BAB VI PROSPEK NU PERTANYAAN yang kiranya paling relevan saat orang berbicara tentang prospek NU adalah, mungkinkah NU kembali menjadi poiitik? atau setidaknya mungkinkah NU kembali mempunyai afiliasi formal terhadap salah satu partai politik? jawaban yang paling mendekati kemungkinan sebenarnya bagi pertanyaan-perta- nyaan itu, maupun pertanyaan-pertanyaan lain berkaitan dengan prospek NU, hanya dapat ditemukan melalui pengamatan yang sekaligus menggunakan lensa kultural dan lensa struktural. Dalam perspektif kultural, satu hal yang mesti memperoleh aksentuasi ialah bahwa NU adalah organisasi yang tidak dapat diharapkan konsisten dalam sikap-sikap, keputusan-keputusan, dan pilihan politiknya, selama hal itu tidak berimpit dengan sejumlah ajaran agama yang dianutnya.1 Ajaran agama itu adalah Islam menurut paham Ahlussunnah Waljamaah. Dengan pemahaman ini maka setiap kepu- tusan yang tidak memiliki kaitan langsung dengan ajaran keagamaan itu baik tentang bentuk organisasi, afiliasi dengan parpol tertentu, dan sebagainya, atau bahkan tentatif. terutama sekali haruslah dipandang sebagai keputusan yang temporer.Artinya, keputusan-keputusan itu diambil karena dipandang paling menguntungkan menurut konteks makro yang ada. Jadi pertimbangannya sangatlah pragmatis, dan sejauh tidak bertentangan dengan kaidah keagamaan yang diyakini dan yang penegakannya dijadikan tujuan terawal NU. Itulah sebabnya, melihat ke masa lain, NU dapat menerima konsep Nasakom sambil pada saat yang sama tetap meneriakkan penentangannya terhadap komunisme. Sikap NU terhadap komunisme adalah sikap politik yang berimpit dengan pandangan kea- gamaan, dan karenanya NU tetap konsisten menolak ideologi ateistik itu. Akan tetapi mengenai sikap terhadap konsep yang mengharuskannya berada dalam proses politik yang di dalamnya dilibatkan pula orang-orang komunis, perso- alannya bukan lagi tentang sikap keagamaan namun semata-mata pertimbangan politik murni. Di sini ada persoalan survival. Sebab jika NU menolak konsep Nasakom, pastilah sebagai parpol ia akan merasakan implikasi negatif penye- derhanaan kepartaian yang dilakukan Sukarno. Namun yang lebih penting, NU tentu tidak ingin melihat pentas politik nasional didominasi oleh orang- orang komunis yang selamanya dianggaap sebagai lawan, kalau bukan musuh. Karena itu NU memilih untuk melibatkan diri di sana. Dengan pemahaman yang sama dapat dijelaskan bahwa keputusan tentang bentuk organisasi NU bukanlah hal yang berimpit dengan pandangan keagamaan dan oleh sebab itu tidak bisa diharapkan adanya konsistensi yang membuat keputusan itu permanen. Bentuk organisasi bagi NU seperti sering dikemukakan dalam bab-bab terdahulu, tidak pernah dijadikan sebagai tujuan, apalagi tujuan akhir. Ia lebih merupakan alat pencapaian tujuan, di mana secara kontekstual alat yang efektif untuk hari ini belum tentu efektif hari esok, dan seterusnya. Sehingga bisa di pahami bahwa perspektif kultural kemungkinan NU menjadi parpol kembali se lalu ada. Tapi pertanyaan selanjutnya tentu, seberapa besar kemungkinan itu? Di sinilah lensa struktural harus mulai digunakan. Jika diamati, perubahan- perubahan penting yang terjadi pada lingkup mikro NU sebagian besar, kalau bukan semuanya, sampai tingkat tertentu sebenarnya adalah resonansi dari perubahan yang terjadi pada konteks makro sistem politik Indonesia. Begitu pula keputusan untuk mengubah bentuk organisasinya kembali menjadi jam'iyah diniyah. Setidaknya ada dua hal penting yang terjadi pada kepolitikan nasio- nal yang mendorong lahirnya keputusan itu. Satu yang akan disebut pertama telah disadari betul oleh semua pemerhati politik Indonesia, bukan hanya NU, oleh karena hal itu sudah berlangsung sejak Orde Baru lahir; sedang yang lain secara mengesankan telah berhasil diantisipasi oleh NU sebelum dijadi- kan kebijaksanaan resmi. Dua hal itu adalah, pertama, peran partai-partai politik telah diredusir sedemikian rupa sehingga aksesnya terhadap proses pembuatan kebijaksanaan nasional menjadi sangat minim. Sementara jabatan publik yang dapat dijangkau oleh parpol selain Golkar maksimal hanyalah kursi di lembaga legislatif. Sehingga wujud sebagai parpol dipandang bukan lagi sebagai alat yang paling efektif untuk mencapai tujuan bagi NU. Itulah sebabnya, sekalipun awalnya sedikit menolak, NU dapat menerima kebijaksanaan fusi partai yang menempatkannya sebagai salah satu unsur dalam PPP. Apalagi akhirnya rekayasa politik pemerintah hanya memperkenankan adanya tiga OPP di Indonesia. Kedua, yang muncul belakangan, pemerintah membuat kebijakan yang memisahkan parpol dari ormas underbouw-nya, dan hanya memperkenankan parpol memiliki keanggotaan perorangan.Itu berarti partai-partai hasil fusi 1973 tidak lagi relevan berbicara tentang unsur dalam hal, misalnya, distribusi kepemimpinan internalnya maupun distribusi hasil perolehan kursi di DPR. Hal itu hampir sepenuhnya berarti kerugian bagi NU sebagai unsur terbesar dalam PPP. Maka pilihan terbaik bagi NU adalah keluar dari 0PP, dan ini dilakukan beberapa bulan sebelum pemerintah memberlakukan UU No.3 tahun 1985 yang memuat aturan di atas. Jika asumsi di atas ini dapat disetujui, maka persoalan sejauh mana kemungkinan NU kembali menjadi parpol atau secara formal berafiliasi ke par- pol tertentu adalah ditentukan oleh dinamika sistem politik Indonesia. Arti- nya, jika memang garis politik pemerintah yang dimanifestasikan dalam undang- undang memperkenankan lahirnya partai politik baru, maka sangat dimungkinkan NU akan tampil kembali sebagai parpol. Tentu saja jika itu didorong oleh fak- tor determinan lain yakni jika pencapaian tujuan awal tentang penegakan Islam dalam paham Ahlussunnah Wal Jamaah dipandang lebih efektif dengan kapasitas NU sebagai parpol. Ketika semua faktor ini telah ada, muktamar tinggal lagi menjadi forum konstitusional untuk memberikan legitimasi. Akan tetapi masalahnya, mungkinkah terjadi perubahan dalam sistem kepartaian Indo- nesia, dan kalaupun terjadi perubahan mungkinkah itu mengarah pada sistem yang memperkenankan lahirnya partai baru selain tiga yang telah ada? Sebuah teori tentang sistem kepartaian yang dikemukakan oleh Giovanni Sartori agak- nya dapat menjadi landasan bagi prediksi tentang itu. Sartori berpendapat bahwa sistem kepartaian sebenarnya berjalan melalui tujuh tahap perkem- bangan, dengan gerak alamiah seperti ayunan sebuah pendulum. Jika tidak ada faktor-faktor lain, suatu negara akan mengikuti perkembangan itu.2 Ketujuh tahap perkembangan yang berjalan secara linear itu adalah atomized party system, polarized-pluralism party system, moderate-pluralism party system, two-party system, pre-dominant party system, hegemonic party system, dan single-party system. Definisi masing-masing sistem ini secara singkat adalah sebagai berikut: Atomized party system: terdapat banyak parpol tapi tak satupun yang punya pengaruh terhadap atau hubungan dengan parpol lain. Masing-masing hanya ter- ikat pada satu atau sekelompok orang pemimpin, sehingga hidup-matinya partai tergantung kepada pemimpinnya. Polarized-pluralism party system: terdapat lima atau enam parpol yang secara efektif pada tingkat nasional membentuk struktur yang bipolar, yaitu sebagian parpol itu membentuk koalisi pemerintahan, sementara sisanya mem- bentuk koalisi oposisi. Moderate-pluralism party system: terdapat maksimal lima parpol yang masing- masing berkesempatan sama untuk memerintah (atau membentuk koalisi pemerin- tahan). Tiap parpol menjadi elemen alternatif