Iftitah Nun, demi pena dan apa yang diguratkannya Al-Qalam : 1 KETIKA mendengar kata "NU", barangkali yang segera ter- gambar di benak orang pada umumnya adalah sosok bersarung dan berpeci, yang bejalan menunduk sambil satu tangannya me- megang kitab kuning, sementara satu tangan lainnya menggeng- gam untaian tasbih. Atau jika tidak, NU bagi sementara orang tak lebih dari salat dengan usalli, doa qunut, tarawih 23 rakaat, ta- wassul kepada para wali, dan seterusnya. Mungkin tak banyak yang memperhatikan bahwa di luar semua gambaran stereotip di atas, NU sebenarnya adalah salah satu denyut terpenting dalam totalitas kehidupan negeri ini. Dengan keteguhannya (yang di- imbangi dengan fleksibilitas) dalam memegang apa yang dengan nada sedikit minor disebut sebagai "tradisionalisme", dan dengan segala kekhasan dalam gaya berpolitiknya, NU telah banyak me- warnai bukan saja wacana keagamaan, tapi juga setting sosial- kemasyarakatan, bahkan politik dan ideologi bangsa. Tapi rasanya telah menjadi keluhan yang klasik bahwa NU dalam kurun waktu yang cukup lama telah begitu saja terabaikan dalam kajian ilmiah yang serius, terutama karena kebanyakan pengamat telah sejak dini tersilaukan oleh "modernisme" dan "kaum modernis", sementara NU pada umumnya dianggap tidak dapat digolongkan ke situ. Martin van Bruinessen, baru-baru ini menulis kajian paling komprehensif dan tak-memihak mengenai NU untuk saat ini. Ia menguraikan dengan cukup terinci keter- abaian itu. Ia menyesalkan betapa NU kerap hanya disebut seca- ra sambil lalu, ketika sebuah kajian mestinya memberikan pro- porsi perhatian yang lebih pada NU (Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasiKuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994). Namun untunglah, setidaknya selama satu dasawarsa ter- akhir perhatian ilmiah terhadap NU telah berangsur-angsur dipu- lihkan. Di perpustakaan Lakpesdam NU di Jakarta, saya menda- pati rak-rak besar yang dipenuhi dengan karya-karya skripsi, thesis, bahkan disertasi tentang NU, terutama yang ditulis setelah 1985. Sangat menggembirakan, meski tetap dapat disayangkan bahwa semua tulisan itu (kecuali beberapa yang juga dipublikasi- kan) akhirnya hanya akan dibaca oleh kalangan yang sangat ter- batas. Wacana tentang NU bagi masyarakat luas memang masih relatif kurang. Buku ini, dengan demikian, dimaksudkan untuk turut mengisi celah tersebut, meski tak diragukan lagi bahwa Choirul Anam (1985), Kacung Marijan (1992), Martin van Bruines- sen (1994), dan Ali Haidar (1995) telah melakukannya jauh lebih baik. Buku ini diangkat dari karya skripsi yang saya pertahankan di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, dengan judul NU Setelah Kembali ke Khittah 1926: Sebuah Studi Historis tentang Kelompok Kepentingan Islam di Pentas Orde Baru 1984-1993. Penelitian bagi skripsi tersebut saya kerjakan selama kurun waktu 1,7 bulan sejak Mei 1993. Sebagian penelitian itu bersifat kepusta- kaan, yang saya lakukan di beberapa perpustakaan di Yogyakarta dan Jakarta. Hasil penelitian pustaka itu juga diperkaya dengan hasil serangkaian wawancara dan diskusi. Skripsi saya, dan dengan demikian juga buku ini, tidak akan dapat disusun tanpa bimbingan yang intensif dari Drs Haryanto, MA. Skripsi itu juga telah mengalami perbaikan yang cukup ber- arti dengan serangkaian revisi yang diagendakan oleh Drs Mashuri Maschab, SU dan Dr Afan Gaffar, MA. Untuk yang dise- but terakhir ini, saya malahan merasakan hutang budi yang tak kecil, karena dialah yang telah mendorong saya untuk menjajagi kemungkinan diterbitkannya buku ini. Betapapun, tanggung ja- wab atas semua isi buku ini sepenuhnya berada di tangan saya. Banyak orang, jauh lebih banyak dari yang dapat saya sebut- kan, patut memperoleh ucapan terima kasih karena bantuan me- reka, langsung maupun tak langsung, bagi terselesaikannya buku ini. Beberapa Yang dapat saya sebutkan adalah: Drs Kacung Ma- rijan staf pengajar ILmu Politik FISIP Unair yang intens meng- amati NU, yang telah memberikan beberapa saran penting di ta- hap terawal penulisan skripsi saya; Drs Muhammad Najib, Sekre- taris LKPSM NU DIY, dan Dra Maria Ulfah Anshar, Koordinator Program Dokumentasi dan Informasi Lakpesdam NU Jakarta, yang telah bersedia menerbitkan buku ini. HM Ichwan Sam dan Ir H Musthafa Zuhad Mughni; berturut- turut adalah Sekjen dan Wakil Sekjen PB NU 1989-1994, yang telah bersedia memenuhi permintaan wawancara dari saya; ke- luarga pamanda Drs HM Hasan Asj'ari yang banyak membantu ketika saya melakukan akumulasi data di Jakarta; seluruh teman- teman di Ilmu Pemerintahan UGM '89, khususnya mereka yang dengan "bangga" menyebut dirinya IMS; teman-teman di Inter- fidei dan LKiS: Ahmad Suaedy, Hairussalim, M Imam Aziz, M Jadul Maula, Sastro, Fikri, dan seterusnya; dan sekali lagi LKiS yang telah bersedia menerbitkan buku ini. Rasa terima kasih yang khusus kiranya ingin saya tujukan kepada semua guru-guru saya, terutama Drs Josef Riwukaho, MPA, yang begitu berjasa membentuk sikap disiplin saya, serta Drs Cornelis Lay, MA, dari siapa saya banyak belajar tentang cara menghargai pendapat orang. Dan akhirnya, buku ini saya peruntukkan bagi orang-orang tercinta: Ibunda Hj Aminatussuhriyah dan Ayahanda H Abdul Karim, adik-adik saya (Ading, Wiwik, Nunung, dan Fatim), serta Miming. semua berhak atas rasa terima kasih tiada-ter- hingga yang hanya dapat saya muarakan pada Dia Yang Esa: Rabbana ma khalaqta hadza bathila. Subhanaka faqina 'adzabannar. Di atas semua ini, saya mengucap syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang telah memberi segala yang saya ingin dan angankan, serta telah memperkenankan saya mencelupkan tangan ke dalam samudera ilmu-Nya yang maha luas itu. Saya berharap, buku ini bisa bermanfaat bagi setiap pem- bacanya. Tentu saja saya tidak berpretensi bahwa argumen- argumen dalam buku ini telah bersiratkan kebenaran yang mut- lak. Semuanya saya anggap sebagai thesa-thesa yang harus segera berbenturan, atau dibenturkan, dengan antitesa-antitesa, untuk bisa melahirkan suatu sintesa, dan seterusnya, dalam pola dialektik. Rasanya lebih tepat untuk menerima buku ini sebagai sebuah ca- tatan pembuka guna mengawali diskusi kita. Mengapa tidak? Dan kepada-Nya kita semua berserah diri. Nologaten, Juli 1995 A Gaffar Karim