Pengantar LKiS Sudah lama terjadi perubahan persepsi tentang "perubahan" di dalam --apa yang sering disebut- Islam tradisional yang dari peng- lihatan sosiologi positivistik merupakan 'batu karang yang tak per- nah berubah" dan karena itu menjadi penghalang modernisasi. Se- jak antropologi diterima sebagai perangkat baru untuk melihat per- ubahan-perubahan sosial, telah banyak karya-karya yang provoka- tif dilahirkan. Dengan pendekatan itu pula, Nahdlatul Ulama telah "ditampilkan" secara baru, dan pada umumnya dengan penuh em- pati dan sekaligus penuh daya-kritis. Buku ini mewakili "kritisisme baru" itu, yang memaksa kita untuk menunda pemaknaan tergesa-gesa terhadap setiap signal ke- NU-an yang ada. Wacana baru "Agama dan transformasi sosial- ekonomi" yang merebak dalam dasawarsa 80-an mengiringi ke- putusan organisasi ini kembali ke Khittah 1926, tidak dideskripsi- kan sebagai sekedar "kumpulan pernyataan-pernyataan" yang nor- matif. Namun justru secara historis ditampakkan -dengan tanpa beban- konflik-konflik kepentingan agama-politik ekonomi seba- gai praktek-praktek di luar wacana yang justru banyak berpenga- ruh dalam proses pembentukan wacana itu. Martin van Bruinessen, seperti tampak dalam buku ini, dapat lah disebut sebagai bagian dari generasi ilmuwan Barat penghu- jung abad XX yang percaya bahwa kaum tradisional di banyak ne- gara berkembang bukanlah arus konservatif yang selalu mengan- cam "keniscayaan" modernisasi. Di matanya, kaum tradisional tampak sebagai scmacam sinema yang merekam dan sekaligus mewartakan segala denyut emosional-intelektuaI-institusional pen- duduk pribumi untuk tetap menjadi "diri sendiri" dalam pergulatan yarng tak terelakkan dengan "wacana zaman": modernitas. Sehing- ga ia dipandang memiliki irama dan tempo perubahan sendiri yang tidak pernah dapat diduga. Dan karena watak otentiknya yang cen- derung menolak pemusatan, maka ia sesungguhnya memainkan peran pembaharuan" yang unik; dengan segala "pesona dan ke- konyolan"-nya sendiri. Seperti di tengah kemacetan proses demo- kratisasi di Indonesia sekarang ini, NU --dengan segala hiruk-pi- kuk ambiguitas di dalamnya-- justru tampil membawakan harapan sebagai pangkal-tumbuhnya civil society. Yogyakarta,Novemberl994