bagi pembentukan koalisi dan dalam tahap ini tak satupun partai bisa memperoleh suara mayoritas dalam pemilu. Two-party system: sebenarnya bisa saja ada lebih dari dua parpol, tapi par- tai ketiga dan seterusnya tidak cukup kuat untuk menantang salah satu atau kedua parpol besar yang ada. Pre-dominant party system: mulai tampak satu parpol yang terus-menerus meme- nangkan mayoritas suara, sekalipun sudah mulai muncul open-market system yang dengan itu sebenarnya suara-suara pemilih akan terdistribusi merata. Tapi suara itu justru terpusat, sebab mulai muncul kesamaan-kesamaan kepen- tingan dalam masyarakat. Hegemonic party system: terdapat kompetisi antar parpol secara formal, tapi hanya ada satu parpol yang menguasai tidak hanya pemilu tapi juga areal pembuatan keputusan. Partai-partai lain berkedudukan sebagai partai kelas dua. Single party system: di sini dikenal close-market system di mana satu par- tai memonopoli sistem politik yang ada, dengan fungsi utama melaksanakan kebijaksanaan yang dibuat pemerintah. Perkembangan jumlah parpol, yang antara lain menentukan gerak dari satu bentuk kepartaian ke bentuk kepar- taian lain itu, adalah berbanding lurus dengan heterogenitas masyarakat serta berbanding terbalik dengan faktor ideologi nasional. Artinya, sema- kin heterogen masyarakat dan semakin lemah ideologi nasional maka parpol cenderung banyak. Demikian sebaliknya. Heterogenitas masyarakat yang di- maksud adalah dari segi kultur dan etnik. Akan tetapi ketika kepentingan kian beragam sehingga diperlukan semakin banyak asosiasi kepentingan dan muncul kondisi cross cutting interest dan cross-cutting affiliation, maka heterogenitas kultur dan etnik itu terabaikan, dan dalam hal ini masya- rakat menjadi homogen. Secara alamiah, gerak pendulum akhirnya akan berhenti pada posisi menggantung (vertikal), dan menunjuk pada two-party system. Sebab setelah pendulum sampai pada tahap perkembangan single party system, arus balik modernisasi akan mendorongnya kembali ke tengah. Dalam masyarakat yang kian modern single-party system sangat tidak ideal, oleh karena kesadaran untuk memilih telah semakin besar. Namun bagi Riswanda Imawan, gerak alamiah semacam itu sulit terjadi di Indonesia. Sebab selain kedua faktor ideologi nasional dan heterogenitas masyarakat di atas, di Indonesia terdapat faktor ketiga berupa govenunenfal intervention terhadap parpol yang akan menihilkan arus balik modernisasi yang membawa pendulum ke- tengah, sehingga ia tertahan pada posisi single-party system.3 Jika Afan Gaffar sebagaimana dikemukakan daiam Bab I di depan mengidentifikasikan sis- tem kepartaian di Indonesia saat ini sebagai hegemonic party system, maka berdasarkan teori di atas perkembangan selanjutnya adalah menuju single par- ty system. Dan jika asumsi Riswanda bisa diterima, maka sistem ini akan re- latif permanen di Indonesia, setidaknya dilihat dari kondisi saat ini. Itu berarti akan segera muncul di Indonesia apa yang oleh Sartori disebut seba- gai croos-market system di mana satu partai tunggal memonopoli proses poli- tik yang sedang berlangsung, sementara partai lain kalaupun diijinkan ada akan sangat tidak berarti apa-apa. Dalam kondisi seperti ini, sudah pasti NU tidak akan berpikir untuk merubah diri menjadi partai politik. Keseluruhan diskusi di atas akhirnya mengarah pada satu kesimpulan bahwa adalah sangat kecil kemungkinan NU kembali men- jadi partai politik di masa mendatang. Sementara kemungkinan untuk memiliki afiliasi ke parpol masih sedikit ada, itupun kalau afiliasi terhadap partai tunggal yang memonopoli sistem politik dibenarkan. Namun hal ini juga tidak - begitu dapat diharapkan. Lebih mungkin NU tetap dalam keadaannya saat ini, dan memaksimalkan pemanfaatan keuntungan yang dapat diambilnya sebagai or- ganisasi sosial-kemasyarakatan yang berdiri di atas garis netralitas. Akan tetapi prediksi ini rasanya mesti diikuti oleh pengakuan bahwa realitas politik sudah pasti tidaklah sesederhana kalkulasi di atas kertas. NU dan Muhammadiyah: Konvergensi Baru Setelah terhadap pertanyaan tentang kemungkinan NU kembali menjadi parpol ditawarkan jawaban, maka pertanyaan berikutnya yang juga memiliki relevansi dengan prediksi tentang prospek NU, meskipun sedikit sekali atau bahkan mungkin sama sekali tidak bermuatan politik, adalah bagaimana prospek hubungan NU dengan Muhammadiyah. Hubungan yang selama berpuluh tahun telah menjadi persoalan krusial inilah yang selalu menjadi tema sentral setiap kali baik NU maupun Muhammadiyah, ataupun pengamat-pengamat netral yang berada di luar keduanya, berbicara tentang ukhuwah Islamiyah. Kajian itu sulit, sebenarnya, untuk menemukan bangunan analisis yang kukuh untuk membuat prediksi tentang hubungan NU dan Muhammadiyah. Akan tetapi perkembangan sejak 1984 memberikan gambaran bahwa hubungan itu cenderung membaik. Baik NU ataupun Muhammadiyah, setidaknya pada tingkat elit, tam- paknya sama-sama berusaha secara terus-menerus untuk menekan semakin banyak titik-titik kesamaan di mana mereka dapat melakukan konvergensi, sambil se- cara simultan mencoba menafikan ganjalan berupa dilatasi perbedaan-perbedaan yang selama ini telah menciptakan gap antara mereka. Kecenderungan membaik- nya hubungan ini boleh jadi adalah karena keduanya kini bergerak dalam di- mensi aktifitas yang sama. Jika dahulu perbedaannya sangat jelas ketika NU lebih banyak bergerak di bidang politik praktis dan Muhammadiyah di bidang sosial-keagamaan, maka kini keduanya sama-sama memiliki aksentuasi kegiatan dalam bidang yang disebut terakhir. Dengan dimensi aktifitas yang kongruen itu NU dan Muhammadiyah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing di mana mereka dapat saling mengisi. Dalam pengamatan Nurcholish Madjid, kele- mahan Muhammadiyah selama ini adalah keterlepasan dari tradisi intelektual Islam yang menyebabkan terjadi "pemiskinan intelektualisme beragama."4 Ini disebabkan oleh semangat kembali ke Al-Qur'an dan Hadits yang oleh Muhamma- diyah serta-merta diimpitkan dengan penolakan terhadap mazhab-mazhab, yang sebenarnya adalah kristalisasi khazanah intelektual Islam yang sangat kaya di masa silam. Sedangkan kelemahan NU adalah dalam hal metodologi. NU kalah dalam pemikiran rasional dan dalam mengenali masalah aktual dalam masya- rakat. Secara karikaturis Nurcholish menggambarkan bahwa NU memiliki gudang dengan buku yang sangat lengkap, tapi tanpa katalog sehingga buku-buku itu tidak dapat efisien penggunaannya. Sedangkan Muhammadiyah mempunyai katalog yang baik dan sistematis, tapi tidak ada buku. Di sinilah terbuka luas celah bagi kerja sama Muhammadiyah dan NU. Oleh NU sendiri, langkah pendekatan dengan Muhammadiyah segera dimulai setelah digariskannya perwajahan baru dalam muktamarnya yang ke-27. Sesaat setelah terpilih sebagai Rais Aam, KH Achmad Siddiq menyatakan bahwa salah satu niatan NU dalam semangat barunya adalah untuk "menggandeng Muhammadiyah". Pernyataan ini tak lama kemudian mu- lai dicarikan rumusan operasionalnya. Bulan Januari 1985, rapat pertama kepe- ngurusan baru PB NU menggariskan perlunya langkah-langkah untuk mengakrabkan hubungan dengan berbagai organisasi keagamaan Islam yang lain, khususnya de- ngan kelompok terbesar di luar NU, yaitu Muhammadiyah. Selama ini ada gam- baran yang bersekat kaku antara NU dan Muhammadiyah, suatu gambaran stereotip yang berkaitan dengan kultur dan gaya hidup maing-masing. Akibatnya, seolah ada dua sosok yang sangat berbeda. Sebenarnya, dalam perbedaan itu pun ter- dapat manfaat yang bisa diambil. Perbedaan yang berakar pada respons berla- inan terhadap gerakan pembaharuan yang berusaha melakukan purifikasi ajaran Islam itu sesungguhnya telah memberi NU dan Muhammadiyah masing-masing pe- ngalaman yang berbeda-beda, dan dengannya mereka dapat saling melengkapi ke- tika menghadapi problematika yang sama. Dalam alur logika ini Abdurrahman Wahid berbicara tentang pengembangan pemikiran mengenai "Islam pasca NU dan Muhammadiyah". Yakni suatu cara pandang kosmopolit yang tidak berangkat dari sekat-sekat kelompok ketika melihat bangunan Islam secara utuh. Lalu sebuah gagasan penting, yang meskipun tidak pernah terealisir tapi setidaknya dapat menjadi shock therapy yang efektif, datang dari Yusuf Hasyim. Dalam seminar "Menuju Satu Umat: Potensi dan Kendalanya" di Surabaya pada bulan Juli 1989, Yusuf berbicara tentang gagasan keaggotaan ganda bagi warga NU dan Muhamma- diyah, jika persatuan kedua kelompok ini ingin direalisir secara lebih kon- kret.6 Sambil mengatakan bahwa jika gagasan itu bisa diterima ia akan menj- adi orang pertama yang menjadi anggota NU sekaligus anggota Muhammadiyah, Yusuf berpendapat bahwa apabila persatuan NU dan Muhammadiyah dapat terwujud, maka separuh dari persoalan umat Islam Indonesia telah terelesaikan. Selama ini antara NU dan Muhanunadiyah tampaknya hanya dipisahkan oleh masalah admi- nistratif dan organisasi semata-mata, yang sebenarnya tidak berkaitan dengan persoalan aqidah. Untuk bisa menyatukan umat Islam, memang tidak perlu mem- bubarkan NU dan Muhammadiyah, sebab yang diperlukan adalah suatu forum ber- sama yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan berbagai problema yang mengganjal laju perjalanan umat Islam. Amien Rais dalam seminar itu menya- takan persetujuannya terhadap usulan Yusuf tersebut. Hanya saja sebelum sampai pada langkah keanggotaan ganda, perlu dipecahkan terlebih dahulu ber- bagai hambatan yang selama ini menjadi halangan bagi ukhuwah NU dan Muhamma- diyah, misalnya perbedaan pandangan keagamaan dalam hal furu'iyah (perma- salahan cabang yang bukan permasalahan pokok). Secara teoritis kata Amien, masalah-masalah furu'iyah memang tidak usah menjadi penghambat, namun dalam realisasi praktisnya masih sering menjadi sekat yang amat kaku terutama di kalangan bawah pada masing-masing warga.7 Tapi rupanya bagi kelompok moderat yang kini dominan dalam tubuh NU, gagasan keanggotaan ganda itu terlalu ber- lebihan. Mereka seperti biasanya tidak ingin NU berjalan dari satu titik eks- trem ke titik ekstrem lainnya: divergensi yang parah antara NU dan Muhamma- diyah tidak perlu diatasi dengan kedekatan yang nyaris tanpa batas. Musthafa Zuhad, misalnya, menilai bahwa gagasan keanggotaan ganda itu tidak realistis untuk dilaksanakan, lepas dari persoalan perlu atau tidak perlu.8 Sementara dari Abdurrahman Wahid jelas tidak akan bisa diperoleh persetujuan terhadap gagasan itu. Sekali tempo ia pernah mengkritik usaha untuk menyusun kepe- mimpinan tunggal bagi umat Islam, baik dalam bentuk langsung maupun tidak, yang dinilainya selalu membawa implikasi negatif bagi umat. Implikasi nega- tif yang dimaksudkan boleh jadi adalah semacam legalisasi konflik, perebutan hegemoni, dan seterusnya, seperti yang dicontohkan oleh kasus Masyumi ketika ia dimaksudkan sebagai partai tunggal bagi umat Islam Indonesia. Menurut Abdurrahman Wahid, yang diperlukan oleh umat adalah "upaya yang terus-menerus untuk mencari konsensus melalui kepemimpinan yang beragam."9 Itu berarti, NU dan Muhammadiyah tidak perlu sampai berpikiran tentang kondisi organisasional yang cross-cutted, dan lebih baik mencari pola kerjasama dengan tetap meng- indahkan, tanpa membesar-besarkan, keragaman yang ada. Dalam sebuah