BAB 5 AKAR SOSIAL NU PESANTREN DAN TAREKAT DALAM bab-bab terdahulu kita telah mengikuti berbagai per- kembangan dalam tubuh NU yang sebagian besar dilihat dari pers- pektif Jakarta, yang memusatkan perhatian kepada kehidupan po- litik tingkat nasional. Karena pengunduran diri Idham Chalid seca- ra paksa dan keluarnya NU dari PPP seringkali diinterpretasikan dalam kaitannya dengan konflik antara para kiai yang berbasis di pesantren dan politisi yang berbasis di Jakarta, dalam bab ini saya akan mengalihkan fokus perhatian dan menyoroti perkembangan- perkembangan yang sama dari perspektif pesantren. Akan menjadi jelas bahwa memang ada konflik antara kiai dan politisi sebagai tipe-tipe ideal (ideal types), tetapi dalam prakteknya konflik-kon- flik tersebut juga terjadi di dalam dan membelah dunia pesan- tren sendiri. PESANTREN, KIAI DAN NU Sekarang ini NU sudah mempunyai cabang di seluruh propinsi di Indonesia, tetapi yang selalu menjadi basis riilnya adalah pe- santren-pesantren yang ada di Jawa. NU didirikan sebagai sebuah organisasi para kiai Jawa, dan penarikan diri dari politik praktis merupakan, antara lain, sebuah upaya mengambil organisasi ini dari tangan para politisi profesional yang telah mendominasinya dan mengembalikannya ke tangan para ulama. Munas Situbondo menegaskan bahwa kekuasaan tertinggi NU berada di tangan Syu- riyah, yang mempunyai hak, jika perlu, memecat pengurus Tanfi- dziyah. Di antara para ulama NU kita menemukan orang Banjar, Mandailing, Sunda, Madura, Bugis, Sasak, dan Jawa, tetapi jelas bahwa yang terakhir inilah yang dominan -secara kultural mau- pun jumlah. Hanya di Jawa Tengah dan Timur (termasuk Ma- dura) serta di Kalimntan Selatan NU memiliki massa pengikut yang sebenarnya, sebagaimana ditunjukkan pada Pemilu 1955 dan 1971.1 Berkali-kali terjadi ketegangan di tubuh NU antara anggota yang Jawa (termasuk Madura) di satu pihak dan bukan Jawa di pi- hak lain. Anggota luar Jawa tidak puas dengan peranan pinggiran yang dimainkan para ulama bukan-Jawa di dalam organisasi ini. Beberapa ulama terkemuka Sunda, seperti almarhum Abdullah bin Noeh dari Bogor, ternyata meninggalkan NU pada 1950-an karena ketidaksenangan mereka dengan bias Jawanya yang kuat.2 Orang non-Jawa yang berhasil mencapai posisi tinggi di NU pada umum- nya adalah politisi dan bukan ulama; demikianlah misalnya Zainul Arifin dan Nuddin Lubis, keduanya orang Mandailing (Sumatera Utara) dan Idham Chalid, orang Banjar.3 Perkecualian yang me- nyolok adalah Ali Yafie, yang lama bercokol di Syuriyah dan menjadi wakil Rois Aam peda 1989. Dia bearasal dari Sulawesi Tengah tetapi diakui oleh para kiai Jawa sebagai ulama NU yang sangat berilmu. Walaupun konflik antara para kiai senior dan Idham Chalid se- bagian tidak disebabkan oleh ketegangan-ketegangan yang ada an- tara Jawa dan non-Jawa, namun konflik ini tentu saja memperbu- ruk ketegangan-ketegangan tersebut. Idham berasal dari Kaliman- tan Selatan, dan kebanyakan sekutunya yang paling dekat adalah orang luar Jawa.4 Dia pada umumnya dipandang mewakili orang- orang luar Jawa secara umum, dan karena alasan itulah dia didu- kung oleh banyak cabang luar-Jawa ketika dia diserang oleh para kiai senior Jawa. Di antara para kiai Jawa dan pesantren mereka sendiri juga masih terdapat urutan hirarkis dalam hal kharisma mereka di da- lam NU. Kharisma kiai tergantung kepada kharisma ayah dan para pendahulunya yang lain dan, kemudian, juga dipengaruhi kharis- ma gurunya. Kiai yang sangat terkemuka biasanya memiliki paling tidak tiga atau empat ulama terkenal dalam silsilah keluarganya, dan beberapa mengakui mempunyai silsilah yang jauh lebih pan- jang lagi. Lebih dari itu, sebagian keluarga ulama yang lebih ter- kemuka mengaku sebagai keturunan dari kalangan bangsawan ke- rajaan Jawa Islam.5 Kualitas pribadi seperti kedalaman pengetahu- an dan kekuatan karakter dapat menambah kharisma ini, tetapi ti- dak mencukupi. Pada akhirnya, satu-satunya jalan bagi "orang awam" yang berilmu untuk dapat diakui sebagai kiai adalah de- ngan menjadi murid kesayangan seorang kiai, kemudian menjadi menantunya dan akhirnya menjadi penggantinya. Ini bukanlah ke- jadian yang sangat langka, karena tidak semua kiai mempunyai anak laki-laki yang berminat atau mampu melanjutkan tradisi ke- luarganya dalam pendidikan agama. Seorang kiai yang tak mem- punyai anak laki-laki yang akan menjadi penerusnya akan lebih memilih putra kiai lain sebagai menantunya, tetapi kalau tidak ada dia akan mengambil seorang santri yang cerdas dari kalangan awam yang dapat diharapkan menjadi penerusnya. Nampaknya, inilah perkembangan yang dalam jangka panjang akan menyebabkan runtuhnya ideologi dunia pesantren, yang me- nekankan kharisma berdasarkan keturunan (walaupun kadangkala dapat dipindahkan). Ideologi ini pada puncaknya menampilkan ke- luarga kiai benar-benar sebagai sebuah 'kasta' tersendiri --walau pun diragukan apakah mereka pernah mendekati wujud kelompok tertutup semacam itu, kecuali untuk masa singkat di sekitar per- gantian abad ini. Hampir tidak ada kiai besar dari generasi terakhir dan sekarang yang memiliki anak laki-laki yang mempunyai ting- kat penguasaan pengetahuan agama yang dapat menyamainya, atau bahkan sekadar mempunyai minat kepada ilmu-ilmu agama sebagai disiplin ilmunya. (Di kalangan kiai dari tingkatan kedua atau ketiga hal ini nampaknya kurang menjadi masalah). Banyak kiai yang mengirim anak-anaknya ke sekolah umum dan bukan ke pesantren, dan kita menemukan lebih banyak anak kiai yang menjadi dokter, ahli hukum dan usahawan daripada menjadi ula- ma. Mereka sangat tertarik kepada sisi "bisnis" pesantren, sehing- ga sisi "pengetahuan"-nya harus dipercayakan kepada menantu yang dipilih dengan baik. Orang mungkin bertanya-tanya, apa yang akan terjadi ketika putri-putri kiai sudah begitu terdidik se- cara modern sehingga mereka menolak untuk dikawinkan dengan seorang santri yang pendidikan umumnya lebih rendah. Kelompok elite NU yang sebenarnya terdiri dari keluarga-ke- luarga kiai yang relatif kecil jumlahnya, yang mengendalikan pe- santren besar dan terkait satu sama lain melalui ikatan perkawinan dan guru-murid.6 Dalam kelompok elite ini, pesantren Jombang -lebih tepatnya, tiga dari empat pesantren besar yang ada di kota Jawa Timur- memegang posisi yang dominan dalam hirarki NU, yang menyediakan NU tiga Rois Aamnya yang pertama,7 Pesan- tren Tebuireng, yang didirikan Kiai Hasjim Asj`ari itu, mendudu- ki peringkat tertinggi. Tambakberas adalah pesantren Kiai Wahab Chasbullah (yang lebih sering berada di luar daerah), dan Kiai Bisri Syansuri memimpin pesantren Denanyar. Walaupun para kiai ini mengajak para ulama terkemuka untuk bergabung mendi- rikan NU, namun merekalah yang sepanjang hidupnya memegang wewenang moral tertinggi di organisasi ini.8 Terdapat sebuah pesantren keempat terbesar di Rejoso, masih di Jombang. Para kiainya adalah keturunan Madura dan sangat berpengaruh di kalangan penduduk desa di Madura dan Jawa Ti- mur sebagai guru-guru tarekat. Mereka kemudian bergabung ke NU dan saling menjalin ikatan perkawinan dengan keluarga kiai Jombang lainnya tetapi tidak pernah menduduki posisi pimpinan dalam organisasi ini. Kekecewaan tertentu atas predikat sebagai peringkat kedua yang diberikan kepada Rejoso mungkin telah menjadi salah satu alasan kenapa kiai di sana, Kiai Musta'in Romli, meninggalkan NU dan bergabung dengan Golkar pada 1970-an. Pada saat itu, tindakannya dianggap tidak kurang dari penghianaan terhadap NU, dan Tebuireng bereaksi dengan mela- kukan pembalasan yang sengit.9 Kharisma kiai dan pesantren lain dalam banyak hal ditentukan oleh hubungan mereka dengan tiga pesantren besar di Jombang itu. Kiai Hasjim Asj'ari dan juga yang jauh lebih muda, Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Bisri Syansuri pernah belajar kepada seorang kiai 'aneh' dan sangat kharismatik, Kiai Kholil Bang- kalan, di Madura Barat (w.1925), yang masih jauh lebih dihormati di sana dibandingkan para kiai lain (lihat Junaidi 1988). Akan tampak bahwa nama harum kiai Kholil setelah wafatnya semakin dijunjung tinggi karena kealiman para muridnya ini. Semua kiai yang dapat menunjukkan bahwa dia mempunyai hubungan dengan Kiai Kholil akan dapat meraih kehormatan di lingkungan NU. Pada 1980-an, Kiai As'ad Syamsul Arifin merupakan satu-satu- nya murid kiai Kholil yang masih hidup, dan karena itu dianggap sebagai kiai yang paling dekat dengan para founding father, se- bagai adik seperguruan mereka. Dia berhasil memperkuat hu- bungan ini dengan menceritakan kepada wartawan sebuah cerita tentang bagaimana pada 1924 dan 1915, dia, sebagai seorang san- tri senior, diutus kepada Kiai Hasjim Asj'ari oleh gurunya, Kiai Kholil, dengan pesan simbolik yang kemudian dipahami sebagai dorongan agar mendirikan sebuah organisasi ulama. 10 Murid Kiai Kholil lainnya, yang agaknya lebih tua, adalah Kiai Ma'shum dari Lasem (Rembang, Jawa Tengah). Kiai Ma'- shum ini berasal dari sebuah keluarga yang selama beberapa ge- nerasi telah melahirkan para ulama. Antara keluarganya dan ke- luarga Kiai Hasjim telah lama terjalin hubungan erat, terlihat jelas dalam hubungan timbal balik guru-murid. Kiai Ma'shum juga melanjutkan pendidikan dengan berguru kepada Kiai Hasjim Asj- 'ari, dan menjadi kawan dekat dengan sebayanya, Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Bisri Syansuri. Putra Kiai Ma`shum, Kiai Ali Ma'shum, menjadi kiai pesantren Krapyak, Yogyakarta, setelah dipilih oleh pendiri pesantren tersebut, Kiai Munawwir, sebagai menantu kesayangannya dan penggantinya (Mukhdlor 1989). Kiai Ali Ma'shum terkenal sebagai orang yang benar-benar berilmu, dan standar pendidikan di pesantrennya diakui termasuk yang ter- tinggi; namun kharismanya di dalam NU lebih banyak disebabkan oleh hubungan Lasem-Jombang daripada kelebihan pribadinya. Abdurrahman Wahid melanjutkan tradisi keluarga ini dan belajar bahasa Arab di pesantren Kiai Ali Ma`shum ketika dia mengikuti pendidikan menengah di Yogyakarta. Pada 1981 Kiai Ali Ma`- shum dipilih sebagai Rois Aam keempat, dan pada minggu-ming- gu terakhir sebelum wafatnya dia menjadi tuan rumah muktamar 1989 yang penting itu. Teman sebaya para pendiri NU yang lain, walaupun bukan anggota pendiri, adalah Kiai Mohammad Siddiq dari Jember. Pu- tranya, Kiai Machfoezh Siddiq, menjadi Ketua Umum PBNU pa- da 1930. Rois Aam kelima, Kiai Achmad Siddiq, adalah adik Kiai Machfoezh. Dia berpengaruh di kalangan kiai Jawa Timur paling tidak sebagian karena ayah dan kakanya, sebagian mung- kin juga karena hubungannya dengan Wahid Hasjim. Kiai Ach- mad Siddiq pernah menjadi sekretaris pribadi Wahid Hasjim ke tika menjabat Menteri Agama. Para putra pendiri NU ini jelas mendapat kehormatan berkat kharisma ayah mereka; dua orang Menteri Agama NU, Wahid Hasjim dan Wahib Wahab, adalah putra dari dua Rois Aam yang pertama. Wahid Hasjim meninggal dalam usia muda dalam sebuah kecelakaan mobil; adiknya, Jusuf Hasjim sekarang memimpin pesantren di Tebuireng (walaupun dia sendiri tidak ahli dalam ilmu agama) dan sejak lama menjadi se- orang politisi terkemuka NU. Wahid Hasjim menikah dengan pu- tri sulung Kiai Bisri Syansuri, Solehah, yang kebetulan juga meru- pakan orang yang sangat berpengaruh di lingkungan NU. Karena itu, putra mereka, Abdurrahman Wahid, adalah cucu dari dua pendiri NU. Panggilan akrabnya, Gus Dur, mengingatkan kepada hak keturunannya: "Gus" adalah panggilan untuk seorang putra kiai (Dur tentu saja kependekan dari Abdurrahman). Berbeda de- ngan banyak keluarga lain, dia melengkapi pendidikan umumnya dengan belajar bahasa Arab dan fiqh, sehingga hampir tak terelak- kan dia akan naik ke posisi puncak di NU. KRISIS DITUBUH NU DAN PBSANTREN: TEBUIRENG Konflik di tubuh NU pada awal 1980-an telah ditafsirkan se- cara berbeda-beda sebagai perbenturan kepentingan antara kiai di pesantren dan politisi profesional di ibukota (atau sama dengan, antara Syuriyah dan Tanfidziyah), sebagai pencerminan dari kon- flik antara Jawa dan non-Jawa dalam organisasi ini, sebagai kon- flik antara kelompok "akomodasionis" dan kelompok "radikal", atau antara kalangan pembaru NU dan kalangan konservatif. Ma- sing-masing simplifikasi ini, dan juga model-model yang lebih canggih