[ Dr. Nur Cholish Madjid / Bilik-Bilik Pesantren ]

 
Pesantren:
Dari Pendidikan Hingga Politik* 

KALAU kita tengok keberadaannya, pesantren merupakan institusi pendidikan yang melekat dalam kehidupan Indonesia sejak beratus tahun lalu. Sehingga, Ki Hajar Dewantara pernah mencita-citakan model pesantren ini sebagai sistem pendidikan Indonesia. Menurutnya, selain sudah lama melekat dalam kehidupan di Indonesia, model ini (pesantren) juga merupakan kreasi budaya Indonesia, setidak-tidaknya Jawa, yang patut untuk dipertahankan dan dikembangkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pesantren telah banyak memberikan andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerita berikut ini mungkin bisa menggambarkan bagaimana pesantren turut menjalankan fungsi pendidikan.

KH Hamam Dja'far pimpinan Pondok Pesantren Pabelan Magelang Jawa Tengah memberi perintah kepada santrinya, "Cari grup kesenian tradisional Badui yang menjadi juara festival seni tradisional di Yogyakarta". Namun, perintah itu membuat santri yang menerimanya tergagap. Bukan hanya karena perintah itu datang langsung dari sang kiai, tetapi kemana mencari kelompok kesenian tradisional tersebut. Jangankan nama kelompoknya, jenis keseniannya pun tak dikenalnya.

Berjam-jam si santri mencari jawaban. Akhirnya diputuskan untuk mencari tahu koran apa saja yang dibaca oleh KH. Hamam Dja'far pagi itu. Setelah mengumpulkan beberapa koran yang telah dibaca sang kiai, santri tersebut menemukan sebuah berita tentang festival seni tradisional di Yogyakarta. Berawal dari sana, si santri menemukan kelompok kesenian Badui yang dimaksud oleh kiai. Akhirnya, grup kesenian itu pun diundang pentas di Pondok Pesantren Pabelan, Kecamatan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Yang terlihat dari sekilas kisah di atas, hanyalah upaya seorang santri melaksanakan perintah kiai. Namun, jika ditarik lebih jauh, peristiwa tersebut bisa menggambarkan rangkaian dari sebuah proses pendidikan yang dilakukan di sebuah pesantren. Pertama dengan menyodorkan problematika kepada anak didik. Kemudian mendorongnya untuk berolah pikir menyelesaikan masalah tersebut. Di sini terlihat sang kiai mengajak santrinya untuk membaca, mencari pengetahuan lewat media masa atau buku, dan mengapresiasi terhadap sebuah bentuk kesenian.

Menjalankan fungsi pendidikan memang menjadi tugas pokok sebuah pesantren. Identitas pesantren adalah lembaga pendidikan, walaupun dalam perjalanannya berbagai fungsi juga dijalankan oleh lembaga ini. Namun demikian, peran sebagai lembaga pendidikan adalah yang utama. Bahkan, menurut ketua PBNU, Abdurrahman Wahid—yang akrab dipanggil Gus Dur—selama pesantren dapat menjalankan fungsi pendidikan yang relevan bagi kehidupan masyarakat, selama itu pula pesantren dapat menjaga keberadaan dan kelangsungan hidupnya.

Menyelenggarakan pendidikan yang relevan bagi kehidupan masyarakat menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindari oleh pesantren kalau tidak ingin "mati kesepian", seperti yang dialami oleh pesantren-pesantren di Malaysia. Pesantren di Negeri Jiran—kini jumlahnya sekitar 40 buah—itu tidak dapat memelihara relevansi keberadaannya dengan tuntutan kehidupan yang ada. Mereka tidak mau menerima sistem sekolah, apalagi memberikan ijazah atau diploma; yang diutamakan hanya pendidikan ritual keagamaan. Sementara tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan tidak hanya terbatas pada mendapat ilmu, tetapi juga jalan untuk memasuki pasar kerja, yang itu menuntut adanya diploma.

Akibatnya, pesantren-pesantren di Malaysia menjadi tidak relevan bagi kehidupan masyarakat, sehingga lambat laun ditinggalkan. Anak-anak muda tidak tertarik lagi untuk bergabung dalam pesantren, karena kebutuhan mereka di kemudian hari tidak tertampung di sana. Kondisinya jauh berbeda dengan perjalanan pesantren di Indonesia. Pesantren di Indonesia—khususnya di Jawa—telah berumur ratusa tahun, dan hingga kini masih terus bertahan bahkan jumlahnya cenderung meningkat.

Menurut data Departemen Agama, pesantren tertua di Indonesia ialah Pondok Pesantren Luhur Dondong Semarang yang didirikan pada tahun 1906 oleh Kiai Syafi'i Pijoro Negoro -konon kiai ini adalah salah seorang komandan pasukan Sultan Agung saat menyerbu Batavia. Tahun 1985 jumlah pesantren di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 6.239 buah, dan hingga kini (1996) jumlahnya mencapai sekitar 6.800 buah.

Pesantren di Indonesia dengan cepat mengantisipasi kebutuhan masyarakat dan menyesuaikan sistem pendidikannya. Banyak pesantren yang sudah memiliki SMA, bahka mengelola perguruan tinggi umum seperti Universitas Darul Ulum. Mengenai pengadopsian sistem pendidikan ini Abdurrahman Wahid berpendapat terjadi proses timbal balik antara pesantren dengan lembaga-lembaga di luar pesantren. Pesantren mengadopsi sistem pendidikan dari luar, dan sebaliknya lembaga-lembaga di luar pesantren juga mengadopsi tradisi pesantren, seperti terlihat dari maraknya penyelenggaraan pesantren kilat.

Sebagai sebuah wilayah sosial, pesantren memiliki kelenturan dan resistensi dalam menghadapi setiap perubahan zaman. Untuk menentang kolonialisme, pesantren melakukan uzlah (menghindar atau menutup diri) terhadap sistem yang dibawa oleh kolonialisme—termasuk pendidikan. Dan kini, agar tetap relevan bagi kehidupan masyarakat, pesantren membuka diri dengan mengadopsi sistem sekolah.

Pesantren melakukan perubahan secara bertahap, perlahan, dan hampir sulit untuk diamati. Para kiai secara berlapang dada mengadakan modernisasi lembaga di tengah perubahan masyarakat Jawa, tanpa meninggalkan sisi positif sistem pendidikan Islam tradisional. Selain itu perubahan yang memang perlu dilakukan dijaga agar tidak merusak segi positif yang dimiliki oleh kehidupan pedesaan.

Pesantren dengan sistem dan karakter tersendiri telah menjadi bagian integral dari suatu institusi sosial masyarakat, khususnya pedesaaan. Meski mengalami pasang-surut dalam mempertahankan misi dan eksistensinya, namun sampai kini pesantren tetap survive. Bahkan beberapa di antaranya muncul sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah-masalah sosial masyarakat desa. Seperti yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Pabelan dan juga beberapa pesantren lainnya.

Bersama dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Pesantren Pabelan telah menjadi contoh bagi kegiatan pengembangan masyarakat melalui pesantren. Pesantren yang menerima penghargaan Aga Khan tahun 1980 ini menjadi inspirator bagi masyarakat sekitar dalam membangun rumah yang sehat. Selain itu, Pesantren Pabelan ini juga mendorong masyarakat peduli terhadap pendidikan anak-anaknya dengan membebaskan biaya pendidikan buat sekitar 200 santri yang berasal dari desa sekitar Pabelan. Pesantren ini juga dikenal sebagai inovator di bidang pertanian dengan memberikan bantuan ternak ayam, lele dumbo, dan salak pondoh bagi petani di desa sekitarnya. Aktifitas yang dilakukan adalah mengganti intelektualisme verbal menjadi intelektualisme yang lebih mementingkan "kerja tangan". Di sini terlihat bahwa pesantren bukan hanya penyelenggara pendidikan tetapi juga penyelenggara dakwah yang mengajak pada perubahan masyarakat, antara lain dengan penyebaran keterampilan, pengembangan manajemen usaha kecil, eksperimentasi dalam pertanian, industri kecil, dan sebagainya.

Efektifitas pesantren untuk menjadi agen of change sebenarnya terbentuk karena sejak awal keberadaannya pesantren juga menempatkan diri sebagai pusat belajar masyarakat, community learning centre. Seperti dicontohkan oleh Gus Dur tentang Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Seminggu sekali kaum ibu dari daerah sekitar pondok, dan desa-desa lain datang ke masjid pesantren untuk mengikuti pengajian yang diberikan oleh kiai yang diundang pesantren. Kegiatan ini sudah berlangsung selama lebih dari 50 tahun dan tidak pernah surut.

Hasil dari kegiatan tersebut bukan orang-orang yang berijazah, yang mengikuti pendidikan formal, tetapi sikap hidup bersama. Ajaran-ajaran yang dituturkan oleh kiai telah membentuk pandangan, nilai-nilai, dan sikap hidup masyarakat. Padahal, pembangunan oleh pemerintah sering tidak mampu menjangkau sisi ini. Dalam hal ini Abdurrahman Wahid pernah berkomentar, "Selama pesantren masih berfungsi demikian maka dia akan tetap demikian, dan akan menjadi oase bagi masyarakat."

Pesantren melakukan pmasalah sosial masyarakat sekitarnya tidak dengan strategi dan teori pembangunan yang digunakan pemerintah. Gerak pesantren dilandaskan pada amal saleh, sebagai refleksi dari penghayatan dan pemahaman keberagamaan sang kiai, pemimpin pesantren.

Ini yang membuat setiap pesantren mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri dalam melakukan kiprahnya, yang dipengaruhi oleh figur kiai, serta lingkungan sosial pada suatu ruang dan waktu tertentu. Namun, ada satu hal yang sama yang melandasi gerak tersebut, yaitu berangkat dari sikap dan keyakinan agama, serta orientasi pada masyarakat.

Oleh karena itu, melakukan pengamatan terhadap dunia pesantren dengan memakai pendekatan formatif, dan teori ilmu-ilmu sosial Barat akan menyesatkan. Pendekatan tersebut tidak akan dapat menjangkau realitas yang sesungguhnya dari dunia pesantren.

Pemberian identitas pesantren hanya sebagai lembaga pendidikan menjadi semakin tidak memadai dengan kemenangan NU dalam Pemilu 1955. NU yang didukung oleh sebagian besar kiai dan ulama tampil dalam jajaran empat partai politik terbesar di Indonesia masa itu. Kenyataan ini menyadarkan banyak pihak bahwa kiai dan ulama mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan politik. Kekuatan ini yang membuat kiai beserta peserta pesantrennya selalu menjadi sasaran "tarik menarik" antara kekuatan sosial politik hingga kini.

Sebagai kelompok elit pedesaaan—baik dari struktur sosial ekonomi, maupun politik—kiai memiliki pengaruh dan kharisma yang kuat, yang menempatkan mereka menjadi kekuatan politik tersendiri dalam sejarah politik Indonesia.

Dari struktur ekonomi, kehidupan kiai sangat berkecukupan. Oleh karena itu, mereka tidak disibukkan dengan persoalan nafkah. Perhatiannya tercurah pada fungsinya sebagai pemimpin, da'i, dan pengajar. Untuk itu, para kiai merasa perlu memahami kehidupan politik yang sedang berkembang, dengan "kearifannya”, mereka mengambil sikap. Tanpa dipaksakan sikap tersebut akan diikuti oleh jama'ahnya, dan ini yang membuat kiai mempunyai posisi kuat baik di tingkat lokal maupun nasional—dalam pengambilan keputusan politik.

Fenomena tersebut tampak dari keputusan para kiai pada waktu perang kemerdekaan, masa-masa menjelang orde baru, dan sebagainya. Pondok Pesantren Luhur Dondong Semarang misalnya, pada waktu perang kemerdekaan atas keputusan kiainya dijadikan markas BKR/TKR (Badan Keamanan Rakyat/Tentara Keamanan Rakyat) yang selalu dikenal sebagai Markas Medan Barat. Di bawah pimpinan Letkol Iskandar Idris, para kiai dan santri Luhur Dondong bergabung dengan BKR/TKR melawan penjajah. Dan sampai tahun 1949 pondok ini digunakan sebagai Markas gerilya TNI.

Hal yang sama dilakukan oleh Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Abah Sepuh atau KH. Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad—pendiri pondok—membina orang-orang yang kemudian menjadi pimpinan ABRI antara lain Solichin GP, dan Umar Wirahadikusumah, dengan menyediakan pesantrennya sebagai markas TKR. Latar belakang ini yang membuat pesantren Suryalaya memiliki kedekatan dengan ABRI hingga kini. Dan banyak lagi pesantren yang mengambil keputusan sama, yang didasarkan pada pemahaman terhadap keadaan yang berkembang.

Contoh lain, KH Hasyim Asy'ari dengan fatwanya yang menyatakan bahwa "wajib 'ain" (kewajiban yang harus dilaksanakan setiap individu) bagi umat Islam Indonesia untuk mengangkat senjata melawan Belanda, telah membangkitLan semangat umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan dan menentang kehadiran sekutu.

Rumusan piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945—yang menjadi draf awal sebelum sampai pada rumusan Pancasila— tidak lepas dari peran KH Wahid Hasyim yang pada saat itu termasuk dalam anggota Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPPKI).

Keputusan politik Abah Anom atau KH Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin—pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, putra dari Abah Sepuh—untuk mendukung Sekber Golkar sejak awal berdirinya tahun 1963 misalnya, bukan sebuah keputusan yang lahir tanpa pemahaman mendalam tentang dinamika kehidupan politik yang ada. Kelanjutan dari keputusan itu adalah terjalinnya "kedekatan" pribadi antara Abah Anom dengan Presiden Soeharto sampai saat ini.

Di sisi lain, KH Ahmad Siddiq—mantan Rais Aam PBNU— pada pembukaan Muktamar NU di Krapyak Yogyakarta (1989) dengan tegas menyatakan keputusan NU menerima Pancasila sebagai asas berbangsa dan bernegara sudah final, dengan menjabarkan berbagai landasan yang melatarbelakangi keputusan itu, memberi inspirasi berkembangnya hubungan yang "harmonis" antara pemerintah dan Islam. Kecurigaan terhadap Islam (sebagai kelompok masyarakat) pun sedikit demi sedikit mulai menipis. Masih banyak lagi peristiwa lain yang menjadi gambaran peran dan pemahaman kiai terhadap kehidupan politik yang sedang berkembang.

Dari sana terlihat bahwa pesantren beserta kiainya tidak hanya bergerak di wilayah pendidikan—meski itu fungsi pertama dan utama dasar pemikirannya. Kenyataannya menunjukkan bahwa pesantren juga memiliki misi dakwah kepada masyarakat luas. Dan kiai atau ulama yang notabene masuk golongan cendekiawan mau tidak mau terlihat dalam perubahan sosial, dan pergerakan nasional. Mereka dengan segala kapasitas dirinya telah menempati posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat.

Keunggulan-keunggulan itu adalah kekayaan bagi bangsa ini, jika dapat memperlakukannya dengan baik dan sewajar-wajarnya dalam skenario besar kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun akan berubah jadi “bencana" jika hanya jadi alat kepentingan politik sesaat yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Ahli Agama Bukan Pilihan Satu-satunya

Ahli agama alumni pesantren senantiasa diasosiasikan dengan predikat tersebut. Memang tidak salah karena pada awal perjalanannya, pesantren memang identik dengan ladang penyemaian calon kiai atau ahli-ahli agama Islam.

Namun, dalam perkembangannya, pesantren bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga membuka pintu bagi pengajaran bidang ilmu lainnya. Di sisi lai pendidikan agama juga tidak lagi menjadi monopoli pesantren. Sekolah-sekolah negeri dan swasta pun melakukannya secara proporsional.

Dari segi historis, sistem pendidikan pesantren sebenarnya bukan monopoli dunia pendidikan Islam Indonesia. Lembaga serupa pesantren sudah ada pada masa Nusantara berada di bawah kekuasaan Hindu-Budha. Islam meneruskan dan mengislamkannya. Oleh karena itu, sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren tidak hanya punya makna keislaman tapi juga keaslian Indonesia.

Keistimewaan ini dilihat oleh Ki Hajar Dewantara. Tokoh pendidikan ini pernah mencita-citakan model pesantren sebagai model sistem pendidikan Indonesia. Dorongan itu yang kemudian oleh Ki Sarino Mangunpranoto—murid Ki Hajar Dewantara—diekspresikan dengan mendirikan Sekolah Farming di Ungaran.

Menurut Dr. Nurcholish Madjid, seandainya Indonesia tidak mengalami penjajahan, maka pertumbuhan sistem pendidikan Indonesia akan mengikuti jalur pesantren. Pendapat ini dilontarkan mengacu pada sejarah pendidikan di Barat. Hampir semua universitas terkenal di sana cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan keagamaan.

Namun, kenyataan berbicara lain. Pesantren karena faktor historisnya, menentang kolonialisme dan mengambil jalan uzlah (mengasingkan diri) posisinya menjadi jauh terperosok ke daerah pedesaan. Dan lambat laun terjadi kesenjangan antara dunia pesantren dan dunia nyata abad ke-20 yang dikuasai dan diatur oleh pola budaya Barat, yang memang tidak dikuasai oleh pesantren. Akibatnya, pesantren tidak memiliki kemampuan untuk menguasai dan mengatur kehidupan yang relevan.

Untung saja Indonesia pernah memiliki Menteri Agama KH A. Wahid Hasyim, yang dengan kebijakannya mencoba menjembatani antara dunia pesantren dengan di luar pesantren. Tokoh NU ini melakukan pembaruan pendidikan agama Islam di Indonesia lewat Peraturan Menteri Agama No 3/1950. Dia menginstruksikan pemberian pelajaran umum di madrasah, dan memberi pelajaran agama di sekolah negeri dan swasta.

Dengan kebijakannya itu, dunia pesantren dapat tetap relevan dengan perkembangan kebutuhan pendidikan masyrakat, dan dunia luar dapat mengadopsi "keunggulan" yang ada pada pesantren. Wahid Hasyim telah menjadi penghubung antara peradaban pesantren dengan peradaban Indonemodern.

Lambat laun pesantren pun "memodernisasi" dirinya. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga mengadopsi sistem pendidikan nasional. Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, adalah pesantren pertama yang mendirikan SMP dan SMA. Langkah ini diikuti oleh yang lain, sehingga tidak asing lagi pesantren punya TK, SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi, disamping Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Mualimin/Mualimat. Pesantren Hidayatullah Balikpapan misalnya, jenjang pendidikan yang dimilikinya dari TK hingga perguruan tinggi (Universitas Hidayatullah), selain Kuliah Mubalighin/Mubalighah, dengan jumlah santri seluruhnya 1.834 orang.

Sementara Pondok Pesantren Pabelan menyelenggarakan pendidikan antara SMP (Tsanawiyah) dan setara SMA (Aliyah), dan memberikan pendidikan keterampilan mulai dari komputer, fotografi, pertanian, pertukangan, elektronika, hingga administrasi manajemen dan bahasa Inggris. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pesantren Luhur Dondong Semarang.

Dengan semakin luasnya spektrum ilmu yang diberikan kepada santri, maka pilihan terhadap masa depan pun menjadi penuh variasi. Alumni pesantren tidak lagi hanya menjadi ahli agama, tetapi terbuka peluang untuk memasuki profesi-profesi lain, seperti peneliti, penulis, wartawan, pengusaha, dokter, bahkan menjadi ABRI.

Namun, Abdurrahman Wahid mengingatkan, sebagai lembaga pendidikan yang khas Islam, pesantren tetap harus memberikan dasar-dasar pengembangan karakter, kepribadian, penciptaan sikap hidup, dan penataan basis kehidupan yang tercermin dalam akhlak, cara memimpin, cara-cara pergaulan, dan dalam pengambilan keputusan.

Pemberian dasar kehidupan ini diberikan oleh setiap pesantren pada jenjang pendidikan dasarnya. Tetapi pada jenjang pendidikan berikutnya, ketika santri telah sampai pada tingkat pengetahuan tertentu, pengajaran agama baru dikhususkan. Sehingga santri yang tidak ingin jadi ahli agama bisa masuk SMP, SMP, dan sebagainya. Hanya santri-santri yang memang berminat menjadi ahli agama yang melakukan pendalaman lebih jauh terhadap ilmu-ilmu agama. Ini membuat pesantren kaya diversifikasi orang dan kelembagaan.

Contoh diversifikasi ini tampak misalnya pada Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang. Di sana Madrasah Tsanawiyah dan Aliyahnya telah memakai kurikulum negeri dengan konsekuensi muatan agamanya dikurangi, dan lebih mempersiapkan orang-orang terdidik di berbagai bidang. Aliyah pendidikan agama dimasukkan dalam Aliyah PK (Pendidikan Khusus). Tetapi, di Pondok itu diselenggarakan Mualimin, yang memang mencetak kiai.

Mengenai perlunya diversifikasi ini, Abdurrahman Wahid pernah berkata, "Apa pun yang terjadi fungsi penciptaan sikap dasar dalam kehidupan harus tetap ada. Selain juga menyiapkan tenaga terdidik dalam arti memiliki keahlian." Harus ada kesadaran pada para pengasuh pesantren bahwa tidak semua santri bisa diarahkan menjadi ahli agama. Selain karena tidak semua manusia bisa menjalaninya, juga kebutuhan akan ahli agama tersebut.

Selain terjadi pengembangan orientasi, pesantren pun mengalami perubahan sistem pengajaran. Pendidikan Islam tradisional akrab dengan sistem sorogan (individual) dan bandongan atau juga lebih sering disebut sistem weton, yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil.

Sorogan, dalam kajian Zamaksyari Dhofier (Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai - LP3ES), adalah bagian paling sulit dalam sistem pendidikan Islam tradisional. Sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi murid. Karena, murid diharuskan menguasai pembacaan dan terjemahan persis seperti yang dibacakan oleh ustadz. Dari terjemahan itu santri mengetahui fungsi dan arti kata dalam suatu kalimat bahasa Arab. Dengan sistem ini jumlah murid yang "dipegang" oleh seorang ustadz tidak lebih dari 3-4 orang dalam suatu waktu. Dari sorogan baru santri dapat masuk ke bandongan.

Secara kualitatif mungkin kedua sistem tersebut punya kelebihan, karena santri dapat dibimbing secara personal dan intensif oleh ustadz. Namun, jika jumlah murid sedemikian banyak, sistem tersebut sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu, hampir semua pesantren memakai sistem klasikal dalam pengajarannya. Pondok Pesantren Pabelan misalnya, menggunakan model klasikal, hanya pada kasus-kasus tertentu memakai sorogan dan bandongan. Begitu pula dengan Luhur Dondong dan Hidayatullah.

Perubahan-perubahan, serta berbagai adaptasi yang dilakukan tidak terlepas dari peran kiai (pemimpin pondok). Sebagai seorang arsitek kemasyarakatan, para kiai harus memperhatikan "selera" masyarakat. Kiat inilah yang membuat kiai mampu bertahan mengembangkan lembaga-lembaga pesantren dari waktu ke waktu, disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.

Dari Kiai ke Yayasan

Kelangsungan hidup dan perkembangan pesantren sangat tergantung pada kemampuan pribadi sang kiai. Kebesaran kiai akan mengimbas pada pesantrennya. Oleh karena itu, mempersiapkan kiai pengganti yang memiliki kebesaran dan kemampuan setara dengan pendalulunya menjadi sebuah "proyek" suksesi yang dirancang dengan matang oleh setiap pesantren.

Kegagalan menyiapkan pengganti akan menjadi "bencana" buat pesantren tersebut. Seorang kiai selalu memikirkan kelangsungan hidup pesantrennya setelah dia meninggal, dan bagaimana agar tradisi yang dibangunnya tidak punah hanya karena dia telah tiada. Untuk menjaga tradisi pesantren itu, biasanya kiai menggalang solidaritas dan kerja sama di antara mereka.

Ini dilakukan dengan membangun tradisi bahwa calon kuat pengganti seorang kiai adalah keluarga terdekat, biasanya adalah putra tertua. Ini misalnya tampak pada pewarisan kepemimpinan di Pondok Pesantren Pabelan Yogyakarta. Pengganti KH Hamam Dja'far adalah putranya Nadjib Dja'far, meski di pesantren itu ada yang lebih senior dari Nadjib, yaitu H Ahmad Mustofa dan Muhammad Balya adik KH Hamam Dja'far, atau paman dari Nadjib.

Cara lain yang juga lazim ditempuh adalah mengembangkan jaringan tradisi pesantren lewat perkawinan antara keluarga kiai. Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari pendiri NU mengawinkan putranya KH Wahid Hasyim dengan Solechah—nama gadisnya Munawarah—putri KH Bisri Syamsuri pendiri Pesantren Denanyar, Jombang. Dari perkawinan ini lahir Abdurrahman Wahid.

Selain itu, untuk mencari pengganti yang dapat menjaga tradisi yang dibangunnya, sang kiai biasanya juga mengawinkan putrinya dengan muridnya yang terpandai. KH Fatah Hasyim mengawinkan putrinya dengan seorang muridnya yang pandai, Kiai Muhammad Sahal Mahfudh—yang kemudian menggantikan ayahnya KH Mahfudh menjadi pemimpin Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pati.

Atau dengan menjalin ikatan ke"alumni"an—Zamaksyari Dhofier menyebutnya rantai transmisi intelektual antara sesama kiai dan keluarganya. KH Cholil Bisri, pemimpin Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, dikirim ayahnya mengaji di Lirboyo Kediri dan Krapyak Yogyakarta. Tradisi ini diikutinya dengan mengirimkan putranya, Yahya Bisri, mengaji di Krapyak. KH Sahal Machfudz adalah alumni Pondok Pesantren Maslakul Huda Rembang, sebelum dia memimpin pesantrennya sendiri.

Dengan cara-cara tersebut para kiai saling terjalin dalam ikatan kekerabatan yang kuat. Semakin terkenal seorang kiai semakin luas jaringan kekerabatannya dengan kiai-kiai lain. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kepemimpinan pesantren—khususaya di Jawa—terbatas hanya ada di kelompok-kelompok kerabat tertentu, yaitu kiai.

Namun, lambat laun tumpuan hidup pesantren pada kiai ini mulai bergeser. Kesadaran baru memasuki dunia pesantren, bahwa tidak selamanya putra tertua, atau kerabat dekat kiai dapat membawa tongkat estafet kepemimpinan pesantren dengan baik. Contoh untuk itu telah banyak, seperti pondok pesantren yang didirikan oleh milik Mbah Saren di Solo. Untuk kondisi pesantren ini, Abdurrahman Wahid pernah berkomentar, "Dulu pondok itu sangat terkenal, tapi sekarang hanya jadi asramanya tukang jahit. Kalau malam mereka di pesantren mengaji, wiridan, dan sebagainya paginya menjahit di Pasar Klewer." Namun, ada juga pewaris yang dengan cemerlang mengembangkan pesantren yang "diwariskan" kepadanya. KH Abdurrahman Chudori misalnya, dia dapat mengembangkan Pondok Pesantren Tegdengan baik setelah ayahnya wafat.

Mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan itu, banyak pesantren yang kemudian menata manajemen kelembagaannya. Tidak lagi bertumpu pada perseorangan, tetapi dikelola dalam bentuk yayasan. Pesantren Mambaul Ma'arif Denanyar Jombang misalnya, membentuk yayasan untuk mengelola pesantren.

Bentuk pengelolaan lewat yayasan dengan kepemimpinan kolektif ini juga dilakukan oleh Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Luhur Dondong Semarang, Suryalaya Tasikmalaya, dan lain-lainnya. Model manajemen lain yang diambil adalah, figur pimpinan tetap pada keturunan langsung dari pendiri, namun untuk menjaga kualitas pendidikan di pondok diundang kiai-kiai dan ulama-ulama dari luar untuk mengajar. Model ini diterapkan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Dalam istilah Gus Dur, cara ini adalah cara meminjam kualitas. Dan masih banyak cara lain yang ditempuh untuk mengantisipasi setiap keadaan agar pondok tetap survive.

Dengan mengembangkan berbagai model pengelolaan, kalangan pesantren berupaya mengembangkan pesantren dalam dimensi-dimensi baru, untuk menghadapi perubahan zaman yang juga berdimensi majemuk.

***
*Artikel ini diambil dari Laporan Tim Kompas, 14 Oktober 1996 hal. 20 dan 21, yang ditulis oleh SN Wargatjie, M Syaifullah, Thomas Pudjo Widiyanto, dan Elly Roosita, dalam Peringatan 70 tahun usia Pondok Modern Gontor Ponorogo.


www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt