[ KH Bisri Syansuri; Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat ]

 
Babak Baru Denanyar 

Kepulangan ke tanah air itu membawa Bisri Syansuri kepada pilihan untuk kembali ke desa asalnya di Tayu, ataukah menetap di tempat kelahiran istrinya. Pilihan itu terjadi tentunya dalam kerangka permintaan keluarga pihak istrinya itu, yang bertempat tinggal di desa Tambakberas, Jombang. Sedangkan permintaan itu sendiri mempunyai latar belakang-kuatnya tradisi mengambil menantu orang pandai di kalangan keluarga pengasuh pesantren di pedalaman. Sudah tentu untuk memperkuat posisi kultural mereka dalam pergulatan melawan perluasan budaya setempat yang non-muslim. Pilihan Bisri untuk menetap di Jombang, kalau dilihat dari latar belakang ini, adalah bagian dari proses besar memperkuat (reinforcement) pesantren di pedalaman Jawa terhadap meluasnya budaya non-muslim sebagaimana mereka tanggapi waktu itu. Proses yang sampai saat ini pun belum selesai, seperti terbukti dengan banyakuya calon 'kiai pesisir' yang menjadi menantu 'kiai pedalaman' di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di Tambakberas, Bisri Syansuri tinggal dua tahun, membantu mertuanya di bidang pendidikan dan pertanian. Periode tersebut merupakan masa terakhir persiapannya untuk menjadi kiai yang berdiri sendiri, periode pengamatan seksama atas kemampuannya membuka pesantren atas tenaga sendiri dan mengembangkannya tanpa bersandar kepada orang lain. Di bidang pertanian, diamati secara seksama kemampuannya mengelola sumber penghasilan sendiri untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga. Di bidang pendidikan, pengamatan atas kemampuannya untuk memberikan pengorbanan yang harus diberikan untuk mensukseskan sebuah 'alat perjuangan' seperti pesantren. Ternyata ia dinilai (secara tidak terbuka, tentunya) oleh mertuanya sebagai memiliki kemampuan cukup di kedua bidang itu. Karenanya, setelah dua tahun di Tambakberas, ia diberi sebidang tanah di desa lain yang berdekatan, untuk kehidupannya sendiri dan untuk mendirikan sebuah pesantren.

Dengan demikian lahirlah sebuah pesantren baru, di desa Denanyar, 1,5 kilometer dari kota Jombang arah barat. Sebuah pesan-tren yang bermula dari kedatangan sepasang suami istri yang mendirikan rumah mereka, kemudian sebuah surau untuk memimpin peribadatan di tempat baru itu, yang tidak lama setelah itu berfungsi sebagai tempat menerima kedatangan santri yang datang dari tempat lain untuk belajar kepada pendiri surau itu. Terbentuklah sebuah pesantren dengan kehadiran satu dua orang santri, dan dengan munculnya santri lahirlah pula seorang kiai di tengah-tengah masyarakat. Pola klasik yang tetap relevan dengan keadaan masyarakat di masa itu, dan di banyak tempat juga masih sesuai dengan kebutuhan masa di alam modern ini.

Desa Denanyar adalah lokasi paling rawan dari setiap kegiatan 'tidak baik' yang ada di Jombang waktu itu. Letaknya di pinggiran kota, dekat sebuah pabrik gula dan di tepi jalan negara yang menghubungkan Surabaya dan Madiun, memberikan warna tersendiri kepada desa tersebut: kekerasan, terkikisnya nilai-nilai moral yang luhur dan kuatnya peranan modal pada tingkah laku masyarakat. Bromocorah bersimaharaja lela, dengan minimal pembunuhan sekali setiap harinya. Perampokan atas pejalan yang menempuh perjalanan jauh melalui desa itu merupakan kejadian sehari-hari. Dan besarnya jumlah wanita tuna susila yang dilokalisir oleh keadaan di tempat itu, kesemuanya merupakan gambaran pola umum kehidupan di desa tersebut. Medan yang sulit digunakan bagi tujuan pengembangan ajaran agama, tetapi yang juga merupakan tantangan menarik bagi pribadi-pribadi luar biasa.