dimana sejumlah besar kelompok kepentingan dibeda-be- dakan,11 mungkin mempunyai nilai heuristik dalam memunculkan unsur-unsur tertentu dari dinamika ini. Tentu saja ada konflik yang sangat nyata di antara berbagai pasangan kelompok pertentangan (pairs opponent) yang telah disebutkan. Namun, pasangan ke- lompok pertentangan ini hanyalah sebagai tipe ideal, karena ketika kita mencermatinya lebih dekat pada tingkat lokal, banyak hal yang seolah-olah sudah jelas ini menjadi kabur kembali. Perseli- sihan di pesantren Tebuireng, sarang NU, yang diketahui banyak orang, menunjukkan bagaimana pengelompokan-pengelompokan di tingkat nasional membelah pesantren ini, dan bagaimana para pesaing di dalamnya tidak dapat begitu saja dihubungkan dengan pesangan kelompok persaingan di atasnya. Pesantren Tebuireng didirikan oleh Kiai Hasjim Asj`ari sekitar pergantian abad ini dan segera menjadi salah satu pesantren terbe- sar di Jawa. Ini adalah pesantren pertama di Jawa yang mengajar- kan kumpulan hadits Shahih Bukhari dan Muslim, sebuah inovasi penting dalam kurikulum pesantren (lihat van Bruinessen 1990b). Kursus intensif untuk mempelajari kitab-kitab ini diberikan setiap tahun pada bulan Ramadlan, dan kursus ini menarik peminat yang jauh lebih banyak dari santri biasa. Bahkan para kiai muda yang sudah memimpin pesantren sendiri pun akan datang unbuk mem- perdalam pengetahuannya dalam salah satu kursus ini. Dalam bi- dang pembaruan pendidikan pun, pesantren Tebuireng mendahului kebanyakan pesantren lainnya. Pada 1916 Kiai Hasjim mulai men- jalankan pendidikan bergaya madrasah (yakni menggunakan bang- ku dan membuat perjenjangan kelas) di samping sistem halqah tradisional, dan pada akhir 1920-an untuk pertama kalinya bebera- pa mata pelajaran umum ditambahkan di madrasahnya: membaca dan menulis bahasa Melayu dengan huruf latin, aritmatika, geo- grati dan sejarah Indonesia.12 Kiai Hasjim Asj'ari mendanai pemeliharaan pesantrennya ter- utama dengan mata pencaharian pokoknya sebagai pedagang, ke- mudian dengan sumbangan-sumbangan dari para orang tua santri- nya. Kiai Hasjim Asj`ari terkenal sebagai seorang pedagang yang sangat berhasil, memperjualbelikan kuda di seluruh Jawa Timur. Biaya formal pendidikan di pesantren sangat murah, tetapi ketika mengunjungi para putra mereka yang belajar di sana, para orang tua bersalaman dengan kiai sambil menyelipkan sebuah amplop ('salam tempel') yang isinya mungkin mencapai beberapa kali bia- ya pendidikan formal. Di samping itu, banyak keluarga NU yang menyerahkan zakat fitrahnya kepada kiai.13 Dalam kasus seorang ulama terkenal, seperti Kiai Hasjim Asj'ari, berbagai sumbangan tidak tetap ini pastilah mencapai jumlah yang cukup besar. Akhir- nya, sebagaimana banyak kiai lainnya, dia pun mungkin meneri- ma sedikit dana dari maskapai pelayaran KPM untuk setiap ang- gota jamaahnya yang berangkat ke Jeddah untuk menunaikan iba- dah Haji ke Mekkah. Berbagai sumber pendapatan ini membuat- nya mampu bukan hanya secara bertahap memperluas pesantren- nya dan menambah bangunan-bangunan baru, tetapi juga untuk membeli tanah-tanah di tempat lain. Tebuireng merupakan pusat simbolik dan ekonomi yang pen- ting. Selama Kiai Hasjim Asj'ari masih hidup, seluruhnya masih terpusat di tangannya. Tetapi sepeninggalnya, dua kelompok yang berbeda mengaku berhak atasnya. Keturunan dan kerabatnya mungkin menganggap segalanya sebagai milik pribadi Kiai Ha- sjim, sementara staf pengajar seniornya mempunyai kepentingan memandang pesantren sebagai lembaga swadaya yang memiliki semua asset tersebut. Untuk mencegah terjadinya konflik dan me- melihara pesantren, Kiai Hasjim Asj'ari telah mewakafkan seba- gian besar miliknya -pesantren dan bangunan-bangunannya serta kebanyakan tanahnya, untuk dikelola keturunannya. Harta yang diwakafkan termasuk 12 ha sawah, yang ditanami oleh para pe- tani bagi hasil dan memberikan sumbangan yang tidak besar na- mun tetap untuk pembiayaan pesantren. Namun, tidak semua mi- lik Hasjim Asj'ari diwakafkan, dan masih beredar desas-desus di Jombang tentang dugaan keras adanya ketidakberesan. Desas-desus ini nampaknya bersumber dari kekecewaan sebagian staf pengajar senior yang menganggap semuanya harus diserahkan kepada pe- santren. Konflik-konflik tersembunyi seperti ini, antara murid ke- sayangan beserta asisten kiai besar di satu pihak dan keturunannya di pihak lain, adalah sesuatu yang sangat umum terjadi, terutama apabila keturunannya tidak menguasai ilmu agama. Di Tebuireng konflik tersembunyi ini, yang tidak pernah disebut secara terbuka, tentu saja merupakan salah satu faktor yang berperan menyulut berbagai pertentangan pada pertengahan 1980-an. Sepeninggal kiai Hasjim Asj'ari pada 1947, pesantrennya di- pimpin oleh beberapa orang putranya dan seorang menantunya secara bergantian: Wahid Hasjim (1947-50), Karim Hasjim (1950- 51), Ahmad Baidlowi (1951-52), Kholiq Hasjim (1952-65) dan Jusuf Hasjim (sejak 1965 hingga sekarang). Menarik dicatat, pa- ling tidak dua penggantinya, Karim dan Kholiq, hampir bukan ti- pikal orang NU. Ketika NU keluar dari Masyumi dan menjelma- kan diri sebagai partai politik, Karim tetap bertahan sebagai ang- gota individual Masyumi; pada pemilu 1955 dia bahkan menjadi calon Masyumi untuk DPRD I. Seperti kebanyakan orang Masyu- mi lainnya, dia bergabung ke Golkar sejak awal, dan bahkan terpi- lih menjadi anggota DPR dengan tiket Golkar pada pemilu 1971, ketika NU dan Golkar saling berkonfrontasi sangat keras. Ketika itu dia tidak mempunyai jabatan resmi lagi di pesantren, meski dia hidup di dekatnya dan mengajar santri Tebuireng di rumahnya. Kholiq adalah kakak Karim; dia adalah seorang tentara (man- tan Peta dan baru kembali ke Tebuireng setelah dikembalikan ke barak (demobilisasi) pada 1952. Dia juga tidak puas dengan perila- ku politik NU, dan sikapnya yang semakin kritis terhadap sikap akomodatif Kiai Wahab Chasbullah kepada Soekarno, pada akhir- nya pecah menjadi konflik terbuka. Hubungan pribadinya dengan para politisi Masyumi, di sisi lain, sangat akrab, dan sebagian orang di kubu Masyumi menganggap Tebuireng sebagai "sayap Masyumi di NU".14 Kholiq meninggal pada 1965, dan sejak saat itu Jusuf Hasjim menjadi pimpinan pesantren Tebuireng. Jusuf ju- ga mempunyai latar belakang militer (dia adalah komandan baris- an Hizbullah selama masa revolusi dan tetap menjadi anggota Angkatan Bersenjata selama beberapa tahun), dan selalu terlibat intens dalam politik. Pada satu ketika, pada awal 1950-an, dia bahkan dituduh mempunyai kontak dengan gerakan Darul Islam dan sempat di penjara sebentar. Sebagai anggota DPR dari 1971- 1982, dia mengukir namanya sebagai salah seorang utusan yang paling blak-blakan dan kritis. Di samping Jusuf Hasjim, selama dua dasawarsa yang lalu ada beberapa pribadi lain yang berpengaruh di pesantren ini. Salah se- orang kerabatnya yang memainkan peranan penting di belakang panggung adalah Moechammad Baidlowi, kemenakannya. Ayah- nya, Achmad Baidlowi (yang pernah sebentar memimpin pesan- tren ini, 1951-52), adalah murid dan menantu kesayangan Kiai Hasjim Asj`ari dan salah seorang guru berpengaruh di Tebuireng -dua sebab kenapa putranya sangat dihormati. Perkawinan Moe- chammad dengan putri Kiai Wahab Chasbullah semakin mem- perkuat posisinya di NU. Baik Jusuf Hasjim maupun Moecham- mad Baidlowi, keduanya tidak menguasai ilmu agama secara men- dalam, dan karena itu tugas-tugas pengajaran dijalankan para guru lain, kebanyakan adalah murid Kiai Hasjim Asj`ari. Kepemimpin- an dalam masalah-masalah keagamaan berada di tangan Dewan Kiai, sebuah dewan yang mewakili semua kiai yang mengajar di Tebuireng (dan di dua pesantren tetangganya, Seblak dan Cu- kir).15 Selama 1980-an dua orang terpenting dari para kiai ini adalah Kiai Syansuri Badawi dan Adlan Aly. Keduanya sangat dihormati dan dicintai para santri dan alumninya; namun keduanya menaruh hormat, dan berada di bawah pengaruh Moechammad Baidlowi dan Jusuf Hasjim karena mereka adalah murid Kiai Achmad Bai- dlowi dan Kiai Hasjim Asj'ari. (Juga, ada alasan yang lebih du- niawi kenapa Moechammad sangat berpengaruh terhadap mereka dan kiai lainnya: dia adalah politisi PPP yang berposisi baik dan mempunyai beberapa posisi menguntungkan yang dapat ditawar- kan). Kiai Adlan Aly, yang menikah dengan kemenakan perempu- an Kiai Hasjim Asj'ari, menghabiskan kebanyakan tugas meng- ajarnya di pesantren putri miliknya, Cukir, yang didirikannya ber- sebelahan dengan pesantren Tebuireng. Di pesantren induk dia ha- nya mengajarkan pada pelajaran khusus selama bulan Ramadlan. Dia bukan hanya guru yang menguasai kitab-kitab, tetapi juga seorang pemimpin tarekat kharismatik yang banyak mempunyai pengikut di kalangan petani.16 Karena paling senior di antara para staf pengajar, dia menjadi pemimpin Dewan Kiai. Kiai Syansuri Badawi sangat populer dan berpengaruh di ka- langan santri. Dia berasal dari Cirebon dan juga menjadi salah seorang santri paling cerdas dan disayangi Kiai Hasjim Asj'ari. Namun, dia tidak menikah dengan anggota keluarga ini -menurut satu sumber, hanya karena tidak ada anak perempuan yang belum menikah pada waktu dia belajar di Tebuireng. Seadainya dia menjadi anggota keluarga ini, dia mungkin sudah menjabat pim- pinan Tebuireng, karena dia memiliki semua kualitas yang diper- lukan. Sebenarnya, namanya diusulkan pada 1965, karena paling berilmu dan berpikiran praktis di kalangan kiai, tetapi secara halus dikalahkan untuk memberikan tempat kepada Jusuf Hasjim. Se- karang dia harus puas dengan jabatan yang lebih rendah sebagai pimpinan salah satu bagian pesantren, madrasah Aliyahnya, dan juga sebagai rektor Universitas Hasjim Asj'ari, lembaga pendidi- kan tinggi yang mempunyai hubungan tidak sangat mengikat de- ngan pesantren Tebuireng. Abdurrahrnan Wahid, sebagai putra sulung dari seorang putra sulung yang diharapkan akan menjadi pemimpin Tebuireng, ter- nyata tidak pernah memegang kewenangan tersebut. Setelah kem- bali dari Timur Tengah pada 1971, dia selama beberapa tahun menjadi sekretaris pesantren dan mengajar para santri yang lebih tua. Mereka yang pernah diajarnya mengenangnya sebagai pela- jaran yang tidak konvensional sebagaimana biasanya. Dalam wak- tu singkat, dia terlibat masalah dengan pamannya dan para peme- gang kewenangan lainnya di pesantren ini, dan nampaknya dengan sangat senang hati pindah ke Jakarta ketika dia diminta mengkoor- dinir proyek-proyek pengembangan masyarakat yang berbasis di pesantren. Di sini pun, dia seringkali bersimpang jalan dengan pa- mannya, Jusuf Hasyim; keduanya memegang jabatan di PBNU, dan sama-sama terlibat dalam berbagai aktifitas pengembangan masyarakat. Pada 1980-an, hubungan mereka memburuk menjadi pertengkaran terbuka. Sampai pemilu 1987, Tebuireng senantiasa menjadi pendu- kung setia PPP. Pada masa pemilu, para kiai Tebuireng biasanya mengeluarkan fatwa yang mewajibkan pengikut mereka memberi- kan suara kepada partai ini, sebagaimana yang sebelumnya mereka untuk NU. Ketika Kiai Musta'in Romli dari Rejoso mulai mendukung Golkar secara terbuka, para kiai Tebuireng berdiri di depan dalam usaha meruntuhkan wibawa Kiai Musta'in. (Akan dibicarakan di bawah). Karim Hasjim, yang sebelumnya juga per- nah mendukung Golkar secara terbuka, tidak pernah dihukum de- ngan cara yang sama, walaupun kemudian dia tidak memegang ja- batan apa-apa di NU dan meninggalkan pesantren. Tiga tokoh Tebuireng (Jusuf Hasjim, Moechammad Baidlowi dan Syansuri Badawi) memainkan peranan penting di PPP. Yusuf Hasjim adalah anggota DPR selama dua periode pertama orde Baru(1971-1982), dan menjadi salah seorang politisi oposisional paling vokal. Karier politik Moecbammad Baidlowi dimulai lebih awal lagi, sebagai anggota DPRGR dari 1966-1972. Pada 1974 dia menggantikan seorang anggota DPR yang meninggal dunia, dari pada 1982 dia kembali terpilih menjadi anggota MPR. Jika tidak karena paman- nya, Moechammad mempunyai hubungan baik dengan Naro, yang menjanjikannya akan terpilih sebagai wakil ketua PPP pada muktamar 1984. Kiai Syansuri Badawi sejak 1977 telah menjadi anggota DPRD II. Dengan para pemimpin semacam ini, Tebu- ireng jelas merupakan pesantren yang sangat terlibat dalam kegiat- an-kegiatan politik.17 Jusuf Hasjim adalah korban paling menyo- lok dari "pembersihan" yang dilakukan Naro pada 1982. Nama- nya dipindahkan dari urutan pertama ke urutan ke-32 (yang tidak mungkin terpilih) dalam daftar calon dari Jawa Timur. Walaupun dia dengan setia berkampanye untuk PPP pada tahun itu, dia se- gera mendukung keluamya NU secara formal dari PPP selama partai ini masih berada di bawah kendali Naro. Ini membuatnya, paling tidak dalam soal ini, beraliansi dengan kemenakannya Ab- durrahman Wahid dan kawan-kawan, yang berkeyakinan bahwa politik praktis telah mengalihkan banyak energi dan perhatian dari berbagai aktifitas akar rumput yang lebih penting. (Kelompok ini, berbeda dengan Jusuf Hasjim, berhati-hati agar tidak membuat marah penguasa.) Namun, dua politisi Tebuireng lainnya, Moechammad Baidlo- wi dan Kiai Syansuri, benar-benar menentang keluamya NU dari PPP. Moechammad Baidlowi adalah salah seorang pendukung utama faksi Cipete dan pengagum berat Idham Chalid. Paling ti- dak sebagian karena tekanan Moechammadlah sehingga Idham mencabut kembali pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum PB- NU, dan Moechammad pula yang sampai akhir 1983 tetap memo- bilisasi cabang-cabang luar Jawa untuk mendukung Idham. Satu dasawarsa setelah Muktamar Situbondo, Moechammad masih me- ngejek gagasan kembali ke Khittah 151-16: "Apa yang mereka mak- sudkan, kembali ke masa di mana kita memakai celana dan dasi hukumnya haram? Ketika bepergian dengan berjalan kaki, bukan naik mobil?" Dengan mengutip mertuanya, Kiai Wahab Chas- bullah, dia menegaskan terjun ke dunia politik tidak pernah me- rupakan penyimpangan bagi NU. Sebaliknya, kepada politiklah NU telah berhutang budi atas kemajuannya. Ketika NU menjadi partai politik, jumlah cabang NU berlipatganda dengan cepat, di- dirikan oleh orang·orang yang memiliki ambisi politik yang me- merlukan sebuah partai.18 Kiai Syansuri juga menentans penarikan diri dari politik seba- gai pengkhianatan terhadap berbagai kepentingan umat; pada ta- hun berikutnya dia secara nasional menjadi pembela paling vokal agar NU tetap ikut serta dalam politik. Sikap ini selintas agak me- ngejutkan karena Kiai Syarrruri adalah salah seorang yang dipilih Kiai As'ad sebagai anggota ahlul halli wal oqdi, dan karena itu dalam pandangan publik dia dianggap berperan aktif dalam me lahirkan keputusan Situbondo.19 Setelah muktamar Situbondo, NU cabang Jombang terbelah menjadi faksi "khittah" dan faksi "non-khittah". Pada 1985, PB NU mengirim instruksi ke cabang Jombang, sebagaimana juga ke- pada semua cabang lainnya, bahwa orang-orang yang memegang jabatan di PPP harus mengundurkan diri dari kepengurusan NU. Sebagai kelanjutannya, Kiai Shohib Bisri (putra Kiai Bisri Syan- suri, dan pemimpin pesantren Denanyar) diminta oleh pengurus wilayah untuk menyusun pengurus cabang baru tanpa ada orang yang merangkap jabatan (dengan kata lain, tanpa Moechammad dan Syansuri Badawi). Namun, sebelum pengurus "khittah" baru ini ditetapkan, Moechammad Baidlowi sudah mengantongi kepe- ngurusan alternatif yang dipilih melalui rapat cabang, pengurus non-khittah. Ketuanya adalah Kiai Syansuri, Moechammad sendiri menjadi mustasyar. Kiai Adlan Aly -yang difigurkan sebagai mustasyar dalam daftar pengurus yang disusun kedua faksi- se- mula tagu-ragu, tetapi kemudian memilih bergabung dalam kepe- ngurusan yang beraliansi dengan PPP. Pemerintah daerah menun jukkan sikap yang sangat tegas bahwa mereka hanya mengakui pengurus "khittah", dan menekan faksi non-khittah agar membu- barkan kepengunrsan mereka.20 Peristiwa-peristiwa ini dan pemilu 1987 menyebabkan pembelahan tajam dalam kepemimpinan Tebuireng. Jusuf Hasjim tidak berusaha menyembunyikan penghinaannya terhadap kepengurusan PPP dan aktif melakukan penggembosan PPP. Kiai Syansuri Ba- dawi berada dalam konflik kesetiaan. PPP, dalam rangka mem- perkecil kerugiannya, menempatkan Kiai Syansuri pada urutan pertama daftar calon anggota DPR, tetapi untuk menaati Jusuf Ha- sjim dia menarik pencalonan tersebut. Namun, di bawah tekanan Moechammad Baidlowi dan politisi kawakan, Imron Rosjadi, dia kemudian menerima kembali pencalonannya dan aktif berkampa- nye untuk partai ini. Pada masa ini, dia mendapatkan banyak liput- an pers nasional sebagai pendukung PPP paling vokal dan peng- kritik penggembosan. Karena alasan ini, Jusuf Hasjim memecat- nya dari posisi pimpinan di pesantren.21 Moechammad Baidlowi juga ditempatkan di urutan atas dalam daftar calon PPP dan terpilih menjadi anggota DPR -banyak orang percaya bahwa dia dicalonkan karena keberhasilannya menarik dukungan dari Kiai Syansuri. Namun, walaupun Kiai Syansuri sudah berusaha keras, PPP mengalami penurunan tajam di Jombang. Sementara pada pemilu 1977 dan 1982 PPP meraup 40 % suara di sana, persentase ini menurun menjadi 25 % pada 1987.22 Kiai Syansuri kembali memainkan peranan sentral dalam stra- tegi PPP meraih kembali dukungan suara dari dunia pesantren pa- da pemilu 1992. Dia dijadikan calon nomor satu dalam daftar ca- lon untuk Jawa Timur (Namun, Moechammad Baidlowi diletak- kan di posisi yang tak mungkin terpilih, mungkin karena dia ter- lalu dekat berhubungan dengan Naro, yang sudah dicampakkan pada muktamar PPP 1989). Walaupun kali ini Kiai Syanruri tidak ikut aktif dalam kampanye, partai ini dapat mengembalikan cukup banyak pendukungnya. BLOK KEKUATAN DI TUBUH NU: TAREKAT Setelah cabang NU Jombang "non-khittah" dimarginalisasi- kan, Kiai Syansuri Badawi, dengan Moechammad Baidlowi yang secara sembunyi-sembunyi berperan di belakangannya, mengalih- kan tenaganya dari NU ke organisasi tarekat yang berafiliasi de- ngan NU, Jam'jah Ahl Al-Thariqah AI-Mu'tabarah Al-Nahdli- yah. Berbagai aliran tarekat sudah lama hadir di Indonesia; namun sekarang mengalami kebangkitan kembali di Indonesia dan juga di dunia Islam lainnya lihat van Bruinessen 1994b). Jam'iyah ini, sebagai organisasi payung para guru tarekat yang berafiliasi de- ngan NU, merupakan saudara terpenting NU, dan tentu saja sa- ngat berpengaruh Sebagaimana akan kita lihat, organisasi tarekat yang umumnya dianggap berorientasi kepada kehidupan akhirat ini menjadi benteng terakhir politisi NU yang berafiliasi dengan PPP. Istilah tarekat (Arab: thariqah, "jalan") digunakan untuk me- nyebut baik serangkaian amalan mistik tertentu maupun organisasi orang-orang yang mengamalkan disiplin spiritual ini di bawah bimbingan seorang guru. Amalan-amalannya terdiri dari membaca berbagai bacaan (dzikir, wirid, ratib, wazifah) dan menjalankan berbagai teknik meditasi, kadang-kadang juga khalwat. Tarekat- tarekat penting berasal dari Timur Tengah atau India dan mempu- nyai jama'ah pengikut di banyak pelasok dunia Muslim. Orang harus mempelajari amalan-amalan sebuah tarekat melalui bimbing- an seorang guru yang berwenang (Syaikh, khalifah, muqaddam) setelah melalui ritual pembai'atan (bai'at, ikrar kesetiaan) seder- hana. Orang bisa saja menerima pembai'atan menjadi penganut sebuah tarekat tanpa terus ikut serta dalam berbagai aktifitas ja- ma'ahnya, dan di Indonesia ada banyak orang yang mengikuti ta- rekat sebagai disiplin yang semata-mata bersifat individual, Na- mun, pada umumnya orang tetap berhubungan secara teratur de- ngan syaikh atau wakilnya dan ikut serta secara teratur dalam ke- giatan-kegiatan jama` ah. Tarekat yang lebih besar (Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Tijaniyah) telah membangun ja- ringan pengikut yang besar di indonesia. Sebagian kiai tarekat mempunyai sampai puluhan ribu murid; mereka memelihara hu- bungan dengan para penganut melalui hirarki wakil-wakilnya. Gu- ru tarekat dipercaya sebagai perantara (wasilah) antara murid de- ngan Nabi atau Tuhan; bahkan mereka dapat memberikan bim- bingan bagi ruh muridnya, walaupun tanpa perjumpaan fisik. Ka rena itu, wibawanya jauh melebihi kewenangan guru biasa. Para guru tarekat cenderung mempunyai murid lebih banyak daripada kiai lainnya, dan para pengikut ini cenderung jauh lebih taat. Be- berapa kiai baru-baru ini mulai mengembangkan tarekat tertentu untuk memperkuat pengaruh mereka, Di samping tarekat internasional yang besar, di Indonesia juga terdapat banyak sekfe mistik Ideal (dengan ajaran-ajaran sinkre- tisnya) yang menyerupai tarekat. Jam'iyatt Ahl al-Thariqah Al- Mu'tabarah didirikan pada 1957 oleh para kiai tarekat Jawa yang ingin secara jelas membedakan diri mereka dari berbagai sekte yang lebih sinkretis dan menegaskan bahwa akidah dan amalan mereka sendirilah (yang juga sedang menghadapi serangan kalang- an pembaru) yang mu'tabar (ortodoks). Nama organisasi ini men- cerminkan maksud apologetisnya (Arab: mu'tabar, "dapat diper- caya").23 Organisasi ini kemudian berkembang menjadi blok yang berpengaruh di dalam NU. Ketika Golkar mulai mencari pendukung di kalangan komuni- tas Muslim pada 1970-an, partai ini memberikan perhatian khusus kepada para guru tarekat, yang diketahui mempunyai pengikut yang banyak dan taat. Salah seorang guru tarekat yang bersedia bekerjasama pada waktu itu adalah Kiai Musta'in Romli dari Re- joso, Jombang. Pada 1957, dia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pemimpin pesantren dan jaringan tarekat (Qadiriyah wa Naqsyabandiyah) yang menyebar di seluruh wilayah Jawa Timur. Para pengikutnya terdiri dari puluhan ribu orang desa, yang terga- bung dalam ratusan kelompok lokal yang secara teratur berkumpul untuk menjalankan amalan spiritual di bawah pimpinan seorang badal (wakil) Kiai Musta'in dan kadangkala juga dikunjungi oleh Kiai Musta'in sendiri atau salah seorang khalifahnya. Di antara para pengikutnya kita juga menemukan orang-orang yang berpen- didikan umum atau agama yang tinggi, dan beberapa ulama sudah menjadi badalnya (atau badal ayahnya) -di antaranya Kiai Adlan Aly. Dia pernah menjabat sebentar sebagai ketua NU cabang Jom- bang pada 1960-an, tetapi sebelum itu pun dia sudah mulai mem- punyai hubungan dengan kalangan politisi dan militer di Jakarta, yang pada 1963 memberikan bantuan yang murah hati untuk ren- cananya mendirikan sebuah universitas di Jombang -beberapa ta- hun sebelum Tebuireng mendirikan Universitas Hasjim Asj'ari. Setelah transisi ke Orde Baru, Kiai Musta'in memelihara hubung- an dengan kalangan penguasa politik Jakarta dan secara perlahan terseret semakin dekat ke Golkar, dan akhirnya benar-benar ber- gabung pada 1973. Ketika itu, dia juga menjalankan berbagai upaya untuk meng- hidupkan kembali Jam'iyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu`tabarah, -di- mana dia menjadi tokoh terkemukanya Pada 1975, Jam'iyah ini mengadakan kongres di Madiun, dihadiri oleh banyak guru tarekat berpengaruh di Jawa Timur dan Tengah, dan Kiai Musta'in dipi- lih sebagai ketua. Hubungan Kiai Musta'in dengan Golkar, yang sudah menimbulkan banyak pergesekan di Jombang, pastilah su- dah diketahui para koleganya, tetapi mereka tidak menghalangi pe- milihan dirinya sebagai ketua. Namun, segalanya berubah ketika Kiai Musta'in terlibat aktif dalam kampanye Golkar menjelang pemilu 1997. Ini berarti bahwa dia, sebagai ketua organisasi yang berafilisai ke NU, berkampanye melawan PPP, partai yang didu- kung NU. Dalam pandangan sebagian aktifis PPP, tindakan ini adalah pengkhianatan, dan diputuskan menghukum Kiai Musta'in. Tindakan hukuman terhadap Kiai Musta'in kelihatannya di- prakarsai oleh politisi penting PPP di Jombang, Moechammad Baidlowi (yang masih mempunyai hubungan perkawinan dengan Kiai Mustalin: isteri mereka bersaudara). Moechammad mulai mengorganisir sebuah organisasi tarekat alternatif tanpa Kiai Mus- ta'in, dan menggaet badal Kiai Musta`in pindah ke organisasi ba- ru ini. Peranan tulang punggung dalam usaha ini dimainkan oleh dua orang badal Kiai Musta'in: Kiai Adlan Aly dan Kiai Makky Ma'shum bersama-sama dengan Kiai Syansuri Badawi. Dua orang yang terakhir cukup senang membantu Moechammad, ka- rena mereka baru saja dipilih menjadi anggota DPRD II setempat berkat dukungan Moechammad yang menempatkan nama mereka di urutan cukup tinggi di dalam daftar calon PPP. Moechammad juga mendapatkan dukungan dari banyak orang lainnya, termasuk kerabat Kiai Musta'in. Namun, tidak seorang pun di antara para murid Kiai Musta'in Yang pertama ini yang pernah mencapai status sebagai seorang khalifah, sehingga mereka tidak dapat benar-benar menyatakan di- ri sebagai pengganti Kiai Musta'in. Problem ini dipecahkan oleh syaikh lain dari tarekat yang sama, Kiai Muslikh dari Mranggen, Jawa Tengah, yang tetap menjadi pendukung setia PPP. Dia memberikan kepada Kiai Adlan Aly pendidikan yang diperlukan dan menunjuknya sebagai seorang khalifah, yang berhak mem- bai'at murid-murid baru dan menunjuk badalnya sendiri. Dalam waktu singkat, mayoritas badal Kiai Musta'in, terutama mereka yang pernah belajar di Tebuireng, memindahkan kesetiaan mereka kepada Kiai Adlan Aly. 24 Tindakan menentang Kiai Musta'in, yang semula merupakan penentangan lokal di Jombang, mencapai klimaksnya pada saat muktamar NU tahun 1979 di Semarang. Di sela-sela acara mukta- mar tersebut, kebanyakan kiai tarekat yang hadir pada kongres Jam'iyah di Madiun berkumpul kembali dan memiiih pengurus baru. Mereka mengaku mewakili Jam'iyah yang sama tetapi menambah namanya dengan kata "Al-Nahdliyah" untuk menunjukkan bahwa jam`iyah ini berinduk ke NU. Di sini Kiai Adlan Aly dipi- lih sebagai wakil presiden; Kiai Syansuri Badawi muncul pada po- sisi lainnya. Idham Chalid (dengan siapa Moechammad Baidlowi mempunyai hubungan dekat) juga diberi jabatan kehor- matan dalam kepengurusan ini sebagai ketua. Sejak saat itu ada dua Jam'iyah Ahl Al-'Thariqah. Beberapa ulama memelihara hu- bungan dengan keduanya, tetapi Jam'iyah Kiai Musta'in Romli berangsur-angsur semakin tidak bergigi. Jam'iyah "Nahdliyah" je- las lebih besar dan dapat mempertahankan kesetiaan kebanyakan kiai tarekat. Kongres Jam`iyah berikutnya, yang diadakan beberapa hari sebelum muktamar NU di Situbondo, ditandai dengan konflik yang lain. Sejumlah utusan menginginkan kongres mencoret tare- kat Tijaniyah dari daftar tarekat yang mu'tabarah karena sebagian ajarannya, menurut pandangan mereka, sesat.25 Tarekat Tijaniyah pada tahun tahun sebelumnya telah mengalami perkembangan ce- pat di Jawa bagian Timur, terutama di kalangan orang-orang Ma- dura yang berada di wilayah Pasuruan-Probolinggo. Hal ini telah menyebabkan menurunnya pengikut beberapa kiai lainnya, karena tarekat ini tidak menerima kesetiaan ganda. Konflik-konflik yang terjadi nampaknya lebih banyak disebabkan oleh persaingan antar kiai untuk mendapatkan pengikut daripada perhatian yang serius atas berbagai ajaran Tijaniyah. Tokoh utama pertama yang teriibat dalam konflik ini adalah Kiai Badri dari Krakrasan dan Kiai Hasan Syaifurrijal dari Geng- gong, keduanya di wilayah Probolinggo. Kiai Badri adalah se- orang penyebar tarekat Tijaniyah yang bersemangat dan berhasil, sementara Kiai Hasan -pengajar tarekat lain, Naqsyabandiyah- Alawiyah-- adalah korban utamanya, yang kehilangan banyak pengikut. Kiai Hasan memperoleh dukungan Kiai As'ad Syamsul Arifin, yang melakukan serangan terbuka dengan menerbitkan kembali sebuah risalah lama yang anti-Tijaniyah. Serangan dibawa ke kongres Jam'iyah pada 1984, dimana para penentang Tijaniyah terwakili dengan baik, sementara kiai Tijaniyah sendiri bahkan ti- dak diundang (Mereka tidak pernah menunjukkan minat besar ter- hadap kongres pada masa sebelumnya). Walaupun kongres ini ti- dak berhasil mengambil keputusan yang tegas tentang posisi tare- kat Tijaniyah, perdebatan di sini telah memperburuk hubungan an- tara tarekat ini dengan para penentangnya di Jawa Timur. Menarik dicatat, kedua tokoh yang terlibat pertentangan yang paling sengit, Kiai Badri dan Kiai As'ad, sebenarnya adalah kera- bat dekat: Kiai As'ad adalah paman Kiai Badri. Ini mengingatkan kepada bagaimana Moechammad BaidIowi dari Jombang, ketika dia mulai menyerang Kiai Musta'in, dengan yakin merekrut dua orang kerabat Kiai Musta'in menjadi pendukungnya; dan statemen awal pembentukan jam'iyah altetnatif ditanda tangani mereka ber- tiga tanpa melibatkan orang lain secara aksplisit. Ikatan keluarga paparnya kepada saya, adalah jaminan agar konflik tidak akan menjadi tidak terkendalikan. 26 ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ 1. Hampir separoh dari suara NU untuk seluruh Indonesia diperoleh di Jawa Timur, Jawa Tengah berhasil mencapai separuhnya. Orang Banjar dan Mandailing (dari Kalimantan Selatan dan Tapanuli Selatan memberikan dukungan kuat bagi NU, tetapi menurut angka mutlaknya tidak besar. 2. Ini tidak untuk mengatakan bahwa semua kiai Sunda meninggalkan organisasi ini. Wilayah Cirebon, yang secara geografis dan merupakan perbatasan Jawa-Sunda, tetap merupakan benteng pertahanan NU. Anwar Musaddad (orang Sunda) dari Bandung menjadi wakil Rois Aam di bawah Kiai Bisri Syansuri (tetapi tidak diijinkan menjadi penggantinya, sebagaimana telah kita lihat dalam bab terdahulu). Sekarang ini, kiai Sunda yang sangat berpengaruh dalam NU adalah Kiai Ilyas Ruchiyat dari Singaparna, tasikmalaya. Setelah wafatnya Kiai Achmad Siddiq, Munas NU pada Februari 1992 memilihnya, yang mengejutkan semua arang- sebagai pemegang jabatan Rois Aam. 3. Namun, Idham Chalid merupakan kasus tersendiri. Dia meniti karier sebagai politisi, tetapi memiliki latar belakang pendidikan pesantren (namun bukan pesantren NU tetapi di Pondok Pesantren Modern Gontor), dan dia tahu bagaimana memikat para kiai Jawa dengan pengetahuan agamanya. 4. Chalid Mawardi, yang berasal dari Jawa Tengah, merupakan perkecualian yang paling menyolok. 5. Keluarga Tebuireng misalnya, mengaku sebagai keturunan dari penguasa kerajaan Islam Jawa Tengah, Pajang, abad ke-16, Joko Tingkir (Aboebakar 1957: 41-2). Kiai As`ad Syamsul Arifin menggunakan gelar Raden, yang menunjukkan (pengakuan) bahwa dirinya adalah keturunan dari raja Bangkalan atau Sumenep pada masa yang lebih belakangan (tentang makna gelar ini lihat van den Berg 1887: 40). Perkawinan antara keluarga bangsawan Jawa dan ulama terkemuka tampaknya sangat umum terjadi paling tidak sampai akhir abad ke-19. 6. Ikatan keluarga dan guru-murid antara sejumlah keluarga elite ini dideskripsikan oleh Dhofir (1980b dan 1981: 61-99). 7. Istilah ini berubah-ubah dalam perjalanan waktu; semua pimpinan disebut "Rois", tetapi kemudian Kiai Hasjim Asj'ari dikenang dengan sebutan "Rois Akbar" (Pimpinan Tertinggi), sementara para penggantinya diberi gelar "Rois Aam" (Ketua Umum). Pemisahan kepengurusan menjadi pengurus eksekutif (Tanfidziyah) yang dipimpin oleh Ketua Umum dan Dewan Ulama (Syuriyah) yang dipimpin oleh Rois Aam terjadi ketika NU menjadi partai politik. 8. Biografi-biografi kiai ini: Akarhanaf 1950, Aboebakar 1957:61-119, Salam 1963 dan Soekadri 1979/1980; Zuhri 1972; Masyhuri 1983b dan Wahid t.t. 9. Peristiwa ini dibicarakan secara singkat di bawah, pada bagian yang berkaitan dengan tarekat. 10. Pesannya memang sangat tidak langsung: As'ad disuruh menyerahkan kepada Kiai Hasjim Asj'ari sebuah tongkat dan sebagai penjelasannya dia manbacakan kepadanya ayat-ayat Al-Qur'an yang menceritakan kemukjizatan Nabi Musa dan tongkatnya. Untuk: versi cerita yang lebih rinci, lihat Yusuf et. al. 1983:78-81; Anam 1985 :66-7. Sinansari Ecip 1989: 3-5. Cerita ini muncul untuk pertama kalinya, setahu saya, dalam sebuah artikel pada tahun 1982 yang ditulis Choirul Anam (Merdeka, 7 Agustus 1982). Kiai As'ad sendiri adalah sumber tunggalnya, dan pengakuannya bahwa pesan simbolik ini telah memberikan dorongan atas berdirinya NU tidak pernah dibantah. Para wartawan yang menyebarkan cerita ini termasuk kelompok pendukung Abdurrahman Wahid dan mungkin mempunyai kepentingan untuk menaikkan reputasi Kiai As'ad pada saat itu. 11. Sidney Jones (1984), seorang pengamat yang cerdas dan berpengetahuan luas, menyebutkan empat kelompok yang terlibat: Para politisi Jakarta yang berada di sekitar Idham, Politisi wilayah dengan Jusuf Hasjim sebagai tokoh radikalnya, Kiai Senior dan kelompok progressif yang berminat kepada upaya pengembangan masyarakat (community development). 12. Berbagai langkah dalam pembaruan pendidikan di pesantren Tebuireng dideskripsikan secara lebih terperinci dalam Aboebakar 1957: 77-101. Lihat juga Dhofier 1982: 100-22; Soekadri 1979/1980: 41-46. 13. Fiqh Syafi'i mengakui delapan kategori orang yang berhak menerima zakat (mustahiq), salah satunya adalah ulama. Kiai biasanya juga mendapatkan bagian karena dia bertugas sebagai amil (administrator) zakat dan fitrah. Redistribusi zakat ini biasanya diserahkan kepada kebijaksanaannya. 14. Saya mendengar ungkapan ini untuk pertama kalinya digunakan oleh M. Dawam Rahardjo. Menurut Jusuf Hasjim, konflik saudaranya dengan Kiai Wahab lebih bersifat pribadi daripada politis, tetapi dia juga memberikan kepeda saya beberapa contoh dari hubungan akrab Kholiq dengan Masyumi. Jusuf sendiri juga sangat dihormati di kalangan Masyumi. 15. Laporan lebih rinci tentang struktur kewenangan di Tebuireng diberikan oleh Dhofier 1982: 100-126 dan Sulistyo 1983. Ada beberapa perbedaan kecil antara informasi yang mereka berikan dengan apa yang diberikan ketika saya berkunjung ke Tebuireng pada bulan Juni 1992. Seblak dan Cukir adalah pesantren "saudara perempuan" Tebuireng, yang secara administratif indepeden, tetapi dengan beberapa perangkapan staf pengajarnya. 16. Ketika Kiai Musta'in Romli dari Rejoso berkampanye untuk Golkar pada pemilu 1977, banyak pengikutnya yang meninggalkannya dan menjadi pengikut Kiai Adlan Aly. Moechammad Baidlowi memainkan peranan penting dalam merekayasa penyebarangan massal ini. Lihat bab berikutnya. 17. Indikasi lain dari orientasi politik Tebuireng adalah banyaknya alumninya yang terjun ke politik. Pada pemilu 1971, sebagaimana dengan bangga diceritakan Jusuf Hasjm kepada saya, tidak kurang dari 29 alumni Tebuireng yang terpilih menjadi anggota DPR, melalui berbagai partai (Wawancara, 30 Sebtember 1992). 18. Wawancara dengan Moechammad Baidbwi, Jombang, 15 Juli 1993 19. Ahlul hall wal aqdi pd muktamar Situbondo sebenarnya tidak berhubungan apa-apa dengan keputusan Situbondo; satu-satunya peranan mereka adalah memilih pengurus baru. Kiai Syansuri belakangan bahkan mengaku bahwa dia tidak pernah memiliki kesan bahwa keputusan muktamar kembali ke khittah berarti memutuskan hubungan dengan PPP (wawancara, Jakarta 14 Desenber 1993). 20. kejadian-kejadian ini dideskripksikan secara agak rinci dalam Mochtar 1989:154-6. Menurut Moechammad Baidlowi, kepengurusannya diminta dibubarkan oleh komando militer setempat (wawancara, 15 Juli 1993). 21. Kiai Syansuri dipecat dari jabatannya sebagai kepala Madrasah Aliyah dan tidak diperbolehkan lagi mengajar secara tetap di sana Namun, dia tetap menjabat sebegai rektor Universitas Hasjim Asj`ari, yang punya hubungan tidak sangat mengikat dengan pesantren Tebuireng, dan setiap bulan puasa dia kembali ke pesantren untuk -sebagaimana biasanya- memberikan pelajaran ekstrakurikuler dalam pengajian hadits yang banyak diminati. 22. Mochtar 1989: 156. Namun, statistik ini tidak dapat dijadikan indikasi kekuatan relatif dari faksi pro- dan anti-khittah di Jombang. Kebanyakan pemilih PPP di Jombang, memang berlatar belakang NU; di sana hanya ada beberapa daerah kantong kecil pendukung (mantan) Masyumi. Kehilangan suara 15 % hanya mewakili sebagian suara kelompok pro-khittah; tidak diragukan lagi ada juga para pendukung Khittah yang memilih PPP. 23. Kriteria "kemu'tabarannya" sebagaimana didefinisikan oleh jam'iyah ini adalah sesuai dengan akidah ahlus sunnah wal jama'ah dan adanya silsilah yang menghubungkannya sampai kepada Nabi tanpa terputus (bdk van Bruinessen 1994b). 24. Ada berbagai deskripsi tentang kejadian-kejadian ini: Dhofier 1980a: 279-90; Lombard 1985: 154-7; Mochtar 1989: 144-149; van Bruinessen 1984c: 180-181. Semuanya masih fragmentaris dan apa yang tejadi pada tingkat akar rumput masih memerlukan analisis. 25. Tarekat Tijaniyah mengaku bahwa pendirinya, Ahmad al-Tijany (w.1815) menerima pelajaran langsung dari Nabi, bukan melalui mimpi atau perjumpaan batin tetapi dalam keadaan biasa. Mereka mengajarkan bahwa membaca wirid mereka memberikan pahala yang lebih besar daripada membaca Al-Qur'an, dan semua pengikut setianya akan masuk sorga. Mereka melarang pengikutnya mengikuti tarekat lain atau menziarahi makam suci lain, yang mnyebabkan mereka, dalam banyak kasus, memutuskan hubungan dengan guru terdahulu. Lihat juga Abdurrahman 1988 (1990b) dan van Bruinessen 1991b. 26. Wawancara, Jombang, 15 Juli 1993.