikulnya sendiri, Kiai Bisri harus mampu menggabungkan kedua jenis pendekatan semula itu, untuk memungkinkan pengambilan keputusan yang mengandung unsur kebijaksanaan yang tinggi, seperti terlihat dalam kasus Keluarga Berencana.

Kiai Bisri berpulang kerahmatullah dalam usia yang lanjut, tetapi tetap dalam kerangka perjuangan yang sudah dipilihnya. Bahkan perubahan metamorfosis yang terjadi dalam dirinya masih menunjukkan watak semula dari kerangka itu, yaitu ketundukannya yang mutlak kepada fiqh sebagai sumber pengaturan hidup secara total. Baik atau buruk, kesetisan seperti itu kepada hukum fiqh telah membentuk keutuhan diri Kiai Bisri, mengarahkan perjalanan hidupnya, dan menentukan sikapnya dalam semua persoalan. Kalau kehidupan Kiai Bisri sendiri dinilai penuh, utuh dan kaya dengan dimensi-dimensi luhur, kesemuanya itu tidak lain adalah pencerminan dari penerima-an mutlak atas hukum fiqh sebagai pengatur kehidupan secara nyata. 


 
www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt