BABI LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA LATAR TRADISI, SOSIAL DAN INTERNASIONAL NAHDLATUL ULAMA didirikan pada 1926 oleh sejumlah tokoh ulama tradisional dan usahawan Jawa Timur. Pembentukannya se- ringkali dijelaskan sebagai reaksi defensif terhadap berbagai akti- fitas kelompok reformis, Muhammadiyah, dan kelompok moder- nis moderat yang aktif dalam gerakan politik, Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah dibentuk di Yogyakarta pada 1912 dan pada awal 1920-an aktif melebarkan sayapnya ke berbagai wilayah Indone- sia. Muhammadiyah sangat menekankan kegiatannya kepada pen- didikan dan kesejahteraan sosial, dengan mendirikan sekolah-se- kolah bergaya Eropa, rumah-rumah sakit dan panti-panti asuhan, namun ia juga merupakan organisasi reformis dalam masalah iba- dah dan akidah. Ia bersikap kritis terhadap berbagai kepercayaan lokal beserta berbagai prakteknya dan menantang otoritas ulama tradisional. Sarekat islam didirikan pada tahun yang sama, 1912, untuk membela kepentingan-kepentingan kelas pedagang Muslim dalam persaingan dengan kalangan Cina. Pada tahun-tahun beri- kutnya, ia berkembang menjadi gerakan nasionalis pertama yang mendapatkan banyak pengikut, mendapatkan dukungan yang sa- ngat luas di kalangan masyarakat pedesaan dan juga kelas pekerja yang barn mulai terbentuk. Pada awal 1920-an, sayap paling radi- kal dari Sarekat Islam memisahkan diri dan bergabung dengan partai komunis. Akibatnya, Sarekat Islam kehilangan banyak daya hidup yang dimilikinya pada dasawarsa sebelumnya. Namun, se- bagai sebuah organisasi modern yang dlpimpin oleh para intelek- tual dan politisi jenis baru dan mengaku mewakili kepentingan se- luruh umat Islam Indonesia, SI merupakan ancaman serius terha- dap posisi para pemimpin tradisional umat, Kiai. Dalam bab ini saya akan menggambarkan secara selintas ber- bagai peristiwa dan perkembangan yang mendorong kelahiran NU. Akan tampak bahwa aktifitas Muhammadiyah dan Sarekat Islam merupakan faktor yang penting, walaupun kelahiran NU ti- daklah semata-mata --sebagaimana dinyatakan banyak penulis-- se- buah reaksi defensif terhadap pengaruh mereka yang semakin ber- tambah kuat. Konflik-konflik tajam antara kelompok reformis dan Islam tradisional sebagai latar belakang berdirinya NU tentu saja harus dilihat, tetapi --sebagaimana akan terlihat- perkembangan- perkembangan internasionallah yang memberikan alasan langsung bagi berdirinya NU. Lebih dari itu, walaupun dalam persepsi diri- nya sendiri tujuan utama NU adalah mempertahankan tradisi ke- agamaan, dalam beberapa hal ia lebih dapat dilihat sebagai upaya menandingi dari pada menolak gagasan-gagasan dan praktek-prak- tek yang lebih dahulu diperkenalkan kalangan reformis. ISLAM JAWA TRADISIONAL: PESANTREN DAN LINGKUNGANNYA Rapat yang merupakan peristiwa berdirinya NU berlangsung di Surabaya dan kebanyakan anggota pendirinya menetap dan be- kerja di kota tersebut, namun orientasi dasarnya tidak bersifat ke- kotaan. Lembaga yang menjelmakan corak Islam yang diwakili NU, pesantren atau pondok, pada dasarnya merupakan sebuah fe- nomena pedesaan. Pesantren adalah sejenis sekolah tingkat dasar dan menengah yang disertai asrama di mana para murid, santri, mempelajari kitab-kitab keagamaan di bawah bimbingan seorang guru, kiai. Tidak dapat diketahui secara pasti sudah berapa lama lembaga pendidikan Islam tradisional ini hadir di Jawa,3 tetapi kita tahu bahwa jumlah pesantren meningkat tajam pada paruh kedua abad kesembilan belas dan terus berkembang sejak saat itu. Ba- nyak pemuda Islam yang telah menetap beberapa tahun di Mekkah untuk belajar kepada para guru terkemuka di sana, dan setelah kembali ke Jawa mereka mendirikan pesantren sendiri. Pesantren yang didirikan biasanya -meski tidak selalu- terletak jauh dari ko- ta. Semakin banyak daerah hutan Jawa dibuka dan dibersihkan untuk lahan penanaman padi dan tebu, begitu juga perkembangan pesantren. Dalam beberapa kasus, pesantrenlah yang membuka hutan dan kemudian diikuti oleh para pemukimnya.4 Sebuah pesantren paling tidak terdiri dari rumah kiai, sebuah mesjid, dan asrama-asrama untuk para santri. Sebagian santri ber- asal dari desa tetangga dan kembali ke rumah setiap hari setelah pelajaran usai. Namun, para santri senior cenderung berasal dari tempat-tempat yang jauh; banyak santri dan orang tua mereka yang nampaknya lebih menyukai pesantren yang jauh daripada pe- santren yang dekat. Kebanyakan santri biasanya membayar sejum- lah biaya tertentu; sebagian yang lainnya memperoleh hak untuk tinggal di pesantren tersebut dengan bekerja di ladang atau rumah tangga kiainya. Biaya pendidikannya biasanya jauh dari mencu- kupi kehidupan kiai dan perawatan pesantren, tetapi kebanyakan kiai mempunyai berbagai sumber pendapatan yang lain. Keba- nyakan mereka memiliki tanah pertanian atau berdagang kecil-ke- cilan, dan hampir semuanya secara teratur menerima berbagai ha- diah dari para pengikut setianya yang kaya. Sekitar pergantian abad yang lalu, kaum muslim taat yang me- rupakan sumber dukungan bagi kiai adalah kelompok minoritas kecil di lingkungan masyarakat pedesaan. Mereka sering disebut kaum putihan, karena mereka lebih suka mengenakan pakaian dan peci putih. Kita tidak' tahu banyak tentang komposisi sosial dari kelompok ini. Sumber-sumber Belanda dari periode tersebut me nyebutkan bahwa mereka pada umumnya terdiri dari para peda- gang keliling dan pengrajin, tetapi pastilah juga terdapat para peta- ni dan buruh tani. Pada umumnya, kelompok muslim taat ini tan- pak secara hati-hati menjaga jarak sosial mereka dari massa petani yang menganut kepercayaan sinkretis dan menjalankan praktek pe- mujaan arwah setempat yang di sebagian wilayah disebut kaum abangan), dan mereka seringkali bertempat tinggal secara terpisah dengan kelompok yang terakhir ini.5 Dari lingkungan inilah keba- nyakan santri (dalam arti murid pesantren) berasal, walaupun tidak selalu demikian. Sebagian keluarga priyayi juga mengirim anak- anak mereka ke pesantren, untuk melengkapi pendidikan umum mereka.6 Sepanjang abad ini semakin banyak pula kelompok abangan yang secara bertahap terserap ke dalam lingkungan pesantren. Terdapat berbagai tingkatan pesantren. Yang paling sederhana hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan menghafal be- berapa bagian atau seluruh Al-Qur'an. Yang agak lebih tinggi ada- lah pesantren yang mengajarkan kepada para santrinya berbagai kitab fiqh, ilmu akidah dan kadang-kadang amalan Sufi, di sam- ping tata bahasa Arab (Nahwu-Sharaf). Di pesantren paling maju --yang paling terkenal di antaranya, pesantren Tebuireng, Jom- bang-- diajarkan kitab-kitab fiqh, akidah dan tasawwuf yang lebih mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional lainnya. Abad ini menyaksikan adanya pertambahan secara bertahap jumlah ki- tab-kitab (dalam bidang tersebut di atas) yang dipelajari. Dan wa- wasan disiplin intelektualnya juga mengalami perluasan, dengan diperkenalkannya kitab koleksi hadits, tafsir Al-Qur'an, logika, se- jarah Islam, dan mata-mata pelajaran umum. Namun identitas tra- disi intelektual pesantren sekarang, sebagaimana waktu itu, diten- tukan tiga serangkai mata pelajaran, yang terdiri dari fiqh menurut mazhab Syafi`i, akidah menurut mazhab Asy'ari dan amalan- amalan Sufi dari karya-karya Imam al-Ghazali.7 Kiai memainkan peranan yang lebih dari sekadar seorang gu- ru. Dia bertindak sebagai seorang pembimbing spiritual bagi me- reka yang taat dan pemberi nasehat dalam masalah kehidupan pri- badi mereka, memimpin ritual-ritual penting serta membacakan do'a pada berbagai acara penting. Banyak kiai Jawa yang juga di- pengetahuan yang diperoleh dengan caracara supernatural, dan percaya mempunyai kemampuan penglihatan batin dan ilmu ke- terdapat banyak cerita tentang kiai yang dapat melakukan perja- saktian tertentu; mereka bertindak sebagai orang yang dapat mela- lanan jarak jauh dengan cara yang menakjubkan misalnya pergi kukan penyembuh spiritual dan mengusir roh jahat, membuat ji- melaksanakan shalat Jum'at ke Mekkah. mat-jimat atau mengajarkan berbagai teknik kekebalan tubuh. Ba- Arwah-arwah orang yang sudah meninggal tetap memainkan nyak kiai yang menjadi guru pencak silat, yang menggabungkan berbagai peranan dalam kehidupan Muslim Jawa tradisional. Zia- berbagai teknik olah fisik dengan teknik-teknik mistik untuk me- rah ke makam orang yang dihormati -keluarga dan leluhur, guru, ningkatkan kelincahan bertarung dan kekebalan terhadap senjata, wall dan raja- tidak saja dianggap pert>uatan yang berpahala besar atau untuk membuat tidak mempan dari pukulan senjata tajam di kalangan Muslim Jawa tradisional tetapi juga dipercaya mempu- atau senjata api dari pihak lawan. Pengaruh seorang kiai akan nyai kegunaan-kegunaan praktis. Dipercaya bahwa pahala, yang menjadi semakin besar lagi jika dia berafiliasi dengan sebuah tare- diperoleh dari, miscllnya, pembacaan doa-doa dan ayat-ayat Al- kat dan dapat mengajarkan amalan-amalan tarekat bagi mereka Qur'an, dapat dipersen?bahkan bagi arwah-arwah orang yang su- yang ingin belajar kepadanya. Tarekat tidak hanya menghubung- dah meninggal. Sebagai balasannya, para arwah tersebut dapat di- kannya dengan kiai lainnya dalam jaringan yang luas tetapi juga mintai sesuatu, misalnya pertolongan, wangsit, penyembuhan pe- melahirkan pengikut yang sangat taat dan setia. nyakit atau kemandulan. Di kebanyakan pesantren, makam kiai Kiai merupakan perantara, dengan pengertian yang berbeda- pendiri dan guru-guru lainnya merupakan tempat penting, dan hari beda, antara dunia ini dan dunia arwah. Kepercayaan kepada ada- kematian sang pendiri selalu diperingati setiap tahun. Dipercaya nya dunia arwah yang harus diambil hati merupakan ajaran sentral bahwa makam kiai --atau lebih tepat, arwahnya-- masih dapat dalam Islam Jawa tradisional dan juga dalam pandangan hidup memberikan berkah; kehadiran makam menambah legitimasi bagi kaum abangan. Kebanyakan kiai dipercaya, karena penguasaannya pam penerusnya. atas ilmu-ilmu keislaman, mampu mengusir jin dan menangkal pe- Berbagai ritual yang diperuntukkan bagi orang yang baru me- ngaruh-pengaruh buruk dari dunia gaib. Mereka juga dipercaya le- ninggal juga didasarkan atas kepermyaan bahwa komunikasi se- bih mampu dari orang lain dalam menjalin hubungan dengan ar- macam itu tetap dapat diialin: Pam rekan dan kerabat berkumpul wah-arwah orang yang sudah meninggal. Seorang kiai tarekat me- untuk mengadakan tahlilan dan slametan, yang pahalanya diper- rupakan penghubung muridnya dengan seluruh mata rantai guru- sembahkan kepada arwah almarhum. Ziarah dan tahlilan tidak ha- guru terdahulu yang bersambung sampai kepada Nabi dan akhir- rus menghadirkan kiai, tetapi dipercaya akan lebih afdol jika di- nya Kepada Allah, dan dia adalah penyambung melalui mana her- pimpin seorang kiai. kah mengalir dari arwah-arwah para wali kepada pengikutnya. Se- bagian kiai terkenal sebagai orang yang mempunyai ilmu laduni, KRITIK KAUM PEMBARU TERHADAP ISLAM TRADISIONAL Ajaran-ajaran Muslim pembaru (reformis) dan modernis abad ke-19 dan ke-20 berlawanan dengan seluruh bangunan keperca- yaan dan amalan Muslim tradisionaI. Banyak di antara kepercaya- an dan amalan Muslim tradisional dinyatakan sebagai "bid'ah", bukan ajaran asli Islam. Kaum puritan yang lebih ketat di kalangan mereka mengerahkan segala usaha untuk memberantas semua un- sur lokal dalam kehidupan keagamaan dan bahkan sampai soal- soal furu` dalam peribadatan yang tidak pernah diajarkan Nabi. Salah satu soal furu` menjadi pokok perdebatan sengit adalah niat atau ushalli, pelafalan niat ketika memasuki shalat. Menurut ka- langan tradisional, niat ini dinyatakan dengan bersuara, tetapi kare- na tidak terdapat hadits yang menjadi dasarnya, kaum pembaru berpendirian bahwa niat tidak dilafalkan, hanya di dalam hati.8 ' Kritik paling keras terhadap amalan tradisionalis berkaitan de- ngan hubungan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal dunia. Kaum pembaru menyatakan bahwa kema- tian berarti berakhirnya komunikasi antar manusia dan upaya-upa- ya untuk berhubungan dengan arwah orang yang sudah meninggal dunia, dengan tujuan apapun, merupakan penyimpangan dari ajar- an tauhid. Mereka secara tegas menolak kepercayaan kepada per tolongan arwah dan bentuk-bentuk kontak spiritual lainnya; pemu- jaan wali dikutuk sebagai amalan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tahlilan, selamatan dan ziarah yang bagi kalangan tradi- sionalis merupakan amalan keagamaan yang sangat penting, sa- ngat dibenci oleh kaum pembaru. Menurut kaum pembaru, satu- satunya amalan yang sah yang dapat dilakukan untuk kerabat yang sudah almarhum adalah berdoa secara langsung kepada Allah dan memohon ampunan atas dosa-dosanya. Pengetahuan tekstual kiai, terutama fiqh -ilmu terpenting da- lam khazanah keilmuan tradisional-, juga diserang oleh para pem- baru. Kaum modernis mempertanyakan relevansinya, kaum puri- tan menyatakan bahwa fiqh banyak mengandung bid`ah. Fiqh tra- disionai menuntut sikap taqlid kepada ajaran-ajaran hukum salah seorang dari empat imam mazhab fiqh ortodoks abad pertengahan --di Indonesia, mazhab Syafi`i. Ajaran-ajaran ini dipelajari melalui berbagai karya yang bersifat ulasan (syarah), dan ulasan atas ulas- an (hasyiyah) atas karya-karya abad pertengahan, yang --dalam pandangan pembaru- menjadi tabir penghalang antara masa seka- rang dan masa Nabi. Karena itu, gerakan pembaruan menolak taqlid dan menganjurkan kembali kepada sumber asli, yaitu Al-Qur'an dan hadits, yang harus direinterpretasikan melalui penalaran bebas (ijtihad) oleh ulama yang memenuhi syarat. Mereka juga menunjukkan sikap yang menolak konsep-konsep akidah dan tasawuf tradisional, yang dalam masa formatifnya dipengaruhi oleh Filsafat Yunani serta pemikiran Kristen dan Persia.9 Bagi banyak ulama tradisional, kritik tersebut tampak sebagai tidak lain dari serangan terhadap inti ajaran Islam (dan, tentu saja, terhadap kedudulan kiai sebagai pemegang kewenangan keagama- an). Pembelaan mereka terhadap tradisi-tradisi yang dijunjung tinggi ini membuat mereka semakin ketat memegang tradisi seba- gai sebuah ciri kepribadian Mazhab Syafi'i menjadi inti dari tra- disionalisme ini (walaupun tetap ada pengakuan terhadap tiga mazhab fiqh Sunni lainnya), tetagi sebagian soal furu' yang dito- lak kaum pembaru juga memperoleh makna simbolik sangat pen- ting. Karya-karya tulis para pembaru (dan karya pelopor mereka, seperti ulama puritan abad pertengahan, Ibn Taimiyah) dinyatakan sebagai bid`ah dan diharamkan di pesantren.10 LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA: SEBUAH REAKSI ANTI-PEMBAHARU Sudah seringkali dinyatakan bahwa NU didirikan oleh kiai tra- disionalis yang menyaksikan posisi mereka terancam dengan mun- culnya Islam reformis. Pengaruh Muhammadiyah dan Sarekat Is- lam yang semakin meluas, demikian menurut argumen ini, telah memarginalisasikan kiai, yang sebelumnya merupakan satu-satu- nya pemimpin dan juru bicara komunitas Muslim, dan ajaran kaum pembaru sangat melemahkan legitimasi mereka. Dikatakan, NU didirikan untuk mewakili kepentingan-kepentingan kiai, vis a vis pemerintah dan juga kaum pembaru dan untuk menghambat perkembangan organisasi-organisasi yang hadir lebih dahulu.11 Tentu saja ada kebenaran dalam tesis ini, walaupun ia gagal menjelaskan kenapa NU didirikan pada 1926 dan tidak lima atau sepuluh tahun lebih awal, ketika Sarekat Islam sedang giat-giatnya dan ketika banyak keluhan terhadap kaum pembaru yang agresif menyebarkan ajarannya di Jawa. Adalah, terutama, Faqih Hasjim, pedagang dan penyebar aktif paham reformis asal Minangkabau yang menetap di Surabaya pada akhir 1910-an, yang memancing respons keras dari kalangan tradisional.12 Ternyata, ketika sejum- lah ulama tradisional di Surabaya membentuk sebuah perhimpun- an dan mendirikan sebuah sekolah agama, yang diberi nama Tash- wirul Afkar pada 1924, dilaporkan pada saat itu bahwa mereka melakukannya sebagai reaksi langsung terhadap propaganda Faqih Hasjim.13 Tashwirul Afkar umumnya dianggap sebagai cikal-bakal NU hanya karena Kiai Wahab Chasbullah merupakan tokoh penggerak di balik keduanya. Tetapi Kiai Wahab, sebagaimana akan kita lihat di bawah, aktif dalam berbagai organisasi dan ling- kungan intelektual yang ada pada waktu itu, dan juga bekerja sama dengan para pembaru moderat -sebelum terjadi perselisihan di 1920-an yang membuatnya mengambil posisi tradisionalis secara lebih tegas. Tidak dapat dibantah, kelahiran NU merupakan bagian dari pola umum reaksi anti-pembaru. Namun, sebab-sebab langsung berdirinya tidak banyak berhubungan dengan munculnya reformis- me di Surabaya, dan tujuan-tujuan awalnya bersifat lebih terbatas dan kongkret dibandingkan dengan usaha melakukan perlawanan terhadap serangan kaum pembaru. Tujuan-tujuannya berhubungan dengan perkembangan internasional pada pertengahan 1920-an: penghapusan jabatan khalifah, serbuan kaum Wahabi atas Mekkah dan pencarian suatu internasionalisme Islam yang baru. Perkem- bangan-perkembangan inilah, dan dampaknya bagi kaum muslim Indonesia, yang akan kita soroti terlebih dahulu. LATAR BELAKANG INTERNASIONAL Pada Februari 1924, Pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan i tentang teori politik Islam dan upa- ya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang ba- ru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-18 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia Muslim. Pada akhir abad ke-19 klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau ber- dasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat hlam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.14 Daulah Utsmaniyah sudah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khalifahnya yang terakhir, setelah semua kekuatannya dilucu- ti, dalam prakteknya tidak lebih dari figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, penghapusan khilafah menyebabkan banyak masyarakat Muslim, terutama di daerah jajahan Inggeris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim yang terjajahlah yang merasakan kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen -sekalipun hanya bersifat simbolik-- semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan kembali Daulah Utsmaniyah, dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang gelar khalifah. Salah seorang calon seriusnya adalah penguasa Mekkah, Sya- rif Husain (yang menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuh- nya Daulah Utsmaniyah pada 1916). Dia membentuk sebuah de- wan penasehat khalifah, termasuk di antaranya dua orang Asia Tenggara yang bermukim di Mekah, dan mengadakan sebuah kongres haji (mu'tamar al-hajj) di Mekah pada Juli 1924, de- ngan harapan mendapatkan dukungan internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Kongres ini adalah yang pertama dari serang- kaian kongres Islam internasional yang diselenggarakan pada 1920-an.15 Para pesertanya gagal mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husain. Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, `Abd al-'Aziz ibn Sa'ud, menyerbu Mekkah dan membuyarkan ke- inginan-keinginannya. Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah barat semenanjung Arab), termasuk pela- buhan penting Jeddah, berada di tangan Sa'udi, sementara Husain -yang sudah melarikan diri keluar negeri- tak punya kekuasaan sama sekali. Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penye- lenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama al-Azhar, yang didorong oleh Raja Mesir, Fu'ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaru terkemuka, Rasyid Ridla, salah seorang penyelenggaranya, sudah mengirim undangan kepada Sa- rekat Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia pada waktu itu. Namun kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei 1926. Dalam pandangan Ibn Sa'ud, persiapan Kongres Kairo, de- ngan kemungkinan terpilihnya Raja Fu'ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hi- jaz. Karena itu, dia menyelenggarakan kongres tandingan di Mek- kah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pem- bicaraan tentang urusan haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persa- ingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia penyeleng- gara kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pen- dekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta. Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu dimana di In- donesia pun diadakan kongres-kongres umat Islam. Di tahun-tahun 1922 sampai 1926, para aktifis Muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (yang disebut Kongres AL-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis mungkin terlalu banyak.16 ________________________________________________________________ ________________________________________________________________ 3. Sekian banyak orang beranggapan bahwa pesantren hanyalah kelan- jutan dari lembaga pendidikan serupa di masa pra-Islam Anggapan ini tidak didukung dengan bukti-bukti yang kuat, dan ada alasan- alasan kuat untuk mempercayai bahwa corak pesantren yang ada pada abad sembilan belas tidak dapat ditemukan sebelum pertengahan abad delapan belas (Lihat van Bruinessen 1992s). 4. Demikianlah KH Hasjim Asj'ari mendirikan pesantren Tebuireng yang praktis berhadapan dengan pabrik gula Cukir, Jombang selatan, yang konon dimaksudkan untuk memberikan bimbingan kepada masyarakat perintis yang tidak patuh kepada syari'at KH Mohammad Hadi dari Girikusumo. (Lihat Bruinessen 1994:162) mewakili pola yang lain: dia mendirikan pesantren sederhana di sebelah selatan Semarang di tengah-tengah hutan yang dibukanya sendiri. 5. Lihat studi tentang salah satu komunitas semacam ini di wilayah Jom- bang, dalam Fox & Pradjarto 1989. Di sini kalangan santri hampir tampak sebagai kelompok etnis tersendiri: mereka menikah di kalangan mereka sendiri (walaupun orang dapat masuk menjadi anggota komunitas ini melalui pendidikan pesantren), mempunyai spesialisasi ekonorni mereka sendiri (pembuatan nila) dan bertempat tinggal secara terpisah di desa. 6, lihat ingatan (yang meragukan) dari Pangeran Ahmad Djajadiningrat yang kelak menjadi bupeti Banten tentang pengalamannya hidup di pesantren (Djajadiningrat 1908). Alumni pesantren terkenal lainnya adalah Ronggowarsito penyair besar istana Jawa, yang pemikiran mistik singkretisya barangkali banyak diambil dari kitab-kitab tasawuf dipelajarinya di pesantren Tegalsari. Beberapa keluarga besar ulama, ternyata mempunyai hubungan melalui perkawinan dengan keluarga- keluarga priyayi. 7. Kurikulum pesantren sebagaimana yang diajarkan pada abad ke19 digambarkan dalam MARTIN VAN BRUINESSEN 1990b dan 1992c. Untuk'studi yang lebih rinci tentang dunia pesantren lihat Prasodjo 1974, Dhofier 1986 dan 1982, Rahardjo 1985 dan Moosmuller 1989. 8. Sebab kenapa ushalli menjadi soal yang demikian penting antara kaum pembaru dan tradisionalis di Indonesia bersifat sangat kebetulan. Dalam padebatannya dengan kalangan pembaharu di Surabaya, Kiai Wahab ChasbuIlah menyatakan bahwa Al-qur'an dan Hadits saja tidak cukup sebegai sumber untuk ibadah-ibadah yang paling pokok sekalipun, dan beliau menyebutkan pelafadzan ushalli sebagai unsur ibadah yang ditetapkan melalui ijma' (kesepakatan ulama belakangan) Hal ini kemudian menyebabkan kalangan pembaru menolak ushalli sama sekali. A. Hassan yang kemudian menjadi pemimpin Persis berjuang gigih untuk memurnikan agama setelah beberapa kali berdiskusi dengan Kiai Wahab pada tahun 1924 (Noer 1973 : 86-87; Pijper 1977 : 121). 9. Ini tentu saja merupakan gambaran yang terlalu sekilas tentang perbedaan-perbedaan penting antara kepercayaan Para pembaru dan tradisionalis, dan tidak dapat secara adil menggambarkan berbagai ragam pendirian pembaru. Studi-studi terbaik yang menggambarkan secara umum aliran-aliran pembaharu di Indonesia dan kritik mereka terhadap Islam tradisional adalah Noer 1973 dan Pijper 1971. Un- tuk studi antropologis yang sangat bagus tentang padebatan yang masih berlangsung antara kaum pembaru dari berbagai aliran dan Muslim tradisional pada tingkat lokal di Aceh Tengah yang sangat banyak kemiripinnya dengan perdebatan yang sebelumnya terjadi di Jawa pada abad ini, lihat Bowen 1993 10. Pedebatan tentang ijtihad versus taqlid dan perkembangan Islam tradisional menjadi tradisionalisme Muslim yang fanatik dibicarakan secara lebih luas dalam artikel saya "Tradisions for the future" (van Bruinessen, akan terbit). 11. Ini adalah penjelasan tentang lahirnya NU yang diberikan beberapa penulis seperti Benda, Wertheim dan Geertz. Ada juga jenis penjelasan ynag lebih cenderung menyatakan adanya konspirasi, yang pernah sangat populer di lingkungan para pembaru. Menurut tesis ini, penguasa Belandalah, karena melihat Muhammadiyah dan Sarekat Islam mengancam pemerintahan Belanda atas Hindia, yang -melalui usaha-usaha Ch.O. van der Plass yang legendaris mendorong berdirinya NU yang apolitik dan kooperatif untuk melemahkan organisasi-organisasi Muslim yang lebih radikal. Teori ini sudah diabailan karena dianggap tidak berdasar oleh tidak kurang dari Deliar Noer, Sejarawan Islam modernis Indonesia terkenal (1973:234-5n), dan oleh ilmuwan pditik terkemuka, Alfian (dikutip dalam Irsyam 1984:18) tetapi masih ada saja penganutnya. 12. Faqih Hasjim adalah murid pembaharu Minangkabau terkenal Haji Rasul (Haji Abdul Karim Am- rullah, ayah Hamka). Faqih Hasjim tiba di Surabaya pada paruh kedua 1910-an dan berdakwah menyerang praktek-praktek tradisional, seperti tahlilan dan ritus-ritus untuk orang yang sudah meninggal lainnya, juga menyerang soal-soal furu` dalam ibadah tradisional yang dianggap bid'ah oleh kaum pembaru, seperti pelafalan ushalli (Noer 1973:226-7; Schrieke 1919). 13. Ini diceritakan oleh Penasehat Pemerintah Belanda untuk Urusan Pribumi, B.J.O. Schrieke, yang megunjungi Surabaya dan Madura pada 1919 untuk mensurvei keadaan gerakan-gerakan keagamaan di sana. Lihat Schrieke 1919. 14. Rakyat Aceh, misalnya, minta bantuan Turki ketika mereka berperang melawan Belanda pada awal abad ke 19, atas dasar bahwa mereka sebelumnya mengakui Sultan/Khalifah sebagai penguasa mereka. Sebagian jemaah haji yang kembali dari Mekkah membawa bendera Daulah Utsmaniyah sebagai simbol kesetiaan mereka kepada Khalifah. Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, berusaha meyakinkan orang-orang sesama Eropanya bahwa Khalifah bukanlah sejenis Paus dan klaim para Sultan Utsmaniyah atas gelar tersebut palsu (lihat artikelnya dalam Verspreide Geschriftennya jilid III); bdk. artikel tentang "khalifah" yang lebih obyektif, oleh Dominique Sourdel, dalam Encyclopaedia of Islam). Kebanyakan Muslim mempunyai pikiran yang berbeda dan penghapusan jabatan khalifah menimbulkan kecemasan yang madalam. 15. Kongres-kongres ini dan berbagai perkembangan berikutnya, yang membawa kepada terbentuknya badan-badan internasional permanen seperti Liga Dunia Islam (Rabitat al-`Alam al-Islami menjadi obyek tiga studi baru-baru ini: Kramer 1986, Schulze 1990 dan Landau 1990. 16. Sampai sekarang belum ada studi serius tentang Kongres-Kongres Al-Islam ini; Pengamatan singkat dalam Benda 1958 dan Noer 1973 masih merupakan studi yang terbaik. Dua laporan Belanda kontemporer yang menyebut-nyebut kongres-kongres ini diterbitkan dalam Kwantes 1978:188-195 dan 321-327. Lihat juga Amelz 1952:163-175.