NU Sebuah Fenomena Politik Dr, Afan Gaffar, MA PEMBICARAAN tentang NU sebenarnya sangat menarik, meski- pun dalam kenyataannya ia pernah begitu terabaikan oleh insan- insan akademis. Dalam segi-segi tertentu NU adalah fenomena. Lihatlah bagaimana NU pernah tampil sebagai satu-satunya par- tai yang mampu melintasi tiga tahapan kepolitikan Indonesia era Demokrasi Liberal, era Demokrasi Terpimpin dan era Orde Baru dengan prestasi yang relatif stabil, setidaknya dilihat dari prosen- tase perolehan suaranya dalam pemilu. Masyumi, yang merupa- kan partai Islam terbesar pada masanya, "gugur" sebagai korban penyederhanaan kepartaian Sukarno, di mana keterlibatan tokoh- tokohnya dalam PRRI terpilih sebagai alasan. Sementara partai- partai lain akhirnya kalang-kabut menghadapi taktik buldozer Golkar di masa awal Orde Baru. Praktis, NU-lah yang tetap berta- han, sampai akhirnya fusi 1973 memaksanya lebur dalam PPP Sejak fusi 1973, hingga kurun 11 tahun selanjutnya, NU berada dalam tahapan yang paling suram dalam catatan biografinya. Betapa tidak, masa kejayaan politiknya telah berakhir, sementara untuk mengepakkan sayap di bidang lain masih banyak belenggu yang menghambat NU. Halangan terbesar adalah image oposan yang melekat pada NU dan kebanyakan orpol Islam pada umum- nya, yang sebenarnya berpangkal pada gaya politik Orde Baru saat itu yang sedemikian rupa sehingga memaksa partai-partai Is- lam mengambil posisi defensif. NU di era ini begitu tersudut: NU hanya bisa berpolitik via PPP, dan, selanjutnva, PPP adalah se- buah "partai oposisi", terlepas dari persoalan bahwa orang-orang NU di sana juga punya kontribusi terhadap karakteristik oposan tersebut. Jadi kedua hal itulah kepolitikan Orde Baru dan keberadaan NU dalam PPP yang begitu membatasi gerak organisasi para ula- ma ini. Dengan demikian, langkah reorientasi politik NU di tahun 1951 yang sekaligus membawanya keluar dari PPP pada dasarnya tidak akan terlalu berarti banyak, jika saja pada saat yang hampir bersamaan tidak terjadi perubahan pada langgam kepolitikan na- sional. Dengan kata lain,"Kembali ke Khittah 1926" menjadi sede- mikian rupa signifikan bagi NU oleh karena hal itu dilakukan da- lam momentum yang tepat. Momentum ini adalah apa yang saya sebut sebagai politik akomodasi antara Islam dan negara di Indo- nesia. Kecenderungan ini mulai sangat terasa ketika dekade 8O-an telah memasuki paruh keduanya. Tampak jelas telah terjadi per- geseran dari model hubungan vang antagonistik antara Islam dan negara menuju politik akomodasi yang saling mengisi satu sama lain. Antagonisme diminimalisir, bahkan konflik cenderung di- eliminir. Kita akan melihat indikatornya dalam policy pemerintah di bidang pendidikan dan keagamaan di satu sisi, serta di sisi lain kecenderungan politik umat Islam di mana NU merupakan salah satu komponennya. Disahkannya UU Sistem Pendidikan Nasional yang begitu toleran terhadap persoalan-persoalan essensial umat Islam serta diijinkannya siswi SLTP dan SLTA mengenakan jilbab di sekolah adalah sebagian contoh. Lalu dibentuknya Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila oleh Presiden Suharto, disahkan- nya UU Peradilan Agama, dan akhirnya didirikannya ICMI ada- lah contoh-contoh lain yang juga perlu disebutkan. Lalu mengapa kecenderungan yang akomodatif itu muncul? Pada sisi pemerintah, politik akomodasi terhadap umat Islam adalah satu-satunya pilihan untuk tidak menempatkan Islam se- bagai kelompok yang berada di luar sama sekali. Pemerintah tam- paknya menyadari bahwa umat Islam merupakan kelompok poli- tik yang sangat potensial jika mereka bisa mengorganisir diri sede- mikian rupa. Itulah pasalnya. Sehingga kalau umat Islam diletak- kan di luar sama sekali, konflik akan sulit dihindari. Ujung-ujung- nya adalah efek yang begitu besar terhadap proses pemeliharaan negara kesatuan. Jelas, ini harga yang terlalu mahal. Di samping itu, di kalangan pemerintah kini terdapat sejum- lah figur yang tidak mengidap "Islamophobia". Beberapa di antara mereka malahan memiliki dasar dan latar belakang keislaman yang kuat. Sebut saja Mar'ie Muhammad, BJ Habibie, Emil Salim, atau Akbar Tanjung. Nama-nama ini sangat berperan dalam membantu sikap politik pemerintah yang tidak memusuhi Islam. Aksentuasi kita lebih pada pejabat dari kalangan sipil daripada pejabat dari kalangan militer maupun perwira ABRI sendiri. Se- kalipun Try Sutrisno dan R. Hartono tidak dapat diabaikan dalam konteks ini, saya masih meragukan apakah sikap yang kurang fa- variable terhadap umat Islam sebagai akibat pengalaman masa lain yang tidak mengenakkan sudah benar-benar hilang dari ka- langan militer. Mereka pernah mengalami kesukaran yang tidak ringan saat harus bertempur menghadapi kelompok-kelompok Is- lam separatis. Faktor lain, di kalangan umat Islam terjadi perubahan persep- si, sikap, dan orientasi politik. Pada awalnya, umat Islam sangat menaruh harapan bahwa kelahiran Orde Baru akan mendorong terwujudnya proses politik yang demokratis di negeri ini. Namun yang terjadi adalah jauh dari yang diharapkan. Akibatnya umat Islam terdesak pada posisi yang memaksanya bersikap sangat kritis bahkan mengarah pada sikap oposan. Kebanyakan politisi Islam meyakini bahwa demokrasi adalah cara terbaik bagi penyelenggaraan negara. Demokrasi dipandang sebagai cara yang paling efektif untuk mewujudkan cita-cita poli- tik Islam. Kita lihat bahwa ketika mekanisme politik berlangsung secara demokratik, kekuatan Islam memainkan peran yang sangat menentukan di dalamnya, seperti yang tejadi pada masa-masa menjelang kemerdekaan. Bagi kalangan Islam, Orde Baru menjadi tumpuan harapan bagi terwujudnya demokrasi yang gagal di bangun oleh Orde Lama. Akan tetapi ternyata agenda utama Orde Baru adalah untuk melaksanakan pembangunan ekonomi yang bersendikan peningkatan taraf kehidupan masyarakat. Akibatnya, stabilitas politik dan keamanan nasional lain menjadi preferable daripada demokrasi. Tidak heran jika para politisi dan intelektual Muslim tampil dengan kritikan kerasnya terhadap kebijakan pe- merintah, yang selanjutnya membawa akibat, oleh karena peme- rintah masih sulit menerima interaksi politik seperti itu-- Islam tergeser pada posisi marginal dalam konstelasi politik nasional di- bandingkan dengan kalangan-kalangan Kristen, Katolik, non-pri- bumi dan seterusnya. Namun dalam sepuluh tahun terakhir rupanva telah terjadi perubahan sikap politik Islam yang cukup berarti. Perubahan itu berkaitan dengan posisi penetratif seperti yang dilakukan ka- langan minoritas. Dengan sikap politik yang penetratif, usaha pen- capaian tujuan dan cita-cita politik Islam menemukan cara yang lebih efektif. Inilah kiranya yang turut menjadi faktor penentu terjadinya hubungan yang akomodatif antara Islam dan negara. NU dengan "kembali ke Khittah 1926" dan segala implikasi politiknya, dapat diletakkan dalam konteks faktor yang disebut terakhir di atas. Dengan demikian NU telah memberi kontribusi bagi lahirnya hubungan yang akomodatif antara Islam dan peme- rintah, sekaligus mengambil manfaat dari suasana baru ini untuk memberi makna yang sangat berarti bagi keputusan untuk kem- bali ke khittah itu, meski di sana-sini ganjalan sudah pasti ada. Dalam bidang-bidang pendidikan, dakwah, pengembangan sumber daya manusia, dan aspek-aspek sosial-keagamaan lainnya, NU pasca khittah telah berhasil membuat capaian-capaian positif yang begitu mengesankan Hal ini terutama bermanfaat bagi war- ga NU di tingkat bawah. Di sini, khittah telah menjadi dorongan yang sangat positif untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan di ma- sa lalu. Namun di bidang politik, kita akan mendapati bahwa khit- tah kerapkali hanya menjadi sumber inspirasi baru bagi kontro- versi demi kontroversi yang muncul pada tingkat elit NU. Ke- rapkali terjadi pendapat-pendapat yang satu sama lain saling ber- beda, bahkan saling bertentangan semuanya menyatakan sebagai didasari oleh semangat khittah. Contoh terakhir adalah yang ter- jadi menjelang dan setelah Muktamar PPP 1994, ketika sejumlah tokoh NU begitu berambisi untuk memperoleh jabatan di partai itu, dan tokoh-tokoh NU lainnya mengecam mereka. Kita dapat mengikuti perang statemen antara mereka di media massa, di mana kata "khittah" adalah yang paling sering disebut-sebut. Se- kalipun ambisi untuk mendapatkan kursi ketua umum partai ga- gal, dan Ismail Hasan Metareum terpilih kembali seperti yang saya prediksikan (bukan saya "kampanyekan" seferti tuduhan se- mentara orang), namun fenomena ini sangat penting untuk dica- tat. Sebabnva adalah pertama, karena hal itu menggambarkan be- tapa khittah masih belum mampu menyeragamkan orientasi po- litik orang-orang NU. Bahwa mereka bebas memilih saluran as- pirasi politiknya masing-masing, jelas telah dijamin oleh khittah. Tapi masalahnya, tokoh-tokoh ini selalu mrmbawa-bawa nama NU dalam manuver-manuver politiknya, yang menyebabkan ne- tralitas NU masih kerap dipertanyakan. Kedua, peringatan akan terjadinya penggembosan kembali PPP turut mewarnai kekecewa- an terhadap formasi kepengurusan baru yang dinilai tidak men- cerminkan realitas massa pendukung partai. Bukan mustahil orang akan jadi bertanya-tanya, mengapa NU seolah-olah masih belum bisa lepas sama sekali dari PPP? Benarkah akan terjadi penggembosan kembali? Namun persoalan yang lebih penting adalah mengapa masih terjadi pertentangan pendapat di seputar implikasi politik khittah? rupa-rupanya komitmen untuk menjaga netralitas NU, serta un- tuk tidak menjadikannya sebagai orpol, masih sangat lemah ter- utama di kalangan politisi NU. Tampaknya hanya Abdurrahman Wahid yang masih memiliki komitmen murni sebagaimana yang dikehendaki oleh deklarasi Situbondo 1984. Bahkan sebagian to- koh NU masih ada yang menginginkan organisasi itu kembali menjadi partai politik. Sebagian yang lain masih mencoba men- dominasi kemhali PPP dengan alasan jumlah massa NU yang sa- ngat besar adalah pendukung potensial partai itu. Klaim ini jelas sangat tergesa-gesa, sebab warga NU kini sudah sangat beragam orientasi politiknya. Setidaknya terdapat empat kelompok dalam NU yang memiliki orientasi berbeda-beda. Pertama, kalangan yang masih setia kepada PPP dan tetap bertahan di sana. Orang seperti Hamzah Haz tampak begitu setia dan peduli terhadap semua persoalan PPP terutama ketika partai ini menghadapi ber- bagai macam tantangan. Kedua, kalangan NU yang telah melakukan eksodus dari PPP menuju ke Golkar atau PDI dan mengembangkan karier politik mereka di sana. Alasannya bisa karena mereka mempunyai cita- cita yang berbeda dengan prioritas agenda politik PPP. Bisa juga karena secara rasional mereka melihat bahwa PDI atau Golkar le- bih menjanjikan prospek yang lebih baik bagi karier politik mereka dibandingkan PPP. Atau pula karena alasan yang teramat prag- matis dan oportunis: karena mereka akan memperoleh fasilitas yang lebih baik jika bergabung dengan Golkar. Kita tidak ber- bicara tentang soal baik dan buruk, karena ini adalah bagian dari rasionalitas politik. Ketiga, tokoh-tokoh NU yang kecewa terhadap kepemimpin- an PPP. Naro ketika itu, dan oleh karenanya meninggalkan partai itu dengan penuh rasa kecewa dan sedikit dendam. Kalangan ini- lah yang di tahun 1987 melakukan penggembosan terhadap PPP sehingga perolehan suaranva menurun drastis. Kita dapat menye- but nama KH Jusuf Hasyim dan Mahbub Djunaedi dalam kelom- pok ketiga ini. Dan keempat adalah orang-orang yang masih memiliki komit- men terhadap khittah dan bertekad untuk mempertahankannya. Kalangan ini mempunyai orientasi politik dalam tingkat lobi dan bukan melalui lembaga legislatif, dengan pertimbangan efektifitas mengingat konfigurasi politik nasional dewasa ini. Bagi mereka, sebut saja Gus Dur dan kelompoknya, berpolitik sebagaimana par- pol bahkan bisa merugikan NU sendiri. Dan herbicara tentang penggembosan, rasanya hal itu sulit ter jadi. Saya melihat bahwa kelompok ketiga dalam kategori di atas memang potensial untuk kembali melakukan penggembosan. Akan tetapi jika mereka mau melakukan kontemplasi, akan jelas ini hahwa penggembosan hanya bakal menjadi counter produc tive. Jika itu terjadi, citra NU akan memburuk. Orang akan men- cap NU telah bermain di luar sistem yang ada, dan ini akan men- jadi catatan tersendiri bagi masyarakat. Akibatnya peluang orang- orang NU untuk memimpin partai akan kian kecil, kecuali partai itu bernama NU. Di samping itu, masa rekrutmen calon legislatif untuk Pemilu 1987 adalah masa yang sangat krusial, berkaitan dengan isu suk- sesi nasional saya yakin bahwa Buya Ismail tidak akan gegabah meninggalkan orang-orang NU, bahkan ia akan mengakomodasi dengan lebih baik daripada muktamar lain. Ia tentu tidak akan mengulangi kesalahan Naro di waktu lalu. Bahkan sangat mung- kin ia akan terus membenahi kesalahan itu dengan memperha- tikan aspirasi NU didaerah-daerah yang merupakan basis NU. Dan akhirnya, bagaimanapun PPP masihlah rumah politik yang paling baik bagi para Nahdhiyyin daripada partai politik lainnya. Di Golkar sudah penuh sesak dengan beragam kalangan Islam, terutama yang belum dan memiliki ikatan kepentingan de- ngan ICMI. Orang pasti masih ingat akan kritik Gus Dur tentang ICMI, dan di samping itu memperkuat Golkar yang sudah se- demikian besar tentu tidak sejalan dengan visi Ketua Umum PB NU yang punya komitmen tinggi terhadap demokrasi itu. Semen- tara dengan PDI, terdapat hambatan-hambatan kultural yang ti- dak memungkinkan orang-orang NU aktual di sana. NU tidak akan begitu saja bisa bersanding, apalagi berbagi program dan agenda kerja dengan mesra dengan kalangan sekuler yang begitu dominan di PDI, demikian pula dengan sayap-sayap Kristen dan Katolik di sana. Barangkali sangat jitu ucapan KH Alawy Muhammad bahwa beliau akan bergabung dengan PDI jika partai itu mempunyai program yang islami. Dan saya meragukan lahirnya program yang Islami itu. NU setelah kembali ke Khittah 1926 memang sangat menarik dan penuh dengan dinamika yang hampir-hampir tidak dapat di prediksikan sebelumnya. Barangkali itulah sebabnya selama sepu- luh tahun terakhir ini kajian-kajian ilmiah tentang NU meningkat pesat baik di segi kualitas maupun terlebih lagi kuantitas. Kajian- kajian itu lahir baik dari tangan pengamat-pengamat asing yang begitu intens meneliti NU atau gerakan islam di Indonesia pada umumnya (seperti Nakamura, Feillard, dan Van Bruinessen), mau- pun dari para analis di dalam negeri sendiri. Di dalam negeri para pengamat NU dapat dibagi dua, yakni mereka yang berasal dari kalangan non-NU (seperti Mahrus Irsyam) bahkan non-muslim (seperti Einar Martahan Sitompul), dan mereka yang berlatar belakang NU terutama generasi mudanya yang kian banyak me- nimba ilmu di luar pesantren. Generasi muda NU yang mem- pelajari antropologi, sosiologi, atau ilmu politik kerap meng- hasilkan karya ilmiah yang cukup menarik tentang NU karena itu dilakukan dengan ketertarikan yang mendalam terhadap akar kul- tural mereka itu. Buku karya Abdul Gaffar Karim ini lahir dalam kecenderungan tersebut. Poin terpenting buku ini adalah usahanya untuk melihat NU dalam kerangka sebagai kelompok kepentingan, dan tampaknya ini adalah buku pertama yang menyoroti NU dari sudut pandang itu. Definisi Almond yang lazim dipakai mengatakan bahwa ke- lompok kepentingan adalah setiap kelompok yang berusaha mem- pengaruhi kebijakan publik tanpa pada saat yang sama ber- keinginan untuk memperoleh jabatan publik. Dengan ini dapat dibuatkan bingkai penjelasan yang paling pas bagi kepolitikan NU pasca khittah, yang dalam buku ini disebutkan telah terjadi re- orientasi dari kuantitas ke kualitas politik. Dalam titik berat pada kualitas politik, NU terus berupaya untuk tetap ambil bagian dalam proses pernbuatan kebijakan nasional, tanpa mempersoal- kan kursi jabatan publik yang didapatnya. Secara ideatif, hal yang disebut terakhir ini diserahkan pada masing-masing individu war- ganya. Selain sebagai kelompok kepentingan buku ini juga mengupas NU sebagai penganut paham Islam ahlussunnah wal Jamaah. Se- hingga di sini dapat ditemui keterpaduan antara pendekatan kul- tural dan pendekatan struktural, termasuk ketika menjelaskan ke- politikan Orde Baru sebagai konteks makro di mana NU berada. Sekalipun isi dan uraiannya tidaklah asing lagi bagi mereka yang selalu mengikuti perkembangan NU, namun buku yang diangkat dari karya skripsi ini jelas telah menyajikan pendekatan baru da- lam mengamati NU. Bahwa di sana-sini terasa ada bias NU, tapi itu tidak me- ngurangi makna kontributif buku ini bagi kajian NU dan analisis politik pada umumnva. Bagaimanapun unsur subjektifitas dalam suatu karya ilmiah kerap sulit dihindari, dan itu tidaklah terlalu tabu sejauh tidak mengalahkan unsur objektifitasnya. Terlebih lagi dalam lingkup ilmu sosial, kita harus mengakui bahwa objektifitas yang 100 % murni memang sulit dibangun. Yogyakarta, Mei 1995