PENDAHULUAN NAHDLATUL ULAMA (NU) adalah sebuah gejala yang unik, bu- kan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh Dunia Muslim. la adalah sebuah organisasi ulama tradisionalis yang memiliki peng- ikut yang besar jumlahnya, organisasi non-pemerintah paling besar yang masih bertahan dan mengakar di kalangan bawah. Ia mewa- kili, paling tidak, dua puluh juta Muslim, yang --meski tidak sela- lu terdaftar sebagai anggota resmi-- merasa terikat kepadanya me- lalui ikatan-ikatan kesetiaan primordial. Di sebuah negeri yang di- landa kecenderungan-kecenderungan kuat ke arah pemusatan (sen- tralisasi), NU merupakan organisasi paling signifikan yang sangat terdesentralisasi. Para pengkritiknya mengkaitkan desentralisasi yang luar biasa ini dengan ketidakefektifan pengurus pusatnya, se- mentara warga NU sendiri lebih suka menghubungkannya dengan rasa kemandirian yang sangat tinggi yang dimiliki para kiai lokal yang menjadi penyangga moral organisasi ini. Sejalan dengan tradisi politik Islam Sunni, NU dalam perjalan- an sejarahnya di masa lalu biasanya bersikap sangat akomodatif terhadap pemerintah, dan para pemimpinnya seringkali dituduh se- bagai orang-orang yang sangat oportunis. Namun, selama 1970- an, ketika kebijakan-kebijakan khas Orde Baru secara bertahap berjalan menurut arahnya sendiri, NU menjelma menjadi pengkri- tik yang terus terang dan konsisten terhadap berbagai kebijakan tersebut. Suara-suara protes terhadap berbagai ketetapan pemerin- tah yang tidak populer yang terdengar di DPR ternyata berasal da- ri para utusan NU. (Pengkritik yang lebih radikal, tentu saja, tidak dapat ambil bagian dalam politik parlemen sejak tahap sangat awal). Dua kali utusan NU melanggar prinsip politik konsensual yang sangat dijunjung tinggi dengan melakukan walk out dari DPR, tindakan tersebut tidak hanya merupakan protes terhadap undang-undang yang sedang disidangkan pada saat itu (salah satu- nya berkaitan dengan indoktrinasi ideologi resmi, Pancasila) tetapi juga menantang landasan pokok politik Orde Baru. Barangkali penolakan NU inilah yang mendorong pemerintah pada awal 1980-an sangat menuntut adanya kesepakatan ideologis yang lebih jauh lagi dan mewajibkan semua organisasi kemasya- rakatan dan partai politik menerima Pancasila sebagai asas tung- gal, dengan melepaskan semua asas yang lain, termasuk Islam. Kali ini, berlawanan dengan yang mungkin diduga orang, NU me- nuruti tuntutan tersebut, dan bahkan melakukannya mendahului se- mua organisasi besar lainnya. Muktamar 1984 (yang biasa dikenal dengan Muktamar Situbondo) melakukan perubahan anggaran da- sar sebagaimana yang diminta pemerintah. NU juga melakukan gerakan rekonsiliasi lain dengan pemerintah; ia bahkan mengun- dang Panglima ABRI beragama Katolik, L.B. Moerdani -yang dipercaya secara langsung telah memerintahkan tentara menembak para demonstran Muslim di daerah Tanjug Priok, Jakarta, bebe- rapa waktu sebelumnya pada tahun yang sama- untuk mengunju- ngi pesantren besar di Jawa Timur dan bertemu dengan para kiai. Sikap yang nampak tidak sejalan dengan pendirian oposisional yang diambilnya beberapa waktu sebelumnya ini hanyalah salah satu dari beberapa perubahan terkait yang terjadi hampir secara bersamaan. Pada muktamar yang sama, NU menyatakan diri me- ninggalkan politik praktis -sebuah keputusan yang umumnya di- sebabkan frustasi terhadap faksi lain di Partai Persatuan Pemba- ngunan (PPP), ke dalam mana NU dipaksa meleburkan diri pada 1973. NU menyatakan niatnya menjadi sebuah organisasai ke- agamaan non-politik sebagaimana di masa lalu, sembari pada saat yang sama menyatakan pengembangan masyarakat (community development) sebagai bagian dari keprihatinannya. Satu-satunya bapak pendiri NU yang masih hidup akhirnya meninggal dunia padz 1980, dan reorientasi di atas -dalam pikiran banyak orang-- sangat erat kaitannya dengan generasi pemimpin yang lebih muda yang terpilih pada muktamar 1984. Adalah, terutama, Kiai Ach- mad Siddiq, Rois Aam (pemegang kewenangan keagamaan dan moral tertinggi dalam NU), dan Abdurrahman Wahid, Ketua Umum badan eksekutif (Tanfidziyah), yang telah memberi wajah baru bagi organisasi ini. Kedua tokoh ini mewakili gagasan-ga- gasan yang agak berbeda dengan gagasan para pendahulu mereka mengenai apa yang harus diperjuangkan NU. Dapat dimengerti, perubahan-perubahan yang terjadi di tubuh NU ini tidak mendapat dukungan suara bulat. Mereka banyak mendapat kritik, baik dari kalangan orang dalam maupun luar or- ganisasinya. NU sudah terlibat aktif dalam politik sejak tercapai- nya kemerdekaan bangsa (sebagai partai politik ataupun sebagai bagian dari PPP) dan telah melahirkan banyak politisi profesional. Banyak kalangan yang keberatan dengan alasan bahwa perubahan ini akan merugikan kepentingan-kepentingan politik umat Islam atau khususnya NU, di samping banyak kiai yang sudah sangat tergantung kepada berbagai bentuk patronase yang diperoleh me- lalui jalur politik. Demikianlah, mereka yang terbiasa dengan po- la-pola berpikir yang sudah magan dan juga sebagian kelompok kepentingan dalam NU tidak dapat menerima langkah depolitisasi tersebut. Namun perubahan tiba-tiba kepada sikap akomodatif dan pe- nurut kepada pemerintah ini, mungkin mengejutkan, berjalan de- ngan penolakan yang jauh lebih kecil di dalam tubuh NU diban- dingkan penolakan terhadap keputusan keluar dari PPP. Banyak anggota NU, karena alasan yang berbeda-beda, merasa tidak se- nang ketika organisasi mereka berkonfrontasi dengan pemerintah. Para pengusaha yang berafiliasi dengan NU dan para kiai segera menemukan betapa kehidupan menjadi jauh iebih mudah ketika para penguasa sipil dan militer tidak lagi mencurigai organisasi mereka. Penibahan sikap tersebut sempat menimbulkan rasa tidak percaya di kalangan orang luar; tetapi tak berlangsung lama, ka- rena semua organisasi lain, setelah sebelumnya merasa enggan atau melakukan protes diam, akhirnya mengikuti juga. Di samping tekanan pemerintah, ada juga beberapa alasan lain yang mendorong penarikan diri dari politik praktis. Banyak kiai merasa bahwa konsentrasi kepada berbagai kegiatan politik telah mengorbankan kualitas pendidikan pesantren; sementara yang lain merasa bahwa kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat pede- saan yang menjadi massa pendukung NU telah terabaikan karena- nya. Pada 1980-an kita menyaksikan, berbarengan dengan depoli- tisasi NU, tumbuhnya kembali minat baru dalam pengembangan bidang pendidikan dan tradisi intelektual Islam serta berbagai upa- ya serius memperbaiki situasi sosial dan ekonomi pendukung pe- desaan NU. Terlihat juga berbagai usaha untuk mengembangkan wacana keagamaan baru yang lebih peka terhadap problem-pro- blem kemiskinan, ketimpangan, ketertindasan dan pembangunan, suatu corak teologi pembebasan Islam Indonesia (tetapi secara ha- ti-hati disebut sebagai "teologi pembangunan"). Berbagai perkembangan inilah yang menjadi pokok bahasan utama buku ini. Untuk menempatkan berbagai peristiwa dan ga- gasan yang bergulir pada 1980-an ke dalam konteks yang lebih luas, dan untuk menunjukkan bahwa terdapat kesinambungan de- ngan masa lalu yang lebih banyak daripada yang dipikirkan ba- nyak orang, pembahasan mengenai periode 1980-an ini didahului dengan beberapa bab yang menggambarkan perjalanan sejarah NU pada masa sebelumnya. KAJIAN TERDAHULU MENGENAI NAHDLATUL ULAMA Dibandingkan dengan gerakan-gerakan Muslim pembaru (re- formis) dan modernis, NU tidak banyak mendapatkan perhatian kalangan ilmiah. Ia hampir tidak disebut dalam kajian-kajian pada masa kolonial. Survei Pluvier mengenai gerakan nasionalis pada periode 193042 (Pluvier, 1953) --walaupun memberikan perhati- an kepada gerakan-gerakan yang bahkan jauh lebih kecil dan ber- langsung sebentar yang hanya berarti dalam skala regional, sama sekali tidak menyebut NU. Kahin, dalam kajiannya mengenai pe- riode berikutnya, hanya menyebutnya dua kali, sebagai pasangan "lebih konservatif" dari organisasi Muslim pembaru, Muhamma- diyah, di dalam Masyumi (Kahin, 1952). Hanya Benda dan Wertheim yang memberikan ulasan yang lebih dari sekadar me- nyebutnya sambil lalu, tetapi mereka tidak banyak menunjukkan minat kepada dinamika internalnya dan jelas mengandung bias yang lebih memihak kepada kaum modernis (Benda, 1958; Wertheim, 1959). Para ilmuwan sosial Amerika yang berorientasi kepada moder- nisasi (modernization-oriented) yang mengkaji Indonesia pada 1950-an dan 1960-an juga mempersepsikan adanya potensi per- kembangan yang lebih besar di kalangan modernis, dan karena itu lebih banyak memberikan perhatian kepada kalangan tersebut dari pada kepada kalangan tradisionalis. Geertz, yang paling berpenga- ruh di antara mereka, berulangkali merujuk kepada perbedaan an- tara kaum kolot (tradisionalis, konservatif) dan Muslim pembaru serta persaingan antara NU dan Muhammadiyah pada tingkat lo- kal; dia juga memberikan beberapa ulasan yang cerdas tentang sikap-sikap mereka yang bertentangan. Namun, pengamatan-pe- ngamatannya mengenai NU dan dunia pesantren, yang dia defini- sikan dalam term yang benar-benar negatif ("anti-modernisme", "organisasi kontra-pembaruan"), tetap sangat tidak memuaskan (Geertz, 1960a, 1%0b, 1965, 1%8). Karya Benedict Anderson, sebagaimana dalam banyak aspek lain, merupakan perkecualian. Dalam kajiannya mengenai peranan pemuda dalam revolusi (Anderson, 1972) dia secara eksplisit ber- usaha memberikan perhatian yang sepatutnya kepada pesantren dan NU. Dalam sebuah papernya kemudian (Anderson, 1977) dia menyoroti prasangka-prasangka ilmiah (scholarly prejudices) yang telah mengakibatkan penelantaran NU tersebut. Laporan terbaik mengenai berdirinya dan perkembangan awal NU, mengejutkan, harus ditemukan dalam kajian Deliar Noer tentang gerakan-gerak- an pembaruan di Indonesia (Noer 1973). Berbagai kajian pada tingkat lokal dan regional mengenai perjuangan kemerdekaan yang muncul belakangan ini tidak banyak menyebut NU, dan se- bagian bahkan mengabaikan sama sekali.1 Orang menjadi berta- nya-tanya apakah ini disebablgn karena NU tidak memainkan peranan sama sekali atau karetla tendensi yang bisa dimengerti di pihak para ilmuan yang memusatkan perhatian kepada gerakan-ge- rakan yang paling radikal. NU sendiri belum menghasilkan sebuah generasi ilmuwan dari lingkungannya sendiri yang mampu menyo- roti lebih banyak peranannya dalam revolusi Indonesia (tetapi li- hat Anam 1985, Zuhri 1987, Haidar 1991). Ilmuan asing pertama yang memberikan perhatian serius kepa- da NU adalah Ken Ward dalam kajiannya tentang pemilu 1971 (Ward 1974). Bab yang membicarakan tentang NU dalam buku ini masih merupakan tulisan terbaik mengenai pokok persoalan tersebut. Adalah benar bahwa NU hampir tidak dapat diabaikan dalam sebuah kajian tentang periode tersebut, karena di antara kontestan-kontestan pemilu, NU merupakan salah satu partai yang paling kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Di Jawa Ti- mur, tempat Ward melakukan pengamatannya, pemilu dalam ba- nyak tempat merupakan pertarungan amara Golkar, yakni partai pemerimah, dan NU. Namun, Ward tidak hanya memperhatikan aspek yang semata-mata bersifat politis dari kampanye dan mem- pelajari subkultur yang diwakili NU dan pandangan dunia (welt- anschauung) para pemimpinnya. Sumbangan ilmiah penting lainnya adalah artikel Mitsuo Naka- mura tentang Muktamar NU 1979 yang dihadirinya (Nakamura 1981). Di samping memberikan laporan langsung mengenai acara muktamar (sebuah pandangan sekilas yang langka tentang proses politik dalam organisasi ini), Nakamura berusaha menjelaskan ba- gaimana pendirian radikal NU selama 1970-an bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan corak tradisionalnya tetapi agaknya jus- tru merupakan konsekwensi darinya. Setelah Muktamar 1984 di Situbondo, Sidney Jones menerbitkan sebuah analisis yang mena- rik tentang perubahan yang terjadi di tubuh NU; analisisnya benar- benar bermutu berkat hubungannya yang dekat dengan beberapa kiai berpengaruh dan para aktifis pengembangan masyarakat pada periode tersebut(Jones 1985). Selama dasawarsa yang lalu, beberapa penulis Indonesia telah menerbitkan sejumlah kajian tentang NU. Kebanyakan mereka memusatkan perhatian kepada NU sebagai aktor politik. Seorang ilmuwan politik, Machrus Irsyam (1981), membahas hubungan antara NU dan PPP yang kelak berakhir dengan pemutusan hu- bungan formal pada 1984. Seorang wartawan yang dekat dengan para pembaru muda di NU, Choirul Anam (1985), menelusuri se- jarah NU sejak kelahirannya sampai Muktamar Situbondo, dengan menekankan kontinuitas dan konsistensi dalam kebijakan-kebijak- an NU. Seorang Teolog Protestan, Einar Martahan Sitompul, (1989) menggambarkan secara ringkas proses penerimaan NU ter- hadap Pancasila sebagai asas tunggal; dia juga menekankan kon- tinuitas dengan masa lalu. Bagi kalangan minoritas Kristen di In- donesia, Pancasila -tentu saja ditujukan, antara lain, demi ter- ciptanya toleransi beragama; dan bisa dimengerti, Sitompul sangat bersimpati kepada kelompok Situbondo dalam NU. Terakhir, se- orang ilmuan politik lain, Kacung Mariian, menulis sebuah pe- nelusuran yang rinci mengenai berbagai perkembangan pada per- tengahan dan akhir 1980-an. Sebuah jenis kajian lain, yang ber- beda tetapi sangat relevan untuk memahami dinamika NU, adalah karya Zamakhsyari Dhofier mengenai tradisi pesantren (1980a, 1980b, 1982). Pada saat buku ini disusun, paling tidak ada tiga kajian lain ten- tang NU yang sedang dilakukan atau hampir selesai. Ketiganya adalah disertasi doktor. Andree Faillard dari Paris telah menyele- saikan sebuah tesis yang menyoroti perkembangan-perkembangan di tahun 1980-an, yang mungkin akan terbit dalam waktu dekat. Greg Fealy dari Universitas Monash (Australia) sedang mengga- rap tentang NU selama masa Demokrasi Terpimpin; tesisnya, yang didasarkan atas penelitian arsip yang luas dan banyak wa- wancara, mungkin akan memberikan pandangan baru mengenai periode tersebut. Terakhir, Sabine Kuypers dari Leiden, melaku- kan kajian tentang organisasi Muslimat NU dan berbagai kegiatan sosialnya. Tampaknya, NU pada akhirnya mulai mendapatkan perhatian ilmiah yang selayaknya. LATAR BELAKANG BUKU INI Perkenalan pertama saya dengan NU berawal ketika saya be- kerja di LIPI sebagai konsultan metodologi penelitian dan ikut ter- libat dalam sebuah proyek penelitian tentang pandangan hidup ula- ma (1986-90). Selama berlangsungnya proyek ini saya mengun- jungi banyak pesantren dan madrasah serta bertemu dengan ba- nyak ulama, baik tradisionalis maupun modernis; Saya juga berte- mu dengan orang-orang muda yang terlibat dalam proyek peng- embangan masyarakat yang dilakukan di dalam dan sekitar pesan- tren. Saya mulai tertarik kepada sejarah pendidikan agama di In- donesia dan sejarah hubungan antara Indonesia dengan Timur Te- ngah. Dan secara berangsur-angsur saya menemukan bahwa NU merupakan gejala yang jauh lebih beraneka warna dan dinamis dari pada gambaran yang ada di pikiran saya. Sebagaimana kebanyakan orang Barat, saya agak berprasangka terhadap NU dan ulama tradisionalis ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia. Ketika itu saya percaya bahwa modernisme Islam lebih dinamis dan sewa intelektual lebih me- narik ketimbang kaum pemelihara tradisi. Saya menghubungkan NU dengan oportunisme politik, konservatisme sosial dan keter- belakangan kultural. Saya segera menemukan bahwa kenyataan- nya berbeda, dan kaum modernis dan pembaru tidak selalu meru- pakan pemikir muslim paling progresif di Indonesia. Banyak di antara mereka (kaum modernis) yang tampaknya sudah meme- gang teguh paradigma-paradigma Hasan al-Bana, Sayyid Qutb dan Abul-A'la Maududi, sebuah bentuk taklid yang bisa menjadi lebih kaku ketimbang sikap taklid kaum tradisionalis kepada empat imam madzhab. Saya seringkali bertemu dengan orang-orang mu- da berlatar belakang pesantren yang secara intelektual berpikiran lebih terbuka dan lebih besar rasa ingin tahunya ketimbang keba- nyakan modernis yang saya kenal. Dalam kenyataannya, sebagian dari pemikir muslim paling me- narik di Indonesia berasal dari latar belakang tradisionalis, bukan modernis. Abdurrahman Wahid, Musthofa Bisri, dan Masdar Fa- rid Mas'udi -untuk menyebut tiga nama saja-- adalah para pe- mikir non-konformis yang, justru karena mereka telah menjalani pendidikan tradisional disamping pengetahuan tentang dunia mo- dern, telah memberikan sumbangan penting bagi wacana Lslam di Indonesia. Masing-masing, sebagai pemikir, berbeda satu sama lain meskipun terlihat beberapa karakteristik yang sama. Tradisi dan transformasi, dalam pikiran mereka, bukanlah hal-hal yang se- penuhnya berbeda dan saling bertentangan, tetapi sebuah pasangan yang menyatu dan saling membutuhkan. Komitmen kepada cita- cita keadilan sosial dan demokrasi, dan toleransi kepada agama lain atau penafsiran Islam yang lain, merupakan dua dari unsur- unsur penting dalam pemikiran mereka. Gagasan-gagasan mereka merupakan sumbangan bagi lahirnya wacana Islam yang lebih di- namis, lebih menarik dan merangsang daripada sumbangan mus- lim fundamentalis, dan, saya yakin, dalam jangka panjang akan lebih memberikan hasil. Merupakan keberuntungan yang sangat besar bagi saya mengenal para pemikir ini, dan saya telah belajar- banyak melalui berbagai diskusi derigan mereka. Ada juga hal lain yang membuat NU menarik bagi saya. Sebagaimana dikatakan di atas, NU bukan hanya sebuah organisasi ulama tetapi juga sebuah wadah bagi puluhan juta orang desa dan penduduk kota, keba- nyakan mereka adalah anggota dari lapisan masyarakat yang lebih miskin. Apapun struktur formal NU, dalam prakteknya ia sangat terdesentralisasi. Sangat sulit bagi PBNU untuk memaksakan se- buah kebijakan yang sama bagi semua wilayah dan cabang, dan benar-benar tidak mungkin memberikan perintah kepada para kiai. Masing-masing kiai tetap merupakan seorang raja di pesantrennya sendiri; dan betapapun setianya kepada NU, dia sangat menjun- jung tinggi kemandiriannya sendiri. Kenyataan ini seringkali dili- hat sebagai kelemahan NU sebagai organisasi, tetapi kecenderung- an yang kuat ke arah otonomi lokal ini juga dianggap sebagai sum- ber kekuatan NU sebagai sebuah sikap mental dan sub-kultur. Dalam perdebatan tentang demokratisasi'di negara-negara Asia belakangan ini, diakui bahwa keberhasilan demokrasi tergantung kepada eksistensi masyarakat sipil (civil society), yakni, bentuk- bentuk organisasi yang independen terhadap negara (state). Di In- donesia, sebagaimana di banyak negara Asia lainnya, negara men- cengkeramkan kekuasaannya dengan sempurna di dalam keba- nyakan bentuk organisasi (seperti perhimpunan-perhimpunan da- gang organisasi "golongan", dan partai politik). Ini mengakibat- kan terjadinya banyak komunikasi "atas-bawah" dan hampir tidak ada yang "bawah-atas". Banyak organisasi non-pemerintah juga mengikuti pola yang sama, sehingga mereka pun tidak benar-be- nar merupakan unsur-unsur masyarakat sipil. Muhammadiyah pun, organisasi Islam Indonesia besar lainnya, telah berkembang dengan arah yang sama. Secara signifikan, banyak anggota dan hampir semua pengurus Muhammadiyah adalah pegawai negeri. Muhammadiyah menrpakan organisasi yang lebih tertata dan ber- gerak secara profesional, lebih efektif daripada NU dalam banyak hal. Tetapi, dalam pandangan saya, justru kurangnya disiplin dan langkanya keseragaman di dalam NU itulah yang membuatnya se- cara lebih meyakinkan mewakili keragaman masyarakat Indonesia di tingkat akar rumput dan mungkin akan menjadikannya penyum- bang kreatif bagi transformasi Indonesia. ____________________________________________________________________ ____________________________________________________________________ 1. Audrey R Katol 1985; Fredrik 1989; Lucas 1991; Cribb 1951. Kurangnya perhatian kepada NU tersebut sangat mengejutkan terjadi juga dalam kajian Fredrick, yang berkaitan dengan Surabaya. Pada halaman 252 pengarang ini menyatakan bahwa "di Surabaya umum dipercaya bahwa pemimpin revolusioner, Bung Tomo, madapatkan kepercayaan dan dukungan dari Kiai Wachid Hasjim, pemimpin pesantren terkenal di Jombang Tebuireng", tapi dia tidak menjelaskan kenapa dukungan ini sangat berarti. Wachid Hasjim pada waktu itu adalah pemimpin NU yang sangat terkemuka yang mempunyai hubungan dengan kaum nasionalis; ayahnya, yang merupakan pimpinan pesantren yang sebenarnya, merupakan ulama NU yang sangat dihormati Beberapa hari setelah Bung Tomo mulai melancarkan pidato radionya yang terkenal, sebuah pertemuan para pemimpin NU dari seluruh Jawa dan Madura yang bekumpul di Surabaya, menyatakan perjuangan kemerdekaan nasional sebagai jihad, "perang suci", dan umat Islam diwajibkan ikut serta (lihat bab 2 di bawah).