[ KH Bisri Syansuri; Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat ]

 
Sayap Haji 

Salah satu hal yang membantunya dalam penunaian tugas seperti itu adalah kontak kekeluargaan yang dimilikinya dengan pejabat pemerintahan lokal di daerah pantai utara. Dari jalur hubungan daerah dengan ibunya yang berasal dari Lasem, Kiai Bisri mempunyai hubungan kekerabatan dengan sejumlah penghulu kabupaten, seperti di Tuban. Walaupun ia berasal dari 'sayap haji' yang diperlakukan hanya sebagai petani desa dalam pergaulan kekeluargaan, tetapi banyak yang dapat diperbuatnya dalam kapasitas seperti itu, sudah tentu dengan banyak pengorbanan perasaan di hadapan perlakuan yang seringkali bersifat merendahkan harga dirinya.

Pola lain yang berkembang adalah munculnya Kiai Bisri dan Kiai Abdul Wahab sebagai peserta aktif dalam musyawarah hukum agama yang berlangsung di lingkungan Nahdlatul Ulama. Setelah organisasi itu berdiri, Kiai Hasyim Asy'ari sebagai pengasuh pesantren Tebuireng dan guru para kiai muda yang menjadi tulang punggung pelaksanaan kegiatan Nabdlatul Ulama, memulai sebuah kelas yang kemudian di-namai ''kelas musyawarah': forum tetap bagi para santrinya, baik yang masih belajar di Tebuireng maupun yang telah berkiprah di tempat masing-masing, untuk diuji kebolehan mereka dalam memecahkan masalah-masalah yang timbul di bidang hukum agama. Kedua sahabat yang kemudian saling beriparan itu ternyata memegang peranan yang boleh dikata bertolak belakang dalam kelas musyawarah seperti itu. Kiai Abdul Wahab memegang peranan sebagai penjelajah yang menelusuri bermacam-macam aspek pengetahuan agama, melalui berbagai jenis disiplin keagamaan, untuk mencari pemecahan yang sejauh mungkin bersifat positif bagi relevansi kehidupan keagamaan dalam masa perubahan sosial yang terjadi secara cepat. Pengembaraan intelektual di bidang pengetahuan agama itu sering membawanya kepada pendapat yang dianggap orang lain sebagai 'keputusan yang ringan'. Peranan Kiai Bisri justeru adalah sebaliknya dalam perdebatan sengit yang terjadi dalam forum seperti itu, yang diikuti dengan cermat oleh sang guru, Kiai Hasyim Asy'ari. Kiai Bisri justeru berperan sebagai orang yang memeriksa secara tuntas semua usul pemecahan masalah dari sudut pandangan murni ilmu fiqh belaka.

Dari pola penghadapan kedua peranan tadi, Kiai Hasyim lalu memberikan keputusannya, yang umumnya diterima sebagai keputusan terakhir yang tidak diganggu gugat lagi. Kalau dilihat dari jenis keputusan yang dihasilkan, nyata sekali bahwa pendalaman masalah dari sudut pandangan murni ilmu fiqh, seperti dilakukan Kiai Bisri, merupakan mayoritas pendapat yang kemudiannya dianut Kiai Hasyim. Dua hal dapat disimpulkan dari kenyataan ini. Pertama, betapa sulitnya dikembangkan pemikiran keagamaan yang mencoba mendinamisasikan fiqh dengan memasukkan unsur-unsur baru ke dalam lingkup pemikirannya, seperti dilakukan Kiai Abdul Wahab. Kegemarannya untuk terlibat dalam perdebatan sengit mengenai masalah-masalah hukum agama (masalah khilafiah) dengan penganut faham lain, sering memberikan gambaran seolah-olah Kiai Abdul Wahab adalah tokoh Nahdlatul Ulama yang berpandangan sempit dan bersikap fanatik, hanya mau benarnya sendiri. Padahal peranan itu justeru tidak dilakukannya dalam lingkungan Nahdlatul Ulama sendiri, karena dengan caranya tersebut ia justeru mencoba meluaskan cakrawala pemikiran di lingkungan organisasinya itu. Kesimpulan kedua adalah betapa jelasnya tampak kemampuan Kiai Bisri untuk mempertemukan kecenderungan gurunya di bidang ilmu-ilmu hadits dan cara berpikir yang sepenuhnya terikat kepada pandangan murni ilmu fiqh. Ini berarti kemampuan sangat besar untuk menguasai perbendaharaan ayat dan hadits sebagai sumber pengambilan hukum dan menggunakannya secara tuntas bagi pengolahan keputusan di bidang fiqh. Sebagaimana jelas dari uraian di bagian lain dari tulisan ini, penguasaan penuh atas fiqh selamanya harus berlandaskan penguasaan yang tuntas pula atas Alquran dan Hadits Nabi, sebagai sumber pengambilan hukum agama.

Fungsi yang tampak saling bertolak belakang dari Kiai Bisri dan Kiai Abdul Wahab ini, yang secara lahiriyah menggambarkan konflik pandangan yang tidak pernah terlerai, pada hakikatnya adalah proses yang mematangkan keputusan-keputusan yang diambil di lingkungan Nahdlatul Ulama. Kalau dilihat dari kumpulan keputusan-keputusan muktamar Nahdlatul Ulama selama ini, kematangan berfikir yang menunjangnya tampak tidak kalah dari produk literatur fiqh di masa puncak kejayaan pengetahuan keagamaan kaum muslimin di masa lampau. Kalau dibuat pengkajian perbandingan dalam hal ini, hasilnya tentu akan menarik: ternyata kekhawatiran para ulama muslimin yang selalu ada tentang menurunnya kualitas dan kuantitas pengetahuan agama mereka tidak sepenuhnya benar. Banyak cara kolektif yang dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi dan kualitas pengetahuan agama yang dimiliki di suatu masa, seperti tampak dari pola penghadapan antara cara berpikir Kiai Abdul Wahab dan kesetiaan Kiai Bisri kepada ilmu fiqh dengan segenap peralatannya. 


 
www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt