[ KHMA. Sahal Mahfudh / Nuansa Fiqih Sosial ]

 
SENI DAN DAKWAH
AKAL manusia bukanlah satu-satunya potensi absolut yang mampu memecahkan segala persoalan hidupnya. Manusia di samping dibekali pikir, juga diberi "rasa" dan "nafsu". Kemampuan pikir akan berkurang atau bisa hilang, apabila rasa dan nafsu tidak sejalan dengan pikir. Ketidakserasian antara fungsi-fungsi kejiwaan (pikir, rasa, nafsu), dapat mengguncang kehidupan. Di sini unsur seni sangat mempengaruhi keserasian fungsi kejiwaan, karena seni rnerupakan manifestasi dari budaya (pikiran, perasaan, kemauan dan karsa) manusia yang memenuhi syarat-syarat estetik.

Dalam kedudukan mulia itu, manusia diberi status khusus sebagai khalifatullah dalam kehidupan di muka bumi ini. Bekal yang diberikan kepadanya adalah kekuatan fisik (quwwatun ‘amaliyah) dan kekuatan berpikir (quwwatun nadhariyah) yang dilengkapi dengan rasa dan nafsu. Nafsu manusia tidak selamanya mendorong ke arah yang positif. Bahkan kecenderungan ke arah negatif pada umumnya lebih kuat, terutama bila pikir dar rasa manusia tidak mampu mengendalikan. Di sinilah, manusia dalam- kehidupan sosial sebagai khalifah Allah dituntut dan punya tanggung jawab untuk ber-amar ma’ruf dan ber-nahi munkar yang dengan kata lain dapat disebut dakwah. Nilai lebih dakwah melalui kegiatan seni adalah, cara ini mampu menyentuh dimensi rasa dan kesadaran lebih dalam.

Secara teoritis Islam memang tidak mengajarkan seni dan estetika (keindahan), namun tidaklah berarti Islam anti seni. Ungkapan bahwa Allah adalah jamil (indah) dan mencintai jamal (keindahan) serta penyebutan Allah pada diriNya sebagai badi'us samawat wal ardl,

merupakan penegasan bahwa Islam pun menghendaki kehidupan ini indah dan tidak lepas dari seni. Arti badi' adalah pencipta pertama dan berkonotasi indah. Berarti, Allah mencipta langit dan bumi dengan keindahan.

Seni hadrah/rodat (terbagan, Jawa) yang merupakan sunnah Rasul yang dianjurkan pada saat menyambut datangnya kegembiraan seperti walimah pengantin, juga merupakan petunjuk bahwa Islam mengenal seni dan budaya, bahkan berperadaban tinggi. Banyak kalimat-kalimat seperti: zinah (hiasan) di dalam Al-Qur'an yang secara implisit mengandung unsur seni dan keindahan. Zinah yang berarti hiasan, tentu saja mengandung nilai seni.

Seni dengar alat bahasa atau seni sastra yang dikandung Al-Qur’an kiranya cukup jelas dapat dipelajari dari ilmu badi’/balaghah dan ilmu ‘arudl. Bahasa A1-Qur'an di samping bahasa analitik juga utamanya sebagai bahasa estetik. Pengaruh sastra Islam ini meluas pada bahasa-bahasa lain yang dipakai umat Islam.

Memang seni tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kesenian seperti di atas, yang merupakan rnanifestasi dari pikir, rasa, karsa dan karya yang bersifat estetik. merupakan bagian dari kehidupan manusia, atau fitrah manusia. Ia hidup dan berkembang. Islam pada dasarnya membenarkan adanya seni dengan berbagai cabangnya, sepanjang tidak melalaikan Allah dan tidak menimbulkan kemungkaran.

Pengakuan seni oleh Islam tidak lepas dari fitrah manusia yang menuntut keserasian dan keseimbangan antara unsur-unsur pikir, rasa, karsa dan karya. Dari sisi fungsinya, seni dapat menjadi media mensyukuri nikmat Allah, di mana Allah telah menganugerahi manusia berbagai potensi, baik potensi rohani, mau pun potensi inderawi (mata, telinga, dan lain-lain). Fungsi seni di sini ialah menghayati sunnah Allah, baik pada alam, mau pun yang terdapat pada kreasi manusia.

***

DAKWAH hakikatnya merupakan risalah bagi setiap mukmin, seperti ditegaskan dalam surat Al-Taubah ayat 71. Perintah Rasulullah yang masih terus berlaku itu menuntut tanggung jawab pelaksanaannya sepanjang masa, tidak hanya di dalam waktu tertentu dan situasi tertentu. Pada tingkat realisasi, dakwah Islamiyah tetap erat kaitannya dengan lima unsur, yakni juru dakwah (da'i), sasaran (masyarakat), materi, metode dan media dakwah. Dalam hal ini, seni rnerupakan media dakwah yang efektif menyentuh kesadaran bagi sasaran dakwah.

Kenyataan kondisi sasaran dakwah yang sering kita lihat, menuntut juru dakwah memberikan alternatif materi yang menyentuh kebutuhan mereka. Ini artinya, metoda dan media dakwah juga diharapkan sesuai dengan situasi tersebut. Juru dakwah harus menguasai substansi dakwah, di samping menguasai metoda dan media dakwah, melalui lisan/suara (bi al-lisan), dengan jari tangan (bi al-banan) seperti tulisan, lukisan, gambar dan alat visual lainnya, ataukah dengan organ tubuh yang lain (bi al-arkan) seperti sikap, perilaku dan perbuatan nyata (da’wah bil hal).

Dalam surat Ali Imran ayat 110 Allah menegaskan predikat manusia sebagai "khaira ummatin" (umat terbaik), dengan ketentuan mampu tampil di tengah-tengah masyarakat, beramar ma'ruf nahi munkar, serta beriman kepada Allah. Kegiatan ini menuntut keterampilan dan penampilan sesuai dengan pluralitas masyarakat. Pilihan metoda hikmah, mau'idhah hasanah atau mujadalah bil ahsan menjadi penting, melalui media-media yang mudah dijangkau untuk mendukung strategi dakwah.

***

SATU hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan strategi dan taktik dakwah adalah mencoba melihat sistem budaya lokalnya. Pengembangan dakwah seringkali lebih mampu dicapai melalui pendekatan kultural, ketimbang pendekatan formal struktural yang hanya dapat dilakukan pada bagian kecil dari ajaran formal yang berwatak legalistik. Sebagai contoh bisa diambil, bagaimana dakwah Islamiyah di lakukan dalam kultur Jawa.

Sistem budaya Jawa, adalah sistem budaya yang dikembangkan oleh dua pusat kekuasaan di masa lampau, Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Dalam pandangan budaya Jawa, makna hidup bagi seseorang terletak kepada kemampuannya mentaati etika moral yang berlaku. Derajat moralitas seseorang akan terlihat dari cara orang tersebut berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam, atau cara orang itu bergerak dalam ruang dan waktu. Dalam sistem budaya ini, pedoman mengenai moralitas dibakukan dalam ungkapan-ungkapan standar yang tetap.

Ungkapan seperti, "Gusti Allah ora sare" yang sering disebutkan pada saat orang tidak berdaya menghadapi

ketidakadilan, memperlihatkan suatu nilai imani dan tawakal yang penuh. Prinsip hidup yang dipenuhi keseimbangan dan kesederhanaan yang tercermin dalam ungkapan “urip sing sarwa samadya”, menunjukkan ajaran iqtishad dan tawazun dalam ajaran Islam, serta nilai zuhud.

Contoh ungkapan-ungkapan itu menunjukkan, pada dasarnya pedoman moralitas yang menjadi falsafah hidup masyarakat Jawa tidaklah bertentangan dengan Islam. Bahkan integrasi nilai-nilai Islam dalam sistem budaya Jawa secara ideal tidak mengalami hambatan. Dakwah Islamiyah dengan pendekatan kultural di sini berarti, sejauhmana ajaran dan nilai-nilai Islam mengisi secara integratif sistem budaya Jawa yang masih dapat dilestarikan dalam situasi Indonesia kontemporer, di mana gaya hidup menuntut sikap dinamis, kreatif dan berpartisipasi aktif.

Sedangkan terhadap pedoman moralitas budaya Jawa yang cenderung melemah -dalam arti tidak mampu memberikan cara-cara terbaik untuk menghadapi perubahan- misalnya ungkapan “alon-alon waton kelakon” yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kini, dakwah Islamiyah harus mampu menawarkan alternatif konsep etos kerja dan dinamika dalam Islam.

***

DAL.AM pengertian yang luas, dakwah Islamiyah punya kaitan simbiosis dengan seni budaya, di mana makna dan nilai-nilai Islam dapat dipadukan. Narnun dalam hal ini perlu adanya konsep dakwah yang strategis dan lumintu, dengan pengelolaan secara profesional yang mampu mengakomodasi segala permasalahan sosial. Di sini, seni dan budaya dapat menjadi metoda atau media dakwah, namun juga menjadi sasaran antara bagi dakwah Islamiyah itu sendiri.

Sebagai nnedia atau metoda, seni budaya mempunyai proyeksi yang mengarah pada pencapaian kesadaran kualitas keberagamaan Islam yang pada gilirannya mampu mernbentuk sikap dan perilaku Islami yang tidak menimbulkan gejolak sosial, tetapi justru makin memantapkan perkembangan sosial. Sedangkan sebagai sasaran antara, dakwah Islamiyah diarahkan pada pengisian makna dan nilai-nilai Islarni yang integratif ke dalam segala jenis seni dan budaya yang akan dikembangkan.

Realitas menunjukkan secara menyolok, bahwa secara kuantitatif, Islam di Indonesia makin mendapatkan tempat yang luas di kalangan masyarakat, baik dari kelompok remaja mau pun tua. Ini tidak berarti ada pengembangan Islam. berkembangnya jumlah pemeluk agama menunjukkan perkembangan kepedulian masyarakat terhadap agama itu, namun tidak berarti bahwa ajaran agama secara substansial juga berkembang.

Sebuah hipotesis rnenunjukkan, bahwa kualitas keberagamaan Islam di kalangan masyarakat cenderung melemah, akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem dan orientasi nilai.

Di sinilah pentingnya reformulasi konsep dakwah Islamiyah yang utuh dan strategis, dalam rangka meningkatkan kualitas keberagamaan Islam, sekaligus kualitas hidup, sehingga pada gilirannya dapat dicapai cita-cita yang serba maslahah dan sa'adah, sa'adatud darain.


www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt