[ KH Bisri Syansuri; Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat ]

 
Pindah ke Tebuireng 

Tradisi menjadi 'santri keliling' itu dilanjutkan oleh Bisri dengan kepergiannya menuntut ilmu-ilmu agama di pesantren Tebuireng (Jombang), di bawah asuhan Kiai Hasyim Asy'ari, pada tahun 1906. Mungkin atas ajakan kawan baru yang ditemuinya di Bangkalan, Abdul Wahab Hasbullah, mungkin juga karena memang tertarik oleh reputasi kiai Tebuireng itu. Kiai Hasyim Asy'ari begitu disegani orang karena kedalaman ilmu-ilmu agamanya, dan karena itu mendapat gelar Hadratus Syaikh. Tindakan untuk berpindah tempat pendidikan ke pesantren Tebuireng ternyata penting sekali artinya bagi kelanjutan hidup pemuda Bisri Syansuri. Ia lalu menjadi bagian dari apa yang oleh Zamakhsyari Dhofier dalam disertasinya disebut sebagai garis silsilah intelektual para ulama (intelectual genealogy of the kiai), yaitu proses penurunan ilmu pengetahuan agama secara mendalam dari generasi ke generasi, melalui proses penularan yang ketat, disandarkan sepenuhnya kepada sistim ijazah seperti telah diuraikan.

Kiai Hasyim Asy'ari semula adalah murid Kiai Khalil Bangkalan; Kiai Zainuddin Mojosari di Nganjuk dan Kiai Khazin dari Siwalan Panji (Sidoarjo). Kemudian ia belajar di Mekkah, menurut jalur yang digambarkan van der Kolff, dan di sana ia belajar pada Syeikhul masyaikh Kiai Nawawi Banten, Kiai Ahmad Khatib Padang, Kiai Mahfudz Termas (Pacitan), dan sejumlah guru 'non-Jawi' seperti Syaikh Syatha dan Syaikh Daghistani. Kiai Hasyim dengan cepat menanjak reputasinya sebagai penuntut ilmu yang sangat cerdas dan mampu menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam dengan cepat. Bahkan segera setelah kepulangannya ke tanah air, di mana ia semula mendirikan pesantren di Kediri dan kemudian berpindah ke Jombang, segera ia menjadi ulama yang disegani dan ditunduki para ulama lainnya, termasuk bekas guru-gurunya semasa ia belum berangkat ke Mekkah dahulu. Sebagai ulama yang memiliki spesialisasi di bidang ilmu-ilmu hadits, Kiai Hasyim Asy'ari terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadits. Dan ia bersikap sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang memang telah mengembangkan cara-cara yang dinilainya menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.

Pertikaian antara Kiai Hasyim dan Kiai Khalil Peterongan, (yang juga terletak di kabupaten Jombang), tentang kultus mewalikan Kiai Khalil, amat terkenal di kalangan ulama Jawa Timur waktu itu. Sikapnya yang menentang praktek-praktek kaum tarekat yang dianggapnya menyimpang dari ajaran agama, jelas sekali mewarnai orientasi pendidikan yang ditumbuhkannya di pesantrennya sendiri. Orientasi fiqh murni, yang ditarik dari tradisi pengembangan hukum agama yang bersifat sangat selektif selama berabad-abad, melalui penumbuhan metode pengambilan keputusan agama yang sudah bulat dan matang, merupakan tempat yang sangat sesuai dengan kepribadian Bisri Syansuri, yang memang sejak semula sudah digembleng dalam tradisi demikian oleh Kiai Abdul Salam Kajen dan Kiai Syu'alb Sarang. (Pola kehidupannya yang berjalur tunggal, dengan moralitas yang digunakan sangat terikat dengan pendapat-pendapat terbaik yang termuat dalam litetatur hukum agama dalam fiqh, mendapatkan bentuknya yang pasti dan tetap di pesantren Tebuireng ini. Karena itu, tidak heranlah jika pemuda Bisri lalu menganggap Kiai Hasyim sebagai guru utamanya, seperti ternyata dari panggilan (akolade, laqab) yang diberikannya dan digunakannya atas diri gurunya itu: Kiai. Tidak ada gelar lain yang pantas bagi gurunya itu selain disebut 'Kiai' belaka, tanpa nama, tanpa tambahan sebutan lain, seolah-olah tidak ada kiai lain di luar gurunya yang satu ini, sehingga nama jenis kekiaian dipakaikan hanya kepada sang guru belaka. Praktek ini ternyata tidak terbatas pada diri Bisri Syansuri, melainkan juga pada banyak orang lain, sehingga Kiai Hasyim dijuluki orang sebagai Hadratus Syaikh, yang artinya Sang Guru. Tidak hanya oleh mereka yang pernah dididiknya, atau orang lain yang tidak pernah dididiknya, tetapi juga oleh bekas guru-gurunya di berbagai tempat.