Dimulai dengan kiprah perorangan untuk memberikan contoh bagaimana agama dapat membawa kepada kesejahteraan hidup bila dilaksanakan ajaran-ajarannya dengan tuntas. Segera upaya kiai baru di desa Denanyar itu merupakan permulaan dari sebuah usaha besar, yang belum selesai gelombang naik turun perkembangannya hingga saat ini.

Kiai Bisri memulai kiprahnya dalam kehidupan dengan kerja di tingkat lokal pada awal mula kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannya. Pertama-tama dengan mengatur kehidupan pertanian-nya sendiri, untuk menyangga pelaksanaan kegiatan kemasyarakatan tersebut. Kemudian dimulainya upaya mengajar anak-anak para tetangga sekitarnya, sudah tentu dengan tentangan hebat dari mereka yang tidak menyetujui usahanya. Pemerintahan desa Denanyar, kalaupun tidak menentang usahanya itu, paling tidak telah menunjukkan sikap tidak memberikan perhatian. Hal itu dapat dimengerti, karena para lurah dan prabotnya di daerah Denanyar dan sekitarnya terkenal sebagai tokoh-tokoh yang justeru membangun kekuasaan mereka karena keberanian yang mereka tunjukkan dalam pertarungan-pertarungan fisik. Kekerasan adalah bagian dari latar belakang kehidupan mereka, dan acara hiburan yang tidak mempedulikan nilai-nilai susila dan keagamaan adalah bagian dari budaya kekerasan yang mereka anut itu, seperti tayuban.

Menarik sekali untuk dikaji bagaimana Kiai Bisri menghadapi kesemua tentangan itu dengan pendekatan yang sangat lentur dalam sikap tetapi tegar dalam pendirian. Santunan yang ditunjukkannya kepada mereka yang lemah, bukannya dalam bentuk pemberian berlebih-lebihan dan sejenisnya, melainkan dengan memperlakukan semua orang yang berurusan dengan dirinya sesuai dengan hak-hak dan kewajiban masing-masing, lambat laun lalu mengubah pandangan orang terhadap dirinya, terutama di kalangan elite desa itu sendiri. Ia bukanlah orang yang sekonyong-konyong datang dengan seruan untuk menjungkir-balikkan semua nilai kehidupan yang dianut secara umum, melainkan seorang warga masyarakat yang tidak memisahkan diri dari jalur umum kehidupan. Kalaupun ada perbedaan moralitas dan nilai yang dianutnya dari apa yang terjadi di sekelilingnya, itu dila-kukannya dengan tidak menghadapkan moralitas dan nilainya itu secara frontal, melainkan dengan hanya memberikan contoh bagi mereka yang mau mengikutinya. Kiai Bisri tidak 'menyerang keluar', melainkan menerima di tempat sendiri mereka yang berkeinginan mengubah diri secara berangsur-angsur.

Pendekatan ini menghasilkan dua hal sekaligus: mengubah pola hidup masyarakat sekelilingnya secara berangsur-angsur, dan mengundang datangnya orang luar desa itu untuk belajar ilmu-ilmu agama darinya. Murid pertama Kiai Bisri datang baik dari anak tetangga sedesa, di samping Abi Darda' yang datang dari desa 4 kilometer arah selatan Denanyar. Keempat murid pertama itu tinggal di surau yang didirikan Kiai Bisri dalam tahun l9I7, dengan jalan menyekat sebagian ruang surau itu untuk kamar tempat tinggal mereka. Sistem yang digunakan masih bersifat sorogan, yaitu bimbingan individual untuk menguasai teks-teks lama secara bertahap. Pendidikan dengan sistem lama itu dilakukan Kiai Bisri secara tekun selama dua tahun tanpa ada tanda-tanda akan dilakukannya cara lain untuk mendidik para santrinya.


 
www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt