LAMPIRAN I CATATAN BIOGRAFIS PARA TOKOH NU YANG DISEBUT DALAM BUKU INI Abdul Wahab Chasbullah lihat: Wahab Chasbullah Abdurrahman Wahid Putra sulung Wahid Hasjim ini lahir pada 194O. Menyelesaikan pendidikan SMTP dan SMTA umumnya di Jakarta dan Yogyakarta, sambil belajar bahasa Arab di pesantren Kiai Ali Ma'shum pada sore hari. Pendidikan ini ditambah de- ngan dua tahun di pesantren Tegalrejo dan satu tahun di Tambakberas (Pesantren Kiai Wahab Chasbullah Jombang), dimana dia juga mulai mengajar. Pada 1963 dia berangkat ke Mesir untuk belajar di Al-Azhar; tidak puas dengan tingkat pen- didikan di sana dia pindah ke Bagbdad, dia mendaftar pada fakultas Adab dan me- neruskan studinya sampai 1970. Pada 1971 dia kembali ke Indonesia dan mulai mengajar di Jombang. Dari 1974 s.d. 1979 dia menjabat sebagai sekretaris pe- santren Tebuireng, kemudian pindah ke Jakarta dimana dia menjadi seorang to- koh terkemuka dalam kehidupan budaya kota besar itu. Dia menjadi seorang ko- lumnis yang menulis beragam pokok persoalan, aktif di berbagai organisasi non- pemerintah, ambil bagian dalam mempelopori program-program pengembangan masyarakat melalui pesantren, dan terpilih sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1983-1985). Dia memegang jabatan yang relatif tidak penting di PBNU sejak 1979 (Katib Syuriyah) tetapi tiba-tiba melejit pada masa krisis 1982-84, dengan menjadi penengah di antara berbagai faksi. Pada muktamar 1984 dia terpilih seba- gai ketua umum Tanfidziyah, dan terpilih kembali pada muktamar 1989. (Tempo 1981:843-4; 1986: 1156-7, dan keterangan pribadi) Achmad Siddiq 1926-1991. Lahir di Jember, putra Kiai Siddiq, dan adik Kiai Machfoedz Siddiq (yang memegang berbagai jabatan penting di NU dan menjadi ketua u- mum sejak 1937 s.d 1942). Pernah menjadi sekretaris pribadi Wahid Hasjim saat yang terakhir ini menjabat sebagai Menteri Agama (1949-52). Selama beberapa tahun (1955-57, kemudian 1971) dia menjadi anggota parlemen, pada tahun ber- selang dan tahun-tahun berikutnya membina karier di Departemen Agama, yang berakhir dengan jabatan sebagai Kepala Kanwil Depag Jawa Timur. Dia berga- bung dalam faksi yang sangat anti-komunis di dalam NU dan secara terbuka me- nentang Demokrasi Terpimpin; pada 1965 dia muncul sebagai koordinator ter- tinggi para kiai anti-komunis di Jawa Timur. Setelah lama menjabat sebagai pe- ngurus Syuriyah NU, pada 1984 dia akhirnya terpilih sebagai Rois Aam dan ter- pilih kembali pada 1989. (Tempo 1986 :837-8; Anonim 1986: 142-3). Achmad Sjsichu Lahir di Surabaya pada 1921. Mendapatkan pendidikan di sekolah dasar (Tashwirul Afkar) dan pesantren. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah la- gi dengan Kiai Wahab Chasbullah. Sebagai anak tiri pendiri NU, dia sangat ha- nyak mendapatkan kemudahan dalam kariernya kemudian. Pada 1950 dia terpi- lih menjadi anggota dewan kota Surabaya, pada 1955 menjadi anggota parlemen nasional sebagai wakil NU Jawa Timur. Memimnin kelompok NU di parlemen selama 1958-60, dia terpilih menjadi wakil ketua parlemen dari 1963 s.d. 1966. Dipilih kembali menjadi anggota parlemen dalam pemilu 1971. Pertama kali menjadi pengurus Tanfidziyah PBNU pada 1957, dan dari 1977 s.d. 1979 menja- bat sebagai ketua. Setelah tidak terpilih kembali pada muktamar 1979, dia mena- rik diri dari NU dan beralih ke aktifitas-aktifitas dakwah, melalui sebuah organi- sasi baru, Ittihadul Muballighin, yang didirikannya pada 1978 dan sejak saat itu dia menjadi ketuanya. Dari semua politisi NU, tidak diragukan lagi, Sjaichu ada- lah orang yang banyak mempunyai kontak internasional di dunia Muslim. Dia la- ma menjabat sebagai semacam birokrat internasional. Dialah yang mengambil prakarsa mengorganisir Konferensi Islam Asia-Afrika, yang akhirnya diselengga- rakan pada 1965. Dia juga menjadi presiden Organisasi Islam Asia-Afirika yang lahir pada konferensi tersebut dan terus berlanjut hingga 1973. Sejak saat itu dia tetap aktif dalam Rabithah al-'Alam al-Islami (Liga Dunia Islam) dan Dewan Tertinggi Mesjid Dunia, di Mekkah. (Tempo 1981 :799; Baidlawi & Ma'shum 1991). Adlan Aly 1902-1990. Seorang kiai sangat dihormati yang mengajar baik di pesantren Tebuireng maupun di pesantrennya sendiri, Cukir, sebuab pesantren putri yang bersebelahan dengan Tebuireng. Menikah dengan kemenakan Kiai Hasjim Asj- 'ari, dan mencapai posisi berpengaruh di Tebuireng dan pesantren tetangganya Kiai Adlan Aly juga mengajarkan tarekat Qadiriyah urz Naqsyabandiyah, semula sebagai badal Kiai Musta'in Romly, kamudian sebagai guru yang berdiri sendiri dan menjadi saingan mantan gurunya tersebut. Kiai Adlan Aly sejak kira-kira ta hun 1982 sampai meninggalnya menjadi pimpinan organisasi tarekat yang berafi- liasi dengan NU, Jam'iyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu'tabarah. Ali Ma'shum 1915-1989. Lahir di Lasem sebagai putra Kiai Ma'shum yang terkenal itu. Belajar delapan tahun di pesantren Tremas (Pacitan, Jawa Timur) dan kembali ke Lasem untuk mengajar. Menikah dengan putri Kiai Munawwir dari Krapyak, Yogyakarta, seorang teman ayahnya. Kemudian menghabiskan waktu dua tahun di Mekkah (1938-40). Ketika bapak mertuanya meningal pada 1942, Kiai Ali diminta menggantikannya sebagai pimpinan pesantren. Dia mengembangkannya menjadi sebuah pesantren sangat terkenal di Jawa. Keterlibatan aktif Kiai Ali di NU dimulai agak terlambat dan tetap sangat bersahaja. Pada akhir l96O-an, dia menjadi ketua Syuriyah cabang Yogyakarta, posisi yang hampir tidak dapat dito- laknya karena dia secara umum diakui sebagai ulama yang paling berilmu di wila- ah tersebut. Walaupm dia tetap menghindar agar tidak menjadi pusat perhatian, pada sekitar 1980 dia menjadi salah seorang ulama senior yang paling dihormati dan, karena sama sekali tidak berambisi, menjadi figur kompromi yang ideal un- tuk menggantikan Kiai Bisri Syansuri sebagai Rois Aam pada 1982. Setelab ber- benti menjabat Rois Aam pada 1984, dia kembali berusaha sedapat mungkin agar tidak menonjolkan diri. Penyelenggaraan Muktamar NU ke-28 di pesantrennya merupakan sebuah tanda penghormatan yang diberikan kemudian. Beberapa minggu setelah muktamar, dia meninggal dunia. (Mukhdlor 1989). Ali Yafie Lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, pada 1928. Pendidikan pertamanya a- dalah sekolah dasar umum, yang dilanjutkan dengan pendidikan madrasah di Su- lawesi Selatan (di Madrasah As'adiyah yang terkenal di Singkang). Spesialisasi- nya adalah fiqh dan dikenal luas sebagai seorang ahli yang canggih dalam bidang ini, bacaannya lebih luas daripada yang lain. Dia mengabdikan diri sebagai ha- kim di pengadilan agama Ujung Pandang sejak 1959 sampai 1962, kemudian ins- pektorat pengadilan agama Indonesia Timur (1962-65). Sejak 1965 hingga 1971 dia menjadi dekan di fakultas Ushuluddin IAIN Ujung Pandang, dan aktif di NU tingkat propinsi. Dia mulai aktif di tingkat nasional pada 1971. Pada muktamar NU 1971 di Surabaya dia terpilih menjadi Rois Syuriyah, dan setelah pemilu di- angkat menjadi anggota DPR. Dia tetap menjadi anggota DPR sampai 1987, keti- ka Naro, tidak lagi memasukkannya dalam daftar calon. Sejak itu dia mengajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi Islam di Jakarta, dan semakin aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada muktamar NU di semarang (1979) dan Situbondo (1984), dia terpilih kembali sehagai Rois, dan di muktamar Krapyak (1989) seba- gai wakil Rois Aam. Setelah Kiai Achmad Siddiq meninggal dunia pada 1991 dia bertindak sebagai Rois Aam. tetapi setelah terlibat konflik dengan Abdurrahman Wahid dia menarik diri dari PBNU. As'ad Syamsul Arifin 1897-1990. Lahir di Mekkah. dari keluarga Madura asal Pamekasan yang mengaku keturunan bangsawan sekaligus ulama. Sekembalinya ke Madura, ayah- nya, Kiai Syamsul Arifin mendirikan sebuah pesantren kecil di Kembang Ku- ning, Pamekasan, dan beberapa tahun kemudian juga mendirikan sebuab pesan- tren yang lebih besar di Situbondo, di bagian ujung timur pulau Jawa yang pada saat itu belum dibuka. As`ad sendiri dkirim belajar kepada Kiai Kholil Bangka- lan dan Kiai Hasjim Asi'ari di Tebuireng, dan kemudian belajar lagi ke Mekkah. Mulai mengajar di pesantren ayahnya di Situbondo pada 1924, dan mengganti- kannya ketika sang ayah meninggal dunia pada 1951. Terkenal sebagai guru pen- cak silat dan, terutama, ilmu kesaktian. Pesantrennya berkembang pesat, dan pada 1980-an merupakan salah satu yang terbesar di Jawa, yang menawarkan bukan hanya pendidikan tingkat menengah tetapi bahkan pendidikan tinggi Islam. Kiai As'ad tidak pernah memegang jabatan formal dalam kepengurusan NU (kecuali sebagai mustasyar, sejak 1984 hingga 1989). Namun. seiring dengan usi- anya yang semakin sepuh, pengaruhnya di kalangan ulama lain pun semakin ber- tambah, karena dia termasuk di antara sedikit murid Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Hasjim Asj'ari yang masih hidup. Sekitar 1980-an dia menganggap dirinya, dan dianggap orang lain, sebagai pemuka ulama Madura. Wibawanya di kalangan pendudukan Madura sedemikian besar sehingga para pejabat tinggi pemerintah merasa perlu berhubungan dekat dengannya. Namun, wibawanya bukan tidak pernah tergoyahkan. Dalam sebuah konflik antara Kiai As'ad dan tarekat Tijaniy- yah (yang mengalami perkembangan pesat) yang berlangasung sengit hampir se- panjang 1980-an, Kiai As'ad gagal keluar sebagai pemenang. Dia menderita ke- kalahan terbesarnya pada muktamar NU 1989, yang menunjukkan bahwa dirinya sudah tak terpakai lagi. (Tempo 1984:1016-8 1986: 1094-5; Tempo 15-10-1983 dan 11-8-1990) Bisri Syansuri 1887-1980. Lahir di Tayu (Pati, Jawa Tengah). Pendidikan awal diperoleh- nya di beberapa pesantren lokal, dan kemudian belajar kepada Kiai Kholil di Bangkalan (dimana dia bertemu Kiai Wahab Chasbullah untuk pertama kalinya) dan kepada Kiai Hasjim Asj'ari di Tebuireng (1906-12, bersama Wabab). Keti- ka sedang berada di Mekkah, dia menikahi adik perempuan Kiai Wahab, dan se- pulangnya dari sana dia terlebih dahulu menetap di pesantren mertuanya di Tam- bak Beras, Jombang. Pada 1917 dia mendirikan pesantren sendiri di Denanyar. Dia terlibat dalam pebentukan NU pada 1926 dan sejak awal menjadi anggota pengurus, walaupun bukan jabatan paling penting. Kiai Bisri pada mulanya adalah seorang ulama ahli fiqh dan seorang guru, te- tapi semakin lama semakin terlibat dalam politik. Ketika Masyumi dibentuk pada 1943, dia aktif di tingkat lokal, dan pada 1945 menjadi salah seorang wakilnya di dalam Komite Nasional Pusat (KNIP). Setelah pemilu 1955 dia menjadi anggota Dewan Konstituante sampai badan ini dibubarkan, dan sejak 1971 hingga akhir hayatnya menjadi anggota DPR - semula mewakili NU, dan sejak 1973 mewakili PPP. Setelah Kiai Wahab Chas- bullah meninggal dunia pada bulan Desember 1971, Kiai Bisri (yang waktu itu menjabat wakilnya) mengantikannya sebegai Rois Aam. Ketika NU bergabung ke PPP, Kiai Bisri juga menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Pendirian prinsipil NU dalam sejumlah perbenturan dengan pemerintah selama 1970-an biasanya dikaitkan dengan kepemimpinan Kiai Bisri. (Masyhuri 1983; Wahid t.t.; Budairy 1984; Tempo 1981: 645-6) Chalid Mawardi Lahir di Solo pada 1936 (?). Ayahnya, seorang guru Al-Qur'an, meninggal ketika dia masih muda; ibunya sangat aktif di lingkungan NU. Ibunya juga me- ngetuai Muslimat NU cabang Solo sejak 1932 hingga 1952, kemudian pindah ke: Jakarta untuk bekerja di departemen agama dan akhirnya menjadi anggota parle- men. Chalid, yang menamatkan pendidikan tinggi umum, aktif di NU, dalam berbagai jabatan, sejak usia muda. Dia menjadi sekretaris Menteri sosial NU (Fat- tah Jasin 1956) dan bekerja sebagai wartawan di surat kabar NU Duta Masya- rakat (1958-68). Sejak 1967 hingga 1982 dia menjadi anggota DPR, dan dikenal sebagai anggota kunci faksi Idham Chalid di NU. Dia memimpin organisasi pe- muda NU, Ansor, sebagai ketua sejak 1980 hingga 1984, dan menjadi duta besar Indonesia untuk Syria sejak 1984 hingga 1989. Pada muktamar 1989 dia menjadi salah seorang wakil ketua Tanfidziyah baru. (Tempo 1984 :488-90). Dachlan, Mochamad Seorang kiai yang berubah menjadi politisi. Lahir di Pasuruan (Jawa Timur) pada 1909. Dia belajar di berbagai pesantren, termasuk Tebuireng, dan akhirnya di Mekkah. Menjadi Ketua NU cabang Bangil pada 1930 dan dengan cepat me- lejit, mewakili NU dalam kepengurusan Masyumi sejak 1945 hingga 1952. Pada 1952-54 dan 1956-59 menjadi asisten Ketua Tanfidziyah, pada 1954-56 menjadi ketua umum. Dia adalah politisi NU yang sangat kritis terhadap Demokrasi Ter- pimpinnya Soekarno, menolak duduk di kursi DPRGR yang ditawarkan kepada nya. Pendiri pendamping dan wakil ketua Liga Demokrasi (1960). Dia kembali tampil ketika terjadi Kup Untung sebagai anggota aktif Front Pancasila, dan ditunjuk sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada 1966. Dia menggantikan Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama (1967-71), dan menjadi orang NU terakhir yang memegang jabatan ini. (Roeder 1971:69) Hasjim Asj'ari 1871-1947. Lahir di Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Belajar ilmu agama di berbagai pesantren Jawa Timur dan berangkat ke Mekkah pada 1892, dimana dia menetap, dengan selang waktu sebentar saja, lebih dari tujuh tahun. Sambil belajar kepada para guru Indonesia dan Arab yang paling terkemuka di sana, dia juga mengajar orang Indonesia yang lebih muda. Sekembalinya ke tanah air, dia mengajar selama beberapa tahun (1903-06) di Kemuning (Kediri), dan kemudian mendirikan pesantren sendiri di Tebuireng dekat Jombang (izin resminya dike- luarkan tahun 1906, tetapi pesantren ini konon sudah berdiri sebelumnya, menu- rut Akarhanaf sudah sejak 1899). Sejak saat itu dia jarang meninggalkan Tebu- ireng kecuali unduk perjalanan dagang rutin ke Surabaya. Karena dianggap sebagai orang paling berilmu di antara ulama Jawa, Kiai Wahab Chasbullah (saudara sepupu dan juga muridnya) memerlukan paetujuan Kiai Hasjim dan bahkan mengharapkan partisipasi aktifnya dalam pembentukan NU. Kiai Hasjim memimpin rapat pembentukan NU, dan memegang posisi Rois Aam sampai akhir hayatnya. Ketika Masyumi berdiri (1943), dia juga menjadi pimpinannya, tetapi tetap di Tebuireng dan menyerahkan pekerjaan-pekerjaan praktis kepada para wakilnya, salah seorang di antaranya adalah Wahid Hasjim, putranya sendiri. (Gunseinkabu 1986: 435; Akarhanaf 1950; Aboebakar 1957: 61-119; Salam 1963; Soekadri, 1979/1980; Dhofier 1982: 92-9) Idham Chalid Lahir di Setui, Kalimantan Selatan pada 1921. Belajar di sebuah sekolah pen- didikan guru setempat dan kemudian di pondok pesantren modern Gontor (Pono- rogo, Jawa Timur). Memulai karier politiknya sebagai ketua cabang Masyumi lokal di Kalimantan Selatan pada 1944. Pada 1947 menjadi aoggota Dewan regio- nal yang disponsori Belanda pada 1949-50 anggota parlemen Republik Federal, dan pada 1955 terpilih menjadi anggota DPR dengan tiket NU. Diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo kedua (1956-57), dan pada tahun yang sama menjadi ketua umum Tanfidziyah NU, posisi yang terus dipegangnya sampai dia dibujuk mengundurkan diri pada 1982. Diangkat men- jadi wakil ketua DPA oleh Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin. Walau- pun mempunyai hubungan dekat dengan Orde Lama, dia menjadi menteri pada Kabinet Orde Baru pertama (sebagai Menteri Kesejahteraan Rakyat 1967-70. ke- mudian Menteri Sosial 1970-71), dan ketua DPR dan MPR setelah pemilu Orde Baru yang pertama (1971-77). Jabatan-jabatan tinggi ini diikuti dengan jabatan sebagai presiden PPP (sampai 1989) dan posisi kehormatan sebagai ketua DPA (1977-83). Dia secara formal duduk dalam kepengurusan organisasi tarekat NU, tetapi baru memegang posisi ini secara serius sejak 1984. Ketika buku ini ditulis, jabatannya sebagai pimpinan organisasi tarekat ini merupakan satu-satunya posisi penting yang dipegangnya. (Tempo 1981:99; 1986:144-5). Imron Rosjadi Salah seorang "orang luar" yang direkrut ke dalam NU karena mempunyai keahlian dan kontak yang berguna. Lahir di Indramayu (Jawa Barat) pada 1916. Dia menamatkan MULO (Sekolah Menengah Belanda) pada 1934 dan Akademi Hukum di Baghdad pada 1948. Di sela waktu itu, dia menghabiskan waktu se- kitar empat tahun di berbagai madrasah di Indonesia, Malaysia dan Mekkah. Se- belum kamerdekaan, dia aktif dalam berbagai organisasi di luar NU, seperti Indo- nesia Muda (Nasionalis) dan Pemuda Muslimin Indonesia (organisasi kader PSII). Keadaan mengantarkannya menjadi seorang diplomat yang mewakili Re- publik Indonesia di Iraq (1947-50) dan kemudian Saudi Arabia (1950-52). Se- kembalinya ke Indonesia, dia menjadi dosen di Akademi Hukum Militer (1953- 62). Sejak 1954 hingga 1963 dia menjadi ketua gerakan pemuda NU Ansor, dan sejak 1956 hingga 1959 wakil ketua II Tanfidziyah NU. Dia adalah penentang blak-blakan Demokrasi Terpimpin, yang mungkin penyebab kenapa dia kehilang- an posisinya di PBNU. Pada 1960 dia adalah salah seorang pendiri Liga Demo- krasi, dan menjadi sekretaris jeoderalnya; dia menghabiskan waktu beberapa ta- hun (1962-66) di dalam penjara sebagai tahanan politik. Di masa Orde Baru, dia semula kembali bergabung ke departanen agama, tetapi kemudian kembali ke politik parlanen, sebagai politisi PPP terkemuka dan berpengaruh. Pada awal 1980-an dia berpihak kepada para penentang Idham Chalid di tubuh NU, tetapi dia memilih tetap terlibat aktif dalam politik setelah muktamar Situboodo. Di DPR dia menjabat sebagai ketua komisi pentiog, kanisi I (Pertahanan, Ke- amanan dan Urusan Luar Negeri). (Noer 1987: 113; Roeder 1971:322) Jusuf Hasjim Lahir di Jombang pada 1299, putra Kiai Hasjim Asj'ari. Memperoleh pen- didikan di pesantren ayahnya dan sebuah sekolah pendidikan guru di kota terse- but. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dia terlibat aktif dalam kegiatan militer, semula di Hizbullah, kemudian memperoleh pangkat letnan satu di tentara nasio- nal. Menjadi kepala sekolah pada sebuah SMP di Jombang, dan sejak 1965 menjabat sebagai pimpinan Pesantren Tebuireng, menggantikan kakaknya, Cha- lik. Dia mengaku terlibat aktif dalam Pengganyangan Komunisme pada 1965-66. Memegang berbagai posisi di PBNU dan DPP PPP. Sebagai seorang anggota DPR sejak 1971 hingga 1982, dia merupakan salah seorang tokoh NU yang ber- suara paliog blak-blakan. Dia tidak terpilih kembali karena perubahan daftar calon DPR yaog dilakukan Naro. Pada saat buku ini ditulis (1994) dia adalah salah seorang Rois Syuriyah dan penasehat senior pada P3M. (Tempo 1981:212; 1984:270-1; 1986:298-9) Kholil Bangkalan Ulama Madura paling terkemuka pada akhir abad ke-19. Dia tampaknya pernah belajar di Mekkah pada 1860-an dan sekembalinya ke Indonesia, dia men- dirikan sebuah pesantren di Demangan, Bangkalan, yang menjadi pusat daya tarik tidak hanya bagi masyarakat Madura tetapi juga kaum santri Jawa Timur. Terke- nal sebagai wali, yang memiliki berbagai kekuatan spiritual yang luar biasa. Bebe- rapa anggota pendiri NU (termasuk Kiai Hasjim Asj'ari, Kiai Wahab Chasbul- lah dan Kiai Bisri Syansuri) adalah muridnya. Pada tahun-tahun kemudian, Kiai Kholil mengunjungi mantan muridnya, Kiai Hajim Asj'ari, untuk belajar kitab- kitab hadits, sebuah mata pelajaran baru di pesantren. Dia meninggal pada 1925. Makamnya di Bangkalan merupakan tempat ziarah penting, yang sering didatangi bukan banya oleh orang Madura tetapi juga banyak orang Jawa dan Sunda (Dhofier 1982:91-2; Junaidi 1988). Machfoezh Siddiq Ketua umum Tanfidziyah selama 1937-42. Dia adalah orang pertama yang mencurahkan seluruh waktunya kepada tugas ini, dan masih dikenang sebagai Ke- tua Umum Tanfidziyah yang paling efektif selama ini. Dia berkeyakinan bahwa NU harus menangani kebutuhan-kebutuhan warganya, baik material maupun spi- ritual; dan untuk tujuan ini dia merintis berbagai usaha penting untuk memba- ngun koperasi yang disponsori NU (Syirkah Mu'awanah) dan mengubah menta- litas warganya. Dia juga dikenang karena berbagai usahanya untuk mengurangi ketegangan antara kaum tradisionalis dan pembaru. Dia menemukan sebuah ru- musan moderat mengenai peranan taqlid dan ijtibad dalam bidang agama, yang dapat diterima oleh banyak pembaru dan juga tradisionalis. Pada 1942, penguasa militer Jepang memenjarakannya selama beberapa bulan karena menolak melaku- kan saikeirei, penghormatan ritual kepeda kaisar Jepang. Ketika sedang berada di penjara itu, dia dibebastugaskan dari jabatan ketua umum dan digantikan oleh Kiai Wahab Chasbullah. Dia meninggal pada 1 Januari 1944. Machrus Ali 1906-1985. Lahir di wilayah Cirebon, dan mendapat pendidikan di pesan- tren Jawa Tengah dan Jawa Barat. Menikah dengan putri Kiai Abdul Karim dari Pesantren Lirboyo, dekat Kediri. Setelah sang mertua meninggal dunia pada 1954, dia menggantikan kedudukan di pesantren ini. Kiai Machrus terlibat ak- tif dalam pejuangan kemerdekaan, bergabuqg dalam milisi Sabilillah bersama ra- tusan santrinya, dan mengajarkan kepada para pemuda revolusioner tersebut ilmu kekebalan tubuh, dia memang sangat terkenal dalam bidang ini. Dia juga ikut ak- tif dalam pengganyangan pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, sehingga dia mempunyai hubungan sangat baik dengan komandan militer Jawa Timur. Pada 1965, atas permintaan komandan militer setempat, dia kembali memimpin aksi pengganyangan kaum kamunis. Pembunuhan besar-besaran terhadap pengikut PKI di Kediri adalah yang paling besar di bandingkan yang terjadi di tempat lain. Hal itu dikaitkan dengan fatwa, yang konon berasal dari Kiai Machrus, yang mengesahkan pembunuhan terhadap kaum komunis. Kiai Machrus aktif di NU sejak zaman revolusi. Pada 1952 dia menjadi Rois Syuriyah Kediri, dan pada 1958 dia naik ke posisi Rois Syuriyah Wilayah Jawa Timur, sebuah posisi yang terus berada di tangannya sampai akhir hayatnya. Pada tabun-tahun terakhir masa hidupnya dia merupakan salah seoraog ula- ma NU yang paling berpengaruh; dia adalah salah satu dari empat ulama (bersa- ma Kiai Ali Ma`shum, Kiai As'ad Syamsul Arifin dan Kiai Masjkur) yang pada 1982 membujuk Idham Chalid agar mengundurkan diri. (Salam 1988; Lirboyo 1991:55-112) Mahbub Djunaidi Lahir di Jakarta pada 1933, putra KH. Moehd. Djunaidi, salah seorang penghulu (hakim agama) terakhir pada masa pemerintahan Belanda dan kemu- dian bertugas di pengadilan agama Departemen Agama. Mahbub belajar di Universitas Indonesia dan menjadi seorang wartawan terkenal dan populer. Dia menjadi ketua umum pertama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII, 1960-67), pernah memegang berbagai jabatan tidak sangat penting di PBNU, dan menjadi aqggota DPRGR. Dia juga pernah menjadi ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) selama beberapa periode. Belakangan dia juga menjadi pengurus DPP PPP, di antaranya sebagai wakil sekretaris jendral. Setelah memutuskan hubungan dengan PPP, Mahbub sudah mencapai posisi tertingginya di PBNU pada 1984-89 sebagai wakil ketua. Setelah terlibat konflik dengan Abdurrahman Wahid (ketua umum), dia pada 1989 dipindahkan ke posisi terhormat namun tak berpengaruh, sebagai mustasyar. (Roeder 1971: 91; Tempo 1981:136; Tempo 1986: 201-2) Masdar Farid Mas'udi Lahir di Purwokerto pada 1954. Belajar, setelah sekolah dasar, di pesantren Kiai Khudlori di Tegalrejo (1966-69) dan kepada Kiai Ali Ma'shum di Krapyak (1969-75). Melanjutkan pendidikannya di fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tamat pada 1979. Bekerja beberapa waktu sebagai wartawan dan memberikan sumbangan tulisan bermutu dalam berbagai buku. Menjadi staff P3M pada 1983 sebagai redaksi majalah Pesantren dan seri terbitan bukunya, serta mengorganisir pelatihan-pelatihan bersama kiai muda. Masdar adalah tenaga penggerak di belakang serangkaian diskusi kritis mengenai "warisan klasik dan relevansinya di masa sekarang". Buku terbarunya, Agama Keadilan (1991), merupakan buku paling orisinal dan provokatif di antara buku-buku yang ditulis orang NU dalam waktu yang lama. Masjkur Lahir di Singosari (Malang, Jawa Timur) pada 1902. Setelah belajar di beberapa pesantren paling terkenal di Jawa dan Madura termasuk pesantren Te- buireng, pesantren Kiai Kholil di Bangkalan dan Jamsaren di Solo), dia membuka madrasah sendiri di Singosari. Dia aktif di NU Cabang Malang (1926- 30), kemudian dipilih menjadi anggota pengurus Tanfidziyah PBNU (1930-45). Selama masa perang dia aktif dalam berbagai organisasi yang disponsori Jepang (termasuk Hizbullah), dan mengambil peran pimpinan selama perjuangan kemerdekaan. Dia adalah anggota peagurus Masyumi sejak 1954, dan menjadi koordinator kegiatan-kegiatan Hizbullah dan Sabilillah di Jawa Timur. Masjkur adalah Menteri Agama (dalam pemerintahan Yogyakarta) sejak 1945 hingga 1949, dan menjabat lagi pada 1953-55. Dia terpilih menjadi anggota DPR pada pemilu 1955, 1971 dan 1977. Dia memegang berbagai jabatan di Tanfidziyah PBNU (sebagai ketua umum pada 1952-53 dan ajudan ketua pada 1959-62) dan kemudian di Syuriyah (sejak 1963 hingga 1984, kebanyakan sebagai salah seorang Rois), dan juga ketua perhimpunan pedagang yang berafiliasi ke NU, Sarbumi, dari 1958 hingga 1969. Ketika NU bergabung ke PPP, dia menjadi wakil presiden partai ini (1973-1985). Sejak 1984 sampai akhir hayatnya pada bulan Desember 1992, dia menjabat sebagai mustasyar NU. (Soebagijo I.N. 1982; Tempo 1984: 487-8; 1986: 501-3. Moechammad Baidlowi Cucu (menurut garis keluarga) Kiai Hasjim Asj'ari dan menantu Kiai Wabab Chasbullah. Seorang politisi NU dan kemudian PPP, dan sekutu setia Idham Chalid. Sejak 1966 hingga 1971 menjadi anggota DPRGR, selama 1982-87 anggota MPR, dan 1987-92 anggota DPR. Lama menjadi ketua NU cabang Jombang, dan selama 1984-1989 menjadi salah satu dari sembilan wakil ketua PPP. Menentang larangan PBNU merangkap jabatan resmi di NU dan partai politik, dan akhirnya terpaksa melepaskan jabatannya di NU. Memainkan peranan kunci dalam kebangkitan organisasi tarekat yang berafiliasi ke NU. Musta'in Romli Kira-kira 1920-1984. Kiai pesantren Darul Ulum di Peterongan, Rejoso (Jombang) dan Syaikh tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yang memiliki puluhan ribu pengikutnya di Jawa Timur. Setelah ayahnya, Kiai Romli bin Tamim, meninggal dunia pada 1958, dia menggantikan kedudukan ayahnya baik sebagai kiai maupun syaikh tarekat. Baik Kiai Romli maupun Kiai Musta'in sama-sama tidak punya jabatan formal di NU, kecuali pada tingkat lokal. Sekitar 1973, Kiai Musta'in bergabung ke Golkar, partai pemerintah dan saingan NU paling serius, pada pemilu 1977 dia aktif berkampanye untuk Golkar. Dia "dihukum" oleh sesama kiai atas tindakannya meninggalkan NU, melalui sebuah kampanye yang berhasil merebut kepemimpinan tarekat dari tangannya. Musthofa Bisri Putra seorang kiai terkenal, Kiai Bisri Musthofa dari Rembang, Jawa Tengah. Belajar di beberapa pesantren, di antaranya kepada Kiai Machrus Ali dan Kiai Ali Ma'shum. Melanjutkan studinya dalam bidang fiqh di Universitas al-Azhar Kairo (dimana berteman dengan Abdurrahman Wahid). Muncul di awal 1980-an sebagai salah seorang dari para pembaru muda di NU -ternyata, dia adalah satu-satunya kiai di antara mereka. Dia melakukan banyak upaya untuk mengubah diskursus fiqh tradisional, yang membuat diskusi-diskusi lebih sistematis dan lebih terpusat kepada isu-isu riil kontemporer. Sebagai seorang pengurus Syuriyah Jawa Tengah dia terlebih dahulu mencoba menerapkan pendekatannya dalam bahtsul masail di tingkat propinsi. Setelah muktamar Situbondo dia memutuskan untuk tetap aktif di PPP. Dia sekarang memimpin pesantreoya sendiri di Rembang dan merupakan satu-satunya kiai terkenal sebagai seorang penyair orisinal. Nuddin Lubis Lahir di Panyabungan, Sumatera Utara, pada 1919. Memperoleh pendidikan dasar dan menengah di sekolah umum, yang diikuti dengan beberapa tahun belajar di Madrasah tradisional Sumatera Utara yang sangat terkenal di Purba Baru. Mengajar beberapa tahun di sebuah madrasah (1940-43), kemudian menjadi pegawai negeri, dengan karier yang menanjak sebagai birokrat dan politisi di propinsi ini. Sejak 1953 dia menjadi ketua PWNU, dan pada 1957 terpilih sebagai utusan NU di DPRD I. Pada 1963 dia ditunjuk menjadi anggota DPRGR (pusat) dan menjadi ketua kelompok parlementer NU. Pada 1973 dia menjadi salah seorang wakil ketua PPP. Sahal Mahfudh Lahir di Kajen (Pati, Jawa Tengah) pada 1937 dari sebuah sebuah keluarga yang selama beberapa generasi melahirkan ulama, dan melalui perkawinan- perkawinan juga mempunyai hubungan dengan keluarga-keluarga tokoh ulama Jawa Timur. Belajar di berbagai pesantren Jawa tengah dan Jawa Timur, dan melengkapi pendidikannya dengan belajar di Mekah selama tiga tahun. Pada 1963 dia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pimpinan pesantren di Kajen, dimana dia memperkenalkan pembaruan-pembaruan pendidikan yang moderat. Merupakan salah seorang kiai yang paling awal terlibat dalam proyek-proyek pengembangan masyarakat. Memegang berbagai posisi pimpinan di NU dan MUI pada tingkat regional dan propinsi; pada 1984 dan kembali pada 1989 terpilih untuk posisi Syuriyah PBNU (sebagai Rois). Saifuddin Zuhri 1919-1986. Lahir di Sokaraja, Banyumas (Jawa Tengah) sebagai putra seorang petani dan pedagang. Mendapat pendidikan di Sekolah Dasar dan beberapa pesantren. Dia menjadi guru di sebuah sekolah yang berafiliasi dengan NU di Sokaraja (1937-44), dan wartawan yang bekerja untuk berbagai surat kabar harian dan mingguan. Aktif sebagai pengorganisir Anshor di Jawa Tengah bagian selatan (1938-42), konsul NU di Kedu, Purworejo (1942-49), dan komandan barisan gerilya Hizbullah di wilayah Magelang pada masa revolusi (1946-49). Pada 1954 dia terpilih menjadi pengurus Tanfidziyah PBNU, dan sejak 1965 menjabat sebagai sekretatis jenderalnya. Selama 1960-64 menjadi pimpinan redaksi Duta Masyarakat, koran harian NU, dan 1964-67 menjadi Menteri agama. Sejak 1968 hingga 1982 dia menjadi anggota DPR, tetapi pada bulan Nopember 1981 dia menarik diri dari PPP. Sampai akhir hayatnya, 1986, dia tetap menjabat sebagai rektor lembaga pendidikan tinggi Islam swasta miliknya (yang pada 1964 memberikan gelar doktor honoris causa dalam bidang ushuluddin kepada Soekarno). (Zuhri 1974, 1987; Tempo 1981 :889-90; Salam 1988:400-2). Subchan ZE (Zainuri Ehsan) 1930-1973. Lahir di Kepanjen (Malang, Jawa Timur), namun dibesarkan di sebuah keluarga pengusaha rokok di Kudus (pantai utara Jawa Tengah) yang telah mengangkatnya sebagai anak. Belajar ekonomi di berbagai universitas di Indonesia, dan menghabiskan waktu setahun untuk belajar di UCLA dalam bidang "leadership grant" (1961-62), tetapi tidak pernah mendapat gelar. Sejak usia muda, Subchan memainkan peranan menyolok dalam berbagai lingkungan sosial yang luas. Bergabung ke NU pada 1950-an, pertama aktif di Ma'arif. departemen pendidikannya. Pada waktu itu, dia juga kepala sebuah sekolah menengah Islam di Semarang. Pada 1956 dia menjadi ketua departemen ekonomi NU, dan pada tahun-tahun berikutnya ikut ambil bagian dalam delegasi Indonesia ke berbagai badan dan konferensi internasional. Dia berhasil menjadi seorang pengusaha besar, dan pada 1957 menjadi ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Memberi kuliah di berbagai universitas di Bandung. Melejit sebagai tokoh nasional setelah kegagalan kup Untung pada 1965. Membentuk Komando Aksi Pengganyangan Gestapu dan megkoordinir kegiatan- kegiatan mahasiswa anti-komunis dan anti-Soekarno. Ditunjuk sebagai wakil ketua MPR pada 1966 dan menjalin hubungan dekat dengan ketuanya, A.H. Nasution. Di NU dia terpilih menjadi wakil ketua Tanfidziyah pada 1968 dan terpilih lagi pada 1971. Dia meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di Mekkah pada 1973. (Roeder 1971:378; May 1978:132; dan passim; Tempo 1981 :151-2; Mudatsir 1983. 1992). Syansuri Badawi Lahir di Cirebon pada 1918. Belajar di pesantren Jawa Timur dan Solo, dan akhirnya di Tebuireng, dimana dia menetap sebagai guru yang semakin berpengaruh. Anggota DPRD Jombang sejak 1977 hingga 1987. Kritiknya terhadap pemutusan hubungan dengan PPP membuatnya terkenal secara nasional dan membawanya ke kursi DPR pada 1987, yang kembali diraihnya pada 1992. Wahab Chasbullah 1888-1971. Pendiri NU yang sebenarnya. Putra Kiai Chasbullah dari Tambakberas, Jombang. Belajar di berbagai pesantren Jawa Timur (termasuk yang dipimpin Kiai Kholil di Bangkalan dan di pesantren kerabatnya, Hasjim Asj-ari, di Tebuireng). Selama 1910-14 belajar di Mekkah, kepada ulama Indonesia terkemuka seperti Mahfuzh Termas dan Ahmad Khatib Minangkabau. Sekembalinya dari tanah Arab, dia menetap di Surabaya dan aktif di berbagai lingkungan sosial yang luas, mendirikan beberapa organisasi yang dapat dipandang sebagai cikal bakal Nahdlatul Ulama, yang didirikan di rumahnya di Surabaya pada bulan Januari 1926. Dia semula menjabat sebagai sekretaris (katib) Syuriyah, tetapi segera menarik diri ke belakang sebagai mustasyar. Pada 1942 dia kembali maju ke depan, menggantikan Machfoezh Siddiq sebagai ketua umum. Pada saat pembentukan Masyumi pada 1943, Kiai Wahab menjadi salah seorang wakil NU di kepengurusannya. Dia juga mewakili Masyumi, dan sejak 1952 mewakili NU, di DPR. Ketika Hasjim Asj'ari meninggal peda 1947, Kiai Wahab menggantikannya sebagai Rois Aam, posisi yaag tetap berada di tangannya sampai akhir hayatnya pada 1971. Wahab adalah pengagum berat Soekarno, dan di bawah pimpinannya NU senantiasa mendukung hampir semua kebijakan Soekarno. Setelah kejatuhan Soekarno, Kiai Wahab secara formal tetap menduduki jabatannya tetapi dalam prakteknya kehilangan seluruh pengaruhnya di NU. Wahib Wahab Putra Wahab Chasbullah. Salah seorang anggota NU yang mendaftarkan diri menjadi anggota Peta pada saat berdirinya pada tahun 1944. Kemudian memimpin divisi Hizbullah Surabaya dan memimpinnya menghadapi pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Menteri kerjasama sipil-militer pada 1958-59 dan Menteri agama sejak 1959 hingga 1962. Wahid Hasjim 1913-1953. Putra Kiai Hasjim Asj'ari. Berpendidikan pesantren, terakhir belajar d Mekkah (1932-33). Setelah kembali, dia mendirikan sebuah madrasah bergaya-modern yang digabungkan di pesantren ayahnya (1935), dengan demikian menjadikan Tebuireng sebagai model yang belakangan banyak diikuti pesantren-pesantren lain. Jabatan-jabatan resmi pertama di NU: sekretaris cabang Cukir (1937), ketua cabang Jombang (1938), ketua biro pendidikan pengurus nasional (1939). Ketika Masyumi didirikan di bawah pengawasan Jepang pada 1943, Wahid menjadi wakil pimpinan, yang tetap dipegangnya sampai NU keluar dari Masyumi pada 1952. Sejak bulan Desember 1949 hingga April 1952 menjadi Menteri agama; sejak Agustus 1952 sampai akhir hayatnya pada bulan April 1953 menjabat sebagai ketua umum Tanfidziyah PBNU. Wahid Hasjim dihubungkan melalui perkawinan dengan pendiri NU lainnya; isterinya, Solehah, adalah putri Kiai Bisri Syansuri dan kemenakan langsung Kiai Wahab Chasbullah. Solehah yang berkemauan keras ini tetap merupakan orang yang sangat berpengaruh dalam politik di-belakang-layar NU sampai akhir hayatnya. (Gunseikanbu 1986 :435; Aboebakar 1957; Dhofier 1984) Zainul Arifin Lahir di Mandailing, Sumatera Utara, tetapi dibesarkan di Jakarta, dimana dia bekerja sebagai pegawai negeri di kotamadya ini pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Belanda. Dia adalah anggota eksekutif Masyumi yang pertama pada 1943, dan menjadi komandan tertinggi barisan Hizbullah setelah didirikan pada 1945, dan tetap memegang posisi ini selama masa revolusi. Pada 1950-an dia menjadi salah seorang pemimpin politik tertinggi NU, menjadi Wakil Perdana Menteri pada kabinet Ali Sastroamidjojo Pertama (1953-4). Setelah Soekarno membubarkan Dewan Konstituante dan menggantikannya dengan DPRGR, Zainul Arifin terpilih sebagai ketuanya. Dia meninggal pada 1963. Zamroni (Mohammad) Lahir di daerah Jepara, Jawa Tengah, pada 1935. Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, dia mengajar beberapa tahun di sebuah sekolah pendidikan guru agama, kemudian pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan di IAIN. Sejak usia muda aktif di organisasi mahasiswa, dan salah seorang dari sedikit orang NU yang memainkan peranan menonjol dalam demonstrasi-demonstrasi mahasiswa 1966 yang mengantarkan kejatuhan Soekarno. Ketika berbagai organisasi mahasiswa bersama-sama mendirikan KAMI, Zamroni diangkat sebagai ketuanya. Tahun berikutnya, PMII juga memilihnya sebagai ketua (periode 1967-70 dan 1970-73); pada 1968 dia juga menjadi wakil ketua Aashor. Pada 1967, dia ditunjuk menjadi anggota DPR, dan berulangkali terpilih kembali Pada 1979, dia juga terpilih menjadi wakil sekretaris jendral PBNU. Pada muktamar PPP yang pertama, dia tapilih sebagai wakil ketua. Karena masalah kesehatan yang serius, dia tidak lagi tampil di hadapan publik pada akhir 1980an. (Choirie & Anam 1991, Passim)