Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai masalah khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum tradisionalis ke kongres Kairo. Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agus- tus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri Kongres Mek- kah. Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Mekkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rejim Sa'udi yang baru ber- kuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sare- kat Islam dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hu- bungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan. Tidak satupun dari kedua kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridla, adalah salah seorang pe- nyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia memu- tuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis Indonesia merasa khawatir. Bagaima- napun juga, Ibn Sa'ud dan pengikutnya adalah kaum Wahabi, pe- ngikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi meng- hancurkan banyak makam di dalam dan sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktek keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat kepada prak- tek-praktek keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penakluk- an atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang mencemaskan. Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kong- res Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridla di dalamnya. Secara doktrinal, Muhammadiyah lebih dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan wahabi. Namun, pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan raja Fu'ad da- lam kongres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Ing- gris untuk menguasai Dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia, demi alasan politik, hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibn Sa'ud. Kaum tradisonalis juga memi- lih Kongres Mekkah, walaupun dengan alasan yang berbeda: ke- dudukan Hijaz merupakan masalah yang lebih penting daripada se- mua permasalaban khilafah. Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indo- nesia ke Kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibn Sa'ud bahwa dia akan menghormati mazhab-mazhab fiqh ortodoks dan mem- bolehkan berbagai praktek keagamaan tradisional. Ini adalah ma- salah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah -di mana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar- sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi kiai biasanya menghabiskan waktu bebe- rapa tahun untuk menuntut ilmu di sana.17 Akan merupakan pu- kulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika ajaran fiqh Syafi`i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarang- an terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di da- lam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum Muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman- pengalaman keagamaan yang penting. Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa'ud agar melindungi praktek-praktek tradisional yang ti- dak mereka setujui tersebut. Tentu saja, hal ini semakin memper- buruk ketegangan antara kaum Muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itupun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kongres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis ti- dak mendapat kesempatan.18 Hanya dua orang utusan yang ditun- juk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah).19 Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pem- baru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.20 Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan: jika Kongres Al-Islam tidak man menekan Ibn Sa'ud, mereka ha- rus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab Chasbullah, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kong- res Al-Islam, mendorong para kiai terkemuka Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan ma- salah mazhab dengan Ibn Sa'ud. Untuk tujuan ini, mereka mem- bentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini me mutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggu- nakan nama Nahdlatoel 'Oelama. Pada masa beberapa tahun awal kehadirannya, pertimbangan mengenai status Hijaz nampaknya te- tap merupakan alasan tunggal kehadirannya.21 KIAI ABDUL WAHAB: SANG PENGGERAK Walaupun sejak awal Kiai Hasjim Asj`ari duduk sebagai pim- pinan dan tokoh agama terkemuka di dalam Nahdlatul Ulama, na- mun tidak diragukan lagi bahwa penggerak di belakangnya adalah Kiai Wahab Chasbullah, yang lebih muda hampir dua dasawarsa. Kiai Wahab adalah pengorganisir yang bersemangat, dan penin- jauan singkat terhadap berbagai kegiatannya sebelum pembentukan NU menunjukkan, paling tidak bagi dirinya sendiri, bahwa NU le- bih dari sekadar usaha mempertahankan tradisi dari serangan kaum modernis dan reformis. Ketika dia sedang belajar di Mekkah pada usia dua puluhan ta- hun, Wahab mendengar kabar tentang Sarekat Islam, organisasi politik Islam pertama di Indonesia, dan dia kemudian mendirikan cabang organisasi ini di Mekkah. Setelah kepulangannya ke Indo- nesia pada 1914 dia menetap di Surabaya dan juga aktif di Sarekat Islam. Pada 1916 dia bergabung dengan Mas Mansoer, yang per- nah belajar ilmu agama di Kairo dan kelak menjadi aktifis Mu- hammadiyah. Mereka bersama-sama mendirikan sebuah sekolah Islam (bukan pesantren atau madrasah!) yang diberi nama Nah- dlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), sebuah lembaga pendi- dikan yang bercorak nasionalis moderat.22 Cabang-cabang lemba- ga pendidikan ini dengan nama-nama yang sama patriotiknya, ke- mudian didirikan di berbagai kota di Jawa Timur dan Jawa Te- ngah. Pada awal 1920-an, Kiai Wahab juga membentuk organisa- si pemuda Muslim, Sjubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Se- buah organisasi yang sangat berbeda sifatnya yang didirikannya pada 1918 adalah sebuah koperasi pedagang (banyak di antaranya juga kiai) yang diberi nama Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan para Pedagang). Dari sebuah kelompok diskusi tentang masalah-ma- salah yang murni agama, yang dia organisir bersama dengan bebe- rapa ulama tradisional di Surabaya, lahir -pada tahun 1919- ma- drasah yang bernama Tashwirul Afkar.23 Pemimpin formal per- himpunan ini adalah KH Ahmad Dachlan.24 Dengan demikian, sampai awal 1920-an Kiai Wahab masih aktif dalam berbagai lingkungan sosial dan intelektual sekaligus: Sarekat Islam-nya Tjokroaminoto dengan para aktifis politiknya, para patriot dan pembaru pendidikan Nahdlatul Wathan dan kaum tradisionalis Tashwirul Afkar. Sekitar 1920, kaum pembaru Mu- hammadiyah semakin aktif di Surabaya dan merekrut kawan Kiai Wahab, Mas Mansoer. Sejak saat itu, keduanya mempunyai seko- lah dan organisasi pemuda masing-masing. Konflik antara kaum pembaru dan tradisionalis sering terjadi, dan mungkin diperburuk oleh perselisihan di antara mereka yang dulu berteman. Sejak saat itulah Kiai Wahab semakin mengidentifikasi dirinya dengan Islam tradisional. Sebagaimana telah kita lihat, dia adalah juru bicara Is- lam tradisional terkemuka dalam Kongres-kongres Al-Islam. Pada 1924, untuk pertama kalinya dia mengusulkan kepada kerabat dan gurunya, Kiai Hasjim Asj'ari, agar mendirikan sebu- ah organisasi yang mewakili kepentingan-kepentingan dunia pe- santren. Ini terjadi setelah Kongres Al-Islam yang pertama, di ma- na sikap kaum tradisionalis yang bergantung kepada pendapat ula- ma besar masa lain (taqlid) banyak mendapatkan kritik. Kiai Wa- hab tentu saja sudah punya Tashwirul Afkar, tetapi perhimpunan ini sangat belum dapat dikatakan sebagai sebuah organisasi. Ba- nyak kiai yang enggan ikut dalam perhimpunan itu, karena belum pernah ada dalam tradisi Muslim Jawa. Untuk membujuk para kiai yang lebih berpengaruh, Kiai Wahab memerlukan dukungan mo- ral dari orang yang lebih berwibawa secara keagamaan. Kiai Ha- sjim Asj'ari, pendiri pesantren Tebuireng, pada waktu itu diakui umum sebagai kiai yang sangat dihormati di Jawa, dan tanpa du- kungannya jelas tidak mungkin berdiri sebuah organisasi kiai yang solid. Pada 1924, Kiai Hasjim tampaknya belum melihat perlunya mendirikan organisasi semacam itu dan tidak memberikan persetu- juannya. Namun, setelah penyerbuan Ibn Sa'ud atas Mekkah, dia berubah pikiran dan menyetujui perlunya dibentuk sebuah orga- nisasi baru. Dia kemudian menulis, sebagai pembukaan Anggar- an Dasar NU, sebuah risalah berbahasa Arab. Dalam risalah ini ia mengutip beberapa ayat Al-Qur'an yang menyerukan umat Islam bersatu dan ditutup dengan pernyataan bahwa pembentukan sebuah organisasi untuk membela Islam merupakan konskuensi logis dan perlu dari perintah-perintah Ilahi tersebut.25 BASIS SOSIAL NAHDLATUL ULAMA Rapat di rumah Kiai Wahab, yang kemudian dianggap sebagai rapat pembentukan NU, dipimpin oleh Kiai Hasjim sendiri. Keba- nyakan mereka yang hadir dalam rapat tersebut (termasuk Kiai Wahab) menganggap diri mereka murid Kiai Hasjim, karena per nah belajar di pesantren Tebuireng.26 Kebanyakan mereka juga adalah kawan-kawan Kiai Wahab dan terlibat bersama Tashwirul Afkar (KH Ahmad Dachlan), Nahdlatul Wathan (Mas Alwi Ab- dul Aziz, pengganti Mas Mansoer) atau Nahdlatut Tujjar. Nama Nahdlatul Ulama menunjukkan adanya hubungan dengan organi- sasi-organisasi yang lebih awal ini. Kita mendapatkan indikasi tentang basis sosial organisasi baru ini dari komposisi pengurus yang pertama (lihat Lampiran II). Akan tampak bahwa semua anggota pendiri mendapat tempat di dalam kepengurusan ini. Kepengurusan ini terdiri dari unsur ulama dan bukan-ulama, tetapi unsur ulamanya lebih dominan. Keba- nyakan ulama ini --tidak semuanya-- adalah kiai, yang memimpin pesantsen. Salah seorang di antara mereka (Syekh Ahmad Gha- na'im) adalah orang Mesir yang mengajar di Surabaya. Lebih dari separuh ulama (15 dari 27 orang) bertempat tinggal di Surabaya; sisanya berasal dari Jawa Timur, kecuali satu orang dari Madura, dari Jawa Tengah dan satu orang dari wilayah Cirebon. Semua pe- serta rapat yang bukan-ulama adalah orang Surabaya dan berpro- fesi sebagai usahawan kecil, kebanyakan adalah pedagang dan tuan tanah.27 Mereka yang bukan ulama diberi posisi di badan eksekutif (Tanfidziyah), sementara para ulama menjadi badan legislatif (Syu- riah). (Secara teoritis Tanfidziyah harus bertanggung jawab kepa- da Syuriyah). Kiai Hasjim Asj'ari menjabat sampai akhir hayat- nya, sebagai Ketua (Rois) Syuriah.28 Kiai Wahab semula menja- bat sebagai Sekretaris Syuriyah, tetapi segera mundur sedikit men- jadi penasehat (mustasyar), namun dalam prakteknya tetap menja- di kekuatan penggerak organisasi ini. Jika komposisi pengurus awal NU menunjukkan bahwa NU merupakan aliansi strategis antara para usahawan kecil dan kiai (sebagaimana yang banyak terjadi sekarang), muktamar-muktamar (kongres) tahunannya -yang pertama di selenggarakan di Suraba- ya pada September 1926- jelas menunjukkan bahwa NU lebih merupakan organisasi ulama tradisional. Hampir tidak ada yang bukan ulama ambil bagian dalam muktamar pertama. Pengurus Tanfidziyah yang bukan ulama nampaknya direkrut organisasi ini karena mereka mempunyai keterampilan penting yang tidak dimi- liki ulama, tetapi mereka diharapkan menyerahkan semua keputus- an penting kepada ulama. Kita melihat di sini awal dari dualisme kepemimpinan yang tetap menjadi karakteristik NU sepanjang se- jarahnya, dan merupakan sebab bagi banyak konflik yang terjadi. Untuk menjembatani kesenjangan antara dirinya sendiri dengan sektor-sektor masyarakat yang lain, NU berulang kali harus mere- krut, dan memberikan fungsi penting kepada, "orang luar" yang mempunyai keterampilan, pengetahuan dan kontak yang tidak di- miliki lingkungannya sendiri. Tidak mengejutkan, mereka yang direkrut ini seringkali berbeda pandangan tentang kemana NU ha- rus melangkah. Di samping dua kategori anggota di atas, NU menarik massa pengikut yang dengan cepat bertambah banyak. Setiap kiai mem- bawa pengikutnya masing-masing, yang terdiri dari keluarga- keluarga para santrinya dan penduduk desa yang biasa didatangi- nya untuk berbagai kegiatan keagamaan. Paling tidak, ada ke- inginan mereka untuk "melindungi" para pengikutnya dari penga- ruh kuat kaum pembaru yang lebih terorganisir rapi, sehingga kiai tertarik kepada NU. Lama kemudian, setelah NU menjadi sebuah partai politik, barulah mulai disadari bahwa para pengikut desa ini merupakan anggota yang potensial. Para pengikut kiai yang men- jadi anggota NU dan semua orang yang menganut orientasi ke- agamaan serupa, adalah pendukungnya; dan untuk kepentingan para pendukung inilah NU berbicara dan berbuat; walaupun tidak mengklaim diri sebagai wakil mereka sampai jauh kemudian. Or- ganisasi Nahdlatul Ulama berkembang pesat. memperoleh banyak sekali pengikut --walaupun hampir tak terorganisir. Muktamar NU ketiga (1928) dihadiri oleh sekitar 200 kiai, sementara pengajian umum yang diadakan pada malam hari menarik pengunjung yang diperkirakan mencapai lima belas ribu orang.29 Pada masa itu, ti- dak ada organisasi lain yang dapat mengumpul sedemikian banyak orang. Seorang pejabat Belanda, sambil mengatakan bahwa rasa ingin tahu pasti ikut mendorong terkumpulnya begitu banyak orang, dengan gembira mencatat bahwa "ada kontras yang tajam antara sekelompok orang yang mendengarkan pidato nasionalistik [Haji Agus] Salim di Pekalongan (yang tidak mereka mengerti) dan jumlah massa sangat besar yang berkumpul di dalam dan di sekitar Masjid Ampel, yang berdesak-desakan untuk mendengar kan sebuah pemerintahan non-muslim dipuji-pUji!"30 Satu dasa- warsa sebelumnya, Sarekat Islam berhasil memobilisasi jumlah pe- ngikut yang sama besarnya atau bahkan lebih besar lagi, tetapi de- ngan cepat pula kehilangan daya tarik massanya. Sebaliknya, pe- ngikut NU terus bertambah. Kerumunan pengikut NU pada akhir 1920-an mungkin dapat disamakan dengan orang-orang yang ber- duyun-duyun mendatangi Kongres Sarekat Islam pada dasawarsa sebelumnya. Pada 1934, menurut sumber Belanda, sekitar 400 kiai bergabung ke NU. Sumber Belanda yang lain menyebutkan adanya 68 cabang lokal pada 1935, dengan jumlah pengikut se- luruhnya sebesar 67.000 orang.31 Tak diragukan lagi, gambaran inilah yang paling mendekati kenyataan; tetapi urutan besarnya sa- ma dengan besarnya anggota Muhammadiyah, yang menurut la- poran mempunyai pengikut sejumlah 43.000 pada 1935 dan 250. 000 pada 1938 (Noer 1973: 83). ANGGARAN DASAR NAHDLATUL ULAMA Anggaran dasar formal (Statuten) NU yang pertama dibuat pa- da Muktamarnya yang ketiga pada 1928. Formatnya, tentu saja, sesuai dsngan undang-undang perhimpunan Belanda; keinginan mendapatkan pengakuan pemerintah Belanda barangkali merupa- kan alasan utama dibuatnya sebuah anggaran dasar yang eksplisit dan tertulis. Atas dasar anggaran dasar ini, NU diberi status ber- badan hukum (rechtspersoonlijkheid) pada Februari 1930. Anggaran dasar ini tidak menyebut hubungan dengan Hijaz yang merupakan sebab langsung berdirinya NU. Ia menyebutkan dengan sangat eksplisit bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengem- bangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunah wal Jamaah dan melin- dunginya dari penyimpangan kaum pembaru dan modernis. Pasal kunci 2 dan 3 berbunyi sebagai berikut : Fatsal 2. Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: "Memegang de- ngan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj-Sjafi'i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe- hanifah An-Noe'man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan menger- djakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan Agama Islam". Fatsal 3. Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diada- kan ichtiar: a. Mengadakan perhoeboengan di antara 'Oelama-'0elama jang ber- mazhab terseboet dalam fatsal 2. b. Memeriksai kitab-kitab sebelommja dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli Soen- nah Wal Dja-ma'ah atau kitab-kitabnya Ahli Bid'ah. c. Menjiarkan Agama Islam di atas mazhab sebagai terseboet dalam fatsal 2, dengan djalanan apa sadja jang baik. d. Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam. e. Memperhatikan hal-hal jang herhoeboengan dengan mas- djid2, langgar2 dan pondok2, begitoe djoega dengan hal-ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin. f. Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara' Agama Islam.32 Sikap berpegang teguh kepada salah satu dari empat mazhab fiqh ortodoks merupakan ciri yang secara tegas membedakan ka- um tradisionaIis dari kebanyakan aliran pembaru. Kaum pemba- ru, sebagaimana telah dikatakan, menolak sikap taqlid kepada ki- tab-kitab skolastik-klasik dan menganjurkan reinterpretasi terhadap sumber pokok Islam, Al-Qur'an dan Hadits. Mereka mengutuk banyak kepercayaan dan praktek keagamaan tradisional, seperti ritual untuk orang yang sudah meninggal, pemujaan para wali dan ziarah ke makam-makam serta berbagai unsur ibadah. Semua ke- percayaan dan praktek keagamaan tradisional ini mendapatkan le- gitimasi dalam kitab-kitab klasik, tetapi dianggap kaum pembaru sebagai penambahan belakangan, yang bertentangan dengan sema- ngat Islam yang sebenarnya. Dalam pandangan mereka, praktek- praktek tersebut merupakan bid'ah dan karena itu diharamkan. Sebagaimana kita lihat di atas (pasal 3.b) kaum tradisionalis justru membalikkan tuduhan tersebut, dengan menyatakan gagasan-ga- gasan dan praktek-praktek yang dianjurkan kaum pembaru sebagai bid'ah. Demikianlah anggaran dasar NU menekankan upaya melin- dungi Islam tradisional dari bahaya-bahaya gagasan dan praktek keagamaan kaum pembaru. Pendidikan harus ditingkatkan, tetapi bahan-bahan pelajarannya harus diamankan terlebih dahulu dari gagasan-gagasan kaum pembaru. Dalam kenyataannya, sejak lama NU sudah mempunyai sebuah badan sensor yang memutuskan ki- tab-kitab mana yang dianggap mu'tabar, yakni aman dibaca. Muktamar NU pertama menetapkan tidak hanya buku-buku pen- ting mana yang termasuk dalam mazhab fiqh Syafi'i, tetapi juga mana yang harus lebih diutamakan apabila di dalamnya terdapat fatwa-fatwa yang berbeda.33 Namun, harus dicatat bahwa anggaran dasar NU yang perta- ma ini tidak semata-mata menunjukkan penolakan terhadap semua pendirian kaum pembaru dan modernis. Dalam prakteknya, tam- pak bahwa ia mendorong kepada pembaruan pendidikan dan ker- ja-kerja karitatif yang coraknya tidak jauh berbeda dari kegiatan yang sebelumnya dipelopori oleh para pembaru. Madrasah. yang jumlahnya ingin ditingkatkan dalam anggaran dasar, pada waktu itu merupakan fenomena yang relatif baru di Indonesia dan meru- pakan pembaruan penting dari pesantren tradisional.34 Pasal 3.e juga mengemukakan maksud mendirikan panti-panti asuhan ya- tim, lembaga sosial yang semula diasosiasikan sebagai usaha kaum pembaru. Bagian terakhir Pasal 3 mengandung nada yang jelas non-tra- disional dan nampaknya mencerminkan adanya pengaruh dari ga- gasan-gagasan Sarekat Islam: NU tidak hanya ingin melindungi kepentingan spiritual tetapi juga kepentingan ekonomi para anggo- tanya. Dalam Peratoeran Roemah Tangga-nya, yang ditulis bebe- rapa waktu setelah pembuatan anggaran dasar, kita menemukan usulan yang lebih kongkret tentang bagaimana cara mendorong sa- ling tolong menolong, dengan menganjurkan para anggota NU un- tuk bekerja ke perusahaan anggota lainnya, yang dapat dikenali ka- rena menggunakan logo NU.35 Pada akhir 1930-an, NU juga membentuk koperasi sendiri, walaupun tidak pernah berhasil be- sar.36 Dapat dimengerti, anggaran dasar tidak menyinggung sikap yang harus diambil terhadap penguasa kolonial dan gerakan na- sionalis. Apapun perasaan patriotik yang mungkin dimiliki para to- kohnya, mereka mengambil pendirian yang sangat akomodatif sampai akhir pemerintahan Belanda pada 1942. Sebagaimana ditu- lis seorang pengamat Belanda mengenai Muktamar kedua NU pa- da 1927: "terlihat seolah-olah ulama ingin masuk ke dalam buku-baik peme- rintah, karena hampir tanpa kecuali mereka memberikan pujian yang berlebihan terhadap kebijakan-kebijakan keagamaan pemerintah, de- ngan berkali-kali menambahkan bahwa tanpa perlindungan dari pe- merintah, Islam akan mengalami tekanan berat; dan merela meminta kepada pemerintah melanjutkan kebijakan ini, yakni menjamin kebe- basan Islam yang sebenarnya tanpa turut campur dalam aspek-aspek keagamaan aktual. Selama pengajian umum (...) kebijakan pemerintah banyak dipuji-puji sebagai benar-benar tepat, adil dan cocok bagi Islam. Dan perilaku mereka yang ingin menyalahgunakan agama untuk tujuan- tujuan politik (ini dialamatkan, misalnya, kepada Partai Sarekat Islam) dikritik."37 ________________________________________________________________ ________________________________________________________________ 17. Lihat Studi Snouck Hurgronje yang tak tertandingi tentang komunitas Indonesia (Jawah) yang menetap dan mempelajari ilmu agama tradisional di Mekkah (Snouck Hurgronje 1889). Perkembangan-perkembangan pada masa belakangan di Mekkah digambarkan sekilas dalam van Bruinessen 1992c. 18. Kiai Wahab Chasbullah, juru bicara kaum tradisionalis paling vokal, berhalangan hadir pada Kongres ini karena kematian ayahnya (Anam 1985:52-52). Namun, sebelum kongres para pemuka kaum pembaru sudah tidak bersedia meluluskan permintaan kaum tradisionalis, dan seandainya Kiai Wahab hadir sekalipun tidak mungkin akan menghasilkan peruhahan. 19. Daftar utusan pada Kongres Mekkah (dalam Schulze 1990:82) menunjukkan bahwa di samping dua uturan ini masih ada empat utusan Indonesia lagi. Dua di antara mereka adalah orang Indonesia yang bermukim di Mekkah, Muhammad al-Baqir (ulama tradisional asal Yogyakarta) dan Jenan Thayyib (pembaru Minangkabau. yang memimpin sebuah sekolah Indonesia di Mekkah). Dua lainnya 'Umar Naji dan Muhammad bin Thalib, mewakili organisasi keturunan Arab reformis di Indonesia, Al-Irsyad. 20. Lihat daftar utusan pada Kongres Kairo dalam Schulze 1990:77-8; bdk. Kramer 1986:95-6. Anam (1985:53) keliru ketika mengatakan bahwa mereka juga ikut dalam Kongres Mekkah. Hamka menggambarkan pengalaman-pengalaman ayahnya yang tidak menyenangkan di Kairo dalam Ayahku (Hamka 1982: 155-160). Tentang Abdullah Ahmad, lihat juga Hamka 1982:277-279. 21. Cerita yang tidak jauh berbeda tentang latar belakang kelahiran Nahdlatul Ulama diberikan dalam Aboebakar 1957:463-73; Noer 1973:222-34; Anam 1985:33-56. Utusan yang terpilih, Kiai Asnawi dari Kudus dan Kiai Bisi Sjansuri dari Jombang, tidak pernah berangkat karena masalah logistik. Baru dua tahun kemudian, Kiai Wahab Chasbullah sendiri dan Kiai Ahmad Ghanaim, seorang ulama Mesir yang mengajar di Surabaya, berangkat ke Mekkah dan diterima Ibn Sa`ud. 22. Kaum nasionalis dan Muslim modernis Indonosia seringkali membuat gambaran satu sisi mengenai NU sebagai kaum konservatif dan reaksioner. Sejarawan Nasionalis, A.K. Pringgodigdo, dalam surveinya mengenai gerakan nasionalis Indonesia (1950), hanya menyebut NU untuk mengkritik rendahnya kadar nasonalismenya. Para apolog NU. di pihak lain, berkali-kali mengklaim bahwa patriotisme sejak semula merupakan kekuatan pendorong berdirinya organisasi ini. Mereka tidak dapat mendukung klaim ini dengan banyak bukti kontemporer, tetapi nama sekolah ini adalah indikasi bahwa Kiai Wahab paling tidak juga didorong oleh kesadaran nasional tertentu. Sebuah indikasi yang lebih jelas lagi adalah nyanyian patriotik yang ditulis Kiai Wahab dalam bahasa Arab, yang biasa dinyanyikan oleh para murid di sekolah tersebut. Teks nyanyian dan terjemahan Indonesianya, yang agak dibumbui, dapat ditemukan dalam Anam 1985:25-6. Menurut beberapa sumber yang simpatik, Kiai Wahab juga ambil bagian dalam Indonesische Studieclubnya Dr. Soetomo, sebuah kelompok diskusi kaum intelektual nasionalis yang dibentuk pada 1924 (Anam 1985: 31). 23. Schrieke, yang mengunjungi Surabaya pada 1919, diberitahu oleh informan Arabnya bahwa Tashwirul Afkar terdiri dari para haji dari Ampel, benteng Islam tradisionalis di Surabaya Utara. 24. Jangan dikacaukan dengan pendiri Muhammadiyah asal Yogyakarta, yang juga bernama Ahmad Dachlan. Dia adalah kawan Kiai Wahab yang memimpin sebuah pesantren di Kebondalem, Surabaya. 25. Risalah ini dikenal dengan Muqaddimah Qanun Asasi. Sebuah terjemahan bahasa Indonesianya terdapat dalam hasil-hasil Muktamar NU 1984(PBNU 1985a:121-132). Sejauh yang saya ketahui, belum pernah diungkapkan bahwa risalah ini sebenarnya merupakan satu contoh langka dari ijtihad yang dilakukan oleh seorang ulama tradisional. 26. Anam (1985:1n) memberikan sebagian daftar mereka yang hadir pada rapat tersebut. Daftar itu sedikit berbeda dengan daftar anggota pengurus yang pertama, yang konon dibentuk dalam rapat yang sama (Anam 1985:6~70). I)aflar yang terakhir yang lebih lengkap dimuat dalam buku ini (Lampiran II). 27. Saya belum menemukan profesi semua pendiri yang disebut dalam daftar 1926, tetapi pada tahun 1937 sejumlah mereka datang ke hadapan seorang notaris Belanda untuk mendaftarkan sebuah yayasan. Waqfiyah NU. Dari sebelas anggota pengurus yang hadir sebagai saksi, lima di antaranya adalah guru agama (Kiai Hasjim Asj`ari, Kiai Abdullah Faqih, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Sjansuri dan Kiai Muhammad Nur), empat tuan tanah kota ("huizenverhuurder"), seorang pedagang dan seorang juru tulis percetakan. Lihat Statuen dan Reglement Stichting Waqfijah Nahdlatoel Oelama Soerabaja dimuat sebagai lampiran IX dalam Anam 1985. Kiai Wahab, walaupun didaftar ini disebut guru agama, juga mendapatkan penghasilan utamanya dari usaha percetakannya di Surabaya. 28. Dalam perjalanan waktu, gelar ini mengalami perubahan; Kiai Hasjim Asj`ari disebut Rois atau Rois Akbar (Ketua Tertinggi); para penggantinya diberi gelar Rois Aam (Ketua Umum), sementara istilah Rois diturunkan nilainya dan digunakan untuk wakil-wakil Rois Am. 29. Goverment Report on Nahdlatul Ulama, 1928". dalam Penders 1977:270-2. Choirul Anam, yang menggunakan sumber-sumber NU, megatakan bahwa 260 kiai ikut serta dalam muktamar, yang mewakili 35 cabang dari seluruh Jawa dan Madura (Anam 1985:76). 30. Penders 1977:271-2. Namun satu dasawarsa sebelumnya Sarekat Islam telah berhasil mengumpulkan orang kurang lebih sama banyaknya, jika justru tidak lebih banyak. Kongresnya yang pertama, di Surabaya tahun 1913, didatangi sekitar tujuh sampai sepuluh ribu orang dan organisasi ini memperoleh puluhan ribu anggota pada tahun pertama kehadirannya (Korver 1982: 190). Dan pada sekitar tahun 192O, gerakan keagamaan populer Islam Abangan merekrut, konon, sampai 120 ribu pengikut di kawasan Surakarta saja. (Kartodidjo, 1473: 131-2). 31. Encyclopaedia van Nederlansch-Indie dan Indisch Verslag 1936, keduanya dikutip dalam Bousquet 1938:21. 32. Statuen Perkoempoelan Nahdlatoel-'Oelama, diterbitkan sebagai suplemen Javasche Courant 25 Februari 1930 dan dimuat kembali sebagai lampiran dalam Anam 1985. 33. "Government Report on Nahdatul Ulama, 1928" (Penders 1977:271). Teks keputusan tersebut dapat ditemukan dalam Ahkam al-Fuqaha: Kumpulan Masalah-2 diniyah dalam Muktamar NU ke-1 s/d 15 (Semarang:Toha Putra, t.t), hal. 7-8. Tentang kitab fiqh tersebut dan urutan keutamaannya. Lihat van Bruinessen 1990b:244-8. 34. Di Indonesia, istilah madrasah biasanya merujuk kepada sekolah-sekolah agama yang didirikan dengan adanya ruang-ruang kelas, penjenjangan kelas dan sebuah kurikulum yang baku; ia berbeda dengan pesantren tradisional, dimana para santri dapat menetap dalam waktu lama untuk mengaji satu atau lebih kitab di bawah bimbingan seorang kiai. Pada abad ini, banyak madrasah didirikan di pesantren yang sudah ada, dan metode pendidikan bergaya lama dan modern dipakai secara basamaan. Sekarang istilah madrasah juga berarti sekolah dimana mata-mata pelajaran umum diajarkan di samping mata pelajaran agama (pamerintah mensponsori sebuah kurikulum madrasah di mana 70 persen waktu diperuntukkan bagi mata pelajaran umum): tidak jelas apakah istilah madrasah sebagaimana di dalam Anggaran dasar NU mempunyai arti yang sama. Kebijakan pendidikan Muhammadiyah lebih radikal: lebih mengarah kepada usaha mendirikan sekolah-sekolah bergaya Eropa daripada madrasah. Tentang sejarah pembaruan pendidikan dan madrasah pertama di Indonesia, lihat Steenbrink 1974, terutama hal. 33-46. 35. Salah satu dari lima "departemen" yang akan dibentuk di dalam NU yang menangani berbagai tugas organisasi ini mengkhususkan diri mengurusi masalah bisnis (lihat teks dalam Anam 1985, Lampiran Para anggota yang memproduksi barang-barang sederhana seperti pakaian, rokok, sajadah, dan lain-lain diperkenankan memasarkan barangnya dengan nama "Nahdlatul Ulama", dengan menggunakan lambang resmi NU. Sebagai imbalannya mereka harus manbaikan persentase keuntungannnya kepada organisasi, dan semua label harus dicetak di percetakan milik NU sendiri. Kiai didorong madirikan toko sendiri, dengan logo NU, untuk menjual barang-barang yang diperlukan di pesantren; departamen ini akan membantu mereka mengembangkan keterampilan bisnis mereka, dan para usahawan didorong menjual barang-barang mereka ke toko-toko ini dengan persyaratan yang lebih mudah. 36. Tentang koperasi-koperasi ini (Sjirkah Mu'awanah), yang didirikan tahun 1937, lihat catatan kecil oleh Noer 1973:232-3. 37. "Government Report on Nahdatul Ulama, 1928" (Penders 1977:271).