Pemuda Bisri Syansuri tinggal di pesantren Tebuireng enam tahun lamanya. Hubungannya semakin-bertambah karib dengan pemuda yang dua tahun lebih tua, Abdul Wahab Hasbullah, yang telah menemaninya semenjak masih bersama-sama di pesantren Kiai Khalil Bangkalan. Abdul Wahab masih keluarga dekat dari Kiai Hasyim Asy'ari, karena ia adalah adik sepupu sang guru. Kedua orang tua mereka masih bersaudara, karena sama-sama berasal dari desa Gedang, dua kilometer di utara kota Jombang. Kedua-duanya juga masih memiliki garis keturunan keluarga yang panjang, hingga ke tokoh legendaris Jaka Tingkir di Salatiga, Jawa Tengah. Dari keluarganya sendiri, Abdul Wahab memiliki garis keturunan itu melalui sejumlah pemimpin gerakan keagamaan di Nganjuk. Dari jurusan ayahnya, Kiai Hasyim memiliki garis keturunan lebih pendek dan langsung, karena ayahnya, Kiai Asy'ari, adalah putera Kiai Abdul Wahid dari desa Tingkir itu sendiri, dari istri yang berasal dari Demak. Itulah sebabnya, di kemudian hari Kiai Hasyim Asy'ari menamai anak lelakinya yang pertama dengan nama Abdul Wahid Hasyim.

Desa Gedang, tempat Kiai Hasyim dilahirkan, adalah pusat gerakan Tarekat Naqsyabandi di Jombang (dan mungkin Jawa Timur pada waktu kakeknya memimpin pesantren di tempat itu. Sang kakek, Kiai Usman, adalah urut-urutan terkemuka dari guru-guru tarekat di Jawa Timur di pertengahan abad ke sembilan belas. Ia mengambil menantu salah seorang muridnya, yaitu pemuda Asy'ari asal Demak, putera Kiai Abdul Wahid Tingkir. Sesuai dengan tradisi pewarisan il-mu pengetahuan agama dan kepemimpinan pesantren yang dalam jangka panjang ternyata merupakan salah satu tiang utama penyangga kelangsungan hidup pesantren sebagai lembaga keagamaan. Didasarkan pada pengamatan seksama atas potensi ilmiah keagamaan murid-murid dan kemuliaan garis keturunannya (dipandangan keagamaan waktu itu), pola mengambil calon-calon kiai sebagai menantu adalah jaminan bagi kelangsungan tradisi pesantren itu sendiri. Demikianlah yang terjadi atas diri pemuda Asy'ari, yang segera pindah ke tempat pemukiman baru di desa Keras (6 kilometer arah selatan kota Jombang) setelah mengawini Winih, anak Kiai Usman Gedang. Di tempat baru itu, ia mengembangkan sebuah pesantren, yang kemudian secara tradi-sional menarik santri-santri dari tempat asal gurunya, Demak. Kiai Asy'ari melanjutkan tradisi mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada santri-santrinya dan kepada masyarakat di sekitarnya, termasuk mengembangkan tradisi tarekat yang diterimanya dari sang mertua.

Munculnya kekuatan sosial-ekonomis para petani kaya di daerah sekitar desa Keras, sebagai hasil berdirinya sebuah pabrik gula di desa Cukir (sekira 3 kilometer arah tenggara), akhirnya membawakan anak kiai Asy'ari yang bernama Hasyim untuk belajar ke Mekkah pada perempat terakhir abad ke-19 (tahun 1880-an). Sepulang dari Mekkah, setelah melalui 'masa percobaan' yang gagal untuk mendirikan pesantren di tempat mertuanya di Plemahan. (Kediri), pemuda yang telah menjadi Kiai Hasyim Asy'ari itu berhasil memunculkan sebuah pesantren yang kemudian tempat utama pencetakan calon-calon ulama, yaitu Pesantren Tebuireng yang terletak hanya sekitar 2 kilometer dari desa ayahnya di Keras. 


 
www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt