Sistem
Nilai di Pesantren
Dan Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l-Jamâ’ah
SISTEM nilai yang digunakan di kalangan pesantren adalah yang berakar
dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dalam agama itu dipakai
oleh mereka. Kalangan pesantren sendiri, menamakan sistem nilai yang dipakainya
itu dengan ungkapan "Ahl-u 'I-Sunnah wa 'l-Jamâ'ah".
Kalau kita lihat, Ahl-u 'l-Sunnah wa 'l-Jamâ'ah sendiri pertama-pertama
adalah mengacu pada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu ketuhanan,
pesantren mengikuti madzhab sunni, sebagaimana dirumuskan oleh Abu Hassan
alAsy'ârî, dan yang kemudian tersebar antara lain melalui karyakarya
Imam Ghazâlî.
Dari teologi Asy'ârî itu yang biasa dipelajari oleh kaum
santri adalah (khususnya) rumusannya tentang dua puluh sifat Tuhan yang
terkenal itu. Santri menghafalkan itu di luar kepala, dan mereka percaya
bahwa hal itu akan menjadi salah satu pertanyaan di alam kubur. Bahan pelajaran
kalam yang paling umum digunakan adalah 'Aqîdat-u 'l-'Awâmm,
sebuah buku kecil berbahasa Arab, dengan susunan nazham. Di beberapa pesantren,
khususnya Jombang, nazham 'Aqîdat-u 'l-'Awâmm itu dijadikan
"wirid" di masjid, dilagukan bersama pada waktu menunggu shalat, antara
azan dan iqamat.
Meskipun menamakan diri Ahl-u 'l-Sunnah tetapi kaum santri tidak banyak
yang menyadari adanya golongan-golongan lain di luar mereka (Ahl-u 'l-Sunnah),
kecuali Mu'tazilah. Kaum Mu’tazilah menjadi target kutukan kalangan pesantren
sampai sekarang. Sedangkan golongan Syi'ah yang merupakan golongan terbesar
di luar Ahl-u 'l-Sunnah, tidak begitu disadari kehadirannya oleh kaum santri.
Tetapi sebaliknya, mereka menyadari sepenuhnya tentang adanya golongan
reformasi di Saudi Arabia, yang mereka kenal sebagai golongan Wahhâbî.
Selain golongan Mu'tazilah di atas, golongan Wahhâbî ini juga
menjadi target kutukan kalangan kiai dan santri. Kiranya hal ini tidak
begitu mengherankan, sebab peristiwa yang membawa kebangkitan kesadaran
diri kaum kiai atau ulama di Jawa adalah peristiwa pendudukan Makkah pada
tahun 1927 oleh kaum Wahhâbî yang datang dari Timur itu. Peristiwa
itulah yang mendorong Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan kawan-kawan dari pesantren
Tambak Beras di Jombang untuk mendirikan organisasi dengan nama Nahdlatul
'Ulama. Mula-mula tujuan organisasi itu adalah mengirim utusan ke Makkah
mengajukan resolusi rnenentang kaum Wahhâbî, atau sekurangnya
menghalangi tindakan lebih lanjut dari golongan ini yang ingin "membersihkan"
makam-makam dari Tanah Suci, karena menurut mereka (kiai Hasbullah dan
kawan-kawan ini), masalah yang menyangkut Tanah Suci merupakan tanggung
jawab bersama kaum Muslim. Sepanjang keterangan, antara lain dari Kiai
Saifuddin Zuhri, seorang bekas Menteri Agama, usaha itu berhasil baik,
dengan Kiai Wahab sendiri yang mengetuai utusan.
Tetapi konsep tentang Ahl-u 'I-Sunnah wa ‘1-Jamâ'ah itu lebih
terasa dalam hal fiqh. Kaum santri dalam hal fiqh mengikuti dan mewajibkan
mengikuti salah satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzhab fiqh, yaitu
Mâlikî, Syâfi'î, Hanafî dan Hanbalî.
Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam Syâfi'î.
Pembelaan mereka kepada penganut madzhab itu sejalan dengan paham tentang
taqlîd yang berposisi menjadi lawan ijtihâd. Sedang untuk ijtihâd
ini diperjuangkan oleh organisasi reformasi di Indonesia, yaitu (terutama)
oleh Muhammadiyah, Al-Irsyâd, dan Persis. Maka kalangan pesantren,
dengan menamakan diri Ahl-u 'l-Sunnah wa 'I-Jamâ’ah membedakan diri
dari golongan reformis itu, dan sering menyebut mereka (golongan reformis)
secara tak langsung sebagai ahli bid'ah yang sesat.
Meskipun pada tingkat yang lebih tinggi perbedaan antara Ahl-u 'l-Sunnah
wa 'l-Jamâ'ah itu adalah perbedaan antara mereka yang rnenganjurkan
ijtihâd dan vang menganjurkan taqlîd, tetapi dalam kenyataan
sehari-hari perbedaan dalam fiqh itu hanya terbukti dalam hal-hal yang
amat sederhana, seperti persoalan niat sebelum wudlu (nawaytu), jumlah
azan sebelum sembahyang jum’at satu atau dua kali, salat tarawih di malam
bulan Puasa 11 rakaat atau 23 rakaat, dan tentang halal tidaknya beberapa
binatang untuk dimakan, seperti katak, ular, dan musang.
Selain itu perlu kita ketahui juga bahwa dalam hal fiqh ini sikap-sikap
kaum santri (terutama yang pesantrennya di desa-desa) banyak dipengaruhi
oleh kitab Safînat-u ‘l-Najâh, sedangkan dalam hal keagamaan
sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u ‘l-Tawfîq.
Persoalan lain yang membedakan kaum Ahl-u 'l-Sunnah wa 'l-Jamâ'ah
dari lainnya ialah yang menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa. Kaum
Santri menolak banyak sekali unsur-unsur adat Jawa, tetapi mempertahankan
sebagian lain yang kemudian diberi warna Islam. Adat Jawa yang masih dipertahankan
kaum santri dan yang paling banyak menjadi taret kutukan kaum reformis
adalah sekitar selamatan. Yang dinamakan selamatan di sini adalah cara
makan-makan untuk mendo’akan orang mati, baik pada saat meninggalnya maupun
sesudahnya, seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari,
setahun (pendak), dan seribu hari setelah meninggal. Selain selamatan-selamatan
trsebut pada saat yang dirasa perlu keluarga yang meninggal ini bisa menyelenggarakan
haul. Dalam selamatan itu biasanya dibacakan tahlil, suatu ritus dengan
bahasa Arab yang intinya adalah membaca kalimat “Lâ ilâh-a
illa ‘l-Lâh,” dengan maksud berdo’a untuk kebahagiaan yang meninggal,
atau yang lebih kontroversial lagi (di mata kaum reformis) adalah “mengirimkan
pahala wirid” itu kepada arwah yang meninggal.
Tetapi unsur kejawaan kaum Ahl-u 'l-Sunnah wa 'l-Jamâ'ah itu tidak
hanya terbatas pada soal tahlil. Kebiasaan datang berziarah ke makam-makam
tertentu adalah umum sekali di kalangan mereka. Hanya saja dalam hal ini
menjadi tidak jelas, apakah kebiasaan ini lebih berakar dalam konsep-konsep
sufisme ataukah jawanisme. Sebab sebelum Islam datang, agama yang ada adalah
Hindu yang tidak rnengenal kubur atau makam. Dan makam yang banyak dikunjungi
untuk ziarah itu umumnya adalah makam orang-orang yang dinamakan wali atau
orang suci yang keramat, sehingga meskipun sudah meninggal akan mampu menolong
memberi kesehatan, keselamatan, sukses dalam usaha, dan lain-lain. Di Jombang,
makam yang paling terkenal ialah yang di Betek, Mojoagung, kurang lebih
10 KM sebelah timur Jombang menuju Surabaya. Setiap malam Jum'at beratus
orang datang berziarah, dan pada malam Jum'at Legi jumlah itu dapat mencapai
ribuan. Mereka datang dari segenap penjuru Jawa Timur. Makam lainnya di
Jawa Timur yang banyak diziarahi adalah di Giri (makam Sunan Giri, salah
seorang wali sanga) dan di Batuampar, Madura.
Selain kepercayaan kepada orang keramat yang telah meninggal, kepercayaan
kepada adanya wali yang masih hidup juga umum sekali di kalangan kaum santri.
Pada tahun 70-80 an di daerah Jombang sekurangnya ada seorang yang dianggap
wali dan masih hidup, yaitu yang terkenal dengan sebutan Gus 'Ud, dari
Mojoagung. Cerita tentang kekeramatan dan kekuatan gaibnya sangat umum
di masyarakat. Kiai Hamid di Pasuruan juga dipercaya sebagai wali. Demikian
pula Kiai Ramli (almarhum), tokoh pesantren Rejoso yang sampai kini dianggap
paling besar dan merupakan guru mursyid gerakan tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah
yang terbesar di Jawa Timur, adalah juga dipandang sebagai wali kaum santri
di sana. Tidak perlu diterangkan lagi bahwa santri sangat menghormati para
wali itu dan mengkultuskannya.
Tetapi memang terdapat unsur yang benar-benar berbau animisme kejawaan
dalam sistem nilai kaum santri, dan mungkin contoh berikut ini termasuk
yang sangat ekstrim. Contoh yang dimaksud adalah adanya pemujaan kepada
sebuah pohon asem besar di Pati, Jawa Tengah, yang katanya ditanam oleh
Syeikh Jangkung dari biji asem asal sayur asem yang dihidangkan kepadanya
oleh sultan Jogya. Kayu asem itu dianggap keramat dan membawa berkah. Banyak
pengunjung yang jauh-jauh datang hanya mencari berkah dari kayu asem ini.
Lebih-lebih jika membawa cuilan kayu itu, pengunjung akan merasa beruntung
dan akan membawanya pulang sebagai "jimat”. Karena itu ada yang berinisiatif
untuk membuat tasbeh dari kayu asern itu dan menjualnya kepada masyarakat,
seperti yang dulu pernah beli pada waktu kongres ke 5 Jam’iyah Tharîqah
Mu'tabarah di Madiun bulan Mei 1975. Tasbeh itu dibungkus dalam kertas
kaca, di dalamnya terdapat secarik kertas dengan keterangan dalam bahasa
Jawa huruf Pego, yang artinya adalah demikian:
Tasbih Asma'
dibuat dari kayu asem
Inilah pohon asem yang ajaib. Ditanam olek Syeikh Jangkung
dengan suatu ciptann, dengan maksud hendak memberi berkah kepada abdi kepada
kita semua yang mau berlindung di bawah bayangan do'a restunya, yaitu bagi
orang yang percaya.
Pohon asem tadi asal-usulnya adalah tanaman Syeikh Jangkung
darl biji asem yang matang direbus ketika ketamuan Sultan Agung Jogya ada
jamuan makan dengan sayur asem. Biji Asem itu dijatuhkannya di tanah dikatakan
kepadanya demikian: "Hai biji asem, meskipun engkau adalak makhluk Tuhan
yang telah mati sebab matang direbus, tapi kuminta engkau hidup dan tumbuh
menjadi pohon besar yang berguna untuk tempat bernaung nanti akkir zaman
bagi anak cucuku".
Biji asem yang mati dan matang itu benar-benar hidup secara
ajaib, (umur sehari sama dengan umur tiga bulan, umur sebulan sama dengan
umur tiga tabun). Menanamnya pada hari Kemis Legi, sehingga sekarang oleh
masyarakat dikenal dengan nama asem Kemis Legi.
Pohon Asem itu sampai sekarang masih hidu dan telah berumur
kurang lebih 450 tahun. Besarnya memerlukan pelukan tujuh orang untuk bisa
sambung. Hanya sekarang telah keluar galihnya yang banyak khasiatnya untuk
orang yang percaya. Para muslimin dan muslimat yang percaya pada mu’jizatnya
Nabi harus percaya pada keramatnya wali. Apakah Anda percaya atau tidak
kepada Syeikh Jangkung, tetapi yang penting ialah membuktikannya dengan
meninjau ujud kenyataannya. Apalagi bagi kaum mukminin dan mukminat yang
mau menanamkan perasaan cinta kepada wali, sedangkan kerbau cacad karena
sungutnya patah saja tapi karena mengabdi dan mencintai Syeikh Jangkung
dapat diberi keramat: yaitu berupa kulit kerbau londot yang terkenal.
Suatu perumpamaan, bahwa perumpamaan kulit kerbau londot,
galih asem londot dan keris jangkung adalah hanya merupakan urutan nomer
(seperti nomer rumah atau tilpun) yang penting ialah penghuni rumahnya.
Karena itu marilah kita ziarah pada tanggal 15 Rajab, haul londot, Pati.
Tetapi betapapun dalam sistem kaum santri terdapat unsur kejawaan seperti
tersebut di atas, namun di mata kaum abangan, kaum santri adalah pertama-tama
anti Jawa dan bercorak kearab-araban Pelajaran agama hanya mereka pelajari
dari kitab-kitab bahasa Arab. Karangan dalam bahasa lain, walaupun di bidang
agama, kurang sekali mendapat penghargaan di kalangan kaum santri. Karena
iu seorang kiai (yang mampu) jika hendak menyatakan pikirannya secara tertulis
dan jika hendak serius atau biar diperhatikan santrinya, ia akan menulisnya
dalam bahasa Arab. Selain tidak mau menulis dalam bahasa Jawa atau pun
bahasa lainnya, kiai-kiai ini juga tidak merasa perlu menerjemahkan kitab-kitab
pelajaran agama yang sulit-sulit itu ke dalam bahasa Jawa, padahal ini
sangat perlu bagi kalangan umat yang berkeinginan dapat memahami isinya.
Yang melakukan hal itu –bukan dalam bahasa Jawa, tetapi dalam bahasa Indonesia-
hanya kaum reformis, khususnya Muhammadiyah dan Persis.
Segi anti Jawa lainnya dari sistem nilai santri adalah dalam bidang
Kesenian ini tidak saja disebabkan dalam kitab "Sullam-u ‘l-Tawfîq”
terdapat ajaran mengenai apa yang dinamakan "malahi", yang pasti mengenal
kepada alat-alat musik Jawa seperti gamelan, atau kesenian lainnya seperti
wayang, ketoprak, wayang wong, dan lain-lain tetapi juga terasa sekali
karena kesenian tersebut banyak berbau Jawa asli dengan di sana sini terdapat
unsur Animisme dan Hinduisme.
Sejalan dengan kearaban yang ada dalam. kitab-kitabnya (sumber-sumber
untuk mempelajari agama), maka dalam kesenian pun kaum santri juga menerima
dengan antusias dan rnenyenangi kesenian yang berbau Arab. Yang paling
umum mereka tampilkan adalah qasidah-qasidah, rnengenai kehidupan Nabi
seperti karangan Diba'î dan Barzanjî. Yang 1ebih tinggi tingkatannya
adalah gambus, yaitu musik Arab mana saja, termasuk yang paling mutakhir
seperti yang di Mesir dengan Ummi Kultsumnya. Perkumpulan gambus sebagai
kesenian santri ini banyak terdapat di Jawa, yang terkenal antara lain
al-Wardah dan al-Wathon dari Surabaya (nama-nama perkumpulan gambus selalu
dalam bahasa Arab).
Akkir-akhir ini muncul jenis baruyang lebih “maju”, yaitu samrah. Samrah
adalah seni musik juga, tapi sudah bercampur dengan unsur-unsur lain, khususnya
tarian, dan umumnya hanya dilakukan oleh gadis-gadis. Tidak perlu dikatakan
bahwa pertumbuhan kesenian ini evolusioner sekali sehingga sekalipun banyak
segi-segi yang bertentangan dengan pelajaran-pelajaran dalam "Sullam-u
'I-Safînah,” namun kenyatannya diterima juga tanpa banyak persoalan.
Segi lain yang membedakan kaum santri dari lainnya adalah dalam hal
pakaian. Meskipun akhirnya songkok dianggap sebagai simbul kebangsaan,
terutama berkat propaganda Bung Karno, tetapi tutup kepala itu bagaimanapun
sampai saat ni masih tetap secara umum dianggap sebagai pakaian kaum santri.
Lebih khusus lagi ialah sarung, sehingga kaum santri juga sering diejek
sebagai "kaum sarungan” sebagaimana pernah dilontarkan oleh Hadi Subeno,
seorang tokoh abangan yang anti santri dan pernah menjabat sebagai Gubernur
Jawa Tengah serta pernah pula menjadi ketua umum Partai Nasional Indonesia.
Songkok dan sarung adalah simbul kaum santri, lebih-lebih di pesantren,
meskipun sekarang sudah mulai banyak santri yang buka kepala dan bercelana. |