seminar nasional "Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman" di Yogyakarta pada Januari 1993 Abdurrahman memberikan gambaran alternatif pola kerja sama yang dapat digunakan oleh NU dan Muhammadiyah.10 Ia melihat bahwa baik dalam Muhammadiyah maupun NU selalu ada polarisasi, kali ini dalam konotasi positif, yang seringkali terjadi kekembaran antara polarisasi di NU dengan polarisasi di Muhammadiyah. Misalnya pandangan tentang hubungan antara agama dan negara yang secara umum memiliki dua cabang. Pertama, ada yang beranggapan bahwa Islam harus diperankan secara eksplisit dalam kehidupan bernegara. Ber- arti sebagai kekuatan formal Islam harus lahir, untuk selanjutnya dikem- bangkan dalam pemerintahan. Yang menjadi motif dalam hal ini adalah pelak- sanaan syari'ah sebagai undang-undang. Jadi pendekatan yang digunakan adalah legal formalistik, di mana Islam harus diberlakukan sebagai hukum karena ia memang adalah agama hukum. Kedua, ada anggapan bahwa hukum itu adalah fiqh yang merupakan bagian dari syari'ah. Karena itu syari'ah tidak boleh direduksi menjadi hukum sebab ia adalah way of life yang memiliki sisi formal dan sisi non-formal (moral, etika, dan lain-iain). Sehingga walaupun tidak diundang-undangkan, ajaran Islam akan dilaksanakan oleh pengikutnya melalui syari'ah dalam arti totalitas tersebut, bukan dalam arti legalisasi ajaran Islam dalam undang-undang negara. Polarisai semacam itu selalu ada dalam NU dan Muhammadiyah. Dengan demikian dalam NU ada dua pandangan, dan dalam Muhammadiyah juga ada dua pandangan yang harus melakukan konvergensi adalah pandangan A di NU dengan pandangan A di Muhammadiyah, serta pandangan B di NU dengan pandangan B di Muhammadiyah. Jadi poros kerja samanya adalah A-A dan B-B, dan karenanya tidak perlu dan memang tidak mungkin terjadi entitas antara NU dan Muhammadiyah. Dialognya pun menjadi bagaimana pandangan A dengan A dan B dengan B bisa sering ber- temu.11 ________________________________________________ _____________________________________________________________________ 1. Lihat uraian selengkapnya tentang hal ini dalam Abdurrahman Wahid, "Pendekatan NU Selalu Kultural," dalam Pelifa, 10 Nopember 19K4. 2. Teori Sartori ini adalah sebagaimana yang diikhtisarkan oleh Dr Riswanda Imawan, MA dalam kuliah "Sistem Kepartaian dan Pemilu di Indonesia" di FISIPOI,-UGM, tanggal 24 Pebruari 1992. Pembahasan selanjutnya mengacu ke sini. 3. Governmental intervention terhadap partai politik muncul di Indonesia menurut Riswandha adalah karena sekaligus dua hal: pembangunan ekonomi yang bertitik berat pada model-model teknokratik dan peminjaman modal dari luar negeri yang menuntut jaminan stabilitas politik dalam negeri serta kondisi partai-partai politik yang sedemikian rupa tergantung kepada pemerintah. 4. Lihat Tempo, 25 Nopember 1989, h. 30. 5. Lihat Tempo, 22 Juni 1985. 6. Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah. Prospek Ukhuwah Dengan Muhammadiyah (Yogyakarta: MW Mandala, 1992), h. 187. 7. Ibid., h. 188. 8. Wawancara Penulis dengan Ir. H Musthafa Zuhad, Wakil Sekjen PB NU, di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994. 9. Lihat Bab II, halaman 90, catatan kaki no. 24. 10. Makalah-makalah dan diskusi-diskusi dalam seminar yang menjadi momentum tersendiri bagi hubungan Muhammadiyah dan NU ini, yang menampilkan 17 orang tokoh dan pakar dari kalangan NU dan Mu- hammadiyah serta dari kalangan yang dianggap sebagai pengamat netral (sayangnya tidak menyertakan pula pengamat dari kalangan non-muslim), telah didokumentasikan dalam sebuah buku. Lihat Yunahar Ilyas, et al., (eds.), Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman (Yog- yakarta: LPPI UMY, 1993). 11. Lihat Ibid., h. 116-121, passim.